Starring:
- Seth Rogen (Pineapple Express, This is the End) as Frank
- Kristen Wiig (Bridesmaids, Ghostbusters) as Brenda Bunson
- Jonah Hill (21 & 22 Jump Street, War Dogs) as Carl
- Michael Cera (Scott Pilgrim vs. The World, Superbad) as Barry
- Edward Norton (Fight Club, The Grand Budapest Hotel) as Sammy Bagel, Jr.
- David Krumholtz (Numbers, Harold and Kumar series) as Kareem Abdul Lavash
Budget: $19 juta
Box Office (per 17 November 2016): $139,2 juta
Lama: 1 jam 28 menit
Rotten Tomatoes: 83%
US release: 12 Agustus 2016
Bruh...
Like, bruh, lo kenapa sih, Mo!?
Setelah sekian lamanya gak nge-review film, padahal udah ada bejibunnya film bagus (dan film jelek juga, sayangnya), dan lo malah nge-review yang satu ini?! Like, what the hell is wrong with you, man?
Kalo emang gue harus jujur, ya itu karena pas Batman vs. Superman keluar, gue harus nyiapin buat ujian akhir gue. Pas Suicide Squad keluar, gue masih terjebak di antara rangkaian kamaba. Pas Deadpool, Captain America: Civil War, Star Wars: The Force Awakens, Doctor Strange, dan Star Trek Beyond keluar... ya itu pas gue lagi mager.
A'ight, kalo lo pada mau alasan nge-les yang lebih enak didenger dari yang tadi...
1) Film-film sabi yang tadi gue kasitau itu kekubur sama agenda-agenda blog gue yang lain, kek nyeritain temen gue (sampe ada dua bagian, gabut banget ya), ato kisah hidup gue, ato bahkan pengalaman-pengalaman gue.
2) Film-film itu udah kelas-kelas mainstream tingkat tulen, ya nggak sih? Kalo udah kayak gitu, biasanya kurang dari satu hari sejak itu film diputer di bioskop (bahkan sebelum diputer di bioskop, malahan) udah ada aja ulasan tentang film itu. Sebut aja YouTuber terpercaya buat review film kek Jeremy Jahns atau Chris Stuckman pasti udah laku banget ulasan mereka tentang film-film ini. Tentu aja, daripada ngambil pendapat seorang blogger gajelas, pastinya orang bakalan lebih percaya sama orang-orang ini.
3) Masih agak berhubungan dengan alasan kedua, ujung-ujungnya review gue bisa ada unsur kemiripan dengan review-review mereka ini. Ini nih gegara gue yang sering gak tau apa yang mau dibahas di review gue, kadang-kadang review orang lain pun gue jadiin referensi. Akibatnya, bisa aja ada unsur-unsur mirip sama mereka ini. Takut dikira plagiat (atau mungkin udah legit plagiat kali ya, soribet neh), gue kalo review film yang lebih mainstream gak pernah cek-cek review punya mereka.
Nah, gimana?
Puas?
Anyways, ada apa sih dengan film pesta sosis ini?
Emang harus gue akuin, judul film-nya aja udah questionable. Ngapain orang pesta sosis? Lo ngapain bawa sosis ke sebuah pesta selain buat barbeque? Lah, kalo udah kayak gitu, kenapa nama pestanya bukan barbeque party aja?
Mungkin pas lo tau kalo ini adalah film animasi, kayaknya konotasi judul film-nya jadi gak terlalu parah.
Apalagi, kalo lo nonton trailernya, buat ngekonfirmasiin kecurigaan lo kalo ini bukan film animasi biasa, dan mendengar kata "F*CK" pas trailer udah mencapai 1 menit 6 detik, lo pastinya udah tau persis ini jelas bukan buatan para pencinta anak-anak yang kerja di Pixar. Like... f*ck, mate.
Lama setelah itu, akhirnya gue pun kedapetan kesempatan buat nonton film ini.
Ah,well. Let's just say gue kesian sama orang tua yang bawa anaknya ke bioskop buat nonton ini dan ngira ini adalah film animasi lucu macam Finding Dory atau Frozen.
Well, too bad for you guys this ain't Finding Dory.
Emangnya gimana sih, ni film?
Get Your Fill
Harus gue akuin bahwa konsep dari film ini gak cliché. I mean, sejauh ini gue belom liat film Pixar yang mana para tokoh utamanya adalah makanan. Like, what if toys have feelings? Udah. What if cars have feelings? Udah. Hell, what if FEELINGS HAVE FEELINGS? Udah juga. Anehnya, mereka belom nyentuh topik yang lebih simpel dari Inside Out punya: What if foods have feelings?
Setelah dipikir, film ini mungkin jadi salah satu penyebab mereka gak pernah nyentuh topik itu.
Simpel aja: makanan pada akhirnya akan dimakan. I mean, itulah mereka dibuat, dan kurang lebih itulah alasan mereka hidup. Seandainya makanan punya perasaan layaknya manusia, siapa yang mau idup cuman buat dikunyah, dicabik-cabik, dipotong, ditelen, dan dicerna idup-idup? Kalo masih idup, that is.
