Friday, June 12, 2020

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you.

You're finally awake!

You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us over here.

Welp, not anymore.

Terakhir gue nge-post di sini adalah tanggal 7 Maret. Waktu itu gue nge-post ulasan tahun 2019, soal jelek-jeleknya dan bagus-bagus-nya tahun itu. Pas gue ngeliat ke belakang mengenai postingan itu, gue rasa kita harus nya gak pernah beranjak ke tahun 2020. Normal banget yak, tahun 2019 dibandingin sama tahun ini?

Bayangin aja, gue ngebahas pemilu tahun 2019 seakan-akan itu adalah hal paling kontroversial yang akan pernah gue alamin seumuran idup gue. Sekarang? Hohoho, rasanya pemilu 2019 bahkan gak menjadi hal yang paling kontroversial yang gue alamin dalam 2 TAHUN TERAKHIR.

Tentunya, ini akan sangat mengundang gue buat punya banyakbet topik dalam ulasan tahunan gue, kan?

Damn straight. Bahkan, saking serunya tahun ini, gue bahkan gak harus nunggu sampe akhir tahun buat bikin year review gue, gue cuman harus nunggu sampe akhir bulan aja! Bilang aja month review, dan kita bisa liat ketololan macam apa lagi yang terjadi ke umat manusia pada bulan ini. Januari, (hampir) Perang Dunia III. Februari, Kobe Bryant meninggal ditambah wabah COVID-19. Maret, wabah COVID-19 merajalela dan seluruh umat manusia dipaksa gak keluar rumah. April, masih soal COVID-19. Mei, tewasnya George Floyd dan jatuhnya Amerika ke dalam kekacauan. What's next, Juni? Alien menyerang bumi?

Sejujurnya gue gak kaget sih kalo alien nyerang bumi bulan ini. Sebagai angkatan 2020 yang wisuda dan sidang skripsinya diadakan secara online, kita (atau seenggaknya gue) belajar untuk menerima kenyataan bahwa dunia semakin gak masuk akal dan akan lebih baik jika kita berhenti memikirkan tentang kenyataan tersebut.

Just go with the flow, you know?

Buat gue sendiri, selama empat bulan terakhir gue tenggelam dalam tugas-tugas kuliah gue, makanya gue jarang naro postingan di blog ini. Bukan cuma itu, tapi surprise surprise, gue juga berkarya di platform dan medium lain. Kecuali di Instagram, karena gue bukan influencer.

MISALNYA,

gue sekarang punya podcast sendiri, kayak Joe Rogan, Deddy Corbuzier, Raditya Dika, ato kesukaan nyokap gue, Oprah Winfrey. Gue ngomong gitu ibaratnya kayak gue nyamain diri gue sama Rich Brian, Hasan Minhaj, Jack Ma, dan Jungkook hanya gara-gara kita orang Asia, but oh well.

Di podcast gue biasanya gue ngundang temen-temen gue dan kita ngoceh selama kurang lebih satu jam tentang topik yang gue tentuin, biasanya sesuatu yang kita suka. Bisa tentang game, film, dunia hiburan, atau bahkan soal dunia kerja. Sejauh ini gue udah punya 7 episode, target gue untuk season pertama (anjay) adalah 24 episode. Dengan begitu, gue bisa bilang kalo lo bisa literally menghabiskan 1x24 jam dengerin podcast-podcast gue. Mantep, kan?

Nama podcast gue adalah Momo's Bizarre Podcast dan bisa ditemukan di Spotify.

Lagian, ini adalah kesempatan buat lo pada untuk denger suara gue untuk pertama kalinya. Tunggu apa lagi?

SELAIN ITU,

gue lagi nulis sebuah karya fiksi berbahasa Inggris di situs blogging gue yang lain, di Wordpress. Sebenernya ini bukan karya fiksi yang baru banget, bahkan cerita ini udah pernah gue tulis di blog ini tahun 2014 (ato 2015? entahlah), pas gue masih SMA. Dan karena masa SMA gue hectic banget (lebih hectic dari masa kuliah gue, percayalah), itupun gak sempet gue kelarin juga.

Sekarang gue udah kuliah, gue udah punya ide-ide baru tentang cerita yang udah gue kembangin dulu, gue berpikir: apa gue reboot aja ceritanya, ya? Pfft, bisa-bisanya gue ngomongin soal reboot, emangnya gue yang bikin Tomb Raider apa?

Anyways, udah ada 8 bab yang tertulis di cerita tersebut, semoga gue bisa kelarin sampe abis (aminnnnn). Wordpress gue bisa diakses di sini.

DAN TERAKHIR,

channel YouTube gue. Gue mungkin gak mau jadi influencer Instagram, tapi YouTuber? Buat gue, itu adalah prospek yang menarik. Kalo gue gak harus berdansa menghindari demonetization dari AdSense, ya.

But then again, kalo sekelas Ferdian Palekka aja bisa tenar dan meraup untung dari YouTube, kenapa gue enggak?

Di YouTube gue, kerjaan gue akhir-akhir ini adalah mengunggah memes, terutama memes yang berhubungan dengan anime Jojo's Bizarre Adventure, karena surprise surprise, gue suka banget sama Petualangan Aneh Jojo. Gue juga sempet berusaha meluncurkan podcast gue di YouTube, tapi setelah dapet saran dari adek gue, gue akhirnya beralih ke Spotify. Lebih praktis dan lebih efektif sih, emang.

Tapi tenang aja, gue sendiri punya rencana buat channel YouTube gue. Gue punya beberapa ide buat channel YouTube gue, gue mau ngebahas hal-hal yang gue suka seperti apalagi-kalo-bukan gaming.

Channel YouTube gue ada di sini. 500-an subscribers, 700,000-an views. Monggo di-subscribe kalo berminat, kalo gak ya gak papa. His name is also effort, ya gak?

OHIYA SATU HAL LAGI,

nasib blog ini gimana?

Well, gue menyisihkan waktu di antara kesibukan main GTA Online, ngelarin tugas akhir UI, dan mantengin memes Jojo gue untuk nulis postingan ini, jadi mestinya gue gak ninggalin blog ini, kan?

Betul itu!

Mungkin udah lama sejak terakhir kali gue nulis di blog ini, tapi bukan berarti gue lupa akan keberadaan blog ini, tenang aja. Tujuan dari postingan ini adalah untuk memberitahu lo pada yang (untuk satu dan lain hal) sering baca postingan gue dan sekarang lagi penasaran, "ini yang nulis kemana ya, kok dia udah jarang nulis lagi?" bahwa gue lagi bikin konten di platform lain juga.

Blog ini masih aktif kok, tenang aja. Gue masih akan nulis di sini. TAPI, kalo misalnya blog ini udah gak aktif dan mulai berdebu lagi, well seenggaknya lo pada tahu gue ada di mana. Selain di sini, maksudnya. You know where to find me.

Udah ya guys, itu dulu.

Jaga kesehatan, jangan lupa cuci tangan, dan jangan keluar-keluar kalo urusannya gak penting. Kalo restoran kesayangan kalian tutup dan mereka ngundang lo buat dateng ke acara penutupannya, JANGAN DATENG.

Anyways, as always,

arriverderci, bois! :D

Friday, March 6, 2020

THIS IS A REVIEW - 2k19 (#2)

Part 2. 


Part 2 mengisahkan tentang Joseph Joestar, keturunan dari Jonathan Joestar, dan petualangannya untuk mengalahkan The Pillar Men

Part 2 dari year review gue. 

Tiga topik di part 1, tiga topik di part 2

Let's go? 

Let's go. 

Let's Go, Champ 

Bisa gak gue bikin judul header yang lebih kreatif? 

Gak, sayangnya. Gue emang secetek itu.

SO, siapa yang menang ketika Logan Paul dan KSI beradu jotos untuk yang pertama kalinya? 

Gak ada. 

Ada sih sebenernya, yaitu mereka-mereka yang menonton pertandingan tinju tersebut secara gratisan dan menolak untuk membayar $10 biar bisa nonton pertandingan itu di YouTube Red. Berdasarkan argumen yang sama, berarti yang kalah adalah mereka yang rela keluar duit buat nonton pertandingan tinju amatir yang berakhir SERI. Maksud gue, gimana caranya bisa seri? Apa gunanya ditaro tiga juri di setiap pertandingan tinju jaman sekarang? 

Oh tenang saja, gue tau duit bermain di sini. Tapi buat sekarang, coba kita asumsikan kalo serentetan (dua, lebih tepatnya) pertandingan tinju KSI dan Logan Paul adalah pertandingan tinju yang... jujur. 

Karena banyaknya duit yang dihasilkan pertandingan pertama berakhir dengan hasil seri, gak ada yang kaget kalo kedua KSI dan Logan Paul langsung mencanangkan sebuah tanding ulang, kali ini di Staples Center, LA pada tanggal 9 November 2019. 

