Wednesday, October 14, 2015

THIS IS A REVIEW: The Scorch Trials

Starring:
- Dylan O'Brien (Teen Wolf) as Thomas
- Ki Hong Lee (Unbreakable Kimmy Schmidt) as Minho
- Thomas Sangster (Game of Thrones, Phineas and Ferb) as Newt
- Kaya Scodelario (Skins) as Teresa 
- Jacob Lofland (Mud) as Aris 
- Rosa Salazar (Insurgent, American Horror Story: Murder House) as Brenda
- Giancarlo Esposito (Breaking Bad, Revolution) as Jorge

Budget: $ 61 juta
Box Office (per 28 September 2015): $ 239,5 juta
Lama: 2 jam 11 menit
Rotten Tomatoes: 50%
US Release: 18 September 2015

So.... harus mulai dari mana gue tentang film ini? Apa yang gue bilang soal BANYAK HAL YANG TIDAK BOLEH DIHILANGKAN DARI NOVELNYA? Maze Runner adalah film yang bagus karena tidak melenceng terlalu jauh dari source material-nya.

Ini novelnya. 
Tapi gue gak bakal ngamuk cuman karena banyaknya perbedaan antara novel dengan film The Scorch Trials. Film yang bagus tetaplah film yang bagus. Film yang jelek, ya.. masa' mau dikatain bagus? Dan dilihat dari filmnya, The Scorch Trials sebenernya gak sejelek itu, kok. Cuman, ya... let's just say it took some wrong steps. 

Salah langkah dalam artian apa? Take a look... 

#1: 
A Brand New Trial

Menurut pihak produser, The Scorch Trials (mulai dari sini pake istilah ST) adalah sekuel yang bakalan dipenuhi oleh action sequences. Pihak reviewer (termasuk para penyumbang skor Rotten Tomatoes) juga senada, hal yang paling menonjol adalah action sequences yang lebih kentara

Is that a bad thing? Gak juga. Selama saganya, serial The Maze Runner adalah cerita yang dipenuhi dengan action sequences. Apalagi The Scorch Trials. Justru, film adaptasi ST tanpa action sequences adalah sebuah kesalahan. Tapi di sisi lain, over-eksploitasi dari action sequences membuat sebuah film menjadi tidak berisi. Macam makan ayam KFC yang kebanyakan krispi-nya. Luarnya rasanya mantep, dalemnya gak sebanding. Apalagi kalo sinematografinya acakadut. Itu action sequence gak bakal bikin penonton tegang, tapi malahan jadi canggung.  

Trus, gimana ceritanya di film ini?

Dari kiri: Minho, Frypan, Newt, Thomas, dan Harriet.
Yah harus gue akuin bahwa action sequences di sini emang lebih banyak dari di Maze Runner. Dan bagusnya, LEBIH TERPOLES DAN LEBIH SERU. Lagian, emang itu, kan, harkat dan martabat action sequence? Seru? Tapi emang bener, adegan seru di sini gak terkesan berantakan meskipun pacing-nya tergolong cepat. Sinematografi yang bagus dan rapi mampu menyajikan action scenes yang menegangkan tanpa harus membuat penonton kebingungan karena banyaknya hal yang terjadi dalam layar. Yang mana biasanya karena terlalu banyak FX, penonton jadi bingung apa yang mau diperlihatkan, tidak terjadi di sini. Action scenes dibuat simpel tapi supel. 

Adegan aksi di film ini bukan hanya berimprovisasi dari novelnya (dan berhasil dalam hal itu), tapi juga menyajikan ketegangan yang gak jauh beda dari film sebelumnya. Padahal, setting yang ditawarkan di sini beda. Dibandingkan dengan terkena klaustrophobia di labirin, para Gladers dihadapkan dengan The Scorch, yaitu dunia di luar The Maze yang udah tinggal padang pasir, rongsokan, puing, dan isi-isinya yang mengancam nyawa. 

Ngomong-ngomong soal The Scorch, apakah sama dengan yang di novel? 

