Friday, August 28, 2015

THIS IS NOT A REVIEW: Mission Impossible: Rogue Nation


Starring: -Tom Cruise (MI-MI sebelumnya, Edge of Tomorrow, Oblivion, Top Gun) as Ethan Hunt
               - Rebecca Ferguson (Hercules) as Ilsa Faust
           - Simon Pegg (Shaun of the Dead, Hot Fuzz, The World's End) as Benji Gunn
               - Ving Rhames (Pulp Fiction, Dawn of the Dead) as Luther Stickell
               - Jeremy Renner (The Bourne Legacy, The Avengers, Hurt Locker) as William Brandt
               - Alec Baldwin (The Departed, Madagascar 2) as Alan Hunley

Budget: $ 150 juta
Box Office (per 14 Agustus 2015): $ 303,1 juta
Lama: 2 jam 11 menit
Genre: Action Spy
Rotten Tomatoes: 92% 
US Release: 31 Juli 2015


Pertama: Brian de Palma. Kedua: John Woo. Ketiga: J.J. Abrams. Keempat: Brad Bird. Dan sekarang adalah yang KELIMA, diarahkan oleh sineas Chris McQuarrie. Mantepnya, setiap film (mengingat sineas yang berbeda-beda), memiliki arah yang berbeda pula. Yang paling gue inget adalah MI2, dengan pengarahan John Woo (bagi yang belum tau, dia ini adalah suhu-nya film tembak-tembakan Hong Kong) membawakan film dengan action yang bertumpuk-tumpuk, sinematografi yang nikmat, tapi cerita yang lembek. 
Sekarang udah nyampe yang kelima. Angka lima, menurut pengalaman gue, merupakan titik puncak bagi beberapa franchise hiburan. CuRanMor GTA dan The Elder Scrolls, dua-duanya mencapai puncak franchise game mereka masing-masing dengan GTA V dan The Elder Scrolls V: Skyrim.
nggeplah duo
Untuk beberapa franchise lainnya, seri ke-5 merupakan titik balik. Liat aja Resident Evil 5, Fast Five, dan Mortal Kombat 5 : Deadly Alliance (secara kronologis, dia adalah game kelima dari serial Mortal Kombat). Resident Evil 5 adalah perubahan orientasi gameplay Resident Evil. Gara-gara si 5 ini, Resident Evil mulai bergeser dari Survival-Horror ke Action-Survival-Horror. Gak seserem dulu lah, intinya. 
Fast Five? Sebelumnya, Si FF ini lebih ke arah Street Racing. Abisnya si Fast Five (dan abisnya kehadiran si Dwayne 'The Batu' Johnson), FF mulai ke arah vehicular action yang gak cuman keliatan di adegan-adegan balapan liar doang. Mana ada balapan liar sambil nyeret brangkas besi? 
Trus gimana dengan Mortal Kombat: Deadly Alliance? Sebelum si Deadly Alliance ini, Midway Studios pembuat Mortal Kombat (secara tolol dan secara tidak disengaja) sedang membumihanguskan franchise Mortal Kombat. Ada MK: Special Forces (singkat cerita, action-adventure gagal), film MK: Annihilation (lebih singkat lagi, sekuel film gagal), dan MK Mythologies: Sub-Zero (sama kayak MK: Special Forces). Setelah vakum beberapa tahun, akhirnya keluarlah MK: Deadly Alliance, dan franchise MK pun balik ke jalan yang (agak) bener, sebelum akhirnya balik ke bener-bener bener di MK 9 (2011). 
Trus gimana dengan MI yang udah mencapai seri ke-5 ini? Apakah serial ini udah karatan, sehingga serial kelimanya udah gak asik lagi? Atau apakah seri ke-5 ini menjadi puncak tertinggi dari MI, setelah bukit dan lembah yang mereka telah lalui?