Dalam persiapan pertandingan rematch itu, KSI dilatih oleh petinju Viddal Riley dan Jeff Mayweather. Apakah nama belakang Jeff kedengeran familiar? Karena Jeff ini adalah paman dari Floyd Mayweather Jr. Dengan kata lain, ada kemungkinan KSI ini di-endorse dan didukung oleh si Money itu sendiri. Keren gak, tuh? 

Sedangkan di sisi seberang, Logan Paul dilatih oleh Shannon Briggs, mantan juara dunia tinju kelas berat. Mestinya gelar itu bisa mendorong popularitas Logan Paul dibandingkan KSI, karena emang bener kalo Shannon Briggs ini juara dunia, tapi... Briggs-nya aja yang rada sengklek. 

See, gue gak tau apa-apa soal Shannon Briggs dalam konteks dunia tinju. Gue sendiri tau dikit soal dunia tinju: Floyd Mayweather Jr. jago, Mike Tyson jago, Muhammad Ali jago banget, Anthony Joshua jago, dan Chris John jago. You know, the big names. Kecuali Chris John, dia besar di Indo, gue gak tau kalo di komunitas tinju internasional. 

Jadi ketika Shannon Briggs menampakkan dirinya di konferensi pers pertama KSI dan Logan Paul sebelom pertandingan, apa yang paling gue inget dari dia? 

"Let's go, champ!" 

"Let's go, champ!" 

"Let's go champ!" 

"Let's go, champ!" 

Mungkin dia selingin dikit dengan kata-kata macam "yeah, champ!" ato "he got nothin' on you, champ!" ketika nyinyirin KSI, tapi dia akan SELALU kembali ke 

"Let's go, champ!" 

Yaelah, Logan Paul ini dilatih sama juara tinju dunia atau Hodor, sih? 

Kecuali mungkin nama Shannon Briggs bukan berubah jadi Hodor, tapi semacam Leskejem atau Lesgejem atau semacamnya. 

Maksud gue, tentu saja Briggs mengatakan kalimat-kalimat utuh selain tiga kata saktinya, tapi ayolah. Gak banyak quotes yang gue inget dari Shannon Briggs selain "let's", "go", dan "champ". Dalam urutan itu. 

Dan ternyata setelah melakukan sedikit penyelidikan ke YouTube (baca: nonton kurang lebih 3 video YT) tentang Shannon Briggs, emang bener. "Let's go champ!" adalah catchphrase dia yang sering dia pake dimana-mana, mau itu di video dia ataupun ketika dia ngejahilin Wladimir Klitschko dengan mantra sakti tersebut. Bukan cuma dalam pertandingan KSI-Logan Paul doang, Briggs membawa "let's go champ!" kemana-mana. "Let's go champ!" adalah Shannon Briggs, dan Shannon Briggs adalah "Let's go champ!" 

Anyways, 9 November 2019. Tibalah hari silaturahmi KSI-Logan Paul. 



Gak usah gue bikin breakdown-nya kita semua tau siapa yang menang. Gue emang gak se-passionate itu soal tinju dibandingkan gue soal sepak bola. 

KSI menang melalui split decision. Dari tiga juri yang menilai pertandingan tinju dua YouTuber tersebut, dua mengatakan KSI menang poin. Sedangkan yang satu, Zachary Young, bilang Logan menang tipis 56-55. Jadi ya, sekalian aja. 

Ya gue seneng KSI menang dan Logan Paul kalah. KSI sendiri emang bukan YouTuber panutan teladan menurut gue, tapi Logan Paul? Setelah insiden kegoblokan dan ketidaktahudirian-nya di Jepang, gue jadi anti-Logan Paul. Kalo ada kesempatan buat Logan Paul untuk kalah, ayok aja kalo gue mah. Meskipun Logan masih lebih mending dibandingin Jake Paul dari segi jumlah sel yang berfungsi dalam otak, ya insiden Aokigahara itu emang susah buat di-move-on-in. 

Tapi buat gue, alasan lain gue seneng KSI menang adalah siapa lagi kalo bukan Shannon Briggs. 

Gini ya cara gue ngejelasinnya: 

Shannon Briggs sebelom Logan Paul tanding aja, dia udah memberondongi kita para pemirsa dengan mantra ajaibnya. Saking derasnya tembakan mantranya ini, orang-orang yang gak tau dia kemungkinan besar akan cuma inget dia dengan tiga kata tersebut. Contohnya: gue. Padahal Logan Paul belom menang loh, ini. 

Gimana kalo Logan Paul menang? 

Hohoho, mantra tersebut akan berevolusi menjadi sebuah semboyan, gak beda jauh dengan para pejuang dulu meneriakkan "MERDEKA ATAU MATI!" sebelom berjuang melawan tentara Belanda. Kalo Logan Paul menang, demi apapun, Briggs bakal nge-spam "Let's go champ!" di layar kaca kita. Cuman kali ini lebih kenceng dan lebih bertubi-tubi. Oh my God, kuping gue sakit pas ngebayanginnya. 

Bayangin aja, LGC (gue singkat aja deh, capek ngetiknya) udah jadi meme sebelom pertandingan. Setelah pertandingan dan KSI menang LGC masih jadi meme sih, tapi justru itu. Pertandingan kelar, Logan Paul dan Shannon Briggs kalah, LGC masih jadi meme. GIMANA KALO LOGAN PAUL MENANG? 

Ya tetep masih jadi meme sih, tapi jauh, JAUH lebih gede dari keadaannya sekarang. Logan Paul akan bikin merch baru dengan kata-kata LGC tersablon di kaos-kaosnya. Logan (dan Jake, gue rasa) bakal ngomong LGC ketika mereka mengakhiri video ketololan/vlog mereka. LGC bakal jadi judul lagu hit terbaru milik 21 Savage ft. Shannon Briggs yang meneriakkan semboyan tersebut sebanyak 210 kali sebagai beat dasar. Spanduk LGC bakal bertebaran di Super Bowl dan, kalo kita gak hoki, Liga Champions. Saking viralnya LGC, istilah itu bakal jadi bahan berita nasional. Buat kampanye nyapresnya tahun 2020, Donald Trump bakal meninggalkan semboyan MAGAA (Make America Great Again, Again) dan akan beralih ke LGC (Let's Go, Champ!). 

Tapi untung aja, KSI yang menang. 

Like I said, bayangin aja kalo Logan yang menang...    

A Highly Divisive Time 

Tahun 2019 menandakan suatu waktu yang sangat penting bagi negara Indonesia. 

Gak usah pake basa-basi, kita semua tau apa yang terjadi. 

Pemilihan Presiden. 

Pertama-tama, gue akan taro ini di paling depan: gue ngasih suara gue buat Jokowi. 

Gue inget waktu itu gue lagi di Australia pas lagi jaman-jaman pemilu. Ini pertama BANGET gue nyoblos buat pilpres, dan karena pengalaman pertama banget gue ini diwarnai dengan suasana politik yang panas, menegangkan, dan penuh drama, gue jadi mikir ke diri gue sendiri: "GUE HARUS NYOBLOS." 

Hasilnya, gue ngantri jam 11 siang sampe jam 7 malem di Konsulat Jenderal RI Melbourne demi hak suara gue. Tenang aja, gue masih sempet nyoblos. Tapi setelah dipikir, buat pengalaman nyoblos PERTAMA BANGET gue, not bad. Sangat memorable, bahkan. Dari situ gue memetik dua pelajaran: (1) ternyata banyak BANGET warga Indo di Melbourne, dan (2) gue jadi sebel sama orang yang SENGAJA golput. Golput karena sibuk, gak ada waktu, atau salah coblos, oke. Tapi lo yang punya waktu dan tenaga, tapi emang sengaja GAK MAU?  

Ah, itu masalah untuk lain hari. 

Sekarang, ngebahas pemilu. 

Gak beda jauh dengan Piala Dunia 2018 yang gue anggap pildun terseru yang pernah gue tonton, gue menganggap pilpres 2019 adalah pilpres terseru yang pernah gue ikutin. Banyak banget drama. Bisa dibilang, pilpres ini adalah pilpres yang sukses membelah Indonesia menjadi dua kubu: kubu cebong dan kubu kampret. Gak usah di-briefing lagi, kita semua tau kubu mana dukung siapa. 

Gara-gara perpecahan ini, kedua kubu menjadi lebih fanatik terhadap capres yang mereka dukung. Saking fanatiknya, mereka jadi irasional dan gak pake akal sehat. Ini gak cuma berlaku buat kubu kampret yang identik dengan para pendukung Prabowo Subianto, kubu cebong juga ada yang berdebat tanpa pake logika. 

Misalnya gue inget waktu itu gue nonton acara di Metro TV sama adek gue. Intinya, aktivis Jokowi berdebat dengan aktivis Prabowo. Saking lamanya, gue lupa topik apa yang sebenernya sedang mereka perdebatkan. Yang gue inget adalah salah satu respon dari si aktivis Jokowi. Jadi ketika dia mulai kalah dalam debat tersebut, si aktivis ini mengeluarkan kartu AS sekop-nya dengan bilang, 

"Ya daripada bapak Prabowo, udah setahun gaji karyawannya gak dibayar?" 

