Part 2.
Part 2 mengisahkan tentang Joseph Joestar, keturunan dari Jonathan Joestar, dan petualangannya untuk mengalahkan The Pillar Men
Part 2 dari year review gue.
Tiga topik di part 1, tiga topik di part 2.
Let's go?
Let's go.
Let's Go, Champ
Bisa gak gue bikin judul header yang lebih kreatif?
Gak, sayangnya. Gue emang secetek itu.
SO, siapa yang menang ketika Logan Paul dan KSI beradu jotos untuk yang pertama kalinya?
Gak ada.
Ada sih sebenernya, yaitu mereka-mereka yang menonton pertandingan tinju tersebut secara gratisan dan menolak untuk membayar $10 biar bisa nonton pertandingan itu di YouTube Red. Berdasarkan argumen yang sama, berarti yang kalah adalah mereka yang rela keluar duit buat nonton pertandingan tinju amatir yang berakhir SERI. Maksud gue, gimana caranya bisa seri? Apa gunanya ditaro tiga juri di setiap pertandingan tinju jaman sekarang?
Oh tenang saja, gue tau duit bermain di sini. Tapi buat sekarang, coba kita asumsikan kalo serentetan (dua, lebih tepatnya) pertandingan tinju KSI dan Logan Paul adalah pertandingan tinju yang... jujur.
Karenabanyaknya duit yang dihasilkan pertandingan pertama berakhir dengan hasil seri, gak ada yang kaget kalo kedua KSI dan Logan Paul langsung mencanangkan sebuah tanding ulang, kali ini di Staples Center, LA pada tanggal 9 November 2019.
Dalam persiapan pertandingan rematch itu, KSI dilatih oleh petinju Viddal Riley dan Jeff Mayweather. Apakah nama belakang Jeff kedengeran familiar? Karena Jeff ini adalah paman dari Floyd Mayweather Jr. Dengan kata lain, ada kemungkinan KSI ini di-endorse dan didukung oleh si Money itu sendiri. Keren gak, tuh?
Sedangkan di sisi seberang, Logan Paul dilatih oleh Shannon Briggs, mantan juara dunia tinju kelas berat. Mestinya gelar itu bisa mendorong popularitas Logan Paul dibandingkan KSI, karena emang bener kalo Shannon Briggs ini juara dunia, tapi... Briggs-nya aja yang rada sengklek.
See, gue gak tau apa-apa soal Shannon Briggs dalam konteks dunia tinju. Gue sendiri tau dikit soal dunia tinju: Floyd Mayweather Jr. jago, Mike Tyson jago, Muhammad Ali jago banget, Anthony Joshua jago, dan Chris John jago. You know, the big names. Kecuali Chris John, dia besar di Indo, gue gak tau kalo di komunitas tinju internasional.
Jadi ketika Shannon Briggs menampakkan dirinya di konferensi pers pertama KSI dan Logan Paul sebelom pertandingan, apa yang paling gue inget dari dia?
"Let's go, champ!"
"Let's go, champ!"
"Let's go champ!"
"Let's go, champ!"
Mungkin dia selingin dikit dengan kata-kata macam "yeah, champ!" ato "he got nothin' on you, champ!" ketika nyinyirin KSI, tapi dia akan SELALU kembali ke
"Let's go, champ!"
Yaelah, Logan Paul ini dilatih sama juara tinju dunia atau Hodor, sih?
Kecuali mungkin nama Shannon Briggs bukan berubah jadi Hodor, tapi semacam Leskejem atau Lesgejem atau semacamnya.
Maksud gue, tentu saja Briggs mengatakan kalimat-kalimat utuh selain tiga kata saktinya, tapi ayolah. Gak banyak quotes yang gue inget dari Shannon Briggs selain "let's", "go", dan "champ". Dalam urutan itu.
Dan ternyata setelah melakukan sedikit penyelidikan ke YouTube (baca: nonton kurang lebih 3 video YT) tentang Shannon Briggs, emang bener. "Let's go champ!" adalah catchphrase dia yang sering dia pake dimana-mana, mau itu di video dia ataupun ketika dia ngejahilin Wladimir Klitschko dengan mantra sakti tersebut. Bukan cuma dalam pertandingan KSI-Logan Paul doang, Briggs membawa "let's go champ!" kemana-mana. "Let's go champ!" adalah Shannon Briggs, dan Shannon Briggs adalah "Let's go champ!"
Anyways, 9 November 2019. Tibalah hari silaturahmi KSI-Logan Paul.
Gak usah gue bikin breakdown-nya kita semua tau siapa yang menang. Gue emang gak se-passionate itu soal tinju dibandingkan gue soal sepak bola.
KSI menang melalui split decision. Dari tiga juri yang menilai pertandingan tinju dua YouTuber tersebut, dua mengatakan KSI menang poin. Sedangkan yang satu, Zachary Young, bilang Logan menang tipis 56-55. Jadi ya, sekalian aja.
