Ah, it's that time of the year again.
Kembali lagi dengan gue dan year review ala-ala gue. Sama dengan year review-nya PewDiePie dari segi konsep, tapi bedanya... ya ini gue. Apa yang gue anggep menarik, bukan apa yang Felix Arvid Ulf Kjellberg anggap menarik.
Lagian, ada apa sih dengan bawa-bawa nama Pewds terus? Emangnya dengan gue bawa-bawa nama dia, gue bakalan setenar dia, gitu?
Ehm, anyways...
Inilah year review gue buat tahun 2019. Tahun lalu gue bilang kata-kata semacam "here's to a great 2019!", apakah bener tahun 2019 adalah tahun yang menyenangkan buat kita sekalian?
Let's find out.
Bittersweet Victory
Sebuah kisah yang, kalo kita liat lagi dari sekarang, relatif kecil dan niche jika dibandingkan dengan kisah-kisah besar tahun lalu. Then again, pas kisah ini lagi booming banget, banyak warganet yang membuat meme dari kejadian ini. Anggeplah kayak kisah menjelmanya gorila Harambe menjadi sebuah meme kelas kakap.
Alkisah, Stephen Hillenburg selaku pencipta Spongebob Squarepants meninggal tahun lalu. Tahun tahun lalu. Tahun 2018, maksudnya. Kita semua tahu itu. Gue yang pasti tau itu, karena sempet gue bahas di year review 2018 gue. Kenapa gue bawa-bawa year review 2018 punya gue sendiri. Shameless self-promotion, itulah alasannya.
Lalu masuk 2019, tiba-tiba para penggemar Spongebob (yang sebenernya terdiri dari kurang lebih SEMUA orang berusia 19 tahun ke atas, jujur-jujuran aja nih) kepikiran sebuah ide: mereka pingin sebuah tribute buat Spongebob dimainkan di Super Bowl 2019, Super Bowl LIII.
Bukan cuma tribute asal tribute doang, tapi tribute menggunakan segmen dari episode Spongebob yang berjudul Band Geeks. Buat yang lupa-lupa-inget, di episode tersebut Squidward berusaha bikin band Bikini Bottom yang terdiri dari Spongebob dan kawan-kawan. Tapi setelah banyaknya musibah (termasuk dua orang yang nabrak dan meledakkan sebuah pesawat zeplin), akhirnya Squidward menyerah. Namun Spongebob berhasil menggerakkan band tersebut di menit-menit terakhir dan band tersebut pada akhirnya menampilkan performance yang tidak terlupakan. Banyak orang yang menyebut performance tersebut Sweet Victory, asalnya dari nama lagu yang dinyanyikan oleh Spongebob di penampilan itu.
Nah, penampilan terakhir termutakhir di episode tersebut berlatar di Bubble Bowl yang notabene tampangnya mirip dengan sebuah lapangan american football. Langsung aja fans Spongebob tek-tok dan menghubung-hubungkan penampilan Bubble Bowl tersebut dengan sebuah penampilan di half-time Super Bowl. Toh sama-sama di lapangan american football juga. Dan kalo bukan sekarang (as in 3 Februari 2019), gak lama setelah meninggalnya Stephen Hillenburg, kapan lagi?
Langsunglah dibikin petisi di Change.org agar panitia Superbowl menampilkan Sweet Victory di half-time Super Bowl 2019. Tanggal 24 Desember 2018, udah lebih dari SATU JUTA tanda tangan terkumpul. Fix banget sih, ini. Belom lagi mimin Twitter Mercedes-Benz Stadium (tempat pertandingan Super Bowl 2019) nyebutin tentang petisi ini, gimana para fans Spongebob gak tambah hype?
Lalu, tibalah tanggal 3 Februari 2019. Hari H Super Bowl 2019. Lalu lalu, tibalah half-time Super Bowl 2019, kesempatan buat Spongebob muncul.
Dan muncullah Spongebob di layar stadion. Spongebob-nya sih muncul, tapi tidak dengan lagu Sweet Victory yang udah ditunggu-tungu khalayak ramai.
Yang ada, 10 detik setelah muncul tokoh-tokoh Bikini Bottom di layar, muncullah...
Travis Scott, menyanyikan Sicko Mode.