Ah, basically, begitulah premis dari film ini. Setelah para makanan tau mereka bakalan dimakan (duh!), mereka berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan pahit itu. Caranya? Yang pasti, monster-monster kejam yang akan memakan mereka (baca: manusia) gak bakal suka dengan cara mereka ini.
Menurut gue, film konsep film ini udah sabi parah. Jelas ini fresh banget, gak pernah dibawain oleh film-film Pixar (apalagi DreamWorks). Tapi masalahnya gak terletak sama konsepnya, as with banyaknya film-film dan game-game yang gue pantengin.
Eksekusinya lah, jelas.
Don't get me wrong, premisnya sih udah dibawain dengan baik. Bagaimana para makanan melihat betapa kejamnya nasib mereka yang sesungguhnya adalah agar dimakan oleh para manusia (and man, mereka doesn't hold back on the food violence) dibawakan dengan sangat vivid, se-vivid itu sampe gue rada enek.
Thing is, ni film gak sepenuhnya terfokus sama konsep di atas.
Bukan hal yang salah banget sih, karena tanpa subplot-subplot ini ni film bakalan jadi singkat banget. Udah tambah begituan aja, film ini masih terbilang agak singkat. Udah tambah credits segala macem, ni film gak nyampe 90 menit. Bayangin aja kalo subplot-nya pada ilang, mungkin panjangnya barely nyampe 1 jam. Kurang, malahan.
Yang salah adalah adanya subplot yang gak penting, bahkan untuk standar subplot juga.
Ada subplot yang melibatkan Teresa Del Taco,seorang sebuah taco (like, you don't say) dan Brenda Bunson, roti hot dog yang merupakan salah satu tokoh utama film ngaco ini. Pas pertama gue liat si taco ini, gue sih fine-fine aja, toh dia juga krusial untuk jalannya plot dari film ngaco ini. Langsung ketauan, begitu si Brenda ketemu si taco ini.
But, as they spend some time together, gue ngerasa bahwa Teresa dan Brenda punya chemistry, and... it's not a good one. Bukan musuhan, bahkan chemistry yang antagonistic aja bisa jadi amusing dan menghibur kalo dieksekusi dengan gege, ini... gabut banget. Seakan-akan dipaksakan. Let me give you a couple of hints though, mungkin alasan mereka nambahin hubungan ini adalah 1) memberikan alasan buat KPI sono ngasih film ini rating R, atau 2) memberikan semacam build-up buat ending dari film ini. Udah kebayang, lom?
Tadi itu masih mending. Seenggak-enggaknya Teresa del Taco punya peran yang penting dalam film, dan keberadaan dia semacam bisa dibenarkan.
Bukan cuman subplot gabut doang yang jadi masalah buat pembawaan cerita film ini, tapi... ya pembawaan ceritanya.
Of course, gak ada film yang sempurna in terms of pembawaan cerita. Oke, mungkin ada, tapi gak ada yang sempurna buat semua orang.
Pembawaan cerita Sausage Party gak selamanya sempurna. Ada saatnya dimana main plot jadi agak ngebosenin. Alasan kebosenannya adalah satu hal: exposition. Bahasa Indonesianya: narasi. Itu loh, bagian yang membutuhkan peran narrator. But wait, narrator itu bukannya ada di teater ato drama musical, ya? Exactly.
Di film yang lumayan fast-paced, narasi itu biasanya ngganggu. Niatannya naro narasi itu sih biasanya biar film punya beberapa waktu jeda atau waktu tenang di antara banyaknya adegan-adegan yang tense, tapi narasi ini bukannya memperlambat, malah ngerem mendadak. Adegan jadinya terasa lama, stagnan, dan monoton dengan narasi yang terlalu banyak. And guess what? That's the thing with this movie.
In any event, main plot gak terlalu banyak keganggu dengan exposition, karena sepanjang-panjangnya exposition tersebut, dia gak terlalu banyak nongol, kok. Toh film juga tetep seru dengan banyaknya adegan tense dengan atmosphere yang kental. Adegan menegangkan ini juga kebanyakkan dibantu oleh nature dewasa tingkat parah yang dimiliki oleh film ini, sehingga para scriptwriter punya banyak kebebasan buat nunjukin kreativitas mereka. Ada juga scenes yang shockingly effective gara-gara alasan di atas.
Let's just say, the makers of this movie can really let themselves go with this one.
Check Out Their Packages
As I've said earlier...
Sausage Party bisa dibilang lawakan ala Superbad dalam bentuk animasi.
Wait. Gue gak pernah bilang itu, ya.
In any case, meskipun ini adalah attempt pertama geng-gong Seth Rogen dalam bikin maupun ngisi suara film animasi, they're not actually bad either. Gak cringe sih, seenggaknya.
Matter offact my opinion, performance dari semua pengisi suara sih gue bilang sabi parah. Gak ada yang kedengeran kepaksa, atau kaku, atau bahkan gak niat. That, atau gue gak tau bedanya voice performance yang jelek sama yang bagus. Kalo gue sih, as long as I don't instinctively cringe, udah sabi.
Gak cuman tokoh makanan generik macam sosis dan roti hot dog pasangannya yang mejeng di film ini, tapi makanan lain yang punya latar belakang mancanegara kek lavash, hummus, tequila, dan taco juga ada di film ini, semuanya punya logat sesuai dengan asal mereka masing-masing.
