What the hell is 'Bittersweet', anyway?
Bagi yang kerjaannya nongkrong di rumah doang, buka TV, nonton film seharian (yang mana adalah gue banget), ato mungkin main game dengan cerita yang dalem banget (yang mana gue juga), pastinya udah familiar dengan istilah ini.
Bagi yang kerjaannya bukan dua yang gue jelasin di atas, gue kasitau, ye.
Pertama, kita uraikan kata itu.
Bittersweet terdiri dari dua kata, yaitu Bitter dan Sweet.
Bitter artinya pahit.
Sweet artinya asem asin manis.
Maka, kata 'bittersweet' ini kalo di google translate ke bahasa Indonesia menghasilkan
bittersweet.
Oke, ini emang istilah agak dalem, karena gak mungkin google translate selaku kamus terlengkap di dunia bilang bittersweet 'pahitmanis' dalam bahasa Indonesia, toh?
Anyways, istilah bittersweet sebenernya cukup lazim (seengaknya menurut gue) digunakan di dunia pop culture. Film, game, serial tipi, sinetron (yakali sinetron lokal tau itu artinya apaan), dan semacamnya.
Terutama dalam hal ending-perendingan.
Terutama dalam hal ending-perendingan.
Seperti yang didefinisikan di atas, bittersweet ending berarti ending yang manis-manis-pahit. Atau pahit-pahit-manis. Atau manis-pahit-manis. Atau pahit-manis-pahit. Intinya, menurut gue, ending tersebut ada unsur bad ending yang membuat lu baper, sentimentil, dan sedih, tapi ada juga unsur happy ending ala Cinderella yang bikin lu keluar dari bioskop dengan rasa puas.
So, kalopun lu ada rasa kecewa, seengaknya ada rasa kepuasan yang tersembul pas lu liat ending tersebut, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Lu boleh kecewa pas lu liat ending tersebut, tapi gak menutup kemungkinan lu punya harapan, ekspektasi, atau pandangan optimis terhadap cerita atau tokoh yang terlibat dalam ending tersebut.
Atau, kalo lu mau balik definisinya, ending yang manis di luar pahit di dalem. See, bittersweet dalam bahasa Inggris (gue terjemahin nih ceritanya) adalah 'rasa yang manis pada awalnya tapi pahit pada akhirnya'. Dalam artian lain, dia ini endingnya seneng-seneng, tapi ada satu harga yang harus dibayar demi kesenengan tersebut. Mau itu tokoh utamanya mati kek, ato dunianya ancur kek, ato pacarnya jadi gembel kek, intinya, no pain, no gain.
Kalo menurut gue, bittersweet ending biasanya melakban kata 'BUT' di sinopsisnya.
Contoh, kalo di dunia game:
[SPOILERS!!!]
-> Bioshock Infinite
Comstock si antagonis pun mati-semati-matinya, alias gak pernah lahir,
BUT
Booker DeWitt si protagonis mati.
-> The Last of Us
Ellie, sidekick paling imba di dunia gaming selamat,
BUT
Umat manusia calon musnah karena virus-jamur-zombie yang mematikan.
-> Shadow of the Colossus
Mono, kekasih Wander (si tokoh utama) yang tadinya koid akhirnya idup lagi,
BUT
Wander kesambit tingkat tulen, memaksa pendeta lokal buat ngusir setannya, dan dalam prosesnya, Wander pun ikut, ehm, mati juga.
-> The Witcher 3: Wild Hunt
Ciri jadi penguasa negeri nan bijaksana,
BUT
Ciri harus berpisah dengan Geralt (si tokoh utama), yang sudah membesarkannya kek anak sendiri. *hiks!*
Entahlah, gue gak ketemu bittersweet ending buat yang film punya, mungkin ada yang mau kasih saran?
Lanjut...
So, pas gue kecil, gue cuman tau dua jenis ending terhadap segala jenis cerita.
Bad ending dan Good ending.
Tentu saja semua orang tau good ending yang kek mana, udah terindoktrinasi ke otak anak-anak dalam bentuk dongeng macem Cinderella lah, Snow White lah, Sleeping Beauty lah, dan kaum-kaumnya.
Pas gue kecil, jelas aja preferensi gue terhadap akhir sebuah kisah adalah yang Good ending punya. Simpel aja, semua (kecuali nenek sihir jahatnya, makan bener tuh) hidup bahagia sampai selamanya, the end. Udah. Gak ada kongkalikong, kompromi, konspirasi, apalagi intrik.
Sayangnya, gue udah gak kecil lagi sekarang.
As you can see--
Wait, gue gak pernah kasitau lu, jadinya pernyataan 'as you can see' atau 'seperti yang kamu bisa liat' gak valid. Soalnya, lu pada gak pernah tau apa yang terjadi selama ini. Sorry. Sori. Maap.
So, gue udah lulus SMA sekarang.
Dalam masa-masa akhir SMA ini, gue pun tau tentang tipe ending ketiga, yaitu bittersweet ending. Lu tau sendiri lah spek nya ending macam beginian, gue udah kasitau di atas.