Ya gue seneng KSI menang dan Logan Paul kalah. KSI sendiri emang bukan YouTuber panutan teladan menurut gue, tapi Logan Paul? Setelah insiden kegoblokan dan ketidaktahudirian-nya di Jepang, gue jadi anti-Logan Paul. Kalo ada kesempatan buat Logan Paul untuk kalah, ayok aja kalo gue mah. Meskipun Logan masih lebih mending dibandingin Jake Paul dari segi jumlah sel yang berfungsi dalam otak, ya insiden Aokigahara itu emang susah buat di-move-on-in.
Tapi buat gue, alasan lain gue seneng KSI menang adalah siapa lagi kalo bukan Shannon Briggs.
Gini ya cara gue ngejelasinnya:
Shannon Briggs sebelom Logan Paul tanding aja, dia udah memberondongi kita para pemirsa dengan mantra ajaibnya. Saking derasnya tembakan mantranya ini, orang-orang yang gak tau dia kemungkinan besar akan cuma inget dia dengan tiga kata tersebut. Contohnya: gue. Padahal Logan Paul belom menang loh, ini.
Gimana kalo Logan Paul menang?
Hohoho, mantra tersebut akan berevolusi menjadi sebuah semboyan, gak beda jauh dengan para pejuang dulu meneriakkan "MERDEKA ATAU MATI!" sebelom berjuang melawan tentara Belanda. Kalo Logan Paul menang, demi apapun, Briggs bakal nge-spam "Let's go champ!" di layar kaca kita. Cuman kali ini lebih kenceng dan lebih bertubi-tubi. Oh my God, kuping gue sakit pas ngebayanginnya.
Bayangin aja, LGC (gue singkat aja deh, capek ngetiknya) udah jadi meme sebelom pertandingan. Setelah pertandingan dan KSI menang LGC masih jadi meme sih, tapi justru itu. Pertandingan kelar, Logan Paul dan Shannon Briggs kalah, LGC masih jadi meme. GIMANA KALO LOGAN PAUL MENANG?
Ya tetep masih jadi meme sih, tapi jauh, JAUH lebih gede dari keadaannya sekarang. Logan Paul akan bikin merch baru dengan kata-kata LGC tersablon di kaos-kaosnya. Logan (dan Jake, gue rasa) bakal ngomong LGC ketika mereka mengakhiri video ketololan/vlog mereka. LGC bakal jadi judul lagu hit terbaru milik 21 Savage ft. Shannon Briggs yang meneriakkan semboyan tersebut sebanyak 210 kali sebagai beat dasar. Spanduk LGC bakal bertebaran di Super Bowl dan, kalo kita gak hoki, Liga Champions. Saking viralnya LGC, istilah itu bakal jadi bahan berita nasional. Buat kampanye nyapresnya tahun 2020, Donald Trump bakal meninggalkan semboyan MAGAA (Make America Great Again, Again) dan akan beralih ke LGC (Let's Go, Champ!).
Tapi untung aja, KSI yang menang.
Like I said, bayangin aja kalo Logan yang menang...
Tiga topik di part 1, tiga topik di part 2.
Let's go?
Let's go.
Let's Go, Champ
Bisa gak gue bikin judul header yang lebih kreatif?
Gak, sayangnya. Gue emang secetek itu.
SO, siapa yang menang ketika Logan Paul dan KSI beradu jotos untuk yang pertama kalinya?
Gak ada.
Ada sih sebenernya, yaitu mereka-mereka yang menonton pertandingan tinju tersebut secara gratisan dan menolak untuk membayar $10 biar bisa nonton pertandingan itu di YouTube Red. Berdasarkan argumen yang sama, berarti yang kalah adalah mereka yang rela keluar duit buat nonton pertandingan tinju amatir yang berakhir SERI. Maksud gue, gimana caranya bisa seri? Apa gunanya ditaro tiga juri di setiap pertandingan tinju jaman sekarang?
Oh tenang saja, gue tau duit bermain di sini. Tapi buat sekarang, coba kita asumsikan kalo serentetan (dua, lebih tepatnya) pertandingan tinju KSI dan Logan Paul adalah pertandingan tinju yang... jujur.
Karena
Dalam persiapan pertandingan rematch itu, KSI dilatih oleh petinju Viddal Riley dan Jeff Mayweather. Apakah nama belakang Jeff kedengeran familiar? Karena Jeff ini adalah paman dari Floyd Mayweather Jr. Dengan kata lain, ada kemungkinan KSI ini di-endorse dan didukung oleh si Money itu sendiri. Keren gak, tuh?
Sedangkan di sisi seberang, Logan Paul dilatih oleh Shannon Briggs, mantan juara dunia tinju kelas berat. Mestinya gelar itu bisa mendorong popularitas Logan Paul dibandingkan KSI, karena emang bener kalo Shannon Briggs ini juara dunia, tapi... Briggs-nya aja yang rada sengklek.
See, gue gak tau apa-apa soal Shannon Briggs dalam konteks dunia tinju. Gue sendiri tau dikit soal dunia tinju: Floyd Mayweather Jr. jago, Mike Tyson jago, Muhammad Ali jago banget, Anthony Joshua jago, dan Chris John jago. You know, the big names. Kecuali Chris John, dia besar di Indo, gue gak tau kalo di komunitas tinju internasional.