Kayak si Teresa del Taco yang gue ceritain dikit di atas, mungkin aja dia agak sedikit bermasalah di sisi writing, tapi tetep aja performance Salma Hayek believable dan cocok buat makanan Meksiko tersebut. Legit juga sih, soalnya Salma Hayek kan orang Meksiko juga.
Intinya, semua pengisi suara udah meranin peran mereka dengan sabi terlepas dari fakta bahwa ini adalah first-time mereka berperan dalam rupa suara doang.
Mungkin masalah terletak di tokoh-tokohnya kali, ya.
Let's see here...
Frank yang diperankan oleh Seth Rogen... not too big of an issue here. Mungkin sedikit masalah tentang si Frank adalah dia agak sedikit generic as the protagonist, mengingat dia membawa kurang lebih semua sifat generik yang dibawa oleh deretan protagonis generik pula: berani, pantang menyerah, dan basically has good intentions. A real generic character, actually.
Trus, why not too big of an issue?
Seth Rogen, coy.
See, saking bagusnya performance Seth Rogen sebagai Frank, dia sampe-sampe bisa bawa bumbu-bumbu tersendiri ke karakter Frank ini. Logat, dialek, dan cara ngomong Frank sangat, ehm, Seth Rogen, sampe-sampe kadang gue mikir Frank ini adalah Seth Rogen dalam wujud sosis. Writing juga berperan dalam pembawaan karakter Frank, soalnya mau segenerik gimana juga karakter Frank ini, at least dia gak ngebosenin. Then again, kata f*ck emang susah bikin bosen, dan Frank toh juga gak malu-malu nyebutin kata tersebut.
Brenda Bunson by Kristen Wiig... no probs here. Bahkan, Brenda yang bukan sang protagonist adalah karakter yang lebih compelling dari Frank sendiri. Mungkin gara-gara dia lebih layered dari Frank kali, ya.
Selain dari konflik besar yang dihadapin oleh kaum makanan, Brenda punya konfliknya sendiri perihal hubungannya dengan Frank, dan cara Kristen Wiig menyalurkan karakter Brenda dalam menghadapi konflik tersebut juga believable. Chemistry dia sama si Frank juga lancar, mulus, dan amusing, meskipun justru konflik mereka terletak di hubungan mereka. In other words, mereka malah lucu kalo lagi, ehm, berselisih paham.
P.S. Mungkin gara-gara Wiig sendiri bukan newcomer di bidang voice acting karena dia udah pernah main di dua film Despicable Me sebagai dua karakter yang berbeda.
Barry dibawakan olehScott Pilgrim Michael Cera... not too bad either. A good one, even. Funny 'coz Barry starts as a borderline annoying character and ends as a badass. Apa ini artinya?
CHARACTER DEVELOPMENT.
Apa lagi artinya?
STILL BETTER THAN THE PROTAGONIST.
Scratch that actually, karena Barry (maap gue lupa bilang) adalah protagonis lain dari film ini. Turns out, sebenernya ada 2(dua) main plot di film ini, dan plot yang Barry jalanin lebih singkat dan lebih graphic dari plot-nya Frank. Basically, Frank's plot bercerita tentang the conspiracy behind nasib para makanan yang bakalan, ya, dimakan, whereas Barry's plot bercerita the real deal experience nasib para makanan yang bakalan, ya, dimakan juga.
Mengingat plot-nya Barry adalah plotline yang notabene lebih banyak tampilan sadis nan seram "kematian" para makanan, jelas aja ini ngefek ke karakter dia. Jangankan dia, gue sebagai sebuah sosis kalo kena begituan juga pasti trauma. Bukan cuman itu doang, kebanyakan shock value yang digembor-gemborkan oleh film ini kebanyakan kejadiannya di plot-nya Barry.
Trus, apa hubungannya dengan character development?
See, di awal film, Barry adalah sosis yang insecure, cowardly, pessimistic, dan mungkin ada unsur lola juga. Tau sendiri gue sebagai penggemar film action pastinya paling anti sama tokoh dengan sifat begituan, soalnya kalo udah bawa sifat kayak gituan pasti ujung-ujungnya jadi tumbal di film tersebut. Tumbal sih iya, tapi gak mati-mati, dan malahan bisa bikin tokoh utama di film action tersebut mati demi menyelamatkan dia dari ketumbalannya, GOD DAM--
ehm, kok malah curhat, ya.
Mengingat definisi singkat gue tentang cerita Barry yang setara Final Destination-nya makanan, pastinya Barry banyak kena peristiwa yang ngancem idupnya sebagai sebuah sosis. Kalo udah kayak gitu, biasanya cuman ada dua pilihan: you dare or you die. Jelas, ini semacam "memeras" character development dari si Barry ini.
Finally, Nick Kroll as Douche...
...
well, I guess this is it.
This is where it gets unpleasant.
Mulai dari mana ya, gue?
Firstly, Douche adalah tokoh ter-apabanget dari film ini. There. I said it. Why, you might ask?
Tentu aja Douche pastinya punya sifat seorang douchebag alias brengsek yang mana bawaan lo kalo liat muka dia pasti pingin kasih dia hadiah... berupa kursi... ke muka dia.