Ya.. dan tidak

Sure, sure, unsur umum seperti padang pasir (masa' mau dijadiin pegunungan gaya film Everest?), kota amburadul, dan penduduknya yang jelas gak bersahabat, dipertahanin di sini.

Selebihnya, rasanya enggak.

Beginilah The Scorch menurut filmnya.
See, menurut novel, daerah The Scorch digambarkan sebagai gurun pasir ultra-panas yang mana kemungkinan kita bisa bertahan hidup di sana mendekati nol. Suhu panas yang sangat menyengat, badai pasir yang lebih dari sekadar bikin kelilipan, dan lingkungan yang gak dihuni manusia. Tapi bukan berarti gak berpenghuni. Ngerti, gak?

Dan menurut sini, sayangnya, daerah Scorch gak separah itu.

Di film, the Scorch digambarkan sebagai:

- Sebuah gurun pasir yang (jelas) ditutupi oleh gundukan-gundukan pasir raksasa.
- Daerah perkotaan yang hampir gak memiliki manusia sebagai penduduk.

Dan... itu aja. Yep, sayangnya, itulah gambaran area Scorch menurut adaptasi ini. Untungnya masih pake gurun, tapi entah kenapa, kelihatannya daerah The Scorch tidak seberbahaya versi aslinya. Banyak sekali gambaran tentang The Scorch yang berbeda dari novelnya. Salah satu perbedaan yang paling gue sayangin, adalah bagaimana The Scorch gak 'sepanas' di novelnya. Dalam hal suhu, maksudnya. Tidak tergambarkan betapa panasnya The Scorch seharusnya di film. Di novel (ceritanya) panasnya The Scorch itu bisa menusuk dan (secara kias) membakar kulit. Sini? Padang pasir, gak lebih, (dan untungnya) gak kurang.
Dari kiri: Thomas, Newt, Minho, Teresa, Aris, dan Frypan.
Selain itu, keberadaan pemukiman manusia normal (yang belum menjadi Crank) di film ini juga bermasalah. Di sisi lain, film menjadi lebih tematis tentang keadaan dunia yang sudah hancur di ceritanya. Di sisi yang lebih penting, yang ada malahan tingkat 'kepanasan' The Scorch berkurang, karena mengingat The Scorch mestinya tidak bisa dihuni oleh manusia biasa, saking berbahanya tempat itu.

Meskipun harus diakui, secara visual, The Scorch tidak mengkhianati novelnya.  

#2:
The Maze is One Thing... 

Jelas, setelah keluar dari labirin Maze, cowok-cowok Glade butuh cucian mata. Mereka butuh bertemu dengan orang-orang baru. Kalo kayak Thomas yang kurang lebih baru satu minggu tinggal di Maze (dan kabur pada hari berikutnya), kayaknya gak masalah. Bagaimana dengan orang-orang yang tinggal lebih lama dari Thomas, macam Choi Minho dan Newt? Mereka udah bosen kali, setahunan lebih hidup bersama orang-orang yang sama, muka-muka yang sama, dan cowok-cowok yang sama. Gak ada yang jadi homo, tuh? Yakin?

Maka diperkenalkanlah, tokoh-tokoh baru berikut ini, yang jelas berasal dari novelnya, dengan perubahan-perubahan mereka masing-masing...



Janson (Aidan Gillen)
Di novel:
- Nama: 'Rat-Man'
- Ngapain: Suruhan WCKD 
- Peran: Supporting Character
- Gambaran: Kerempeng, tinggi, rada tuek, muka kek tikus (makanya julukannya Rat-Man)
Di film: 
- Nama: Janson (meskipun nama 'Janson' baru dikumandangkan di novel ketiga, The Death Cure)
- Ngapain: Suruhan WCKD
- Peran: Main Antagonist 
- Gambaran: Paruh baya, kurus tapi gak kerempeng, tinggi rata-rata, muka jelas gak kayak tikus
Impressions:
Lucunya, Janson udah kadung ditunjukkin sebagai antagonis di film ini, padahal di novelnya, dia cuman sebagai peran pembantu (meskipun udah kentara ni orang bakalan jadi antagonis). Belum lagi, yang paling penting adalah pemeranannya oleh Aidan Gillen. Bagi yang gak tahu, di novel, ya kurang lebih dia ini kayak tikus, baik dari perawakan maupun tampang. Di sini, yah dia hanya mengingatkan kita pada seekor tikus, meskipun tidak secara fisik. Mungkin karena Aidan Gillen yang jelas tampangnya gak mendekati seekor tikus, makanya langsung dikasih aja namanya, dari pada dijulukin Rat-Man. 