Jack Reacher: Rogue Nation?
Jack Reacher, film garapan Chris McQuarrie lainnya.
Ehh, bagi yang gak kenal Chris McQuarrie, dia ini sineas dibalik film Jack Reacher, yang dibintangi Ethan Hunt Thom Cruz  Tom Cruise. Film yang lumayan mantep kalo lu tanya gue, karena cerita yang ditempuh tokoh utama Jack Reacher halus dan enak diikutin, dengan menyajikan crime-thriller yang brilian diselingi dengan adegan action yang memadai. In short, Jack Reacher lebih ke arah pinter daripada seru. Dan siapa pemain terbaik dari film itu? Ya si Tom Cruise itu.
Kita semua tahu bahwa serial MI adalah serial action. Hell, bahkan kata 'action' tertera di genre film ini. Semua film sebelum MI: RN memiliki unsur action yang sangat kental. Tapi, rasanya, RN menyajikan suasana yang berbeda.
Perbedaan ini berinti pada Chris McQuarrie.
Jack Reacher adalah film thriller yang disutradarai Chris McQuarrie. Mengingat bagusnya tema dan aura thriller yang dibawakan dalam film tersebut (menurut gue), maka gue bisa bilang kalo si Chris ini ahli dalam bidang thriller.
Dan rupanya, dia membawakan kesan dan aura thriller dari Jack Reacher ke film terbaru dari serial MI ini. Kita semua ngerasain suspense tingkat dewa pas Tom Cruise manjatin Burj Khalifa di MI: Ghost Protocol, atau pas Tom Cruise sempet-sempetnya mati (dan disetrum sampe hidup) di MI 3. Suspense. Ketegangan. Itulah yang sebenernya bikin action dari MI tidak membosankan apalagi basi. Karena entah kenapa, semua sineas yang mengarahkan film-film MI membawakan suspense yang sangat clever, sehingga penonton (termasuk gue) gak bosen.
Seperti biasa, Tom Cruise sukses
membawakan peranan Ethan Hunt.
So, what do we got on the newest entry?
Let's just say it's much more smarter and a lot less louder.
Sure, sure, kita dapet beberapa adegan menegangkan (bahkan di mulainya film aja udah dapet adegan tegang) di film ini. Ada Tom Cruise yang beneran (inget, beneran) gelantungan di pesawat yang lepas landas, ada Tom Cruise nyebur ke dalam pipa air raksasa berisikan air bertekanan tinggi, ada adegan kejer-kejeran pake motor modifan.
Lucunya, sebenernya banyak adegan action dalam film ini. Tapi mengingat Chris McQuarrie, adegan action yang kita dapetin bukan tipe-tipe action gak masuk akal dan yang biasanya bikin kita melongo sambil mikir, "GILEEEE!!" Palingan unsur over the top dalam film ini cuman satu biji. Selebihnya, adalah action sequences yang sangat relatable dan simple, meskipun jauh dari kata membosankan. Semuanya jalan gara-gara acting yang ultra-meyakinkan dari Tom Cruise. Mikir sendiri sih, dia hadir di kebanyakan adegan action di film ini.
What I'm trying to say, is that action melingkupi setengah dari film ini, gak kayak film sebelumnya yang biasa mencapai 3/4. Dan bagaimana dengan setengah lainnya? Anggep aja conspiracy-thriller yang muncul secara sepercik-percik di MI sebelumnya, tapi belum pernah segembol kayak sekarang.
Alkisah, IMF (bukan International Monetary Fund, sayangnya) menugaskan Ethan Hunt untuk memburu sebuah organisasi kejahatan multinasional bernama The Syndicate (terlihat secara implisit di ending MI:GP). The Syndicate ini (ceritanya) hampir tidak tersentuh, dan dilihatnya, bertujuan untuk menumbangkan dan merusak hubungan diplomatis Amerika dengan negara-negara sekutunya. Sayangnya (lagi), CIA selaku atasan IMF tidak percaya akan keberadaan The Syndicate, dan malahan menuduh Ethan melakukan kegiatan-kegiatan anarkis dengan alasan mencari The Syndicate. Ethan yang tahu soal beginian akhirnya melakukan penyelidikan di luar jangkauan IMF dan secara gak langsung-- CIA.
No SFX. No Double. No Fake.
Gue bilang sih, conspiracy-thriller yang menghiasi cerita MI:RN is not a bad idea. Ini plot dilengkapi dengan dialog yang kuat, acting yang lebih kuat lagi, dan twist-twist yang bikin, "JREEEENG!!"
But it's not like it's good either.
See, pendapat gue, thriller yang disajikan di film ini is a good one. It truly is. Tapi ada saatnya plot yang dipakai di film ini menjadi rumit, sehingga secara gak sengaja mensabot unsur spy-thriller yang dibawakan oleh film ini. Kadang-kadang plot jadi terlalu belibet sehingga ngikutnya bingung dan akhirnya bosen juga.
MI:GP sayangnya, membawakan plot lebih baik, dimana plot tidak memberikan kerumitan yang gak perlu, tapi masih brilian karena plot mengandalkan suspense dibandingkan conspiracy yang convulted/ribet. Twist-twist yang terdapat di GP saya bilang simpel-simpel, tapi you just can't go wrong with the classics. 