Tapi ngapain sih dia, sebenernya?
Get this:
ANTAGONIST.
Dan nope, Douche bukan manusia.
Seriously? Para makanan malang ini udah punya masalah monster-monster buas nan kejam (baca: manusia) yang pingin makan mereka, and now mereka harus berurusan sama sebuah douche (it's actually a thing though, look it up) juga?
Then there's this thing about his motivation. Basically, Douche jadi jahat gara-gara dia gak dapet apa yang dia pinginin. Padahal, bisa dibilang, Frank dan Brenda juga bernasib sama. Ada apa sih sebenernya dengan dia yang malahan nyalahin Frank gara-gara kemalangannya? Looking at how it went, Frank is not even remotely responsible. All in all, Douche bisa dibilang punya motivasi setara dengan anak kecil yang ngamuk gara-gara gak jadi dibeliin mainan Adventure Time yang terbaru.
Ada lagi perihal gimana nasib si Douche ini setelah film kelar. To put it simply... it did not satisfy.
A Hero will Rise...?
Gue gak mungkin ngebahas film brengsek ini tanpa ngomongin tentang fiturnya yang paling mencolok, dong.
Nah, bukan kenyataan bahwa 90% tokoh film ini adalah makanan. Oke, itu agak mencolok juga, sih.
Tapi kenyataan bahwa ini adalah animasi ala Frozen atau Zootopia yang SANGAT TIDAK COCOK UNTUK ANAK-ANAK. Bagi orang tua, begitu denger film ini diputer di bioskop, jangan sampe kepikiran buat bawa anak-anak nonton film terkutuk ini.
And why is that?
First, belom ada sepuluh menit film ini jalan, udah ada kata f*ck. Itupun juga bukan semacam kata nyelip, tapi emang di satu film ini kata *ehm* penuh makna itu bertebaran dimana-mana, sampe gue pun ngerasa film macam Scarface atau The Wolf of Wall Street kalah banyak.
Si kata f*ck inipun gak sendirian, dia bawa temen-temen sumpah serapah lainnya kek... ah well, cukup naro dua kali aja, ntar blog gue kena KPI.
Second, in case banyaknya kata mutiara bertebaran di film ini gak cukup buat yakinin lo ini film tergolong explicit tingkat tulen, sebenernya ini film ada unsur horror juga.
Nope, bukan horror yang penuh suspense dan jump-scare macam The Babadook atau The Conjuring, tapi lebih ke body horror atau slasher horror. Kadang-kadang gue pun bingung ngebedain dua genre tersebut gara-gara dua-duanya punya unsur yang sama:
Brutality. Atau cruelty. Atau gore. Eh, just pick one.
Basically, unsur ini melibatkan banyak sekali adegan yang sadis, gak enak dilihat oleh kebanyakan orang, atau mungkin ngilu, kalo efektif banget. Unsur ini tentunya ditandai dengan, gampang aja, banyaknya darah bermuncratan kesana-kemari, dan itu bukan darah gara-gara PMS. Gampang aja sih nyebutin film-film yang masuk ke kategori ini: Friday the 13th, Nightmare on Elm Street, Saw, dan kawan-kawannya, mau itu yang murahan ato yang enggak.
Trus? Apa hubungannya dengan film yang satu ini.
Di film ini, makanan dimakan, men.
That came out wrong.
Di film ini, makanan, yang hidup, punya mata, mulut, dan idung, dan bisa ngomong, DIMAKAN, men.
Bayangin aja kalo itu manusia, trus mereka dimakan, dikunyah-kunyah sampe--
ergh, gue sendiri gak tahan ngebayanginnya.
Begitulah film ini.
Bukan cuman dimakan doang, tapi, layaknya makanan sejati, dipotong, diiris, diparut, digoreng, dan dikukus pula. Pas masih idup, lagi.
Sampe detik ini, belom ada kan, film yang menayangkan manusia digituin? Yang diputer di bioskop, at least.
Third,
well, ini bagian susahnya.
Apa sih yang bikin sebuah film rating R, punya rating R?
NOTE: Gue bukan penonton rajin film-film begituan, jadi emang ini bukan berdasarkan SEMUA film dengan rating R, tapi yang pernah gue tonton.
With that taken care of, ini kriteria berdasarkan pengalaman gue:
1) Gore (optional, actually) --> tingkat kesadisan film tersebut,
2) Profanity --> banyaknya sumpah serapah yang dilontarkan film tersebut,
dan
ehm,
3) Adegan panas.
Kalo yang itu mah, udah terlalu jelas, ya.
Oke, bahkan unsur terakhir yang gue sebutin gak wajib juga. Bener sih, kebanyakan film rating R punya adegan tersebut, tapi gak semuanya, actually. Contoh: This is the End (2013), yang kebetulan buatan geng-gong Seth Rogen juga.
Now, let me tell you something here,
Sausage Party punya semua unsur di atas.
Tebak, unsur apa yang gue belom sebut?
Well, you guessed right.