Thomas dan Janson. 
In any case, penokohan Janson di sini tetep kena. Mungkin secara sekilas gak sedingin yang digambarkan di novel, tapi dasarnya, Janson film dan Janson novel adalah orang yang sama: momok bagi kaum Gladers. Seneng juga sih, Gillen memerankan Janson sebagai tokoh yang kentara banget kualitas antagonisnya: dingin, sinis, skeptis, dan terpenting, mengancam. Meskipun gak setara novelnya, terutama di poin dingin. Then again, all in all, good.


Aris Jones (Jacob Lofland)
Di novel: 
- Nama: Aris
- Ngapain: Selain anggota Regu B (yang mana isinya adalah cewek semua), dia juga berperan sebagai "orang ketiga" dalam kisah roman Thomas dan Teresa. 
- Peran: Supporting Character
- Gambaran: Pirang, jangkung, muka mantap dan tamvan, fisik ideal layaknya Glader yang lain
Di film:
- Nama: Aris Jones
-Ngapain: Anggota kelompok Glader pelarian yang dipimpin Thomas.
-Peran: Main Character
-Gambaran: Pendek, pirang, muka macam nerd, tonggos (sangat tidak bisa dilewatkan), perangai Sonny Tulung lagak Wong Fei Hung
Impressions:
Yep, gue gak menyangka Aris bakal digambarkan kayak gini di filmnya. Gue mungkin berpendapat, Aris diperankan oleh Jacob Lofland adalah sebuah mis-casting alias salah ambil orang. Bukan karena Jacob Lofland tidak memerankan Aris dengan baik (percayalah, dia sudah menjalankan tugasnya). Tapi karena physique Lofland tidak sesuai dengan Aris yang digambarkan di novel. Belum lagi perannya di film yang, katakanlah, dibuat lebih simpel. Daripada jadi orang ketiga merangkap suruhan WCKD merangkap teman Thomas merangkap musuh Thomas di novel, mendingan jadi anggota baru kawanan Thomas dkk. Simpel, toh?
Aris. Serem juga, ya?
Dan apa yang gue maksud dengan "menjalankan tugasnya"? Yah satu sisi yang bagus, Aris memang digambarkan, baik secara langsung maupun enggak, sebagai sosok yang gak banyak omong. Di novel emang dia gak banyak berkata-kata, sedangkan di film, dia gak secerewet Thomas, Minho, dan kaumnya. Itulah Aris yang kita inginkan. Begitulah performa Jacob Lofland sebagai Aris. Selama jalannya film, terlihat Aris si ansos sebenarnya adalah aset yang sangat berguna bagi tim Thomas. Sementara di novel, Aris karena perannya sebagai orang ketiga di antara Thomas dan Teresa, malah gue gak terlalu suka. 