Pada kenyataannya, Spongebob digunakan sebagai intro buat penampilan Travis Scott. Kayak kalo di bioskop sebelom filmnya ada trailer film lain, kurang lebih begitulah Spongebob buat Travis Scott.
Needless to say, banyak penonton kecewa. Mungkin tidak dengan penonton Travis Scott, tapi satu jeti penggemar Spongebob yang udah tanda tangan di petisi Change.org tadi? Jelas kecewa. Udah di-tease sama stadion-nya, udah dia bener-bener muncul di layar... eh malah digusur sama Travis Scott. Banyak penonton Spongebob yang gagal move on dari peristiwa ini, dan lebih banyak lagi yang mengutuk panitia Super Bowl gara-gara peristiwa tersebut.
Ya harus gue akuin, gue juga rada kecewa sama peristiwa ini. Sayang aja, pada akhirnya gue gak jadi ngeliat Spongebob beneran muncul di half-time Super Bowl. I mean, seberapa kerennya itu, coba?
Kayak yang gue bilang tadi, banyak warganet yang menuding panitia Super Bowl telah membohongi mereka terkait tampil-gak-tampilnya Spongebob di Super Bowl 2019. Orang udah di-tease di Twitter, ditaro di layar, kenapa malah dilempar ke Travis Scott? Kalo gak niat nampilin Spongebob ya gak usah, gitu loh. Jangan setengah-setengah. Gue setuju sebagian sama pernyataan ini.
Kenapa sebagian? Karena medsos panitia Super Bowl 2019 gak bener-bener mengumumkan kalo mereka bakal menampilkan Spongebob dan Sweet Victory-nya di half-time pertandingan tersebut. Mereka gak pernah confirm, mereka gak pernah announce secara langsung, dan mereka gak bilang spesifik kalo Sweet Victory bakal naik di half-time. Argumennya, masih bagus Spongebob bisa masuk layar meskipun cuman 10 detik doang, orang gak pernah dikonfirmasi sama panitianya sendiri. Lagian, kabarnya tribute buat Stephen Hillenburg dikasih di depan, sebelom pertandingan. Emangnya itu kurang?
Dan buat ngebales argumen ini, gue bakal bilang kalo ini lebih dari sekadar bait-and-switch panitia dari Spongebob ke Travis Scott.
Ini soal momentum.
Stephen Hillenburg baru meninggal. Gak lama kemudian, Super Bowl 2019. Ada episode Spongebob yang menampilkan latar di stadion american football. Episode tersebut memorable dan terhitung sebagai salah satu episode Spongebob terbaik sepanjang masa. Ibaratnya, bintang-bintang di langit ketujuh udah segaris. Gak ada kesempatan yang lebih bagus dari ini.
Dan... sia-sia.
Ujung-ujungnya, gue rasa inilah yang disayangkan oleh komunitas penggemar Spongebob. Kalo beneran Sweet Victory yang naik pas Super Bowl kemaren, mereka akan punya tribute yang gak bakal terlupakan, tribute yang spesial buat karakter dan kartun kesukaan mereka, di salah satu panggung terbesar di Amerika.
Orang selalu ngomongin penampilan Bruno Mars, Beyonce, dan Coldplay di half-time Super Bowl. Menurut gue, penggemar Spongebob ini pingin si Celana Kotak berada di antara nama-nama itu, nama-nama yang menghiasi half-time Super Bowl.
Sayangnya, impian itu gak kesampaian. Dikesampingkan buat Travis Scott dan Maroon 5.
Masalahnya bukan di apa yang terjadi, sih. Masalahnya terletak di apa yang BISA terjadi.
Gue sendiri kecewa sih, tapi gue gak mau membombardir medsos panitia Super Bowl buat kontroversi ini. Mau gue spam sampe 500 DM pun, Sweet Victory gak bakal naik ke panggung Super Bowl 2019.
Sayang aja.
But hey, di final NHL (National Hockey League) di Dallas, Sweet Victory ditampilkan secara penuh di halftime pertandingannya. Lagunya "cuman" ditampilin di layar empat atas lapangan es-nya, tapi tetep aja ditampilin full. Publik Spongebob menangkap penampilan ini, dan langsung aja mereka berbondong-bondong berterima kasih ke panitia final NHL, terutama pihak Dallas Stars sebagai pemilik stadion final NHL.