Reaksi gue: "OOOOOOOOOHHHHH!!!" 

Reaksi adek gue: "Wuidih!" 

Intinya, kita berdua sama-sama kaget. 

Tapi soal respon itu sendiri, gue jadi mikir (dan waktu itu gue ngomong ke adek gue): ya terus kenapa kalo Prabowo udah nunggak bayar gaji karyawan-nya selama setahun? Ya emang bener itu salah (banget), tapi apa relevansi-nya ke perdebatan tersebut? Apa hubungannya? 

Yang ada, reaksi aktivis tersebut membenarkan satu hal: gak di kubu gue, gak di kubu seberang, sebenernya gak jauh bedanya. Selalu ada yang menyerang melalui masa lalu capres lawannya. Jokowi diserang sana-sini, kebijakannya pas jadi presiden lah, dituduh antek Cina lah, dituduh gak patuh HAM lah, sedangkan Prabowo diserang gara-gara "kegiatannya" selama tahun lahir gue dan masalah perusahaannya. Kalo lo kehabisan amunisi buat berdebat secara rasional, selalu ada kartu AS sekop nya bisa lo pake, yaitu mengungkit masa lalu. 

Lagian, buat apa sih, berantem terus? Kayak, apa yang akan lo capai dengan menjatuhkan lawan lo? Berusaha menarik pendukung baru? Kalo lo kayak gitu, apa bedanya lo dengan kubu seberang? Apa yang membuat lo lebih baik dari lawan lo? Toh gue yakin mereka juga akan ngomongin kebaikan Prabowo dan kejahatan Jokowi, sama halnya dengan lo ngomongin kebaikan Jokowi dan kejahatan Prabowo. 

Orang mereka berdua ini pada dasarnya adalah temen. 

PS. Mereka sih ngomongnya "sahabat", tapi kata "sahabat" dalam dunia politik terlalu sering kepake sehingga maknanya berkurang, jadi gue anggep aja mereka temen. 




Mereka adalah temen yang selalu keliatan akrab setiap kali mereka gak lagi debat soal manfaat unicorn di Indonesia. Inget gak, pas mereka pelukan sama atlit silat Hanifan Yudani Kusumah di Asian Games 2018? Gue inget. Dan gue rasa, inilah yang kebanyakan fanatik kubu cebong/kampret suka lupa. 

Loncat beberapa bulan setelah gue nonton acara di Metro TV itu, pilpres. Gue nyoblos setengah mati, tapi masih sempet nyoblos, untungnya. 

Loncat lagi beberapa bulan setelah gue nyoblos, gue dapet kabar, Jokowi menang. Dan bener adanya, kalo Jokowi menang. Bukan hoax itu. 

Gue lega. Gue seneng. Bukan cuma karena pasangan capres yang gue dukung dan percaya akan memimpin Indonesia, tapi karena persitegangan antara kedua kubu pendukung capres bakalan reda. Kita udah tau siapa yang menang, kita udah tau hasilnya, mestinya gak ada alasan buat lanjut jor-joran ngelawan pihak seberang, kan? 

Welp, gue salah. 

Harus gue akuin, sebagian dari drama yang terjadi pasca pilpres berasal dari Prabowo sendiri. Ya gimana enggak, untuk KEDUA KALINYA BERTURUT-TURUT DALAM SEJARAH, Prabowo menolak hasil quick count suara dari KPU. Dia bilang suaranya udah dimanipulasi lah, dia bilang ada bias dari para penghitung suara lah, dan terakhir, dia mau menuntut Bawaslu melalui Mahkamah Konstitusi. Dia menolak hasil yang menyatakan kalo dia kalah, itu dah intinya. 

Tentu saja, reaksi kuat Prabowo mengundang reaksi yang jauh lebih kuat dari netizen. Gue rasa gak perlu gue jelasin, tapi intinya: serang-menyerang antara kedua kubu berlanjut terus. For some reason, gak ada yang menyerah. 

Gak ada yang tau, kalo peperangan virtual antara kubu cebong dan kubu kampret itu gak ada gunanya. At least, sebelom Jokowi mengumumkan anggota kabinet dibawah kepemimpinannya. 

Karena akhirnya, Prabowo--masih Prabowo yang menolak menerima kekalahan dari Jokowi--dapet kursi sebagai Menhan. Segampang itu abis dia dikalahin, besoknya dia dapet kursi menteri. Abis semua perlombaan dan persaingan kursi tertinggi itu selesai, Jokowi-Prabowo langsung kongkalikong, seakan "permusuhan" mereka selama pilpres ilang begitu aja. 

Atau mungkin, mereka emang gak pernah musuhan. Beda halnya dengan kita yang masih terbagi sampai sekarang, saling menyerang tanpa henti. 

Inilah yang namanya politik. Semua udah direncanakan. Kuasa dalam suatu negara bisa dibagi-bagi, bahkan ke "musuh" lo sekalipun. Gue yakin, kalo Prabowo menang, Jokowi pasti dapet posisi bagus dalam pemerintahan Prabowo. Mungkin jadi menteri perdagangan, mungkin jadi mendagri. Entahlah. 

Gue setuju, kata-kata Prabowo akhirnya jadi pedang bermata dua dan akhirnya menyayat dirinya sendiri. Kata-kata kuat nan menggugah kayak "si vis pacem, para bellum", yang dia kumandangkan pas lawan Jokowi? Ilang begitu aja pas armada Tiongkok melalang buana di laut Natuna. "Kita selow aja, kita selesaikan dengan damai," gitu katanya. Pffft. 

Tapi itu bukan alasan buat perpecahan ini untuk terus berlanjut. Masalah yang dihadapi Indonesia jauh lebih besar dari persaingan antara seorang tukang kayu dari Solo dan seorang mantan kolonel TNI. Ada masalah hatespeech, fanatisme agama berlebihan, maraknya misinformasi alias hoax, perlakuan tidak setara antar jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Dan ingat, sumber masalah ini gak cuma dateng dari Prabowo doang, tapi ada juga yang dari Jokowi. Mereka sama-sama bukan malaikat di sini. 

Gue teringat sama pertanyaan Najwa Shihab ke Ganjar Pranowo pas Catatan Najwa hadir di Melbourne, acara yang waktu itu gue hadir. 

"Mas Ganjar, apa nasehat mas buat masyarakat pasca pemilu?" 

"Ya untuk masyarakat Indonesia saya bilang: udah, jangan berantem terus." 

After all, it's not madness. It's just politics.   

Let Me Live / Let Me Die

I know pain, I know dread 
Wicked veins, they turn to lead 
Tears don't stop the fire 
It's killing time 

Selamat datang di Borderlands 3. 



Selamat datang di salah satu game paling kontroversial tahun 2019. 

Padahal, game ini gak punya sistem microtransactions licik atau loot box mechanics. 

Setelah pertemuan singkat gue dengan BL3 di PAX AU 2019, gue akhirnya kesampaian main game tersebut setelah gue pulang ke Indonesia. Gue baru namatin game ini sekali, meskipun gitu gue udah nyobain tiga dari empat karakter utama BL3: Moze, Zane, sama FL4K. Karakter yang gue pake buat namatin BL3 adalah Moze, dan saking OP (overpowered) nya dia ini, gue hampir namatin game ini dua kali pake Moze. 

Hmm, gue mulai dari mana ya, soal Borderlands 3 ini. 

Di satu sisi, game ini gak terjerat kontroversi kelas teri kayak sistem transaksi dalam game yang rakus, atau sistem loot box yang curang dan lebih rakus, atau bahkan praktik penjualan DLC (downloadable content) yang gak sepadan harganya. Tumben. 

TAPI di satu sisi, demi apapun, game ini terjerat kurang lebih SEMUA kontroversi lainnya, terutama sebelom tanggal rilis game. 

Sumber dari semua kontroversi ini kebanyakan berasal dari satu orang, sih: Randy Pitchford, CEO dari Gearbox Software selaku perusahaan developer BL3. Gue gak bakal ngungkit masa lalu kelam Randy seperti merusak citra serial Aliens dengan rilis ancur game Aliens: Colonial Marines, tapi terlepas dari itu aja... ni orang banyak berulah. 

Pertama-tama, pengisi suara Claptrap diganti dari David Eddings jadi Jim Foronda. Padahal suara Eddings sebagai Claptrap sangat memorable, hampir se-memorable suara Charles Martinet sebagai Mario dari Super Mario. Katanya Eddings ini pisah karena dia sebel sama Randy soal bayaran, dan dia juga bilang kalo Randy ini emang rese' orangnya. Sebuah perkembangan yang disayangkan, tapi gak papa. 

Lalu, beredar kabar kalo Randy kehilangan sebuah flash disk yang isinya rahasia perusahaan superpenting milik Gearbox. Dan ternyata, itu bukan bagian yang paling menariknya. Bagian yang paling menarik adalah... dalam flash disk itu juga tersimpan materi bokep. Astaganaga, ni manusia emang. 