Jadi ketika Shannon Briggs menampakkan dirinya di konferensi pers pertama KSI dan Logan Paul sebelom pertandingan, apa yang paling gue inget dari dia?
"Let's go, champ!"
"Let's go, champ!"
"Let's go champ!"
"Let's go, champ!"
Mungkin dia selingin dikit dengan kata-kata macam "yeah, champ!" ato "he got nothin' on you, champ!" ketika nyinyirin KSI, tapi dia akan SELALU kembali ke
"Let's go, champ!"
Yaelah, Logan Paul ini dilatih sama juara tinju dunia atau Hodor, sih?
Kecuali mungkin nama Shannon Briggs bukan berubah jadi Hodor, tapi semacam Leskejem atau Lesgejem atau semacamnya.
Maksud gue, tentu saja Briggs mengatakan kalimat-kalimat utuh selain tiga kata saktinya, tapi ayolah. Gak banyak quotes yang gue inget dari Shannon Briggs selain "let's", "go", dan "champ". Dalam urutan itu.
Dan ternyata setelah melakukan sedikit penyelidikan ke YouTube (baca: nonton kurang lebih 3 video YT) tentang Shannon Briggs, emang bener. "Let's go champ!" adalah catchphrase dia yang sering dia pake dimana-mana, mau itu di video dia ataupun ketika dia ngejahilin Wladimir Klitschko dengan mantra sakti tersebut. Bukan cuma dalam pertandingan KSI-Logan Paul doang, Briggs membawa "let's go champ!" kemana-mana. "Let's go champ!" adalah Shannon Briggs, dan Shannon Briggs adalah "Let's go champ!"
Anyways, 9 November 2019. Tibalah hari silaturahmi KSI-Logan Paul.
Gak usah gue bikin breakdown-nya kita semua tau siapa yang menang. Gue emang gak se-passionate itu soal tinju dibandingkan gue soal sepak bola.
KSI menang melalui split decision. Dari tiga juri yang menilai pertandingan tinju dua YouTuber tersebut, dua mengatakan KSI menang poin. Sedangkan yang satu, Zachary Young, bilang Logan menang tipis 56-55. Jadi ya, sekalian aja.
Ya gue seneng KSI menang dan Logan Paul kalah. KSI sendiri emang bukan YouTuber panutan teladan menurut gue, tapi Logan Paul? Setelah insiden kegoblokan dan ketidaktahudirian-nya di Jepang, gue jadi anti-Logan Paul. Kalo ada kesempatan buat Logan Paul untuk kalah, ayok aja kalo gue mah. Meskipun Logan masih lebih mending dibandingin Jake Paul dari segi jumlah sel yang berfungsi dalam otak, ya insiden Aokigahara itu emang susah buat di-move-on-in.
Tapi buat gue, alasan lain gue seneng KSI menang adalah siapa lagi kalo bukan Shannon Briggs.
Gini ya cara gue ngejelasinnya:
Shannon Briggs sebelom Logan Paul tanding aja, dia udah memberondongi kita para pemirsa dengan mantra ajaibnya. Saking derasnya tembakan mantranya ini, orang-orang yang gak tau dia kemungkinan besar akan cuma inget dia dengan tiga kata tersebut. Contohnya: gue. Padahal Logan Paul belom menang loh, ini.
Gimana kalo Logan Paul menang?
Hohoho, mantra tersebut akan berevolusi menjadi sebuah semboyan, gak beda jauh dengan para pejuang dulu meneriakkan "MERDEKA ATAU MATI!" sebelom berjuang melawan tentara Belanda. Kalo Logan Paul menang, demi apapun, Briggs bakal nge-spam "Let's go champ!" di layar kaca kita. Cuman kali ini lebih kenceng dan lebih bertubi-tubi. Oh my God, kuping gue sakit pas ngebayanginnya.
Bayangin aja, LGC (gue singkat aja deh, capek ngetiknya) udah jadi meme sebelom pertandingan. Setelah pertandingan dan KSI menang LGC masih jadi meme sih, tapi justru itu. Pertandingan kelar, Logan Paul dan Shannon Briggs kalah, LGC masih jadi meme. GIMANA KALO LOGAN PAUL MENANG?
Ya tetep masih jadi meme sih, tapi jauh, JAUH lebih gede dari keadaannya sekarang. Logan Paul akan bikin merch baru dengan kata-kata LGC tersablon di kaos-kaosnya. Logan (dan Jake, gue rasa) bakal ngomong LGC ketika mereka mengakhiri video ketololan/vlog mereka. LGC bakal jadi judul lagu hit terbaru milik 21 Savage ft. Shannon Briggs yang meneriakkan semboyan tersebut sebanyak 210 kali sebagai beat dasar. Spanduk LGC bakal bertebaran di Super Bowl dan, kalo kita gak hoki, Liga Champions. Saking viralnya LGC, istilah itu bakal jadi bahan berita nasional. Buat kampanye nyapresnya tahun 2020, Donald Trump bakal meninggalkan semboyan MAGAA (Make America Great Again, Again) dan akan beralih ke LGC (Let's Go, Champ!).