Anehnya, gue lebih suka sama ending tipe ini dibanding good ending.
Why is that?
Pas gue udah gede, dan seiring bertumbuhnya gue, gue jadi lebih skeptis dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekitar gue. Gue jadi tambah sarkastis. Lebih penting lagi, gue jadi ngerasa dunia nyata gak seideal yang dulu gue bayangkan. Jauh dari kata sempurna. Koruptor boleh ketangkep, tapi penjara cuman 5 taon. Yah, intinya, life is not fair.
In doing so, gue pun mulai ngerasa gak ada yang namanya makanan gratis. Lu dapet sesuatu, pasti ada harganya. Inilah pandangan gue terhadap dunia. Kadang-kadang hal buruk dan hal baik terjadi, dan keduanya terlihat tidak berhubungan. Terlihat tidak berhubungan, karena kita gak sadar kalo dua-duanya merupakan aksi-reaksi satu terhadap yang lain. Inilah kenyataan pahit dunia. Inilah dunia yang realistis.
Which makes me feel bahwa good ending bukanlah ending yang realistis sekarang. Terlalu sempurna, eh? Gak ada timbal-balik, sebab-akibat, atau cause-effect (eh, sama aja, ya?) dalam bentuk apapun.
True, true, good ending emang memuaskan, tapi itu gak membuat gue menghargai hal-hal yang baik. Itu gak membuat gue enjoy the little good things. Lu kelamaan berduit banyak, lu gak menghargai nilai real dari duit itu sendiri, ya gak sih? Lu makan banyak terus tiap hari, lu gak menghargai makanan sebanyak orang kere menghargai sesuap nasi, ya gak sih?
On the other hand, bittersweet endings...
Bittersweet ending punya unsur bad ending, baik dalam konsentrasi kecil maupun gede. Membuat lu kecewa, baper, sedih, dan semacamnya. Lu nonton ending tersebut, seakan lu jadi males idup.
Dan di situlah unsur 'sweet' turun.
Unsur 'sweet' ini hadir sebagai pelipur lara. Dia, kek sodara 'bitter' nya, bisa dateng dalam konsentrasi kecil maupun gede pula. Dia ini kerjaannya bikin lu lupa akan kenyataan pahit yang lu hadepin barusan.
Inilah yang bikin ending bittersweet, one way or another, lebih memuaskan.
Dia lebih realistis.
Ending tipe ini bikin kita sadar, kalo idup ini terkadang, bahkan seringkali, gak adil. Idup ini terdiri atas kesedihan dan kebahagiaan. Gak seneng melulu. Tapi lebih penting lagi, bittersweet ending, secara gak langsung, membuat kita menghargai kebaikan-kebaikan yang ada dalam idup kita. Membuat kita sadar, no pain no gain. Kalo kita gak bersedia berkorban, kita gak bakal ke mana-mana.
Bagian 'bitter' adalah pengorbanan yang harus kita lewati agar kita bisa ke bagian 'sweet' dari ending tersebut. Si 'bitter' ini emang menyakitkan, emang menyedihkan, tapi itulah yang membuat bagian 'sweet' tersebut jadi terasa lebih istimewa. Dia terasa lebih nikmat, karena kita udah menderita demi dapet dia.
Ibarat, lebih enak minum Coca-Cola abis lu duduk santai di sofa atau abis lu maraton 5k?
Also, bittersweet ending ini membuat lu sadar, sometimes you must go down before you can go up. Mungkin ada saatnya dalam idup ini, lu harus jatoh, khilaf, keselipet, kepeleset, sebelum lu bisa ngelakuin comeback. Gak ada kebaikan dalam idup ini tanpa keburukan, dan begitupun sebaliknya. Karma exists both ways.
Which brings me to the ending to my own story.
SMA udah selese, Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan Ujian Praktek udah kelar semuanya, bahkan pendaftaran PTN pun udah lewat pas gue nulis ini. Gue gak tau tentang pendaftaran yang mandiri punya, tapi SBMPTN dan SNMPTN sih udah lewat.
Sekarang, gue kasitau lu pada ending dari kisah
Udah agak kentara sih, ngapain gue ngomong belepotan berbusa-busa panjang lebar tentang ending tipe bittersweet kalo itu benda gak ada hubungannya sama gue?
Gue udah ngejelasin tentang bittersweet itu, karena itulah yang gue alamin.
Kurang lebih seminggu sebelum acara serah terima kelulusan gue, gue kedapetan SKHUN (Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional). Milik gue, tentunya. Huruf-huruf yang paling pertama gue cari, tentunya (lagi), adalah pernyataan gue lulus ato gak.
Setelah gue cari selama sepersekian detik, gue pun ketemu.
Gue
Which brought me to the second issue, yaitu nilai UN gue.
Dari nilai UN inilah, ketauan unsur bitter dari ending yang satu ini.
Nilai UN gue gak bagus... bagus banget. Okelah kalo ada beberapa yang di atas KKM (55, ato 65, entahlah), tapi truth be told, sebenernya gak sebagus itu.
Yang paling mencolok adalah nilai Kimia gue.