Tapi yang paling sedap dari ini semua adalah sebuah kasus melibatkan Epic Games Store. 

Jadi, Epic Games Store berasal dari Epic Games, developer yang bikin game Fortnite. Kita semua tau Fortnite: game PUBG berestetika kartun yang didesain KHUSUS untuk anak-anak 18 tahun ke bawah. 

Setelah kesuksesan besar Fortnite, Epic Games membuat sebuah platform distribusi game digital bernama Epic Games Store (EGS). Intinya, EGS dibuat untuk bersaing dengan Steam, platform distribusi game digital terbesar untuk game PC. Gue adalah salah satu pemakainya sejak 2011, dan gue gak pernah menyesali keputusan gue untuk memakai Steam. 

Normalnya, keberadaan EGS bukanlah hal yang buruk. Steam bukanlah satu-satunya distributor game PC digital di dunia sebelom ada EGS. Ada Origin yang menjual game buatan EA, UPlay yang menjual game Ubisoft, ada juga GoG, dan buat kita warga +62, ada Garena. Ini sangat wajar. 

Yang gak wajar adalah, EGS ini suka nyolong game yang normalnya dijual di platform lain untuk dijual di platform-nya sendiri DAN platform-nya sendiri doang. Istilahnya, eksklusivitas. Meskipun game ini gak selamanya dijual di EGS doang, menurut gue ini gak adil buat distributor yang lain karena dia punya headstart sehingga dia dapet duit duluan.

Ibaratnya gini, dah. 

Fanta bikin rasa baru, Fanta rasa Boba Tea, misalnya. Kita tau kalo SEMUA produk-produk Fanta biasanya dijual di Alfamart, Indomaret, dan FamilyMart. Nah sekarang bayangin, kalo tiba-tiba Indomaret kongkalikong sama Fanta dan akhirnya Fanta Boba dijual di Indomaret DOANG selama satu bulan. Apakah itu adil buat mereka-mereka yang di komplek perumahan mereka cuma ada Alfamart ato FamilyMart? Apakah itu adil buat pihak perusahaan Alfamart dan FamilyMart? 

Gitu dah, kurang lebih. (Setau gue) gak salah sih apa yang mereka lakuin, tapi demi apapun itu nyebelin banget. Parahnya, Borderlands 3 "ditahan" di EGS bukan selama sebulan kayak perumpamaan gue tadi, tapi selama ENAM BULAN. Yes betul itu, baru bulan ini baru gue bisa nikmatin main Borderlands 3 di laptop gue, kalo semuanya lancar.

Dan itu udah pernah kejadian sebelom DAN setelah Borderlands 3 keluar. Sebelom Borderlands 3 ada Metro Exodus, dan setelah Borderlands 3 ada The Outer Worlds. 

Padahal--ini nih yang kocak--semua game Borderlands dan Metro sebelom BL3 dan Exodus ADA DI STEAM SEMUANYA. Borderlands, Borderlands 2, Borderlands: the Pre-Sequel, Metro 2033, dan Metro Last Light semuanya ada di Steam. Terus kenapa game berikutnya gak ada, padahal mereka udah rilis sejak kapan lamanya? EGS, itulah jawabannya. 

Trus yaudah, pindah ke EGS aja, susah amat. 

Idealnya sih itu, tapi kenyataannya adalah EGS adalah produk yang inferior dibandingkan dengan Steam. Salah satu yang paling gampang gue jelasin adalah di EGS kita gak bisa ngumpulin user review buat game, sehingga kita gak bisa memberikan feedback kita ke developer game yang kita mainin. Ada bug, glitch atau error yang bikin kita gak bisa mainin game kesayangan kita? Sayang sekali, kita gak bisa mengkomunikasikan uneg-uneg kita ke pihak developer di EGS. Di Steam bisa sih, hehe. Ini gue belom ngebahas fitur dasar kayak tampilan beranda tempat game dijual dan fitur perpustakaan game kita, yang mana dalam kedua bidang Steam lebih bagus dari EGS.

Satu-satunya alasan kenapa Borderlands 3 berserta beberapa game lainnya berpindah ke EGS adalah alasan paling mendasar dari semua alasan di dunia: uang. Betul itu, karena EGS mengiming-imingi para developer game dengan pembagian hasil penjualan sebanyak 88% untuk pihak developer, yang (harus gue akuin) lebih menguntungkan dari Steam dengan pembagian sebesar 70%. 

Tapi kalo gak ada yang beli game-nya di EGS gara-gara gak ada yang mau pake EGS, terus apa bedanya?

Lagian, kalo lo udah punya produk yang unggul, buat apa lo memindahkan kesetiaan lo? Belom lagi kalo produk yang satunya malah "menculik" barang kesayangan lo biar lo mau sama dia? Ya kali.

Akhir cerita, gue dan beribu-ribu kaum gamer lainnya menolak untuk pindah ke EGS. 

Tapi nampaknya Randy Pitchford gak setuju dengan keputusan kita, karena gue denger dia berantem di Twitter sama banyak penggemar Borderlands soal keputusan pindah ini. Saking serunya dia berantem, sampe dia masuk berita. Hah, dia lagi dia lagi. 

Sialnya, keputusan Randy untuk "mengunci" Borderlands 3 di EGS tetep bertahan. Gue gak bisa main Borderlands 3 di laptop gue ketika game-nya keluar. 

Tapi tenang aja, gue masih bisa main game itu di PS4. 

Eh, lo kira cuman sampe segitu doang, kontroversi-nya? 

Bahkan SETELAH game-nya rilis, BL3 teteplah sebuah game yang divisif menurut gue. Game-nya sendiri gak menghasilkan kontroversi seheboh Randy Pitchford sebelom rilisnya sih, tapi ada beberapa poin yang membuat BL3 sebuah game yang divisif menurut gue: 

Grafiknya bagus sih, jauh lebih bagus dari BL2 padahal art style-nya masih sama, tapi sesuai dengan pengalaman gue waktu PAX AU 2019, game ini gak se-smooth BL2 dari segi frame per second (FPS). Kadang-kadang ngadet, kadang-kadang lemot, dan emang pada kenyataannya FPS-nya gak selancar BL2. 

Gameplay-nya seru. Banget. Lebih cepet dan lebih eksplosif dari BL2. Bukan cuma tembak-tembakannya doang, tapi sistem skills yang dimiliki keempat karakter utama sangat beragam dan sangat berkontribusi terhadapnya serunya BL3. 

Sayangnya, story-nya dibawah Borderlands 2 dari segi kualitas. Ini bukan cuma masalah antagonis BL3 (Tyreen dan Troy Calypso) yang kurang menarik dibandingkan antagonis BL2 (Handsome Jack), tapi emang ceritanya aja kurang bagus. Banyak karakter veteran kesayangan fans yang diperlakukan secara semena-mena, sedangkan karakter yang mestinya menggantikan mereka kurang menarik atau nyebelin. Cutscenes yang canggung dan parahnya, GAK BISA DILEWATIN. 

Senjata yang jadi fitur utama Borderlands 3, banyak dapet inovasi. Penggunaan senjata dalam game lebih kreatif dan lebih bervariasi gara-gara sekarang banyak senjata yang bisa menembak dalam lebih dari satu mode. Ada senjata yang bisa nembak peluru api ATAU peluru listrik, ada senjata yang bisa nembak peluru biasa ATAU roket, dan ada senjata bisa nembak sekali (dor!) atau tiga kali sekaligus (do-do-dor!).  

Sayangnya, sistem drop senjata jadi agak ngejomplang. Senjata ULTRA-LANGKA yang gue yakin di BL2 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000,000, sekarang di BL3 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000. Dengan kata lain, lebih gampang dapet senjata langka di BL3 sekarang. Kalo kurang lebih semua senjata yang kita dapet unik, bukannya itu berarti gak ada senjata yang bener-bener unik? 

Mau gimanapun, gue tetep sayang Borderlands 3. Terlepas dari ketololan Randy Pitchford, EGS, cerita dalam game-nya, ataupun sistem loot-nya, Borderlands adalah salah satu game 2019 terseru yang pernah gue mainin. Buktinya, ketika gue mencari data Playstation tentang pola main gue, tercatat bahwa Borderlands 3 adalah game yang paling sering gue mainin tahun 2019 sebanyak 102 jam. 

Kemungkinan besar angka itu akan bertambah ketika Borderlands 3 nyampe di Steam dan akhirnya bisa gue mainin di laptop gue. Bakal agak lama sampe itu terjadi sih, karena (1) gue mau nunggu sampe harganya diskon, dan (2) dia harus ngantri barengan dua game lain yang gue wishlist di Steam, Soulcalibur 6 dan Metro Exodus. 

But until then, gue akan menunggu dan memainkan game lain yang gue punya sambil mendendangkan lagu-lagu asoy yang udah dikenalin serial game Borderlands ke gue. 