Dan mereka gak tanggung-tanggung dalam ngebawain unsur ketiga ini. Bukan terkonsentrasi secara sedang dalam satu adegan tambahan yang gak ngaruh ke cerita, atau nyempil dalam adegan sepanjang 30 detik-an, tapi literally hampir 3 menit isinya... begituan. Yep, gue ngitung. Kenapa gue rela put myself through that? Oh ya, for the readers.
Inipun bukan tipe adegan yang up close and personal kayak Fifty Shades of Gray, atau adegan casual yang gak terlalu digembar-gemborkan kayak di Straight Outta Compton. Nope. On the contrary, actually. Let's just say JAUH di atas dua tokoh terlibat dalam adegan tersebut, dan adegan tersebut bener, sungguh, betul, purely intense dengan background music dan screen filter yang, ehm, mendukung suasana.
Well, I've warned you guys.
Gimana dengan gue yang nonton film ini dengan bekal pengetahuan dari review Jeremy Jahns, tanpa tau apa-apa tentang keberadaan adegan begituan?
Melongo, men.
Melongo.
Kata gue sih, di satu sisi, adegan itu rada unnecessary gegara film ini udah keburu dapet rating R tanpa harus pake adegan begituan. Udah punya dua unsur film rating R yang lain, remember? Tanpa adegan ini juga, film ini masih punya cerita yang legit. Almost as if adegan ini ada cuma buat nge-justify rating R yang dia punya.
Di sisi lain, adegan ini kuat dalam bidang "kapan-lagi". Kek, kapan lagi lo bisa ngeliat begituan? Tunggu sampe Sausage Party 2 keluar? Toh, emang udah kodratnya film ini punya adegan begituan, dan cerita pun gak keganggu bener-bener sama adegan ini.
All in all, sekalinya buat film animasi rating R, gak tanggung-tanggung, ye.
(+) - Some real good voice performances.
- Fresh concept dengan pembawaan yang gak bosenin.
- Shock value yang seringnya kena banget.
(-) - Weak antagonist.
- Sub-plot gabut.
- That one scene yang bener-bener hit and miss.
VERDICT:
[RECCOMMENDED!not for all, though]
Seth Rogen and co's first attempt at animation mungkin gak sempurna gegara antagonis dan that one scene gabut, tapi gak ganggu karena sisa filmnya bener-bener gak kendor, gak ngebosenin, dan overall a fun, messed-up ride.
Until the next post, bungs! :D
Get Your Fill
Harus gue akuin bahwa konsep dari film ini gak cliché. I mean, sejauh ini gue belom liat film Pixar yang mana para tokoh utamanya adalah makanan. Like, what if toys have feelings? Udah. What if cars have feelings? Udah. Hell, what if FEELINGS HAVE FEELINGS? Udah juga. Anehnya, mereka belom nyentuh topik yang lebih simpel dari Inside Out punya: What if foods have feelings?
Setelah dipikir, film ini mungkin jadi salah satu penyebab mereka gak pernah nyentuh topik itu.
Simpel aja: makanan pada akhirnya akan dimakan. I mean, itulah mereka dibuat, dan kurang lebih itulah alasan mereka hidup. Seandainya makanan punya perasaan layaknya manusia, siapa yang mau idup cuman buat dikunyah, dicabik-cabik, dipotong, ditelen, dan dicerna idup-idup? Kalo masih idup, that is.
Ah, basically, begitulah premis dari film ini. Setelah para makanan tau mereka bakalan dimakan (duh!), mereka berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan pahit itu. Caranya? Yang pasti, monster-monster kejam yang akan memakan mereka (baca: manusia) gak bakal suka dengan cara mereka ini.
Menurut gue, film konsep film ini udah sabi parah. Jelas ini fresh banget, gak pernah dibawain oleh film-film Pixar (apalagi DreamWorks). Tapi masalahnya gak terletak sama konsepnya, as with banyaknya film-film dan game-game yang gue pantengin.
Eksekusinya lah, jelas.
Don't get me wrong, premisnya sih udah dibawain dengan baik. Bagaimana para makanan melihat betapa kejamnya nasib mereka yang sesungguhnya adalah agar dimakan oleh para manusia (and man, mereka doesn't hold back on the food violence) dibawakan dengan sangat vivid, se-vivid itu sampe gue rada enek.
Thing is, ni film gak sepenuhnya terfokus sama konsep di atas.
Bukan hal yang salah banget sih, karena tanpa subplot-subplot ini ni film bakalan jadi singkat banget. Udah tambah begituan aja, film ini masih terbilang agak singkat. Udah tambah credits segala macem, ni film gak nyampe 90 menit. Bayangin aja kalo subplot-nya pada ilang, mungkin panjangnya barely nyampe 1 jam. Kurang, malahan.
Yang salah adalah adanya subplot yang gak penting, bahkan untuk standar subplot juga.
Slogannya agak ambigu ya... |
Ada subplot yang melibatkan Teresa Del Taco,
But, as they spend some time together, gue ngerasa bahwa Teresa dan Brenda punya chemistry, and... it's not a good one. Bukan musuhan, bahkan chemistry yang antagonistic aja bisa jadi amusing dan menghibur kalo dieksekusi dengan gege, ini... gabut banget. Seakan-akan dipaksakan. Let me give you a couple of hints though, mungkin alasan mereka nambahin hubungan ini adalah 1) memberikan alasan buat KPI sono ngasih film ini rating R, atau 2) memberikan semacam build-up buat ending dari film ini. Udah kebayang, lom?