Jadi yah, gak ada yang sia-sia. Sebuah kemenangan buat komunitas pencinta Spongebob.
Pahit-manis, tapi tetep aja sebuah kemenangan.
The Tale of Two Comebacks
Sepak bola.
Olah raga terbaik dan terseru di dunia, tidak peduli dengan orang Amerika dengan bola basket, bola kasti, dan "sepak bola" ala-ala versi mereka.
Tahun 2018 ada pildun. Seru banget. Mungkin pildun terseru yang pernah gue tonton.
Tahun 2019 ada Liga Champions. Ya tiap tahun ada Liga Champions sih, tapi tahun 2019 ini lebih spesial.
Gue tanya, kapan terakhir ceritanya ada comeback besar-besaran di Liga Champions?
Ah, yes. 2017, Barcelona, Camp Nou. FC Barcelona lawan Paris Saint-Germain.
Barcelona menang agregat 6-5 lawan PSG setelah kalah 0-4 di kandang PSG. Yap, mereka menang 6-1. Sampe sekarang, kemenangan 6-1 itu disebut-sebut sebagai comeback terbesar di sejarah Liga Champions.
Di samping data dan angka yang gila-gilaan, bagaimana terjadinya comeback itu juga gak kalah menakjubkan. Bagaimana enggak, gol terakhir (yang bikin skor 5-1 jadi 6-1) terjadi di menit 90+5. Bukan menit 95 dalam artian extra time, karena PSG lagi dalam posisi unggul gara-gara gol tandang. Kalo pertandingan berakhir dengan skor 5-1, PSG-lah yang akan lolos ke babak berikutnya, gak ada babak tambahan. Jadi bisa dibayangin, betapa pentingnya gol Sergi Roberto di menit overtime-nya overtime tersebut.
Lantas, setelah bola bersarang di belakang gawang Kevin Trapp, langsung meledaklah stadion Camp Nou. Dan untuk alasan yang bagus pula.
Flash forward dua tahun kemudian, Liga Champions 2019.
Terjadi lagi comeback besar-besaran. Tapi sekarang bukan hanya satu tim yang comeback.
Oh tenang aja, rekor comeback milik Barcelona masih gak tersentuh. Dua comeback ini, meskipun terbilang besar, gak sebanding dengan comeback Barca dari segi angka.
Dua comeback ini terjadi hampir secara bersamaan, sama-sama di babak semifinal. Benar itu, kedua tim yang comeback ini akhirnya saling berhadapan di final.
Kedua tim tersebut adalah Liverpool dan Tottenham.
Pertama-tama, Liverpool.
Lawannya?
FC Barcelona. Yap, Barca yang sama dengan Barca yang berhasil menyarangkan comeback paling mengagumkan di sepanjang sejarah Liga Champions.
Leg pertama, Barca 3-0 Liverpool, dimainkan di Camp Nou, stadion kandang Barca. Skor 3-0 aja udah cukup buat bikin 90% tim di dunia kehilangan motivasi buat comeback di leg berikut nya. Apalagi lawan Barca? Hampir nihil rasanya tim yang bisa comeback dari kekalahan tersebut. Jangankan tim biasa, lawan abadi Barca yang dianggap satu-satunya tim di Eropa yang setara dengan Barca--Real Madrid--susah buat membalikkan keadaan dari skor 3-0 tersebut.
Tapi ternyata, Liverpool bukan tim biasa.
Laga kedua tentunya dimainkan di Anfield, stadion kandang Liverpool. Anfield ini dikenal sebagai... tempat yang angker. Bukan cuma karena susah buat tim lawan untuk menang di Anfield, tapi emang dari segi atmosfer nya aja udah cukup buat bikin tim lawan keder. Emang sebegitunya lah, efek dari suasana di Anfield.
"Saking gilanya suasana di Anfield, gue susah konsentrasi selama 15-20 menit pertama." -Gianluigi Buffon
"Gak ada stadion kayak Anfield di dunia." -Pep Guardiola
"Gue duduk ngeliatin para pendukung Liverpool dan mereka bikin gue merinding. Massa sebanyak 40,000 orang menjadi satu buat dukung tim mereka." -Johan Cruyff
Sebelom tanggal 7 Mei 2019, awalnya gue kira Anfield adalah sebuah stadion tim besar biasa. Bener aja pasti susah menang di stadion tersebut, sama kayak susah buat menang di Camp Nou, Old Trafford, Santiago Bernabeu, dan Etihad. Tapi stadion ini gak se-LEGENDARIS itu, kan?