Tapi untung aja, KSI yang menang.
Like I said, bayangin aja kalo Logan yang menang...
A Highly Divisive Time
Tahun 2019 menandakan suatu waktu yang sangat penting bagi negara Indonesia.
Gak usah pake basa-basi, kita semua tau apa yang terjadi.
Pemilihan Presiden.
Pertama-tama, gue akan taro ini di paling depan: gue ngasih suara gue buat Jokowi.
Gue inget waktu itu gue lagi di Australia pas lagi jaman-jaman pemilu. Ini pertama BANGET gue nyoblos buat pilpres, dan karena pengalaman pertama banget gue ini diwarnai dengan suasana politik yang panas, menegangkan, dan penuh drama, gue jadi mikir ke diri gue sendiri: "GUE HARUS NYOBLOS."
Hasilnya, gue ngantri jam 11 siang sampe jam 7 malem di Konsulat Jenderal RI Melbourne demi hak suara gue. Tenang aja, gue masih sempet nyoblos. Tapi setelah dipikir, buat pengalaman nyoblos PERTAMA BANGET gue, not bad. Sangat memorable, bahkan. Dari situ gue memetik dua pelajaran: (1) ternyata banyak BANGET warga Indo di Melbourne, dan (2) gue jadi sebel sama orang yang SENGAJA golput. Golput karena sibuk, gak ada waktu, atau salah coblos, oke. Tapi lo yang punya waktu dan tenaga, tapi emang sengaja GAK MAU?
Ah, itu masalah untuk lain hari.
Sekarang, ngebahas pemilu.
Gak beda jauh dengan Piala Dunia 2018 yang gue anggap pildun terseru yang pernah gue tonton, gue menganggap pilpres 2019 adalah pilpres terseru yang pernah gue ikutin. Banyak banget drama. Bisa dibilang, pilpres ini adalah pilpres yang sukses membelah Indonesia menjadi dua kubu: kubu cebong dan kubu kampret. Gak usah di-briefing lagi, kita semua tau kubu mana dukung siapa.
Gara-gara perpecahan ini, kedua kubu menjadi lebih fanatik terhadap capres yang mereka dukung. Saking fanatiknya, mereka jadi irasional dan gak pake akal sehat. Ini gak cuma berlaku buat kubu kampret yang identik dengan para pendukung Prabowo Subianto, kubu cebong juga ada yang berdebat tanpa pake logika.
Misalnya gue inget waktu itu gue nonton acara di Metro TV sama adek gue. Intinya, aktivis Jokowi berdebat dengan aktivis Prabowo. Saking lamanya, gue lupa topik apa yang sebenernya sedang mereka perdebatkan. Yang gue inget adalah salah satu respon dari si aktivis Jokowi. Jadi ketika dia mulai kalah dalam debat tersebut, si aktivis ini mengeluarkan kartu AS sekop-nya dengan bilang,
"Ya daripada bapak Prabowo, udah setahun gaji karyawannya gak dibayar?"
Reaksi gue: "OOOOOOOOOHHHHH!!!"
Reaksi adek gue: "Wuidih!"
Intinya, kita berdua sama-sama kaget.
Tapi soal respon itu sendiri, gue jadi mikir (dan waktu itu gue ngomong ke adek gue): ya terus kenapa kalo Prabowo udah nunggak bayar gaji karyawan-nya selama setahun? Ya emang bener itu salah (banget), tapi apa relevansi-nya ke perdebatan tersebut? Apa hubungannya?
Yang ada, reaksi aktivis tersebut membenarkan satu hal: gak di kubu gue, gak di kubu seberang, sebenernya gak jauh bedanya. Selalu ada yang menyerang melalui masa lalu capres lawannya. Jokowi diserang sana-sini, kebijakannya pas jadi presiden lah, dituduh antek Cina lah, dituduh gak patuh HAM lah, sedangkan Prabowo diserang gara-gara "kegiatannya" selama tahun lahir gue dan masalah perusahaannya. Kalo lo kehabisan amunisi buat berdebat secara rasional, selalu ada kartu AS sekop nya bisa lo pake, yaitu mengungkit masa lalu.
Lagian, buat apa sih, berantem terus? Kayak, apa yang akan lo capai dengan menjatuhkan lawan lo? Berusaha menarik pendukung baru? Kalo lo kayak gitu, apa bedanya lo dengan kubu seberang? Apa yang membuat lo lebih baik dari lawan lo? Toh gue yakin mereka juga akan ngomongin kebaikan Prabowo dan kejahatan Jokowi, sama halnya dengan lo ngomongin kebaikan Jokowi dan kejahatan Prabowo.
Orang mereka berdua ini pada dasarnya adalah temen.
PS. Mereka sih ngomongnya "sahabat", tapi kata "sahabat" dalam dunia politik terlalu sering kepake sehingga maknanya berkurang, jadi gue anggep aja mereka temen.