Brenda (Rosa Salazar)
Di novel:
- Nama: Brenda
- Ngapain: Crank (belum sedeng) yang membantu Thomas dalam perjalanannya melewati The Scorch.
- Peran: Main Character
- Gambaran: Rambut cokelat, cantik (menurut Thomas, seenggaknya), kurus
Di film:
- Nama: Brenda
- Ngapain: Penduduk Scorch yang membantu Thomas menyebrangi The Scorch.
Peran: Main Character
-Gambaran: Rambut macam cowok, postur biasa, warna rambut cokelat
Impressions:
Kalo soal fisik, intepretasi orang-orang terhadap tokoh novel berbeda-beda (kecuali Aris, itu mah nyasar, kalo pendapat gue). Dalam hal ini, Brenda secara keseluruhan tetap sesuai dengan versi novelnya. Soal tampang mah, rasanya itu hal yang relatif. Beda dengan perbedaan yang terdapat pada Aris, Brenda secara keseluruhan tidak terlalu drastis. Kesan yang diberikan di film dan di novel tidak terlalu jauh, terutama dengan rambutnya yang pendek memberikan kesan bahwa dia ini tomboy. 
Brenda dalam film. 
Kalo udah kayak gini, Brenda udah bagus. Dari segi pemeranan, Brenda adalah sosok yang awalnya sinis dan skeptis terhadap rombongan Thomas, tapi pada akhirnya, mendapatkan kepercayaan dari pihak Thomas, dan begitupun sebaliknya. Intepretasi dari Brenda hampir tidak melenceng (meskipun berbeda dari beberapa aspek) dari novelnya, dan di sinilah langkah tepat yang diambil oleh produser. 

Soal hubungan antara dia dan Thomas, nah di sini terjadi loncatan buta dari pihak produser. Adegan teler dia dengan Thomas di film menurut gue adalah hal yang sangat tidak terduga, mau itu yang nonton udah baca novelnya atau belum. Yang jelas, adegan ini menyegel hubungan antara Thomas dan Brenda dalam satu adegan saja: orang ketiga. Kurang lebih macam Aris dalam hubungan Thomas-Teresa di novelnya. Benar-benar sebuah gerakan nekat dan berani, bahkan lebih berani dari novelnya.


Jorge (Giancarlo Esposito)
Di novel:
- Nama: Jorge
- Ngapain: Crank yang membantu geng Thomas menyebrangi The Scorch.
- Peran: Main Character
- Gambaran: hispanic, paruh baya, kerempeng tapi jelas jauh dari kata 'lemah'
Di film:
- Nama: Jorge
- Ngapain: Penghuni The Scorch yang membantu Thomas dkk menyebrangi The Scorch
- Peran: Main Character
- Gambaran: paruh baya, hispanic, tidak terlalu kurus, apalagi kuat 
Impressions: 
Jorge di novel dan di film mirip, meskipun dalam wujud yang berbeda. Di novel, dia sangat nyentrik bahkan sedeng (karena statusnya sebagai Crank), sampe-sampe hampir membunuh Minho di saat pertama kali bertemu dengan geng Thomas. Pada akhirnya, Jorge berhasil membuktikan diri sebagai temen seperjalanan dan seperjuangan Gladers yang bisa diandalkan. 

Di film, Jorge sangat mirip dengan karakteristik itu, meskipun tidak seekstrim novelnya. Dia berawal dari sosok yang skeptis terhadap para Gladers. Pada akhirnya, dia adalah kompatriot yang sangat bisa diandalkan. Satu hal lagi, di film, "kegilaan"-nya karena statusnya sebagai seorang Crank di novel digantikan dengan kepintaran dan kecerdikannya dalam menghadapi masalah yang dihadapi Gladers. Meskipun ada sepercik sedikit dari kesintingannya di novel, Jorge lebih sering digambarkan sebagai orang yang pintar dibandingkan gila di film. Alternatif yang bagus. 

Brenda dan Jorge.
Tak kalah penting adalah hubungan antara Jorge dengan Brenda di film. Menurut Brenda (di novel), Jorge adalah semacam father figure baginya. Di film, pernyataan father figure lebih ditekankan (ironisnya), daripada di novelnya. Jorge terlihat sangat protektif terhadap Brenda yang sangat tough dan tomboy. Dan hal ini bagus, karena penokohan ini malahan tidak terlalu terlihat di novelnya. Di film, sifat overprotektif ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan bagi Jorge, hal yang tidak ditunjukkan di novelnya. In short, peran Jorge sebagai father figure bagi Brenda lebih dalam di film daripada di novel

#3: 
Alternate Story?

Hah, selain dari The Scorch yang merupakan setting dari ST, banyak perbedaan yang terdapat pada filmnya, terutama pada CERITA. Well, untuk die-hard fans ini jelas akan terdengar mengecewakan, terutama gue (yang di review The Maze Runner mengatakan: "Ada banyak banget unsur yang gue gak pingin diilangin.").