Salah satunya adalah "Let Me Live / Let Me Die" karya Des Rocs. 

Back from the dead
See, their eyes got nothing left 
Kiss me, I am the cobra 
It's killing time  

Oh let me live, oh let me live, or let me die~ 


***

Yap, kita udah sampai di penghujung. 

"Review" yang kali ini lebih pendek karena jujur aja, ini udah telat banget. Tiga bulan udah berlalu. Sebenernya apa yang gue ulas di sini udah basi, tapi gue tetep tulis aja, soalnya jari gue tetep harus gue asah. 

Untuk selanjutnya, mungkin gue akan bikin extended version dari ulasan gue tentang Game of Thrones, Star Wars, dan Marvel Cinematic Universe. Mestinya gak terlalu lama sih, orang sebagian besar dari post tersebut terdiri dari copas-an. 

Tapi untuk sekarang, inilah ulasan dua babak milik gue tentang tahun lalu, tahun 2019. 

Buat tahun 2020... astaga, terlalu banyak yang bisa dibahas. Mau mulai dari mana gue? Perang Dunia III, Kobe Bryant, dan COVID-19? Itu aja udah tiga, dan ini baru BULAN MARET. 

Ah well, kita tunggu aja sampai bulan Desember. Kalo gue gak hoki, mungkin gue akan punya 12 topik, satu buat tiap bulan, karena tiap bulan ada aja masalahnya. Emang ada-ada aja, dunia yang kita tinggali ini. 

Kalo lo udah baca sampe sini, selamat dan makasih banyak karena udah bersabar mantengin tulisan ngasal gue. 

Sampai jumpa di edisi berikutnya. 

Arriverderci! :D 

      

  







    

  





Monday, March 2, 2020

THIS IS A REVIEW - 2k19 (#1)

Ah, it's that time of the year again. 

Kembali lagi dengan gue dan year review ala-ala gue. Sama dengan year review-nya PewDiePie dari segi konsep, tapi bedanya... ya ini gue. Apa yang gue anggep menarik, bukan apa yang Felix Arvid Ulf Kjellberg anggap menarik. 

Lagian, ada apa sih dengan bawa-bawa nama Pewds terus? Emangnya dengan gue bawa-bawa nama dia, gue bakalan setenar dia, gitu? 

Ehm, anyways... 

Inilah year review gue buat tahun 2019. Tahun lalu gue bilang kata-kata semacam "here's to a great 2019!", apakah bener tahun 2019 adalah tahun yang menyenangkan buat kita sekalian? 

Let's find out. 

Bittersweet Victory

Sebuah kisah yang, kalo kita liat lagi dari sekarang, relatif kecil dan niche jika dibandingkan dengan kisah-kisah besar tahun lalu. Then again, pas kisah ini lagi booming banget, banyak warganet yang membuat meme dari kejadian ini. Anggeplah kayak kisah menjelmanya gorila Harambe menjadi sebuah meme kelas kakap. 

Alkisah, Stephen Hillenburg selaku pencipta Spongebob Squarepants meninggal tahun lalu. Tahun tahun lalu. Tahun 2018, maksudnya. Kita semua tahu itu. Gue yang pasti tau itu, karena sempet gue bahas di year review 2018 gue. Kenapa gue bawa-bawa year review 2018 punya gue sendiri. Shameless self-promotion, itulah alasannya. 

Lalu masuk 2019, tiba-tiba para penggemar Spongebob (yang sebenernya terdiri dari kurang lebih SEMUA orang berusia 19 tahun ke atas, jujur-jujuran aja nih) kepikiran sebuah ide: mereka pingin sebuah tribute buat Spongebob dimainkan di Super Bowl 2019, Super Bowl LIII. 

Bukan cuma tribute asal tribute doang, tapi tribute menggunakan segmen dari episode Spongebob yang berjudul Band Geeks. Buat yang lupa-lupa-inget, di episode tersebut Squidward berusaha bikin band Bikini Bottom yang terdiri dari Spongebob dan kawan-kawan. Tapi setelah banyaknya musibah (termasuk dua orang yang nabrak dan meledakkan sebuah pesawat zeplin), akhirnya Squidward menyerah. Namun Spongebob berhasil menggerakkan band tersebut di menit-menit terakhir dan band tersebut pada akhirnya menampilkan performance yang tidak terlupakan. Banyak orang yang menyebut performance tersebut Sweet Victory, asalnya dari nama lagu yang dinyanyikan oleh Spongebob di penampilan itu. 




Nah, penampilan terakhir termutakhir di episode tersebut berlatar di Bubble Bowl yang notabene tampangnya mirip dengan sebuah lapangan american football. Langsung aja fans Spongebob tek-tok dan menghubung-hubungkan penampilan Bubble Bowl tersebut dengan sebuah penampilan di half-time Super Bowl. Toh sama-sama di lapangan american football juga. Dan kalo bukan sekarang (as in 3 Februari 2019), gak lama setelah meninggalnya Stephen Hillenburg, kapan lagi? 

Langsunglah dibikin petisi di Change.org agar panitia Superbowl menampilkan Sweet Victory di half-time Super Bowl 2019. Tanggal 24 Desember 2018, udah lebih dari SATU JUTA tanda tangan terkumpul. Fix banget sih, ini. Belom lagi mimin Twitter Mercedes-Benz Stadium (tempat pertandingan Super Bowl 2019) nyebutin tentang petisi ini, gimana para fans Spongebob gak tambah hype? 

Lalu, tibalah tanggal 3 Februari 2019. Hari H Super Bowl 2019. Lalu lalu, tibalah half-time Super Bowl 2019, kesempatan buat Spongebob muncul. 

Dan muncullah Spongebob di layar stadion. Spongebob-nya sih muncul, tapi tidak dengan lagu Sweet Victory yang udah ditunggu-tungu khalayak ramai. 

Yang ada, 10 detik setelah muncul tokoh-tokoh Bikini Bottom di layar, muncullah... 

Travis Scott, menyanyikan Sicko Mode. 

Pada kenyataannya, Spongebob digunakan sebagai intro buat penampilan Travis Scott. Kayak kalo di bioskop sebelom filmnya ada trailer film lain, kurang lebih begitulah Spongebob buat Travis Scott. 

Needless to say, banyak penonton kecewa. Mungkin tidak dengan penonton Travis Scott, tapi satu jeti penggemar Spongebob yang udah tanda tangan di petisi Change.org tadi? Jelas kecewa. Udah di-tease sama stadion-nya, udah dia bener-bener muncul di layar... eh malah digusur sama Travis Scott. Banyak penonton Spongebob yang gagal move on dari peristiwa ini, dan lebih banyak lagi yang mengutuk panitia Super Bowl gara-gara peristiwa tersebut. 

Ya harus gue akuin, gue juga rada kecewa sama peristiwa ini. Sayang aja, pada akhirnya gue gak jadi ngeliat Spongebob beneran muncul di half-time Super Bowl. I mean, seberapa kerennya itu, coba? 

Kayak yang gue bilang tadi, banyak warganet yang menuding panitia Super Bowl telah membohongi mereka terkait tampil-gak-tampilnya Spongebob di Super Bowl 2019. Orang udah di-tease di Twitter, ditaro di layar, kenapa malah dilempar ke Travis Scott? Kalo gak niat nampilin Spongebob ya gak usah, gitu loh. Jangan setengah-setengah. Gue setuju sebagian sama pernyataan ini. 

Kenapa sebagian? Karena medsos panitia Super Bowl 2019 gak bener-bener mengumumkan kalo mereka bakal menampilkan Spongebob dan Sweet Victory-nya di half-time pertandingan tersebut. Mereka gak pernah confirm, mereka gak pernah announce secara langsung, dan mereka gak bilang spesifik kalo Sweet Victory bakal naik di half-time. Argumennya, masih bagus Spongebob bisa masuk layar meskipun cuman 10 detik doang, orang gak pernah dikonfirmasi sama panitianya sendiri. Lagian, kabarnya tribute buat Stephen Hillenburg dikasih di depan, sebelom pertandingan. Emangnya itu kurang? 

Dan buat ngebales argumen ini, gue bakal bilang kalo ini lebih dari sekadar bait-and-switch panitia dari Spongebob ke Travis Scott. 

Ini soal momentum. 

Stephen Hillenburg baru meninggal. Gak lama kemudian, Super Bowl 2019. Ada episode Spongebob yang menampilkan latar di stadion american football. Episode tersebut memorable dan terhitung sebagai salah satu episode Spongebob terbaik sepanjang masa. Ibaratnya, bintang-bintang di langit ketujuh udah segaris. Gak ada kesempatan yang lebih bagus dari ini. 

Dan... sia-sia. 

Ujung-ujungnya, gue rasa inilah yang disayangkan oleh komunitas penggemar Spongebob. Kalo beneran Sweet Victory yang naik pas Super Bowl kemaren, mereka akan punya tribute yang gak bakal terlupakan, tribute yang spesial buat karakter dan kartun kesukaan mereka, di salah satu panggung terbesar di Amerika. 