Mereka adalah temen yang selalu keliatan akrab setiap kali mereka gak lagi debat soal manfaat unicorn di Indonesia. Inget gak, pas mereka pelukan sama atlit silat Hanifan Yudani Kusumah di Asian Games 2018? Gue inget. Dan gue rasa, inilah yang kebanyakan fanatik kubu cebong/kampret suka lupa.
Loncat beberapa bulan setelah gue nonton acara di Metro TV itu, pilpres. Gue nyoblos setengah mati, tapi masih sempet nyoblos, untungnya.
Loncat lagi beberapa bulan setelah gue nyoblos, gue dapet kabar, Jokowi menang. Dan bener adanya, kalo Jokowi menang. Bukan hoax itu.
Gue lega. Gue seneng. Bukan cuma karena pasangan capres yang gue dukung dan percaya akan memimpin Indonesia, tapi karena persitegangan antara kedua kubu pendukung capres bakalan reda. Kita udah tau siapa yang menang, kita udah tau hasilnya, mestinya gak ada alasan buat lanjut jor-joran ngelawan pihak seberang, kan?
Welp, gue salah.
Harus gue akuin, sebagian dari drama yang terjadi pasca pilpres berasal dari Prabowo sendiri. Ya gimana enggak, untuk KEDUA KALINYA BERTURUT-TURUT DALAM SEJARAH, Prabowo menolak hasil quick count suara dari KPU. Dia bilang suaranya udah dimanipulasi lah, dia bilang ada bias dari para penghitung suara lah, dan terakhir, dia mau menuntut Bawaslu melalui Mahkamah Konstitusi. Dia menolak hasil yang menyatakan kalo dia kalah, itu dah intinya.
Tentu saja, reaksi kuat Prabowo mengundang reaksi yang jauh lebih kuat dari netizen. Gue rasa gak perlu gue jelasin, tapi intinya: serang-menyerang antara kedua kubu berlanjut terus. For some reason, gak ada yang menyerah.
Gak ada yang tau, kalo peperangan virtual antara kubu cebong dan kubu kampret itu gak ada gunanya. At least, sebelom Jokowi mengumumkan anggota kabinet dibawah kepemimpinannya.
Karena akhirnya, Prabowo--masih Prabowo yang menolak menerima kekalahan dari Jokowi--dapet kursi sebagai Menhan. Segampang itu abis dia dikalahin, besoknya dia dapet kursi menteri. Abis semua perlombaan dan persaingan kursi tertinggi itu selesai, Jokowi-Prabowo langsung kongkalikong, seakan "permusuhan" mereka selama pilpres ilang begitu aja.
Atau mungkin, mereka emang gak pernah musuhan. Beda halnya dengan kita yang masih terbagi sampai sekarang, saling menyerang tanpa henti.
Inilah yang namanya politik. Semua udah direncanakan. Kuasa dalam suatu negara bisa dibagi-bagi, bahkan ke "musuh" lo sekalipun. Gue yakin, kalo Prabowo menang, Jokowi pasti dapet posisi bagus dalam pemerintahan Prabowo. Mungkin jadi menteri perdagangan, mungkin jadi mendagri. Entahlah.
Gue setuju, kata-kata Prabowo akhirnya jadi pedang bermata dua dan akhirnya menyayat dirinya sendiri. Kata-kata kuat nan menggugah kayak "si vis pacem, para bellum", yang dia kumandangkan pas lawan Jokowi? Ilang begitu aja pas armada Tiongkok melalang buana di laut Natuna. "Kita selow aja, kita selesaikan dengan damai," gitu katanya. Pffft.
Tapi itu bukan alasan buat perpecahan ini untuk terus berlanjut. Masalah yang dihadapi Indonesia jauh lebih besar dari persaingan antara seorang tukang kayu dari Solo dan seorang mantan kolonel TNI. Ada masalah hatespeech, fanatisme agama berlebihan, maraknya misinformasi alias hoax, perlakuan tidak setara antar jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Dan ingat, sumber masalah ini gak cuma dateng dari Prabowo doang, tapi ada juga yang dari Jokowi. Mereka sama-sama bukan malaikat di sini.
Gue teringat sama pertanyaan Najwa Shihab ke Ganjar Pranowo pas Catatan Najwa hadir di Melbourne, acara yang waktu itu gue hadir.
"Mas Ganjar, apa nasehat mas buat masyarakat pasca pemilu?"
"Ya untuk masyarakat Indonesia saya bilang: udah, jangan berantem terus."
After all, it's not madness. It's just politics.
Tahun 2019 menandakan suatu waktu yang sangat penting bagi negara Indonesia.
Gak usah pake basa-basi, kita semua tau apa yang terjadi.
Pemilihan Presiden.
Pertama-tama, gue akan taro ini di paling depan: gue ngasih suara gue buat Jokowi.
Gue inget waktu itu gue lagi di Australia pas lagi jaman-jaman pemilu. Ini pertama BANGET gue nyoblos buat pilpres, dan karena pengalaman pertama banget gue ini diwarnai dengan suasana politik yang panas, menegangkan, dan penuh drama, gue jadi mikir ke diri gue sendiri: "GUE HARUS NYOBLOS."