But, hear me out first, guys, karena menurut pendapat gue..

Banyaknya perbedaan dari novel, it ain't all that bad.

Oke, sebelum para penggemar loyal menggebuki gue rame-rame, gue juga pingin menyatakan, secara pribadi, gue juga gak pingin unsur-unsur keren dari novel (for instance, si Crank yang pingin HIDUNGNYA THOMAS) diilangin. Okay? The Maze Runner udah cukup banyak melakukan penyimpangan dari novelnya, gue gak pingin film selanjutnya lebih dari itu. Lagian, ada alasan kenapa di film The Maze Runner terjadi banyak penyimpangan. Novelnya emang terlalu belibet jika dibandingkan dengan filmnya, bahkan dari sudut cerita. Tapi untuk The Scorch Trials... well, another story, another case.

See? Bayangin betapa kecewanya gue ketika melihat banyak sekali plot substance film yang melenceng dari novel. Gak cuman hal-hal kecil kek tampang ato nama, tapi bisa sampe ke ada unsur novel yang dihilangkan sama sekali dari film, ato unsur film yang gak ada di novel di bab manapun. Parahnya lagi, ada beberapa unsur film yang, versi gampangnya, begitu kita liat, kita bakal, "Ini berdasarkan novel The Scorch Trials?"

Lagi-lagi, dibandingkan dengan mengalami nervous breakdown akibat pelecehan pelencengan film terhadap novel (haish, gak banget), gue lihat dari sisi positifnya. Mungkin scene-scene yang miring ini tidak sama dengan novelnya, tapi MEREKA ADALAH ALTERNATIF. Yep, alternatif.  Bisa jadi, karena adegan ini lebih mudah dicerna dibandingkan dengan menggunakan adegan novel. Bisa jadi, karena adegan di film lebih fresh, karena adegan di novel mungkin tidak cocok jika difilmkan. Intinya, versi lain dari novel.

But then again, kebijakan ini adalah hit and miss. Yang mana film sebelumnya secara keseluruhan masih sama dengan novel kecuali penyajian, di sini, dari resepnya aja udah beda, apalagi penyajiannya. Cuman orang berintuisi kuat yang bisa melihat kesamaan dari film dan novel. Kesamaan antara film dengan novel jauh lebih implisit dibandingkan dengan film sebelumnya. Then again, masih sama, toh?

Hit and miss? Hit adalah yang gue bilang di atas, scene alternatif ada yang lebih enak dilihat dibandingkan dengan novelnya. Hampir semua adegan yang melenceng di film sebenernya memiliki kesamaan dengan di novel. Masalahnya, kalo scene alternatif ada yang lebih enak, berarti ada yang enggak, dong? Di sinilah terjadi miss. Niatannya sih baik, tapi ada aja adegan yang membuat film ini hampir tidak memiliki keterkaitan dengan novel yang didasarinya. Seakan-akan, film ini berdiri sendiri dengan cerita sendiri tapi dengan judul yang sama dengan novelnya.

True, adegan ini gak jelek, ada yang bagus malahan, tapi malahan membuat film ini menjadi

A good movie, a not-so-good adaptation.


(+) - Action scenes yang rapi.
        - Sebenernya tidak terlalu melenceng dari novelnya.
        - Penokohan yang asoy buat tokoh-tokoh barunya.
(-) - The Scorch yang kurang... ya The Scorch.
       - Sekalinya melenceng, nyasar.
       - Penggambaran beberapa tokoh yang rada nyasar juga.

[COMMEND!!80/100

Conclusion:
Film bagus, tapi bukan film adaptasi yang bagus. Berdasarkan banyaknya perbedaan dari novelnya, film ini lebih ke cerita alternatif dari novelnya, bahkan cocok jika berdiri sendiri. Gue menunggu kehadiran The Death Cure (2017), dan gue juga pingin liat, dia setia ato gak.

Until the next post, bungs! :D


















SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...