And then, terjadilah tanggal 7 Mei itu.
Liverpool menang atas Barca 4-0.
Benar itu, Barca dengan Messi-nya digiling Jordan Henderson dkk tanpa berhasil membalas satu gol pun.
Highlight dari pertandingan itu? Tentu saja bek sayap muda Trent Alexander-Arnold dengan permainan IQ 200-nya yang menjadi momen kunci kemenangan Liverpool atas Barca di Anfield.
Jadi ceritanya, pas lagi corner kick, Trent mengecoh lini belakang Barca dengan pura-pura meninggalkan posisi tendangan sudutnya untuk digantiin. Namun di saat Trent ngeliat striker Divock Origi di posisi kosong--*TING!* dia langsung berbalik arah dan melepaskan umpan datar akurat ke Origi yang gak dijaga. Origi pun dengan sigapnya menyambut bola, dan terciptalah gol.
Kubu Anfield meledak. Bergejolak. Belom lagi commentary yang mengiringi tendangan licik dan lihai milik Trent.
"Corner taken quickly--ORIGIIIIIII!!!!!"
Seakan-akan pendukung Liverpool pun sama kagetnya dengan kiper Marc-Andre ter Stegen ketika bola melayang ke kaki Origi.
Bener-bener emang Trent Alexander-Arnold, bocah asal Liverpool sejati, dengan permainan 200 IQ-nya.
Cornertakenquickly menjadi meme, Barca terkena comeback (lagi) menjadi meme, dan Liverpool sekali lagi membuktikan kalo Anfield memang beda, memang gak ada stadion kayak Anfield di muka bumi ini.
Itu comeback pertama.
Comeback kedua?
Tottenham Hotspur lawan Ajax Amsterdam.
Comeback yang berbeda dengan comeback punya Liverpool, tapi gak kalah mengagumkan.
Di leg pertama, Spurs kalah dari Ajax 0-1 di Tottenham Hotspur Stadium. Ya bener, mereka kalah di kandang sendiri, tapi membalikkan ketertinggalan dari satu gol bukan misi bola paling susah di dunia. Ya bener, Spurs gak punya pengalaman main di Liga Champions, tapi ingat, mereka udah ngalahin Manchester City dan Dortmund untuk sampai ke semifinal. Intinya, semua orang yang udah sampai sejauh itu, mereka pantas untuk sampai ke situ.
Leg kedua, babak pertama. Ajax unggul 2-0. Spurs harus mencetak tiga gol selama 45 menit kalo mau lolos ke final. DAN mereka gak boleh kebobolan dalam kurun waktu 45 menit tersebut.
20 menit kemudian, 2-2. Ajax masih unggul selisih gol dan Spurs masih butuh satu gol lagi.
Dan... well, kalo Spurs gak menang, gue gak bakal nyeritain soal comeback ini, kan?
Gol ketiga buat Spurs tercipta di menit 90+6. 90 DITAMBAH ENAM MENIT. Padahal secara resmi menit yang ditambahkan adalah LIMA MENIT. 5.
Ibaratnya, udah injury time-nya injury time.
Buat gue sih, gol yang paling menentukan bukan gol terakhir Lucas Moura ke gawang kiper Andre Onana, tapi gol kedua. Bayangin:
Fernando Llorente menyontek bola, bola ketangkis Andre Onana.
Bola mantul ke udara.
Andre Onana berusaha mengamankan bola, tapi gagal dan bola lepas.
Lucas Moura mencuri bola liar.
Moura menggiring bola berputar di depan gawan, melewati dua pemain Ajax.
Dengan posisi MEMBELAKANGI gawang, Moura berputar dan menembak ke arah gawang. Inget, dia gak liat ke gawang pas dia nembak, jadi dia gak tau bola nya tepat sasaran ato gak.
Bola melewati kolong (!!) salah satu pemain Ajax dan dua pemain Ajax lainnya. Bola bersarang di pojok kanan gawang, jauh dari posisi Andre Onana yang udah berdiri dan siap menghadang bola.