Hasilnya, gue ngantri jam 11 siang sampe jam 7 malem di Konsulat Jenderal RI Melbourne demi hak suara gue. Tenang aja, gue masih sempet nyoblos. Tapi setelah dipikir, buat pengalaman nyoblos PERTAMA BANGET gue, not bad. Sangat memorable, bahkan. Dari situ gue memetik dua pelajaran: (1) ternyata banyak BANGET warga Indo di Melbourne, dan (2) gue jadi sebel sama orang yang SENGAJA golput. Golput karena sibuk, gak ada waktu, atau salah coblos, oke. Tapi lo yang punya waktu dan tenaga, tapi emang sengaja GAK MAU?
Ah, itu masalah untuk lain hari.
Sekarang, ngebahas pemilu.
Gak beda jauh dengan Piala Dunia 2018 yang gue anggap pildun terseru yang pernah gue tonton, gue menganggap pilpres 2019 adalah pilpres terseru yang pernah gue ikutin. Banyak banget drama. Bisa dibilang, pilpres ini adalah pilpres yang sukses membelah Indonesia menjadi dua kubu: kubu cebong dan kubu kampret. Gak usah di-briefing lagi, kita semua tau kubu mana dukung siapa.
Gara-gara perpecahan ini, kedua kubu menjadi lebih fanatik terhadap capres yang mereka dukung. Saking fanatiknya, mereka jadi irasional dan gak pake akal sehat. Ini gak cuma berlaku buat kubu kampret yang identik dengan para pendukung Prabowo Subianto, kubu cebong juga ada yang berdebat tanpa pake logika.
Misalnya gue inget waktu itu gue nonton acara di Metro TV sama adek gue. Intinya, aktivis Jokowi berdebat dengan aktivis Prabowo. Saking lamanya, gue lupa topik apa yang sebenernya sedang mereka perdebatkan. Yang gue inget adalah salah satu respon dari si aktivis Jokowi. Jadi ketika dia mulai kalah dalam debat tersebut, si aktivis ini mengeluarkan kartu AS sekop-nya dengan bilang,
"Ya daripada bapak Prabowo, udah setahun gaji karyawannya gak dibayar?"
Reaksi gue: "OOOOOOOOOHHHHH!!!"
Reaksi adek gue: "Wuidih!"
Intinya, kita berdua sama-sama kaget.
Tapi soal respon itu sendiri, gue jadi mikir (dan waktu itu gue ngomong ke adek gue): ya terus kenapa kalo Prabowo udah nunggak bayar gaji karyawan-nya selama setahun? Ya emang bener itu salah (banget), tapi apa relevansi-nya ke perdebatan tersebut? Apa hubungannya?
Yang ada, reaksi aktivis tersebut membenarkan satu hal: gak di kubu gue, gak di kubu seberang, sebenernya gak jauh bedanya. Selalu ada yang menyerang melalui masa lalu capres lawannya. Jokowi diserang sana-sini, kebijakannya pas jadi presiden lah, dituduh antek Cina lah, dituduh gak patuh HAM lah, sedangkan Prabowo diserang gara-gara "kegiatannya" selama tahun lahir gue dan masalah perusahaannya. Kalo lo kehabisan amunisi buat berdebat secara rasional, selalu ada kartu AS sekop nya bisa lo pake, yaitu mengungkit masa lalu.
Lagian, buat apa sih, berantem terus? Kayak, apa yang akan lo capai dengan menjatuhkan lawan lo? Berusaha menarik pendukung baru? Kalo lo kayak gitu, apa bedanya lo dengan kubu seberang? Apa yang membuat lo lebih baik dari lawan lo? Toh gue yakin mereka juga akan ngomongin kebaikan Prabowo dan kejahatan Jokowi, sama halnya dengan lo ngomongin kebaikan Jokowi dan kejahatan Prabowo.
Orang mereka berdua ini pada dasarnya adalah temen.
PS. Mereka sih ngomongnya "sahabat", tapi kata "sahabat" dalam dunia politik terlalu sering kepake sehingga maknanya berkurang, jadi gue anggep aja mereka temen.
Mereka adalah temen yang selalu keliatan akrab setiap kali mereka gak lagi debat soal manfaat unicorn di Indonesia. Inget gak, pas mereka pelukan sama atlit silat Hanifan Yudani Kusumah di Asian Games 2018? Gue inget. Dan gue rasa, inilah yang kebanyakan fanatik kubu cebong/kampret suka lupa.
Loncat beberapa bulan setelah gue nonton acara di Metro TV itu, pilpres. Gue nyoblos setengah mati, tapi masih sempet nyoblos, untungnya.
Loncat lagi beberapa bulan setelah gue nyoblos, gue dapet kabar, Jokowi menang. Dan bener adanya, kalo Jokowi menang. Bukan hoax itu.
Gue lega. Gue seneng. Bukan cuma karena pasangan capres yang gue dukung dan percaya akan memimpin Indonesia, tapi karena persitegangan antara kedua kubu pendukung capres bakalan reda. Kita udah tau siapa yang menang, kita udah tau hasilnya, mestinya gak ada alasan buat lanjut jor-joran ngelawan pihak seberang, kan?