Tadi itu masih mending. Seenggak-enggaknya Teresa del Taco punya peran yang penting dalam film, dan keberadaan dia semacam bisa dibenarkan.
Bukan cuman subplot gabut doang yang jadi masalah buat pembawaan cerita film ini, tapi... ya pembawaan ceritanya.
Of course, gak ada film yang sempurna in terms of pembawaan cerita. Oke, mungkin ada, tapi gak ada yang sempurna buat semua orang.
Pembawaan cerita Sausage Party gak selamanya sempurna. Ada saatnya dimana main plot jadi agak ngebosenin. Alasan kebosenannya adalah satu hal: exposition. Bahasa Indonesianya: narasi. Itu loh, bagian yang membutuhkan peran narrator. But wait, narrator itu bukannya ada di teater ato drama musical, ya? Exactly.
Di film yang lumayan fast-paced, narasi itu biasanya ngganggu. Niatannya naro narasi itu sih biasanya biar film punya beberapa waktu jeda atau waktu tenang di antara banyaknya adegan-adegan yang tense, tapi narasi ini bukannya memperlambat, malah ngerem mendadak. Adegan jadinya terasa lama, stagnan, dan monoton dengan narasi yang terlalu banyak. And guess what? That's the thing with this movie.
In any event, main plot gak terlalu banyak keganggu dengan exposition, karena sepanjang-panjangnya exposition tersebut, dia gak terlalu banyak nongol, kok. Toh film juga tetep seru dengan banyaknya adegan tense dengan atmosphere yang kental. Adegan menegangkan ini juga kebanyakkan dibantu oleh nature dewasa tingkat parah yang dimiliki oleh film ini, sehingga para scriptwriter punya banyak kebebasan buat nunjukin kreativitas mereka. Ada juga scenes yang shockingly effective gara-gara alasan di atas.
Let's just say, the makers of this movie can really let themselves go with this one.
Check Out Their Packages
As I've said earlier...
Sausage Party bisa dibilang lawakan ala Superbad dalam bentuk animasi.
Wait. Gue gak pernah bilang itu, ya.
In any case, meskipun ini adalah attempt pertama geng-gong Seth Rogen dalam bikin maupun ngisi suara film animasi, they're not actually bad either. Gak cringe sih, seenggaknya.
Matter of
Gak cuman tokoh makanan generik macam sosis dan roti hot dog pasangannya yang mejeng di film ini, tapi makanan lain yang punya latar belakang mancanegara kek lavash, hummus, tequila, dan taco juga ada di film ini, semuanya punya logat sesuai dengan asal mereka masing-masing.
Kayak si Teresa del Taco yang gue ceritain dikit di atas, mungkin aja dia agak sedikit bermasalah di sisi writing, tapi tetep aja performance Salma Hayek believable dan cocok buat makanan Meksiko tersebut. Legit juga sih, soalnya Salma Hayek kan orang Meksiko juga.
Intinya, semua pengisi suara udah meranin peran mereka dengan sabi terlepas dari fakta bahwa ini adalah first-time mereka berperan dalam rupa suara doang.
Mungkin masalah terletak di tokoh-tokohnya kali, ya.
Let's see here...
Ini Frank. |
Ini Seth Rogen. |
Frank yang diperankan oleh Seth Rogen... not too big of an issue here. Mungkin sedikit masalah tentang si Frank adalah dia agak sedikit generic as the protagonist, mengingat dia membawa kurang lebih semua sifat generik yang dibawa oleh deretan protagonis generik pula: berani, pantang menyerah, dan basically has good intentions. A real generic character, actually.
Trus, why not too big of an issue?
Seth Rogen, coy.
See, saking bagusnya performance Seth Rogen sebagai Frank, dia sampe-sampe bisa bawa bumbu-bumbu tersendiri ke karakter Frank ini. Logat, dialek, dan cara ngomong Frank sangat, ehm, Seth Rogen, sampe-sampe kadang gue mikir Frank ini adalah Seth Rogen dalam wujud sosis. Writing juga berperan dalam pembawaan karakter Frank, soalnya mau segenerik gimana juga karakter Frank ini, at least dia gak ngebosenin. Then again, kata f*ck emang susah bikin bosen, dan Frank toh juga gak malu-malu nyebutin kata tersebut.
Kalo yang diatas tadi ambigu, ini apa? |
Kristen Wiig. |
Brenda Bunson by Kristen Wiig... no probs here. Bahkan, Brenda yang bukan sang protagonist adalah karakter yang lebih compelling dari Frank sendiri. Mungkin gara-gara dia lebih layered dari Frank kali, ya.
Selain dari konflik besar yang dihadapin oleh kaum makanan, Brenda punya konfliknya sendiri perihal hubungannya dengan Frank, dan cara Kristen Wiig menyalurkan karakter Brenda dalam menghadapi konflik tersebut juga believable. Chemistry dia sama si Frank juga lancar, mulus, dan amusing, meskipun justru konflik mereka terletak di hubungan mereka. In other words, mereka malah lucu kalo lagi, ehm, berselisih paham.