Lo tanya gue, itulah gol penentu malam itu. Gol yang tercipta dari kemelut, Lucas Moura yang membelut, dan situasi Ajax yang bikin pendukungnya tambah cemberut. Gol buta yang gak lepas dari hoki gila yang dimiliki Spurs malem itu. Maksud gue, sejago-jagonya Lucas Moura, kalo itu bola naik satu inci dan gagal ngolongin pemain Ajax, gol gak bakal terjadi kan?
Setelah peluit panjang berbunyi, kedua pihak nangis. Para pemain Ajax nangis karena mereka baru di-comeback, di kandang sendiri, setelah (technically) unggul 3-0. Para pemain Spurs nangis (seenggaknya, Lucas Moura nangis) setelah mereka berhasil menang dari situasi mustahil dan UNTUK PERTAMA KALINYA lolos ke final Liga Champions.
Final score, Ajax 2-3 Spurs. Spurs lolos ke final berkat agresivitas gol tandang.
Inilah kisah dua comeback legendaris Liga Champions 2018/19.
Comeback Liverpool legendaris karena lawannya. Ketika Spurs menang lawan Ajax yang belom dianggap sebagai tim raksasa Eropa, Liverpool menang lawan BARCA. Mereka punya Lionel Messi, dan 10 pemain di lapangan gak bisa dibilang tim hura-hura doang: Luis Suarez adalah salah satu striker tertajam di Eropa, Sergio Busquets salah satu pemain tengah yang paling diandalkan Barca, dan tentunya ada Marc-Andre Ter Stegen di gawang. Membalikkan keadaan dari 3-0 aja udah susah, apalagi membalikkan keadaan dari 3-0 melawan BARCA. Ditambah lagi mereka menang tanpa KEBOBOLAN SEKALIPUN meskipun ada si Messi tadi.
Comeback Spurs legendaris karena waktu dan tempatnya. Ketika Liverpool menang lawan Barca dalam kurun waktu 90 menit, Spurs membalikkan keadaan dari ketinggalan (technically) 3-0 dalam kurun waktu 45 MENIT. DI KANDANG AJAX PULA. Gimana cara mereka bangkit dari pukulan mental setelah kalah di kandang sendiri dan ketinggalan 2-0 di kandang lawan, gue juga gak tau. Entah apa kata-kata mutiara yang bisa membangkitkan mental Christian Eriksen dkk ketika (gue yakin) mereka bisa denger fans Ajax setengah berpesta karena satu kaki mereka udah di final. Waktu dan tempat gak berpihak sama mereka, and yet somehow mereka menang. Semua gol tercipta oleh satu Lucas Moura, tapi itu semua adalah hasil kerja sama tim.
Dan itulah, teman-teman, kisah dua comeback legendaris Liga Champions musim lalu.
Tentu saja, kita semua tahu akhir cerita-nya: Liverpool menang atas Spurs di final, dan mereka berhasil mengangkat piala Liga Champions untuk yang keenam kalinya.
Pertandingannya seru, tapi let's face it: kemenangan 2-0 Liverpool atas Spurs gak seberapa seru dengan kemenangan yang diraih kedua tim sebelom mereka mencapai final.
Mau itu tendangan sudut Trent Alexander-Arnold ataupun hattrick Lucas Moura, ketika kita menonton kedua comeback tersebut--mengutip Lenny Kravitz--kita akan selalu ingat:
It ain't over until it's over.
Don't Forget to Stick the Landing
2019 menandakan berakhirnya dua megaseri sinetron terkenal.
Star Wars dan Game of Thrones.
Pernyataan pertama tadi gak sepenuhnya bener sih. Star Wars masih ada serial The Mandalorian dan The Clone Wars yang masih seger, dan kabarnya buat Game of Thrones mau ada spin-off yang bercerita tentang keluarga Targaryen.
But still, sebuah bagian besar dari ketiga waralaba tersebut baru aja selesai.
Dan kalo diliat dari judul section ini, rasanya kita semua tau gue mau ngomongin apa.
Ini adalah sebuah pelajaran tentang konsistensi.
Star Wars dan Game of Thrones terhitung sebagai salah dua dari franchise yang paling tersohor dalam satu dekade terakhir. Khusus buat Star Wars, EMPAT dekade terakhir. Bukan cuma terkenal aja, ketiga waralaba punya nama brand dan fanbase yang sangat kuat.