Orang selalu ngomongin penampilan Bruno Mars, Beyonce, dan Coldplay di half-time Super Bowl. Menurut gue, penggemar Spongebob ini pingin si Celana Kotak berada di antara nama-nama itu, nama-nama yang menghiasi half-time Super Bowl. 

Sayangnya, impian itu gak kesampaian. Dikesampingkan buat Travis Scott dan Maroon 5. 

Masalahnya bukan di apa yang terjadi, sih. Masalahnya terletak di apa yang BISA terjadi. 

Gue sendiri kecewa sih, tapi gue gak mau membombardir medsos panitia Super Bowl buat kontroversi ini. Mau gue spam sampe 500 DM pun, Sweet Victory gak bakal naik ke panggung Super Bowl 2019. 

Sayang aja. 

But hey, di final NHL (National Hockey League) di Dallas, Sweet Victory ditampilkan secara penuh di halftime pertandingannya. Lagunya "cuman" ditampilin di layar empat atas lapangan es-nya, tapi tetep aja ditampilin full. Publik Spongebob menangkap penampilan ini, dan langsung aja mereka berbondong-bondong berterima kasih ke panitia final NHL, terutama pihak Dallas Stars sebagai pemilik stadion final NHL. 

Jadi yah, gak ada yang sia-sia. Sebuah kemenangan buat komunitas pencinta Spongebob. 

Pahit-manis, tapi tetep aja sebuah kemenangan. 

The Tale of Two Comebacks 

Sepak bola. 

Olah raga terbaik dan terseru di dunia, tidak peduli dengan orang Amerika dengan bola basket, bola kasti, dan "sepak bola" ala-ala versi mereka.  

Tahun 2018 ada pildun. Seru banget. Mungkin pildun terseru yang pernah gue tonton. 

Tahun 2019 ada Liga Champions. Ya tiap tahun ada Liga Champions sih, tapi tahun 2019 ini lebih spesial. 

Gue tanya, kapan terakhir ceritanya ada comeback besar-besaran di Liga Champions? 

Ah, yes. 2017, Barcelona, Camp Nou. FC Barcelona lawan Paris Saint-Germain. 

Barcelona menang agregat 6-5 lawan PSG setelah kalah 0-4 di kandang PSG. Yap, mereka menang 6-1. Sampe sekarang, kemenangan 6-1 itu disebut-sebut sebagai comeback terbesar di sejarah Liga Champions. 

Di samping data dan angka yang gila-gilaan, bagaimana terjadinya comeback itu juga gak kalah menakjubkan. Bagaimana enggak, gol terakhir (yang bikin skor 5-1 jadi 6-1) terjadi di menit 90+5. Bukan menit 95 dalam artian extra time, karena PSG lagi dalam posisi unggul gara-gara gol tandang. Kalo pertandingan berakhir dengan skor 5-1, PSG-lah yang akan lolos ke babak berikutnya, gak ada babak tambahan. Jadi bisa dibayangin, betapa pentingnya gol Sergi Roberto di menit overtime-nya overtime tersebut. 

Lantas, setelah bola bersarang di belakang gawang Kevin Trapp, langsung meledaklah stadion Camp Nou. Dan untuk alasan yang bagus pula. 

Flash forward dua tahun kemudian, Liga Champions 2019. 

Terjadi lagi comeback besar-besaran. Tapi sekarang bukan hanya satu tim yang comeback. 

Oh tenang aja, rekor comeback milik Barcelona masih gak tersentuh. Dua comeback ini, meskipun terbilang besar, gak sebanding dengan comeback Barca dari segi angka. 

Dua comeback ini terjadi hampir secara bersamaan, sama-sama di babak semifinal. Benar itu, kedua tim yang comeback ini akhirnya saling berhadapan di final. 

Kedua tim tersebut adalah Liverpool dan Tottenham. 

Pertama-tama, Liverpool. 

Lawannya? 

FC Barcelona. Yap, Barca yang sama dengan Barca yang berhasil menyarangkan comeback paling mengagumkan di sepanjang sejarah Liga Champions. 

Leg pertama, Barca 3-0 Liverpool, dimainkan di Camp Nou, stadion kandang Barca. Skor 3-0 aja udah cukup buat bikin 90% tim di dunia kehilangan motivasi buat comeback di leg berikut nya. Apalagi lawan Barca? Hampir nihil rasanya tim yang bisa comeback dari kekalahan tersebut. Jangankan tim biasa, lawan abadi Barca yang dianggap satu-satunya tim di Eropa yang setara dengan Barca--Real Madrid--susah buat membalikkan keadaan dari skor 3-0 tersebut. 

Tapi ternyata, Liverpool bukan tim biasa. 

Laga kedua tentunya dimainkan di Anfield, stadion kandang Liverpool. Anfield ini dikenal sebagai... tempat yang angker. Bukan cuma karena susah buat tim lawan untuk menang di Anfield, tapi emang dari segi atmosfer nya aja udah cukup buat bikin tim lawan keder. Emang sebegitunya lah, efek dari suasana di Anfield. 

"Saking gilanya suasana di Anfield, gue susah konsentrasi selama 15-20 menit pertama." -Gianluigi Buffon 

"Gak ada stadion kayak Anfield di dunia." -Pep Guardiola 

"Gue duduk ngeliatin para pendukung Liverpool dan mereka bikin gue merinding. Massa sebanyak 40,000 orang menjadi satu buat dukung tim mereka." -Johan Cruyff

Sebelom tanggal 7 Mei 2019, awalnya gue kira Anfield adalah sebuah stadion tim besar biasa. Bener aja pasti susah menang di stadion tersebut, sama kayak susah buat menang di Camp Nou, Old Trafford, Santiago Bernabeu, dan Etihad. Tapi stadion ini gak se-LEGENDARIS itu, kan? 

And then, terjadilah tanggal 7 Mei itu. 

Liverpool menang atas Barca 4-0. 

Benar itu, Barca dengan Messi-nya digiling Jordan Henderson dkk tanpa berhasil membalas satu gol pun. 

Highlight dari pertandingan itu? Tentu saja bek sayap muda Trent Alexander-Arnold dengan permainan IQ 200-nya yang menjadi momen kunci kemenangan Liverpool atas Barca di Anfield. 

Jadi ceritanya, pas lagi corner kick, Trent mengecoh lini belakang Barca dengan pura-pura meninggalkan posisi tendangan sudutnya untuk digantiin. Namun di saat Trent ngeliat striker Divock Origi di posisi kosong--*TING!* dia langsung berbalik arah dan melepaskan umpan datar akurat ke Origi yang gak dijaga. Origi pun dengan sigapnya menyambut bola, dan terciptalah gol. 




Kubu Anfield meledak. Bergejolak. Belom lagi commentary yang mengiringi tendangan licik dan lihai milik Trent. 

"Corner taken quickly--ORIGIIIIIII!!!!!" 

Seakan-akan pendukung Liverpool pun sama kagetnya dengan kiper Marc-Andre ter Stegen ketika bola melayang ke kaki Origi. 

Bener-bener emang Trent Alexander-Arnold, bocah asal Liverpool sejati, dengan permainan 200 IQ-nya. 

Cornertakenquickly menjadi meme, Barca terkena comeback (lagi) menjadi meme, dan Liverpool sekali lagi membuktikan kalo Anfield memang beda, memang gak ada stadion kayak Anfield di muka bumi ini. 

Itu comeback pertama. 

Comeback kedua? 

Tottenham Hotspur lawan Ajax Amsterdam. 

Comeback yang berbeda dengan comeback punya Liverpool, tapi gak kalah mengagumkan. 

Di leg pertama, Spurs kalah dari Ajax 0-1 di Tottenham Hotspur Stadium. Ya bener, mereka kalah di kandang sendiri, tapi membalikkan ketertinggalan dari satu gol bukan misi bola paling susah di dunia. Ya bener, Spurs gak punya pengalaman main di Liga Champions, tapi ingat, mereka udah ngalahin Manchester City dan Dortmund untuk sampai ke semifinal. Intinya, semua orang yang udah sampai sejauh itu, mereka pantas untuk sampai ke situ. 

Leg kedua, babak pertama. Ajax unggul 2-0. Spurs harus mencetak tiga gol selama 45 menit kalo mau lolos ke final. DAN mereka gak boleh kebobolan dalam kurun waktu 45 menit tersebut. 

20 menit kemudian, 2-2. Ajax masih unggul selisih gol dan Spurs masih butuh satu gol lagi. 

Dan... well, kalo Spurs gak menang, gue gak bakal nyeritain soal comeback ini, kan? 

Gol ketiga buat Spurs tercipta di menit 90+6. 90 DITAMBAH ENAM MENIT. Padahal secara resmi menit yang ditambahkan adalah LIMA MENIT. 5. 

Ibaratnya, udah injury time-nya injury time. 