Go Rogue Vogue with Ilsa Faust
So, selain Tom Cruise sebagai Ethan Hunt (selama 5 film dan 10 tahun lebih, gak bosen-bosen juga, ya?), kita punya kumpulan (gak se-truk) karakter-karakter, baik, ehm, baik maupun jahat untuk menemani Ethan Hunt dalam petualangannya yang terbaru ini.
Kita punya tokoh-tokoh lama, seperti Benji Gunn (Simon Pegg), hacker merangkap temen deket Hunt, Luther Stickell (Ving Nasi Rhames), teknisi lapangan merangkap partner-in-crime Hunt di semua film MI, dan William Brandt (Jeremy Renner), yang menemani Hunt sejak MI:GP.
Yang baru, jelas lebih dari satu.
Yang mencolok, sayangnya, cuman satu.
Yah, jadi selain tokoh-tokoh diatas dan satu tokoh yang bakal gue bahas bentar lagi, tokoh-tokoh lain emang diperankan dengan baik. Sayangnya, seperti yang gue bilang, gak ada yang mencolok. Para antagonis menyentuh daerah cliche, dan tokoh-tokoh lainnya cuman berguna sebagai sekedar pelengkap atau pendamping para tokoh utama di layar.
Semua, kecuali satu.
Ilsa Faust, yang diperankan oleh Rebecca Ferguson. 
We're only fighting for the right side because that's what
we chose to believe. -Ilsa Faust
See, serial MI terkenal menampilkan (selain Ethan Hunt, tentunya) lead female yang unik untuk setiap entry-nya, biasanya buat ngedampingin si Tom Cruise di layar lebar. Anggep misalnya Nyah Hall (Thandie Newton) di MI 2, cewek yang sebenernya bagian dari misi Hunt, tapi akhirnya, ehm, terlibat hubungan intim dengannya. Atau Jane Carter (Paula Patton) rekan kerja Hunt di MI:GP yang tangguh dan jagoannya saingan sama si Hunt sendiri.
Sekarang, kita disuguhkan Ilsa Faust, undercover MI6 agent yang menyusup ke dalam The Syndicate. Selama film, Ilsa kerap kali melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan pihak Ethan Hunt dan pihak The Syndicate. Sekali waktu dia berpihak sama Hunt, lalu selanjutnya dia berlawanan dengan Hunt. Mungkin biar gak ketahuan kalo dia sebenernya bukan di pihak The Syndicate. Anyways, cara Rebecca Ferguson (bukan dari Inggris apalagi Amerika, yee) membawakan dua keberpihakan dalam satu orang yang sama patut diacungi jempol. Kesannya, dia dingin di sisi The Syndicate dan desperate di sisi MI6, tidak memiliki pilihan banyak selain menjatuhkan The Syndicate, karena betapa bahayanya misi undercover ini.
Seperti halnya heroine-heroine di spy movie kebanyakkan, Ilsa sangat proficient dalam berbagai bidang kemata-mataan. Tembak-tembakkan, pukul-pukulan, bunuh-bunuhan, standard spy skills. Namun, hal yang menarik adalah Ilsa kelihatan gak sempurna sebagai seorang spy, meskipun keliatan banget jagonya. Sure, sure cewek-cewek spy lain juga kena jotos sekali-dua kali, tapi seperti yang gue utarain di atas, Ilsa juga memiliki kelemahan secara emosional.
Kalo mau cantik, nih Black Widow.
See, Ilsa, gak kayak Black Widow, sebenernya takut terhadap misi berbahaya yaitu menyusup ke dalam The Syndicate. Dia mungkin gak menunjukkan tanda-tanda ketakutan, tapi selama film kita melihat bahwa, sejago-jagonya dia sebagai seorang agent, dia juga manusia. Dia pingin cepet-cepet misi penyusupan The Syndicate selesai. Sifat desperate di yang gue utarain di atas adalah karena dia masih sayang nyawa (gak kayak Ethan, jelas) dan dia tahu satu kesalahan sepentil bisa mebuat dia ketahuan oleh organisasi The Syndicate. Karakterisasi ini membuat Ilsa jauh lebih realistis dan lebih manusiawi dibandingkan karakter cewek spy movie kebanyakkan. Relatable lah, istilahnya.
Dari sisi tampang, memang Ilsa gak semantep cewek-cewek setingkatnya (Scarlet Johansson as Black Widow, wew), tapi pendapat gue, memang itu maksud dari film ini. Ilsa diperankan bukan dalam konteks yang terlalu seksi, tapi gak juga terlalu jelek. Dia adalah heroine yang realistis. Mungkin kita dapet sekali-dua kali scene mantep dia, tapi selebihnya, dia gak terlalu mencolok. Realistic, right?

[THIS SECTION BELOW CONTAINS SPOILERS. YOU HAVE BEEN WARNED.]