Tapi coba kita pikir: ketika kita mikir nasib mereka berdua di tahun 2019, apa yang lewat di pikiran kita?
Antiklimaks.
Ibarat mereka udah sukses lepas landas dan terbang di udara, menulis kisah-kisah dahsyat di awan menggunakan smoke trail pesawat mereka... dan lupa cara mendarat.
Marilah kita mulai dari Star Wars.
Serial utama Star Wars, yang juga disebut dengan The Skywalker Saga, berakhir pada tahun 2019 dengan dirilisnya film kesembilan dan terakhir dari saga tersebut, Star Wars: The Rise of Skywalker.
Setelah dirilis, TRoS menerima kritikan pedas dari penonton maupun kritikus film. Banyak yang mengutarakan kekecewaan mereka terhadap film tersebut terutama bagaimana saga keluarga Luke Skywalker berakhir. Banyak yang mengutuk penyelesaian berbagai plot, sub maupun main, di film tersebut.
Rey ternyata keturunan Palpatine! Rey ternyata selama ini suka sama kiloan Kylo Ren! Rey akhirnya jadi Skywalker! Palpatine masih idup! Palpatine diam-diam selama ini bikin mega-armada Empire baru di bawah lubang idung Empire yang sekarang!
Dan biasanya, namanya juga film terakhir-akhir-AKHIR, mestinya film ini menjawab lebih banyak pertanyaan daripada membuat pertanyaan baru, kan? Well...
Apakah Finn suka sama Rey? Kita gak bakal pernah tau! APAKAH REY SUKA SAMA FINN? Kita gak bakal tau soal itu juga! Apakah Finn sensitif terhadap The Force? Apalagi yang itu! Gimana Emperor Palpatine masih idup setelah dilempar Darth Vader ke lobang tak berujung di Episode VI? Entahlah! Gimana caranya dia bikin armada SEGEDE ITU tanpa ada satupun lalat di galaksi ini yang tau? IDK! Kenapa Luke sans-sans aja namanya dibawakan oleh Rey di penghujung film? Gimana nasib Finn, Poe, Maz, Rose, C-3PO, R2-D2, Zuri, Jannah, dan kurang lebih SEMUA TOKOH SELAIN REY di film tersebut? Nantikan di episode selanjutnya! Oh wait...
Ngomong kayak gini, padahal sebenernya gue suka TRoS, loh. Seenggaknya, lebih suka dari The Last Jedi.
Iya, betul itu. Gue lebih suka The Rise of Skywalker daripada The Last Jedi.
Trilogi sekuel Star Wars baik-baik aja sebelom The Last Jedi dirilis. TLJ itu ibarat pisau yang mengiris dan melukai trilogi baru Star Wars, dan sayangnya TRoS gak punya perban, dia cuman punya tisu. Pantesan aja banyak orang gak suka, dalam usahanya untuk menutup luka tersebut, dia gagal.
Snoke yang digadang-gadang sebagai the big baddie mati secara antiklimaks. Kylo Ren jadi baik... terus jadi jahat. Hubungan pahit-pahit-manis Kylo Ren-Rey (yang disebut dengan ReyLo di fanbase-nya) dimulai di sini. Luke Skywalker yang (mestinya) bijaksana jadi orang tua salty yang kerjaannya gak lebih dari memerah susu. Luke Skywalker adalah ALASAN Kylo Ren jadi jahat. Rose, si Rose sialan (meskipun begitu, perlakuan fans ke Kelly Marie Tran sangat kelewatan menurut gue). Subplot ke... planet kasino, ketemu terus dikhianati oleh Benicio Del Toro?? Admiral Holdo juga nyebelin. Leia ternyata seorang Jedi tak berpedang laser?
Jadi yah, TRoS adalah sebuah usaha (gagal) untuk memperbaiki (atau menjelaskan) kerusakan yang disebabkan oleh TLJ. Tentu saja karena beban dan kewajiban TRoS lebih besar dari TLJ, dialah yang kena batunya. Memang benar kalo TRoS adalah sebuah usaha pendaratan yang gagal, tapi pesawat udah mulai ilang kendali sejak TLJ.
Itulah sedikit rant gue tentang Star Wars.