Buat gue sih, gol yang paling menentukan bukan gol terakhir Lucas Moura ke gawang kiper Andre Onana, tapi gol kedua. Bayangin: 

Fernando Llorente menyontek bola, bola ketangkis Andre Onana.

Bola mantul ke udara. 

Andre Onana berusaha mengamankan bola, tapi gagal dan bola lepas. 

Lucas Moura mencuri bola liar. 

Moura menggiring bola berputar di depan gawan, melewati dua pemain Ajax. 

Dengan posisi MEMBELAKANGI gawang, Moura berputar dan menembak ke arah gawang. Inget, dia gak liat ke gawang pas dia nembak, jadi dia gak tau bola nya tepat sasaran ato gak. 

Bola melewati kolong (!!) salah satu pemain Ajax dan dua pemain Ajax lainnya. Bola bersarang di pojok kanan gawang, jauh dari posisi Andre Onana yang udah berdiri dan siap menghadang bola. 

Lo tanya gue, itulah gol penentu malam itu. Gol yang tercipta dari kemelut, Lucas Moura yang membelut, dan situasi Ajax yang bikin pendukungnya tambah cemberut. Gol buta yang gak lepas dari hoki gila yang dimiliki Spurs malem itu. Maksud gue, sejago-jagonya Lucas Moura, kalo itu bola naik satu inci dan gagal ngolongin pemain Ajax, gol gak bakal terjadi kan? 

Setelah peluit panjang berbunyi, kedua pihak nangis. Para pemain Ajax nangis karena mereka baru di-comeback, di kandang sendiri, setelah (technically) unggul 3-0. Para pemain Spurs nangis (seenggaknya, Lucas Moura nangis) setelah mereka berhasil menang dari situasi mustahil dan UNTUK PERTAMA KALINYA lolos ke final Liga Champions. 

Final score, Ajax 2-3 Spurs. Spurs lolos ke final berkat agresivitas gol tandang. 




Inilah kisah dua comeback legendaris Liga Champions 2018/19. 

Comeback Liverpool legendaris karena lawannya. Ketika Spurs menang lawan Ajax yang belom dianggap sebagai tim raksasa Eropa, Liverpool menang lawan BARCA. Mereka punya Lionel Messi, dan 10 pemain di lapangan gak bisa dibilang tim hura-hura doang: Luis Suarez adalah salah satu striker tertajam di Eropa, Sergio Busquets salah satu pemain tengah yang paling diandalkan Barca, dan tentunya ada Marc-Andre Ter Stegen di gawang. Membalikkan keadaan dari 3-0 aja udah susah, apalagi membalikkan keadaan dari 3-0 melawan BARCA. Ditambah lagi mereka menang tanpa KEBOBOLAN SEKALIPUN meskipun ada si Messi tadi. 

Comeback Spurs legendaris karena waktu dan tempatnya. Ketika Liverpool menang lawan Barca dalam kurun waktu 90 menit, Spurs membalikkan keadaan dari ketinggalan (technically) 3-0 dalam kurun waktu 45 MENIT. DI KANDANG AJAX PULA. Gimana cara mereka bangkit dari pukulan mental setelah kalah di kandang sendiri dan ketinggalan 2-0 di kandang lawan, gue juga gak tau. Entah apa kata-kata mutiara yang bisa membangkitkan mental Christian Eriksen dkk ketika (gue yakin) mereka bisa denger fans Ajax setengah berpesta karena satu kaki mereka udah di final. Waktu dan tempat gak berpihak sama mereka, and yet somehow mereka menang. Semua gol tercipta oleh satu Lucas Moura, tapi itu semua adalah hasil kerja sama tim. 

Dan itulah, teman-teman, kisah dua comeback legendaris Liga Champions musim lalu. 

Tentu saja, kita semua tahu akhir cerita-nya: Liverpool menang atas Spurs di final, dan mereka berhasil mengangkat piala Liga Champions untuk yang keenam kalinya.  

Pertandingannya seru, tapi let's face it: kemenangan 2-0 Liverpool atas Spurs gak seberapa seru dengan kemenangan yang diraih kedua tim sebelom mereka mencapai final. 

Mau itu tendangan sudut Trent Alexander-Arnold ataupun hattrick Lucas Moura, ketika kita menonton kedua comeback tersebut--mengutip Lenny Kravitz--kita akan selalu ingat: 

It ain't over until it's over.   

Don't Forget to Stick the Landing 

2019 menandakan berakhirnya dua megaseri sinetron terkenal. 

Star Wars dan Game of Thrones. 

Pernyataan pertama tadi gak sepenuhnya bener sih. Star Wars masih ada serial The Mandalorian dan The Clone Wars yang masih seger, dan kabarnya buat Game of Thrones mau ada spin-off yang bercerita tentang keluarga Targaryen. 

But still, sebuah bagian besar dari ketiga waralaba tersebut baru aja selesai. 

Dan kalo diliat dari judul section ini, rasanya kita semua tau gue mau ngomongin apa. 

Ini adalah sebuah pelajaran tentang konsistensi. 

Star Wars dan Game of Thrones terhitung sebagai salah dua dari franchise yang paling tersohor dalam satu dekade terakhir. Khusus buat Star Wars, EMPAT dekade terakhir. Bukan cuma terkenal aja, ketiga waralaba punya nama brand dan fanbase yang sangat kuat. 

Tapi coba kita pikir: ketika kita mikir nasib mereka berdua di tahun 2019, apa yang lewat di pikiran kita? 

Antiklimaks.

Ibarat mereka udah sukses lepas landas dan terbang di udara, menulis kisah-kisah dahsyat di awan menggunakan smoke trail pesawat mereka... dan lupa cara mendarat. 

Marilah kita mulai dari Star Wars. 

Serial utama Star Wars, yang juga disebut dengan The Skywalker Saga, berakhir pada tahun 2019 dengan dirilisnya film kesembilan dan terakhir dari saga tersebut, Star Wars: The Rise of Skywalker. 




Setelah dirilis, TRoS menerima kritikan pedas dari penonton maupun kritikus film. Banyak yang mengutarakan kekecewaan mereka terhadap film tersebut terutama bagaimana saga keluarga Luke Skywalker berakhir. Banyak yang mengutuk penyelesaian berbagai plot, sub maupun main, di film tersebut.

Rey ternyata keturunan Palpatine! Rey ternyata selama ini suka sama kiloan Kylo Ren! Rey akhirnya jadi Skywalker! Palpatine masih idup! Palpatine diam-diam selama ini bikin mega-armada Empire baru di bawah lubang idung Empire yang sekarang! 

Dan biasanya, namanya juga film terakhir-akhir-AKHIR, mestinya film ini menjawab lebih banyak pertanyaan daripada membuat pertanyaan baru, kan? Well... 

Apakah Finn suka sama Rey? Kita gak bakal pernah tau! APAKAH REY SUKA SAMA FINN? Kita gak bakal tau soal itu juga! Apakah Finn sensitif terhadap The Force? Apalagi yang itu! Gimana Emperor Palpatine masih idup setelah dilempar Darth Vader ke lobang tak berujung di Episode VI? Entahlah! Gimana caranya dia bikin armada SEGEDE ITU tanpa ada satupun lalat di galaksi ini yang tau? IDK! Kenapa Luke sans-sans aja namanya dibawakan oleh Rey di penghujung film? Gimana nasib Finn, Poe, Maz, Rose, C-3PO, R2-D2, Zuri, Jannah, dan kurang lebih SEMUA TOKOH SELAIN REY di film tersebut? Nantikan di episode selanjutnya! Oh wait... 

Ngomong kayak gini, padahal sebenernya gue suka TRoS, loh. Seenggaknya, lebih suka dari The Last Jedi. 

Iya, betul itu. Gue lebih suka The Rise of Skywalker daripada The Last Jedi. 

Trilogi sekuel Star Wars baik-baik aja sebelom The Last Jedi dirilis. TLJ itu ibarat pisau yang mengiris dan melukai trilogi baru Star Wars, dan sayangnya TRoS gak punya perban, dia cuman punya tisu. Pantesan aja banyak orang gak suka, dalam usahanya untuk menutup luka tersebut, dia gagal. 

Snoke yang digadang-gadang sebagai the big baddie mati secara antiklimaks. Kylo Ren jadi baik... terus jadi jahat. Hubungan pahit-pahit-manis Kylo Ren-Rey (yang disebut dengan ReyLo di fanbase-nya) dimulai di sini. Luke Skywalker yang (mestinya) bijaksana jadi orang tua salty yang kerjaannya gak lebih dari memerah susu. Luke Skywalker adalah ALASAN Kylo Ren jadi jahat. Rose, si Rose sialan (meskipun begitu, perlakuan fans ke Kelly Marie Tran sangat kelewatan menurut gue). Subplot ke... planet kasino, ketemu terus dikhianati oleh Benicio Del Toro?? Admiral Holdo juga nyebelin. Leia ternyata seorang Jedi tak berpedang laser? 