Welp, gue salah.
Harus gue akuin, sebagian dari drama yang terjadi pasca pilpres berasal dari Prabowo sendiri. Ya gimana enggak, untuk KEDUA KALINYA BERTURUT-TURUT DALAM SEJARAH, Prabowo menolak hasil quick count suara dari KPU. Dia bilang suaranya udah dimanipulasi lah, dia bilang ada bias dari para penghitung suara lah, dan terakhir, dia mau menuntut Bawaslu melalui Mahkamah Konstitusi. Dia menolak hasil yang menyatakan kalo dia kalah, itu dah intinya.
Tentu saja, reaksi kuat Prabowo mengundang reaksi yang jauh lebih kuat dari netizen. Gue rasa gak perlu gue jelasin, tapi intinya: serang-menyerang antara kedua kubu berlanjut terus. For some reason, gak ada yang menyerah.
Gak ada yang tau, kalo peperangan virtual antara kubu cebong dan kubu kampret itu gak ada gunanya. At least, sebelom Jokowi mengumumkan anggota kabinet dibawah kepemimpinannya.
Karena akhirnya, Prabowo--masih Prabowo yang menolak menerima kekalahan dari Jokowi--dapet kursi sebagai Menhan. Segampang itu abis dia dikalahin, besoknya dia dapet kursi menteri. Abis semua perlombaan dan persaingan kursi tertinggi itu selesai, Jokowi-Prabowo langsung kongkalikong, seakan "permusuhan" mereka selama pilpres ilang begitu aja.
Atau mungkin, mereka emang gak pernah musuhan. Beda halnya dengan kita yang masih terbagi sampai sekarang, saling menyerang tanpa henti.
Inilah yang namanya politik. Semua udah direncanakan. Kuasa dalam suatu negara bisa dibagi-bagi, bahkan ke "musuh" lo sekalipun. Gue yakin, kalo Prabowo menang, Jokowi pasti dapet posisi bagus dalam pemerintahan Prabowo. Mungkin jadi menteri perdagangan, mungkin jadi mendagri. Entahlah.
Gue setuju, kata-kata Prabowo akhirnya jadi pedang bermata dua dan akhirnya menyayat dirinya sendiri. Kata-kata kuat nan menggugah kayak "si vis pacem, para bellum", yang dia kumandangkan pas lawan Jokowi? Ilang begitu aja pas armada Tiongkok melalang buana di laut Natuna. "Kita selow aja, kita selesaikan dengan damai," gitu katanya. Pffft.
Tapi itu bukan alasan buat perpecahan ini untuk terus berlanjut. Masalah yang dihadapi Indonesia jauh lebih besar dari persaingan antara seorang tukang kayu dari Solo dan seorang mantan kolonel TNI. Ada masalah hatespeech, fanatisme agama berlebihan, maraknya misinformasi alias hoax, perlakuan tidak setara antar jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Dan ingat, sumber masalah ini gak cuma dateng dari Prabowo doang, tapi ada juga yang dari Jokowi. Mereka sama-sama bukan malaikat di sini.
Gue teringat sama pertanyaan Najwa Shihab ke Ganjar Pranowo pas Catatan Najwa hadir di Melbourne, acara yang waktu itu gue hadir.
"Mas Ganjar, apa nasehat mas buat masyarakat pasca pemilu?"
"Ya untuk masyarakat Indonesia saya bilang: udah, jangan berantem terus."
After all, it's not madness. It's just politics.
Let Me Live / Let Me Die
I know pain, I know dread
Wicked veins, they turn to lead
Tears don't stop the fire
It's killing time
Selamat datang di Borderlands 3.
Selamat datang di salah satu game paling kontroversial tahun 2019.
Padahal, game ini gak punya sistem microtransactions licik atau loot box mechanics.
Setelah pertemuan singkat gue dengan BL3 di PAX AU 2019, gue akhirnya kesampaian main game tersebut setelah gue pulang ke Indonesia. Gue baru namatin game ini sekali, meskipun gitu gue udah nyobain tiga dari empat karakter utama BL3: Moze, Zane, sama FL4K. Karakter yang gue pake buat namatin BL3 adalah Moze, dan saking OP (overpowered) nya dia ini, gue hampir namatin game ini dua kali pake Moze.
Hmm, gue mulai dari mana ya, soal Borderlands 3 ini.
Di satu sisi, game ini gak terjerat kontroversi kelas teri kayak sistem transaksi dalam game yang rakus, atau sistem loot box yang curang dan lebih rakus, atau bahkan praktik penjualan DLC (downloadable content) yang gak sepadan harganya. Tumben.
TAPI di satu sisi, demi apapun, game ini terjerat kurang lebih SEMUA kontroversi lainnya, terutama sebelom tanggal rilis game.
Sumber dari semua kontroversi ini kebanyakan berasal dari satu orang, sih: Randy Pitchford, CEO dari Gearbox Software selaku perusahaan developer BL3. Gue gak bakal ngungkit masa lalu kelam Randy seperti merusak citra serial Aliens dengan rilis ancur game Aliens: Colonial Marines, tapi terlepas dari itu aja... ni orang banyak berulah.