Sekarang lanjut, season terakhir Game of Thrones.
Gue cuman nonton mulai Season 6 sih, tapi gue bisa bilang ini:
Semuanya berubah saat Negara Api menyerang Arya membunuh The Night King.
Selalu ada titik balik. Kalo Star Wars, turun sejak The Last Jedi. Kalo Game of Thrones, turun sejak episode The Long Night.
Ya bayangin aja: invasi pasukan zombie The Night King beratus-ratus kali lipat lebih berbahaya dari pasukan Cersei yang berkutat di Kings' Landing. Peluang Jon Snow dkk untuk menang--jangankan menang, SELAMAT--dari pasukan ini sangat kecil. Belom lagi ini Game of Thrones dikenal sebagai sebuah serial TV yang gak kenal plot armor: siapapun lo, mau lo tokoh utama, sampingan, peramai, ataupun kameo, bisa mati kapan aja. Contoh paling kentara: Ned Stark. Ah, Sean Bean yang malang.
Kalopun para pemain utama selamat dari The Long Night, korban jiwa tokoh sampingan (idealnya) banyak. Minimal enam orang mati.
Kemudian datanglah hari-H. Gimana hasilnya?
Korban jiwa: tiga (!!) tokoh utama: Theon Greyjoy, Jorah Mormont, dan Lyanna Mormont. Pihak Jon Snow menang (!!?) karena Arya Stark dalam satu malam berubah menjadi Solid Snake, David Belle, dan The Winter Soldier digabung menjadi satu.
Oh jangan salah, gue seneng banget pas Arya memindahkan pisau ke tangan kanannya lalu membunuh si Night King. Gue sampe teriak-teriak "WHAT DO WE SAY TO THE GOD OF DEATH?! NOT TODAY!!" pas gue liat tu adegan.
Tapi pas gue nyadar kalo adegan deus ex machina tersebut terjadi di serial Game of Thrones, sebuah serial TV yang 'mengharamkan' deus ex machina, gue tersadar dan mikir: "oh shit."
Lalu stagnan dan stabil sampai episode ngebom berikutnya, The Bells.
Episode The Bells bisa disimpulkan sebagai berikut: sebuah episode dimana cuma Jon Snow dan Davos Seaworth yang punya akal sehat.
Eh seriusan, gue gak ngejek Daenerys tolol ato gimana, tapi emang setelah lonceng berbunyi, dia dilalap amarah yang begitu dahsyatnya, dia meninggalkan akal sehat dan langsung menggoreng satu kota King's Landing. Jadi irasional lah, istilahnya. Gak salah toh, kalo dia emang gak pake akal sehat selama kejadian itu? Begitupun dengan Gray Worm, pasukan Unsullied-nya, dan beberapa pasukan dari Utara milik Jon Snow. Begitu mereka sadar gak ada yang namanya hukum Konvensi Geneva di Game of Thrones, mereka langsung jadi barbar.
Ya bukan karena ketiadaan Konvensi Geneva juga sih, tapi emang pada kenyataannya, mereka juga menanggalkan akal sehat barengan Daenerys.
Sebagai hasil dari penggorengan massal Daenerys dan Drogon-nya, Cersei dan Jaime Lannister tewas. Kekubur. Agak antiklimaks, ya nggak sih? Cersei udah dengan keren-kerennya menyombongkan kekuatan pasukannya sebelom episode tersebut, belom lagi bantuan yang dia dapet dari The Golden Company (yang gosong lebih cepet dari arang sate, btw), eh dia kalah begitu aja. Gak ada taktik tersembunyi, ballista antinaga yang udah dia gembor-gemborkan gak kepake sama sekali, dan pertahanannya dilindas kayak pertahanan timnas bola Brazil dilindas Jerman tahun 2014.
Udah gitu dia matinya ya... ya udah. Ketiban. Kekubur. Kena reruntuhan. Dia udah setara antagonis terakhir-khir-khir di serial Game of Thrones, lo pasti mikir kita bakal puas dengan kematiannya kayak kita puas dengan kematian Ramsay Bolton but NOPE. Gak ada konfrontasi terakhir dengan Daenerys, dengan Jon, dengan Arya, dengan Jaime, dengan Sansa, gak ada. Oke mungkin secara teknis dia ADA konfrontasi terakhir dengan Jaime Lannister, tapi... udah? Gitu aja?