Is It ACTUALLY Impossible?
Mengapa judulnya Mission Impossible?
Lebih tepatnya, Mission: Impossible?
Selama empat film lebih, Ethan Hunt dihadapkan kepada misi yang kurang asem, mungkin cuman dia kali yang nekat ngelakuin.
Dan selama proses berjalannya misi-misi ini, kita para penonton cuman bisa melongo ngeliatin bagaimana Hunt, yang masih masuk kodrat manusia, menghadapi misi-misi yang gak bisa dijalanin sama manusia.  Dari mengejar mantan agen IMF yang membelot (yang mana bawahannya menyusup sebagai bawahan Hunt sendiri) sampai mengejar senjata nuklir liar tanpa bantuan macam apapun dari IMF. Keliatannya gampang, kan?
Keliatan gampang? Simpel? Coba sendiri dah..
Dengan entry kelima yang gue bilang lebih smart dibandingkan loud, gue bilang kata 'impossible' agak susah diterapkan, karena selama ini dalam empat film berturut-turut, kata 'impossible' kita bisa lihat melalui berbagai scene-scene action tingkat tulen. Kita bisa melihat bagaimana betapa ngayalnya hal-hal yang harus dilakukan Ethan Hunt dkk agar misi tersebut berhasil (manjat pencakar langit tertinggi di dunia, anyone?), and yet, mereka berhasil ngelarin semua misi mereka.
Tebak apa yang bikin misi mereka kelihatan impossible?
Ya para antagonis ini.
Mau kita benci, atau diem-diem ngefans, para penjahat inilah yang sebenernya membentuk franchise MI. Ya pinternya para penjahat ini akhirnya berakar pada pinternya para pihak screenwriter, cinematographer, dan tentunya director dan masing-masing film sih, tapi yang kita lihat sejauh ini kan penjahatnya.
Such is the case of The Syndicate.
Let there be peace on earth.
-Kurt Hendricks
Selama jalannya film, semua tokoh utama, bahkan Ethan Hunt sendiri, memberikan indikasi dan pernyataan terselubung mengenai The Syndicate. Bahwa The Syndicate ini adalah organisasi kejahatan ter-imba di dunia. Kesannya, mereka ini gak tersentuh, yet mereka sudah banyak mengobrak-abrik keamanan nasional banyak negara. Gimana tuh, caranya?
Balik lagi ke sejarah franchise MI, franchise film ini punya kebiasaan memberikan antagonis yang unfair. Mau sehebat-hebatnya Ethan Hunt dkk, para antagonis ini pasti kelihatannya jauh lebih hebat, jauh lebih modal, dan terpenting, jauh lebih banyak anggotanya. Kesannya jadi impossible, kan?
Liat aja Jim Phelps (konon, adalah protagonis serial TV MI), antagonis MI pertama. Dia punya anak buah ternyata adalah anak buah Ethan Hunt sendiri, jadi otomatis, dia selalu tahu kemana Hunt akan melangkah, mengingat dia udah punya sarana memata-matai Hunt. Atau Sean Ambrose, antagonis MI 2, yang adalah mantan agen IMF yang udah hafal cara kerja Hunt. Paling mantep adalah antagonis MI:GP Kurt Hendricks, karena dia ini udah jelas modal banget, padahal si Hunt ini lagi apes, IMF lagi ditutup oleh pemerintah jadi dia gak bisa dapet bantuan dalam bentuk apapun.
Balik lagi ke The Syndicate, apakah mereka berhasil menyajikan mission yang impossible buat Ethan Hunt and the gang?
Ehh, yes...
And no.
BTW, yang meledak di belakang itu helikopter. Jadi
si Hunt ini loncat dari helikopter yang meledak ke kereta
superspeed yang masih jalan.
See, yes berasal dari build-up yang diberikan oleh film selama jalannya film. Selama film, selain reputasi yang dinyatakan secara tersirat oleh para tokoh utama, juga personil-personil organisasi ini rasanya lulusan Suzuran (sekolah 'terbaik' di jepang, kurikulum mereka kurikulum tawuran) semua. Garang-garang sih, soalnya. Belum lagi tantangan-tantangan yang disodorin The Syndicate ke Hunt. Hunt, sebagai agen IMF yang digadang-gadang paling tangguh dan kebal sama kematian, bisa kewalahan juga karena bertubi-tubi geliatnya si Syndicate ini. Ilsa Faust sebagai satu-satunya penyeimbang bagi kubu Hunt juga gak selalu bisa diandelin, karena mau gimana juga, Faust masih anggota The Syndicate. Jadinya, Faust sering membelot dan melawan Hunt.