P.S. Mungkin gara-gara Wiig sendiri bukan newcomer di bidang voice acting karena dia udah pernah main di dua film Despicable Me sebagai dua karakter yang berbeda.
Sori, gak ketemu yang bukan bajakan. |
Barry dibawakan oleh
CHARACTER DEVELOPMENT.
Apa lagi artinya?
STILL BETTER THAN THE PROTAGONIST.
Scratch that actually, karena Barry (maap gue lupa bilang) adalah protagonis lain dari film ini. Turns out, sebenernya ada 2(dua) main plot di film ini, dan plot yang Barry jalanin lebih singkat dan lebih graphic dari plot-nya Frank. Basically, Frank's plot bercerita tentang the conspiracy behind nasib para makanan yang bakalan, ya, dimakan, whereas Barry's plot bercerita the real deal experience nasib para makanan yang bakalan, ya, dimakan juga.
Mengingat plot-nya Barry adalah plotline yang notabene lebih banyak tampilan sadis nan seram "kematian" para makanan, jelas aja ini ngefek ke karakter dia. Jangankan dia, gue sebagai sebuah sosis kalo kena begituan juga pasti trauma. Bukan cuman itu doang, kebanyakan shock value yang digembor-gemborkan oleh film ini kebanyakan kejadiannya di plot-nya Barry.
Trus, apa hubungannya dengan character development?
See, di awal film, Barry adalah sosis yang insecure, cowardly, pessimistic, dan mungkin ada unsur lola juga. Tau sendiri gue sebagai penggemar film action pastinya paling anti sama tokoh dengan sifat begituan, soalnya kalo udah bawa sifat kayak gituan pasti ujung-ujungnya jadi tumbal di film tersebut. Tumbal sih iya, tapi gak mati-mati, dan malahan bisa bikin tokoh utama di film action tersebut mati demi menyelamatkan dia dari ketumbalannya, GOD DAM--
ehm, kok malah curhat, ya.
Mengingat definisi singkat gue tentang cerita Barry yang setara Final Destination-nya makanan, pastinya Barry banyak kena peristiwa yang ngancem idupnya sebagai sebuah sosis. Kalo udah kayak gitu, biasanya cuman ada dua pilihan: you dare or you die. Jelas, ini semacam "memeras" character development dari si Barry ini.
Finally, Nick Kroll as Douche...
...
well, I guess this is it.
This is where it gets unpleasant.
Mulai dari mana ya, gue?
Firstly, Douche adalah tokoh ter-apabanget dari film ini. There. I said it. Why, you might ask?
Tentu aja Douche pastinya punya sifat seorang douchebag alias brengsek yang mana bawaan lo kalo liat muka dia pasti pingin kasih dia hadiah... berupa kursi... ke muka dia.
Tapi ngapain sih dia, sebenernya?
Get this:
ANTAGONIST.
Dan nope, Douche bukan manusia.
Ngomong-ngomong, Nick Kroll tuh yang ini. |
Seriously? Para makanan malang ini udah punya masalah monster-monster buas nan kejam (baca: manusia) yang pingin makan mereka, and now mereka harus berurusan sama sebuah douche (it's actually a thing though, look it up) juga?
Then there's this thing about his motivation. Basically, Douche jadi jahat gara-gara dia gak dapet apa yang dia pinginin. Padahal, bisa dibilang, Frank dan Brenda juga bernasib sama. Ada apa sih sebenernya dengan dia yang malahan nyalahin Frank gara-gara kemalangannya? Looking at how it went, Frank is not even remotely responsible. All in all, Douche bisa dibilang punya motivasi setara dengan anak kecil yang ngamuk gara-gara gak jadi dibeliin mainan Adventure Time yang terbaru.
Ada lagi perihal gimana nasib si Douche ini setelah film kelar. To put it simply... it did not satisfy.
A Hero will Rise...?
Gue gak mungkin ngebahas film brengsek ini tanpa ngomongin tentang fiturnya yang paling mencolok, dong.
Nah, bukan kenyataan bahwa 90% tokoh film ini adalah makanan. Oke, itu agak mencolok juga, sih.
Tapi kenyataan bahwa ini adalah animasi ala Frozen atau Zootopia yang SANGAT TIDAK COCOK UNTUK ANAK-ANAK. Bagi orang tua, begitu denger film ini diputer di bioskop, jangan sampe kepikiran buat bawa anak-anak nonton film terkutuk ini.
And why is that?
First, belom ada sepuluh menit film ini jalan, udah ada kata f*ck. Itupun juga bukan semacam kata nyelip, tapi emang di satu film ini kata *ehm* penuh makna itu bertebaran dimana-mana, sampe gue pun ngerasa film macam Scarface atau The Wolf of Wall Street kalah banyak.
Si kata f*ck inipun gak sendirian, dia bawa temen-temen sumpah serapah lainnya kek... ah well, cukup naro dua kali aja, ntar blog gue kena KPI.
Second, in case banyaknya kata mutiara bertebaran di film ini gak cukup buat yakinin lo ini film tergolong explicit tingkat tulen, sebenernya ini film ada unsur horror juga.