Mungkin itu kali ya, pesan yang ingin disampaikan oleh serial ini. Jangankan sebuah akhir yang bahagia, akhir yang SETIDAKNYA AGAK SEDIKIT MEMUASKAN gak kita dapat. Emang itulah kenyataan hidup ini, dan emang itulah kenyataan serial Game of Thrones. Ned Stark mati. Rob Stark dan keluarganya dibantai. Dan dalang dari semua kemalangan itu? Matinya ya... gitu aja. Emang itulah Game of Thrones, kadang kita gak bisa dapet semua yang kita inginkan, mau itu keselamatan tokoh yang kita sayang ataupun dendam kesumat yang menembus liang kubur mereka.
Episode terakhir istilahnya cuma krim dan buah ceri. Bran Stark jadi raja? Ya sudahlah ya, lo gak bisa merusak apa yang udah rusak. Di titik ini, banyak penggemar berat Game of Thrones udah kehilangan kesabaran dan kepercayaan mereka terhadap serial ini, so why not? Sekalian aja.
Rasanya gue beruntung gue gak punya attachment sebesar itu ke GoT. Selama jalannya season terakhir, gue emang campur aduk, tapi gue selalu bisa mundur dan bilang, "Serial ini tetep seru, kok." Mungkin itu gara-gara gue gak nonton dari season satu. Mungkin karena gue mulai telat, baru dari season 6.
Mungkin itu kali ya, perasaan orang yang nonton bola tapi gak dukung satupun dua tim yang lagi bertanding. Kita bisa appreciate, kita bisa tau kalo ada yang salah, tapi gak pernah kepikiran oleh kita untuk menyalahkan wasit, pemain, ataupun taktik manager dalam pertandingan.
Ya bener, di atas gue udah menyuarakan kekecewaan gue atas season terakhir GoT. Tapi apakah gue akan menandatangani--atau bahkan mendukung--petisi yang menyuruh para produser membuat ulang season 8? Haha, kagak bakal.
It is what it is.
Tadinya gue mau ngebahas Infinity Saga-nya Marvel Cinematic Universe sebagai perbandingan, tapi sayangnya kita udah kepanjangan di sini. Kalo nambah cerita soal akhir kisah (dan hidup) Tony Stark, bakal tambah panjang lagi section ini, saking panjangnya bisa jadi blog post sendiri.
Jadi cukup di sini sajalah. Suatu hari, gue bakal bikin extended version dari section ini yang nambah perbandingan dengan MCU.
Suatu hari.
Buat sekarang, ini adalah pelajaran tentang konsistensi. Dua serial yang mulai gemilang, sukses membangun cerita, dunia latar, dan fanbase yang luar biasa, namun akhirnya gagal mendarat. Yang tersisa adalah kekecewaan dari mereka yang bersedia mengikuti perjalanan dua serial ini sebagai penggemar.
Sebuah pelajaran, kalo penghujung jalan adalah bagian dari perjalanan itu sendiri. Part of the journey is the end, begitulah kata Tony Stark (sebuah kebetulan, hmmm). Sekeren-kerennya perjalanan sebuah cerita, akhir cerita itu sendiri gak boleh dilupakan. Ingat, sama halnya dengan kesan pertama, kesan terakhir juga sangat menentukan kenangan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
Gue jadi inget nasihat terakhir tokoh Papa Rudy ke ahli jalan tali Philippe Petit di film The Walk (2015). Bahwa ketika mereka udah mau sampai di ujung tali, kebanyakan ahli jalan tali ini suka lupa, kalo mereka sebenarnya BELOM SAMPAI. Bahwa sedeket-deketnya mereka dengan ujung tali, mereka ini MASIH DI ATAS TALI.
"Most wire walkers, they die when they arrive. They think they have arrived, but they are still on the wire.
If you have three steps to do, and if you do those steps arrogantly, if you think you are invincible, you are going to die."
Gila, emang The Walk itu underrated banget bagusnya.
***
Tenang saja kawan-kawan, masih ada part 2-nya.
Buat sekarang, ini aja dulu bahasan gue tentang 2019, dan apa yang menarik menurut gue.
Tapi sebelom part 2-nya keluar, gue cuman bisa bilang makasih, dan
arriverderci! :D