Tapi no berasal dari bagian yang paling menentukan seberapa impossible The Syndicate ini sebenernya: The Climax. Atau The Final Standoff. Atau The Ultimate Showdown. Atau The Last Straw. Intinya, konfrontasi puncak antara Ethan Hunt dan The Syndicate. Now how the hell someone screwed that up?
Balik lagi ke sejarah MI (astaga, bosen juga), klimaks dengan para antagonis sangat sedap dan memuaskan. Di MI, baku hantam di atas kereta api superspeed sambil ditembakin helikopter. Di MI 2, kejer-kejeran motor, banyak ledakan, bum-bum-bum, trus adu bogem abis-abisan di pantai. Di MI:GP (maap, gue gak terlalu merhatiin MI 3), berusaha mematikan nuklir liar yang sedang meluncur ke USA, padahal tombol yang bisa matiin rusak.
Sampe ke franchise ke-5, rasanya pihak production house udah ngerti, ya caranya membuat klimaks film MI yang bener-bener klimaks. Atau mungkin Chris McQuarrie berusaha menyajikan sesuatu yang berbeda?
Karena, ending MI:RN, not that good.
Ini Solomon Lane. 
Selama final act dari MI:RN, The Syndicate mungkin masih terlihat (rada) garang, tapi gak ada konfrontasi yang bener-bener memuaskan antara ketua The Syndicate, Solomon Lane, dan Ethan Hunt. Padahal awal dari akhir film ini udah bagus. Benji pake acara diculik, Hunt terpaksa melakukan hal-hal ekstrim cuman biar Benji bisa balik dengan selamat. Setelah negosiasi mengembalikan Benji gagal, Ethan dengan cerdik menyelamatkan Benji, menolong Ilsa yang udah ketahuan dari genggaman The Syndicate, dan mengalahkan Lane.
Bagian mengalahkan Lane mungkin yang bermasalah di sini.
Sepanjang jalannya film, Lane digambarkan sebagai sosok yang dingin, penuh perhitungan, dan jago. Jadi wajarlah, kalo misalnya Lane berhadapan dengan Hunt enak dilihat?
Mau secliche-clichenya Lane, dia masih antagonis yang, yah, lulus KKM, meskipun gak melampaui.
Setelah negosiasi, Ilsa dan Hunt melumpuhkan beberapa anak buah Lane, sementara Benji melarikan diri. Ilsa dan Hunt pencar dan menjauh dari Lane. Ilsa tarung dan bunuh tangan kanan Lane (yang lucunya, lebih tegang dari Hunt vs Lane). Hunt dikejer Lane (yang lebih lucunya lagi, memutuskan untuk mengejar Hunt sendirian). Lane keliatannya udah mau ngedapetin Hunt, tapi ternyata si Hunt ini mengumpan Lane ke sebuah kotak kaca, dan membuatnya terperangkap di dalam. Setelah Lane terperangkap, Hunt mengisi kotak tersebut dengan gas yang membuat Hunt pingsan di awal film.
Singkat cerita, poetic justice. Hunt mengalahkan Lane dengan cara yang sama Lane menangkap Hunt di awal film.
Di satu sisi, gue nganggep ini adalah ending yang smart, karena mengandung unsur simbolik perihal bagaimana Hunt menjatuhkan Lane.
Di sisi lain, NGAPAIN??!!
Mungkin orang bakal ngebelain bagaimana kecerdikan Hunt dalam menggertak Lane, mengelabui Lane, dan secara implisit mengalahkan Lane dalam permainannya sendiri. Gue mungkin ngeliat dari sisi yang berbeda dari orang-orang waras ini, tapi then again, gue gak selalu waras.
Selama film, RN memiliki nuansa pintar, penuh intrik, penuh konspirasi, dan kalem. Dialog dalam film lebih banyak. Film banyak menggunakan twist-twist dalam cerita. Adegan-adegan Hunt yang gak melibatkan action melibatkan cara Hunt berpikir dalam menghadapi masalah. Dalam arti lain, lebih banyak otak daripada otot disini.
Mengingat kita (terutama gue) yang udah banyak dipusingkan dengan banyaknya plot elements yang bertumpuk-tumpuk, rumit, dan bejibun , rasanya membuat ending yang gak action-oriented gak bisa dibilang memuaskan. Udah capek kali, dibikin mikir terus. Ilsa malahan kedapetan bagian yang lebih baik dari ending film ini. Dia minimal dapet fight scene yang menegangkan.
At least make Ethan Hunt punch Solomon Lane!
Lane terlalu cepet kalah, itu masalah dari klimaks dari film ini.