Dengan ini, gue dengan bangga menyatakan UN Kimia gue bernilai...
50.
Typo, sebenernya gue gak bangga dengan pencapaian gue yang satu ini, tapi gue emang udah se-kesengsem itu sama Kimia sampe-sampe gue udah gak terlalu kaget lagi pas ngeliat dua digit tersebut. Bagi yang belom tau (karena gue gak pernah kasi tau, lebih tepatnya), gue dan mapel Kimia pernah mengalami sengketa tingkat tulen yang menyebabkan nilai semester Kimia gue gak lulus dan gue harus mengikuti remidi. Peristiwa ini terjadi pas gue naik kelas 2 SMA.
Untuk kelima nilai lainnya, aslinya cuman satu nilai yang gue bisa minimal tunjukin ke kedua orang tua gue tanpa ada rasa tengsin, yaitu Bahasa Inggris. As for nilai-nilai lainnya, mereka punya range antara 'hampir di bawah KKM' sampai 'segenteng di atas KKM'.
Inilah ending dari kisah SMA gue.
Ato apakah itu ending sesungguhnya dari kisah SMA gue?
Aslinya gue gak mau bersedih terlalu lama mengenai nilai UN gue yang gak terlalu bagus, karena gue semacam punya keyakinan akan hal lain yang akan terjadi. Hal baik. Hal baik yang akan berfungsi sebagai karma terhadap kenyataan asem ini. Tau sendirilah, payback.
Setelah peristiwa SKHUN tersebut, gue sih udah ngerasa itulah cara gue menutup tiga tahun gue di SMA. Mungkin itulah bittersweet yang gue dapatkan. Bitter dalam bentuk, tau sendirilah, nilai Kimia gocap, dan sweet dalam bentuk nilai Inggris gue yang mumpuni.
BUT
disinilah terletak BUT raksasa yang biasa terdapat dalam kisah bittersweet ending.
Sebelum gue mengikuti acara serah terima lulusan-- salah, sebenernya gue terima SKHUN tersebut adalah proses menuju sebuah peristiwa.
Gue butuh SKHUN tersebut buat ikut SIMAK (Seleksi Masuk) UI.
SIMAK UI buat Kelas Internasional, lebih tepatnya. Gak yakin apa ini Kelas Internasional yang sering digembor-gemborkan oleh channel NET., tapi ya begitulah nama kelas tersebut.
Gue butuh benda tersebut karena ijazah gue belom keluar, baru dokumen berinisial lima huruf tersebut.
So, seminggu sebelum acara serah terima kelulusan gue, gue ikut SIMAK UI. Dalam persiapan gue menuju peristiwa bersejarah ini, gue udah ikut bimbel ternama di Jakarta selama kurang lebih sebulan. Harus gue akuin, ini bimbel emang cukup membantu, tapi sayangnya gue gak ngelakuin apa yang mereka minta gue lakuin: belajar sendiri.
Yep, selama satu bulan sebelum seleksi tersebut, gue gak belajar dalam bentuk apapaun selain kelas-kelas yang gue ikutin selama bimbel. Pulang bimbel, gue langsung nyasar ke depan laptop gue. Itu, ato nyalain TV dan nonton episode-episode pertama musim keenam Game of Thrones.
Tau sendirilah betapa gampangnya *UHUK!* SIMAK tersebut. Jadi dengan gue gak belajar, gue baru aja mengubah peluang gue masuk Kelas Internasional UI dari impossible jadi nihil. Dari Mission: Impossible jadi Mission Impossible-nya Mission Impossible.
Tapi bodo amat, gue udah ikut bimbel tersebut, gue udah daftar ikut SIMAK UI tersebut, gue udah bayar, tinggal bagian tes-nya (dan daftar ulang, kalo gue lulus) aja. Bagian yang sangat menitikberatkan frasa 'do or die', 'merdeka ato mati', dan 'all or nothing'.
Gue pun ikut tes. Kurang lebih 90 menit lamanya.
Minggu lalu, gue pun dapet hasil dari SIMAK UI tersebut.
Tanpa build-up yang terlalu memberikan spoiler... oke, sebenernya udah semacam di-spoil di atas apa jadinya hasil seleksi gue.
Gue lolos.
Just.
Can't.
Believe.
It.
Ngeliat lagi ke belakang, gue pun yakin, inilah bagian 'sweet' dari ending bittersweet masa SMA gue. Setelah kekecewaan yang gue dapetin dari nilai UN gue, gue pun dapetin sesuatu yang membuat gue berpikir, rasanya ini adalah hasil yang sepadan. Okelah kalo nilai UN gue gak berhubungan secara langsung ke hasil SIMAK gue, tapi gue yakin, ada benang merah di balik semua ini.
Mungkin good ending, kek yang gue tulis di atas, lebih ideal.
Tapi one way or another, bittersweet ending terasa lebih nikmat. Lebih rewarding.
Mungkin, beginilah akhir cerita gue di SMA.
But come to think about it,
mungkin,
beginilah awal cerita gue di perguruan tinggi.
Mungkin aja.
Who knows?
Until the next post, bungs! :D