Sengaco apa sih adegannya, sampe muka mereka kek gini? |
Nope, bukan horror yang penuh suspense dan jump-scare macam The Babadook atau The Conjuring, tapi lebih ke body horror atau slasher horror. Kadang-kadang gue pun bingung ngebedain dua genre tersebut gara-gara dua-duanya punya unsur yang sama:
Brutality. Atau cruelty. Atau gore. Eh, just pick one.
Basically, unsur ini melibatkan banyak sekali adegan yang sadis, gak enak dilihat oleh kebanyakan orang, atau mungkin ngilu, kalo efektif banget. Unsur ini tentunya ditandai dengan, gampang aja, banyaknya darah bermuncratan kesana-kemari, dan itu bukan darah gara-gara PMS. Gampang aja sih nyebutin film-film yang masuk ke kategori ini: Friday the 13th, Nightmare on Elm Street, Saw, dan kawan-kawannya, mau itu yang murahan ato yang enggak.
Kek ni kentang, yang basically di-- ah sudahlah. |
Trus? Apa hubungannya dengan film yang satu ini.
Di film ini, makanan dimakan, men.
That came out wrong.
Di film ini, makanan, yang hidup, punya mata, mulut, dan idung, dan bisa ngomong, DIMAKAN, men.
Bayangin aja kalo itu manusia, trus mereka dimakan, dikunyah-kunyah sampe--
ergh, gue sendiri gak tahan ngebayanginnya.
Begitulah film ini.
Bukan cuman dimakan doang, tapi, layaknya makanan sejati, dipotong, diiris, diparut, digoreng, dan dikukus pula. Pas masih idup, lagi.
Sampe detik ini, belom ada kan, film yang menayangkan manusia digituin? Yang diputer di bioskop, at least.
Third,
well, ini bagian susahnya.
Apa sih yang bikin sebuah film rating R, punya rating R?
NOTE: Gue bukan penonton rajin film-film begituan, jadi emang ini bukan berdasarkan SEMUA film dengan rating R, tapi yang pernah gue tonton.
With that taken care of, ini kriteria berdasarkan pengalaman gue:
1) Gore (optional, actually) --> tingkat kesadisan film tersebut,
2) Profanity --> banyaknya sumpah serapah yang dilontarkan film tersebut,
dan
ehm,
3) Adegan panas.
Kalo yang itu mah, udah terlalu jelas, ya.
Oke, bahkan unsur terakhir yang gue sebutin gak wajib juga. Bener sih, kebanyakan film rating R punya adegan tersebut, tapi gak semuanya, actually. Contoh: This is the End (2013), yang kebetulan buatan geng-gong Seth Rogen juga.
Now, let me tell you something here,
Sausage Party punya semua unsur di atas.
Tebak, unsur apa yang gue belom sebut?
Well, you guessed right.
Dan mereka gak tanggung-tanggung dalam ngebawain unsur ketiga ini. Bukan terkonsentrasi secara sedang dalam satu adegan tambahan yang gak ngaruh ke cerita, atau nyempil dalam adegan sepanjang 30 detik-an, tapi literally hampir 3 menit isinya... begituan. Yep, gue ngitung. Kenapa gue rela put myself through that? Oh ya, for the readers.
Beginilah muka gue pas nonton tu adegan. |
Inipun bukan tipe adegan yang up close and personal kayak Fifty Shades of Gray, atau adegan casual yang gak terlalu digembar-gemborkan kayak di Straight Outta Compton. Nope. On the contrary, actually. Let's just say JAUH di atas dua tokoh terlibat dalam adegan tersebut, dan adegan tersebut bener, sungguh, betul, purely intense dengan background music dan screen filter yang, ehm, mendukung suasana.
Well, I've warned you guys.
Gimana dengan gue yang nonton film ini dengan bekal pengetahuan dari review Jeremy Jahns, tanpa tau apa-apa tentang keberadaan adegan begituan?
Melongo, men.
Melongo.
Kata gue sih, di satu sisi, adegan itu rada unnecessary gegara film ini udah keburu dapet rating R tanpa harus pake adegan begituan. Udah punya dua unsur film rating R yang lain, remember? Tanpa adegan ini juga, film ini masih punya cerita yang legit. Almost as if adegan ini ada cuma buat nge-justify rating R yang dia punya.
Di sisi lain, adegan ini kuat dalam bidang "kapan-lagi". Kek, kapan lagi lo bisa ngeliat begituan? Tunggu sampe Sausage Party 2 keluar? Toh, emang udah kodratnya film ini punya adegan begituan, dan cerita pun gak keganggu bener-bener sama adegan ini.
All in all, sekalinya buat film animasi rating R, gak tanggung-tanggung, ye.
(+) - Some real good voice performances.
- Fresh concept dengan pembawaan yang gak bosenin.
- Shock value yang seringnya kena banget.
(-) - Weak antagonist.
- Sub-plot gabut.
- That one scene yang bener-bener hit and miss.
VERDICT:
[RECCOMMENDED!not for all, though]
Seth Rogen and co's first attempt at animation mungkin gak sempurna gegara antagonis dan that one scene gabut, tapi gak ganggu karena sisa filmnya bener-bener gak kendor, gak ngebosenin, dan overall a fun, messed-up ride.
Until the next post, bungs! :D