[SPOILERS END HERE.]

(+) - Action scene di film ini masih bagus.
      - Ilsa Faust sebagai heroine film ini sangat realistis dan relatable tanpa harus membosankan.
      - Tokoh utama (Hunt, Gunn, Brandt, dan Stickell) masih mantep.
(-) - Tokoh selain tokoh utama membosankan.
     - Twist-twist dalam plot gak sebagus Ghost Protocol punya.
     - De Ending. Sheesh.

NILAI: 80/100

AKHIR kata, RN mungkin gak sebagus GP dalams segi cerita dan pembawaannya, tapi masih ada unsur RN yang gak boleh dilewatin, seperti action yang selalu baru dan selalu menegangkan. Perihal orientasi film yang lebih ke thriller dibandingkan action, gak berarti hal yang jelek, cuman salah pacing bikin film ini gak seenak GP.
  


Until the next post, bungs! :D











Sunday, August 9, 2015

WHAT THE HELL HAPPENED IN: 14.7.2015. part 1

Semua dimulai dari jam 9 malam. 

Yaudah, jam setengah 8 sebenernya, yaitu ketika bokap dengan attire-nya yang berbau "going somewhere", kayak kaos non-oblong, jeans, dan sepatu casual Airwalk-nya ngedatengin gue, dan nanya: 

"Yok, Jae, Jay, makan di luar." 

Normally, gue bakal bilang iya, karena gue bukan tipe orang yang bermasalah kalo diajak makan di luar. What could possibly go wrong, right? Gue percaya dengan bokap gue gak bakal ngejerumusin gue ke sarang formalin, boraks, dan kaum-kaumnya. So, by the least, no reason to deny, right?

Well, here's the thing.

Gue gak tau pastinya, tapi sebelumnya nyokap nge-WhatsApp (yep, Whatsapp, who cares about BBM now) adek gue buat masak nasi, karena dia bakal pulang bawa lauk. Lauk macam apa pula, gue gak tau. But anyways, like I said before, what could possibly go wrong, right? Nyokap gue tau kalo gue dan adek bukan tipe-tipe orang yang milih-milih makanan, tapi bukan tipe-tipe omnivora tingkat tulen tak terkendali yang bisa makan daun pare. Dia tahu apa yang bakalan dia beliin buat gue. 

Waktu tiba saatnya bokap udah ngajak gue pergi makan di luar, adek gue udah lama kelar masak nasi. Gue langsung dihantem dilema. Nyokap gue masih lama pulangnya, ini juga udah rada malem, dan bokap gue, like I said, what could possibly-- ah sudahlah. It's actually a very good proposition. Di sisi lain, adek gue udah keburu masak nasi, nyokap udah ngebawain kita berdua makanan, dan gue belum laper-laper amet sih jam segituan. Intinya, kalo gue makan di luar sama bokap gue, usaha adek gue (masak nasi) dan nyokap gue (bawain pulang makanan, menembus macet, dan menghindari senggolan tak disengaja sopir truk gandeng teler) sia-sia. Mereka udah segitunya, dan gue malah gak makan di rumah.

So I said, "Gak deh pa, saya nungguin mama aja."

Dan gak ada skenario dramatis untuk adegan ini, oke?! Simply because gak ada celah untuk nyelipin adegan sinetron dengan desisan symbal yang numpuk dan close-up tiba-tiba ke muka tokoh utama. Iye, gue tau lu kaget, tapi gak di zoom segitunya juga kali! Halah! Ya opo iki sama dunia pertelevisian Indonesia? Perfilman udah bagusan sih, karena film horror sedeng udah mulai ilang, meskipun masih ada sih, tapi ADA APA DENGAN PERTELEVISIAN INDONESIA!? Kalo lu udah nganggep naga Indosiar, RCTI, dan teman-temannya adalah tontonan termantep lu di sini, WE OBVIOUSLY GOT A BIG PROBLEM!!

Ehm.

Dan pergilah bokap gue, dan dia pun balik setengah jam kemudian. In case lu lupa sekarang jam berapa, sekarang adalah jam 8 malam. Nyokap belum menampakkan diri sampe sekarang. Eh, normally gue adalah orang yang gak terlalu peduli makan malem jam berapa. But this.. gak kelamaan? Kurang lebih sampe jam setengah 9 gue nungguin nyokap balik, dan pada saat itu, perut gue mulai nyuarain suara fals-nya. Keroncongan, maksud gue. Di detik itu juga, gue udah nrimo gak makan malem sekalian. Lagian, bukan pengalaman pertama gue...

Jam 08.45.

Pintu rumah terbuka. Nyokap berhamburan (sendirian, tapi anggeplah tas belanjaan itu orang juga) ke dalam ruang tamu. Adek gue (entah kenapa, gue kira dia udah tidur jam segituan) turun ke ruang tamu, gue nyusul.

Gue tanya nyokap gue, "Makanannya apa, ma?"

Dia bilang sate yang dia colong beli dari mal tempat dia kerja di Jakarta. Kata dia enak, dan gue percaya. Gue yakin sebagai nyokap yang baik, dia gak bakal beliin anaknya cicak goreng. Meskipun gue gak bakal langsung nolak cicak goreng. Kan bisa aja enak, toh?