Jadi yah, TRoS adalah sebuah usaha (gagal) untuk memperbaiki (atau menjelaskan) kerusakan yang disebabkan oleh TLJ. Tentu saja karena beban dan kewajiban TRoS lebih besar dari TLJ, dialah yang kena batunya. Memang benar kalo TRoS adalah sebuah usaha pendaratan yang gagal, tapi pesawat udah mulai ilang kendali sejak TLJ. 

Itulah sedikit rant gue tentang Star Wars. 

Sekarang lanjut, season terakhir Game of Thrones. 




Gue cuman nonton mulai Season 6 sih, tapi gue bisa bilang ini: 

Semuanya berubah saat Negara Api menyerang Arya membunuh The Night King. 

Selalu ada titik balik. Kalo Star Wars, turun sejak The Last Jedi. Kalo Game of Thrones, turun sejak episode The Long Night. 

Ya bayangin aja: invasi pasukan zombie The Night King beratus-ratus kali lipat lebih berbahaya dari pasukan Cersei yang berkutat di Kings' Landing. Peluang Jon Snow dkk untuk menang--jangankan menang, SELAMAT--dari pasukan ini sangat kecil. Belom lagi ini Game of Thrones dikenal sebagai sebuah serial TV yang gak kenal plot armor: siapapun lo, mau lo tokoh utama, sampingan, peramai, ataupun kameo, bisa mati kapan aja. Contoh paling kentara: Ned Stark. Ah, Sean Bean yang malang. 

Kalopun para pemain utama selamat dari The Long Night, korban jiwa tokoh sampingan (idealnya) banyak. Minimal enam orang mati. 

Kemudian datanglah hari-H. Gimana hasilnya? 

Korban jiwa: tiga (!!) tokoh utama: Theon Greyjoy, Jorah Mormont, dan Lyanna Mormont. Pihak Jon Snow menang (!!?) karena Arya Stark dalam satu malam berubah menjadi Solid Snake, David Belle, dan The Winter Soldier digabung menjadi satu. 

Oh jangan salah, gue seneng banget pas Arya memindahkan pisau ke tangan kanannya lalu membunuh si Night King. Gue sampe  teriak-teriak "WHAT DO WE SAY TO THE GOD OF DEATH?! NOT TODAY!!" pas gue liat tu adegan. 

Tapi pas gue nyadar kalo adegan deus ex machina tersebut terjadi di serial Game of Thrones, sebuah serial TV yang 'mengharamkan' deus ex machina, gue tersadar dan mikir: "oh shit." 

Lalu stagnan dan stabil sampai episode ngebom berikutnya, The Bells. 

Episode The Bells bisa disimpulkan sebagai berikut: sebuah episode dimana cuma Jon Snow dan Davos Seaworth yang punya akal sehat. 

Eh seriusan, gue gak ngejek Daenerys tolol ato gimana, tapi emang setelah lonceng berbunyi, dia dilalap amarah yang begitu dahsyatnya, dia meninggalkan akal sehat dan langsung menggoreng satu kota King's Landing. Jadi irasional lah, istilahnya. Gak salah toh, kalo dia emang gak pake akal sehat selama kejadian itu? Begitupun dengan Gray Worm, pasukan Unsullied-nya, dan beberapa pasukan dari Utara milik Jon Snow. Begitu mereka sadar gak ada yang namanya hukum Konvensi Geneva di Game of Thrones, mereka langsung jadi barbar. 

Ya bukan karena ketiadaan Konvensi Geneva juga sih, tapi emang pada kenyataannya, mereka juga menanggalkan akal sehat barengan Daenerys. 

Sebagai hasil dari penggorengan massal Daenerys dan Drogon-nya, Cersei dan Jaime Lannister tewas. Kekubur. Agak antiklimaks, ya nggak sih? Cersei udah dengan keren-kerennya menyombongkan kekuatan pasukannya sebelom episode tersebut, belom lagi bantuan yang dia dapet dari The Golden Company (yang gosong lebih cepet dari arang sate, btw), eh dia kalah begitu aja. Gak ada taktik tersembunyi, ballista antinaga yang udah dia gembor-gemborkan gak kepake sama sekali, dan pertahanannya dilindas kayak pertahanan timnas bola Brazil dilindas Jerman tahun 2014. 

Udah gitu dia matinya ya... ya udah. Ketiban. Kekubur. Kena reruntuhan. Dia udah setara antagonis terakhir-khir-khir di serial Game of Thrones, lo pasti mikir kita bakal puas dengan kematiannya kayak kita puas dengan kematian Ramsay Bolton but NOPE. Gak ada konfrontasi terakhir dengan Daenerys, dengan Jon, dengan Arya, dengan Jaime, dengan Sansa, gak ada. Oke mungkin secara teknis dia ADA konfrontasi terakhir dengan Jaime Lannister, tapi... udah? Gitu aja? 

Mungkin itu kali ya, pesan yang ingin disampaikan oleh serial ini. Jangankan sebuah akhir yang bahagia, akhir yang SETIDAKNYA AGAK SEDIKIT MEMUASKAN gak kita dapat. Emang itulah kenyataan hidup ini, dan emang itulah kenyataan serial Game of Thrones. Ned Stark mati. Rob Stark dan keluarganya dibantai. Dan dalang dari semua kemalangan itu? Matinya ya... gitu aja. Emang itulah Game of Thrones, kadang kita gak bisa dapet semua yang kita inginkan, mau itu keselamatan tokoh yang kita sayang ataupun dendam kesumat yang menembus liang kubur mereka. 

Episode terakhir istilahnya cuma krim dan buah ceri. Bran Stark jadi raja? Ya sudahlah ya, lo gak bisa merusak apa yang udah rusak. Di titik ini, banyak penggemar berat Game of Thrones udah kehilangan kesabaran dan kepercayaan mereka terhadap serial ini, so why not? Sekalian aja. 

Rasanya gue beruntung gue gak punya attachment sebesar itu ke GoT. Selama jalannya season terakhir, gue emang campur aduk, tapi gue selalu bisa mundur dan bilang, "Serial ini tetep seru, kok." Mungkin itu gara-gara gue gak nonton dari season satu. Mungkin karena gue mulai telat, baru dari season 6. 

Mungkin itu kali ya, perasaan orang yang nonton bola tapi gak dukung satupun dua tim yang lagi bertanding. Kita bisa appreciate, kita bisa tau kalo ada yang salah, tapi gak pernah kepikiran oleh kita untuk menyalahkan wasit, pemain, ataupun taktik manager dalam pertandingan. 

Ya bener, di atas gue udah menyuarakan kekecewaan gue atas season terakhir GoT. Tapi apakah gue akan menandatangani--atau bahkan mendukung--petisi yang menyuruh para produser membuat ulang season 8? Haha, kagak bakal. 

It is what it is. 

Tadinya gue mau ngebahas Infinity Saga-nya Marvel Cinematic Universe sebagai perbandingan, tapi sayangnya kita udah kepanjangan di sini. Kalo nambah cerita soal akhir kisah (dan hidup) Tony Stark, bakal tambah panjang lagi section ini, saking panjangnya bisa jadi blog post sendiri. 

Jadi cukup di sini sajalah. Suatu hari, gue bakal bikin extended version dari section ini yang nambah perbandingan dengan MCU. 

Suatu hari. 

Buat sekarang, ini adalah pelajaran tentang konsistensi. Dua serial yang mulai gemilang, sukses membangun cerita, dunia latar, dan fanbase yang luar biasa, namun akhirnya gagal mendarat. Yang tersisa adalah kekecewaan dari mereka yang bersedia mengikuti perjalanan dua serial ini sebagai penggemar. 

Sebuah pelajaran, kalo penghujung jalan adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Part of the journey is the end, begitulah kata Tony Stark (sebuah kebetulan, hmmm). Sekeren-kerennya perjalanan sebuah cerita, akhir cerita itu sendiri gak boleh dilupakan. Ingat, sama halnya dengan kesan pertama, kesan terakhir juga sangat menentukan kenangan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. 

Gue jadi inget nasihat terakhir tokoh Papa Rudy ke ahli jalan tali Philippe Petit di film The Walk (2015). Bahwa ketika mereka udah mau sampai di ujung tali, kebanyakan ahli jalan tali ini suka lupa, kalo mereka sebenarnya BELOM SAMPAI. Bahwa sedeket-deketnya mereka dengan ujung tali, mereka ini MASIH DI ATAS TALI. 

"Most wire walkers, they die when they arrive. They think they have arrived, but they are still on the wire.

If you have three steps to do, and if you do those steps arrogantly, if you think you are invincible, you are going to die."

Gila, emang The Walk itu underrated banget bagusnya.  


*** 

Tenang saja kawan-kawan, masih ada part 2-nya. 

Buat sekarang, ini aja dulu bahasan gue tentang 2019, dan apa yang menarik menurut gue. 

Tapi sebelom part 2-nya keluar, gue cuman bisa bilang makasih, dan 

arriverderci! :D

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...