Anyways...

Gue udah seneng banget. Sate gak bisa gue bilang makanan terenak, tapi mereka-mereka ini termasuk favorit gue. Mana gue laper lagi. Langsung aja kita taro piring segala macem, jelas bersiap buat sikat rata itu makanan takeaway nyokap gue.

Sampe nyokap gue bilang sesuatu lagi.

"Dek, ini nasinya kok kurang mateng, ya?"

Aw shi-- gue gak masalah sama nasi yang agak terlalu kering (percaya sama gue, gue pernah masak begituan, dan selama makan gue harus ngeles kalo itu nasi bagus buat dijadiin nasgor), tapi belom pernah berhadapan dengan nasi yang kurang mateng. Gimana caranya nasi bisa kurang mateng? Seinget gue, tombol COOK di rice cooker udah cukup buat mastiin itu nasi mateng bener. Kecuali mati lampu pas masak. Atau kabel rice cooker dijadiin kripik sama tikus lewat.

In any event, gue gak masalah sama nasi buatan adek gue. Lagian dia kan udah berpengalaman (entah berapa banyak tepatnya) masak nasi. Dia pasti (seenggaknya) tau cara masak nasi. Jadi, gue masih beranggapan nyokap BERANGGAPAN nasinya kurang mateng. Beda standar, sih, anggepan gue.

Itu sampai gue centongin nasinya.

Nah ini beneran. AW SHIT.

Gue pernah makan nasi yang menjadi bubur (airnya kebanyakan). Tapi ini, my friend, adalah BERAS YANG MENJADI BUBUR. Yep, tekstur, kelembekan, dan pewarnaan adalah bubur, tapi pas mereka ini udah nyampe lidah gue, RASANYA JELAS BUKAN NASI. Sisi (agak) baiknya, gue sekarang tau bedanya nasi mateng dan nasi gak mateng. Sisi buruknya, adalah semua pengalaman itu nasi masuk, nyentuh lidah, sampe jatoh ke tenggorokan SANGAT TIDAK ENAQ.

Let me break this down for you...

Tekstur yang lembek-lembek menyek bikin gue mikir, "Oh, ini bubur. Berarti nasinya lembek kayak bubur. Gak perlu banyak usaha buat ngunyah trus nelen ni makanan." Right? WRONG! Rasanya setengah-nasi-setengah-padi (yea I know, right?), dalam artian, PADI YANG SESUNGGUHNYA, YANG MASIH TUMBUH DI LADANG PINGGIR JALAN TOL. Bukan daun padi, tapi bulir padinya. Bubur? Yah, bubur luarnya, lebih tepatnya. Dalemnya? Kerasnya saingan sama nasi goreng yang biasa harganya 15k-an di pinggir jalan. Lebih keras, malahan. Ngunyah begituan aja penuh usaha. Pada saat lu tau kalo nasi lu dikunyah aja perlu usaha, LU MESTINYA TAU KALO NASI LU INI BERMASALAH KRONIS.

Adek gue yang masak juga nyadarin ini, sih.

Sate bawaan nyokap adalah dua-duanya (nyokap gue bawa pulang dua jenis sate) penyelamat makan malem gue sekarang. Apakah mereka mampu menyelamatkan dinner gue? Atau apakah mereka akan menjerumuskan selera makan gue yang malem itu udah jelek? Gimana kelanjutan kisah mereka? Saksikan di GLOBAL TIPI.

Pertama adalah sate buntel. Warnanya coklat, bentuknya (sebagaimana namanya) buntel, dan makan lumayan banyak tempat di tusuknya. Artinya, buat ngabisin sate ini dari tusuknya, bakal dibutuhin lebih dari satu gigitan. Halah. Jelaslah.

Normally, gue adalah penggemar sate. Kambing, ayem, babi, ikan (bila ada), bebek (sekali lagi, bila ada) gue demen. Jadi, berkat pengalaman lidah gue dengan sate-sate sebelumnya, mestinya gue gak ada masalah sama sate buntel yang satu ini dong?

Itulah pikiran gue pas ngegigit sate tersebut. Untungnya gak alot, kalo ikut-ikutan alot sama nasinya ya berarti kita punya masalah yang jauh lebih besar daripada nasi yang setengah mateng (pernyataan ini dikemukakan oleh bokap besoknya setelah dia tahu kejadian ini). Masuk ke mulut, nyasar ke gigi, gue kunyah.
Ceritanya ini makanan kesukaan Jokowi. Wut??

Satu kunyahan.. dua kunyahan..

Eits, gue disini bukan buat bikin lu pada ikut ngiler dengan empat kata di atas, karena SATENYA NOT DELICIOUS. Gak perlu di break down kayak nasinya, langsung ke intinya aja, karena ini sate adalah murni ketidakenakan. Begitu mencapai dua kunyahan, rasanya (pengalaman gue) terjadi ledakan antara asin dan asem dalam mulut gue. Sumpah, ngagetin banget. Asin gak masalah, asem apalagi, tapi toh ledakan dua-duanya dalam mulut gue lu kira enak juga? Ledakan di sini, dalam artian, rasa dua-duanya langsung muncul begitu saja dalam konsentrasi (maaf kalo gue kedengeran sok pinter di sini, tapi gue gak tau kata yang lebih bagus) yang KELEWAT BANYAK.

Lucunya, gue masih sempet ngira ledakan nuklir dalam mulut gue sebagai "reaksi lidah gue yang kurang terbiasa dengan rasa beginian". Jadi, gue gigit lagi tu sate. EEERGH!! *sek, muntah dulu* Ternyata emang bener itu sate memiliki kendala dalam proses produksi. Atau emang rasanya kayak gitu, dan gue gak terbiasa.

Makanya gue langsung tanya ke nyokap gue perihal malfungsi makanan ini. Ehh, siapa tau emang cuman gue disini yang gak terbiasa sama rasanya, padahal nyokap gue bilang itu enak? Mungkin nyokap suka sama ni sate, trus dia beliin gue sate ini dengan asumsi gue pasti suka juga. Gak cuman sekali gue punya perbedaan selera sama nyokap soal makanan. Paling kentara: Duren dan cempedak. Dia suka dua-duanya, gue gak suka dua-duanya.

"Iya ya Jay, ini kok agak terlalu asin ya?"

Mending nyokap daripada gue. Dia ngerasa rasa yang overdosis cuman sisi asinnya. Gue? Asin sama asem secara bersamaan. Then again, dia juga ngerasa ini ada masalah dalam rasa, jadi minimal gue punya alesan buat langsung taro sendok/garpu, setor piring ke wastafel terdekat, dan anggep ini dinner time gak pernah terjadi. Nyokap aja gak suka, masa' gue harus suka juga?!

Untung nyokap takeaway sate ayam kecil buat mengerem selera makan gue dari jatuh bebas ke jatuh bebas dengan parasut setengah kebuka. Enak sih enak, apalagi dengan kecap manis, tapi mereka ya mini-mini gitu, jadinya rasanya gak sebanding dengan rasanya si sate buntel. Belum lagi si sate buntel ini secara tidak terlihat berkomplotan dengan si nasi setengah mateng buat bikin makan malem gue terasa kayak SHIET.

Jadi, selama lima menit kedepannya, gue berjuang, melawan akal sehat gue, untuk menghabiskan makan malem itu. Akal sehat, karena udah makanan gak enak, sinyalir mengandung unsur yang mencurigakan (apalagi nasi setengah matengnya), dan yang terakhir nyokap gue udah bilang, "udah Jay, kalo gak enak gak usah dihabisin." Heh, ceritanya ini adalah orang yang nyuruh gue ngabisin makanan gue. Sekarang, dia nyuruh gue ngelakuin sebaliknya. Ironis, eh? Sekali lagi, akal sehat, karena gue udah gak punya alesan buat ngabisin makanannya.

Jadi apa yang membuat gue melawan akal sehat pada malem itu? Ya selain ngeliat adek gue juga merasakan hal yang sama dan berniat ngabisin (masa' koko kalah sama adeknya?), gue masih terikat prinsip yang ditanemin sama nyokap bokap dari dulu: Jangan Pernah Nyisain Makanan.

Lima menit kemudian, gue udah setor piring ke belakang. Sakit nyeritain prosesnya, tapi versi singkatnya: gue bisa aja jalan ke ladang ranjau, dan mungkin rasanya gak ada bedanya.

Setelah semua piring menghilang dari meja makan gue dan adek gue udah balik ke laptopnya melanjutkan pekerjaannya sebagai pemain TF2 top Indonesia, sisa gue sama nyokap.

Dan out of nowhere, terjadi percakapan ini:

"Jay, kamu kenyang gak?"
"Ehh, gak terlalu sih ma, mengingat tadi.."
"Mau cereal gak (kebiasaan adek dan gue)?"
"Kalo ada saya mau sih."
"Ada kok."
"Susunya?"
*le mencari susu* "Yah susunya udah digondol sama adek."
"Ya udah, gak usah, gak papa."
"Eh jangan Jay, kalo mau cereal, ayo kita ke Indomaret cari susu, sekalian nurunin makanan juga."

Dan itu, teman-teman, adalah permulaan dari part 2.

Until the next post, bungs! :D











   

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...