Pertama-tama, pengisi suara Claptrap diganti dari David Eddings jadi Jim Foronda. Padahal suara Eddings sebagai Claptrap sangat memorable, hampir se-memorable suara Charles Martinet sebagai Mario dari Super Mario. Katanya Eddings ini pisah karena dia sebel sama Randy soal bayaran, dan dia juga bilang kalo Randy ini emang rese' orangnya. Sebuah perkembangan yang disayangkan, tapi gak papa.
Lalu, beredar kabar kalo Randy kehilangan sebuah flash disk yang isinya rahasia perusahaan superpenting milik Gearbox. Dan ternyata, itu bukan bagian yang paling menariknya. Bagian yang paling menarik adalah... dalam flash disk itu juga tersimpan materi bokep. Astaganaga, ni manusia emang.
Tapi yang paling sedap dari ini semua adalah sebuah kasus melibatkan Epic Games Store.
Jadi, Epic Games Store berasal dari Epic Games, developer yang bikin game Fortnite. Kita semua tau Fortnite: game PUBG berestetika kartun yang didesain KHUSUS untuk anak-anak 18 tahun ke bawah.
Setelah kesuksesan besar Fortnite, Epic Games membuat sebuah platform distribusi game digital bernama Epic Games Store (EGS). Intinya, EGS dibuat untuk bersaing dengan Steam, platform distribusi game digital terbesar untuk game PC. Gue adalah salah satu pemakainya sejak 2011, dan gue gak pernah menyesali keputusan gue untuk memakai Steam.
Normalnya, keberadaan EGS bukanlah hal yang buruk. Steam bukanlah satu-satunya distributor game PC digital di dunia sebelom ada EGS. Ada Origin yang menjual game buatan EA, UPlay yang menjual game Ubisoft, ada juga GoG, dan buat kita warga +62, ada Garena. Ini sangat wajar.
Yang gak wajar adalah, EGS ini suka nyolong game yang normalnya dijual di platform lain untuk dijual di platform-nya sendiri DAN platform-nya sendiri doang. Istilahnya, eksklusivitas. Meskipun game ini gak selamanya dijual di EGS doang, menurut gue ini gak adil buat distributor yang lain karena dia punya headstart sehingga dia dapet duit duluan.
Ibaratnya gini, dah.
Fanta bikin rasa baru, Fanta rasa Boba Tea, misalnya. Kita tau kalo SEMUA produk-produk Fanta biasanya dijual di Alfamart, Indomaret, dan FamilyMart. Nah sekarang bayangin, kalo tiba-tiba Indomaret kongkalikong sama Fanta dan akhirnya Fanta Boba dijual di Indomaret DOANG selama satu bulan. Apakah itu adil buat mereka-mereka yang di komplek perumahan mereka cuma ada Alfamart ato FamilyMart? Apakah itu adil buat pihak perusahaan Alfamart dan FamilyMart?
Gitu dah, kurang lebih. (Setau gue) gak salah sih apa yang mereka lakuin, tapi demi apapun itu nyebelin banget. Parahnya, Borderlands 3 "ditahan" di EGS bukan selama sebulan kayak perumpamaan gue tadi, tapi selama ENAM BULAN. Yes betul itu, baru bulan ini baru gue bisa nikmatin main Borderlands 3 di laptop gue, kalo semuanya lancar.
Dan itu udah pernah kejadian sebelom DAN setelah Borderlands 3 keluar. Sebelom Borderlands 3 ada Metro Exodus, dan setelah Borderlands 3 ada The Outer Worlds.
Padahal--ini nih yang kocak--semua game Borderlands dan Metro sebelom BL3 dan Exodus ADA DI STEAM SEMUANYA. Borderlands, Borderlands 2, Borderlands: the Pre-Sequel, Metro 2033, dan Metro Last Light semuanya ada di Steam. Terus kenapa game berikutnya gak ada, padahal mereka udah rilis sejak kapan lamanya? EGS, itulah jawabannya.
Trus yaudah, pindah ke EGS aja, susah amat.
Idealnya sih itu, tapi kenyataannya adalah EGS adalah produk yang inferior dibandingkan dengan Steam. Salah satu yang paling gampang gue jelasin adalah di EGS kita gak bisa ngumpulin user review buat game, sehingga kita gak bisa memberikan feedback kita ke developer game yang kita mainin. Ada bug, glitch atau error yang bikin kita gak bisa mainin game kesayangan kita? Sayang sekali, kita gak bisa mengkomunikasikan uneg-uneg kita ke pihak developer di EGS. Di Steam bisa sih, hehe. Ini gue belom ngebahas fitur dasar kayak tampilan beranda tempat game dijual dan fitur perpustakaan game kita, yang mana dalam kedua bidang Steam lebih bagus dari EGS.
Satu-satunya alasan kenapa Borderlands 3 berserta beberapa game lainnya berpindah ke EGS adalah alasan paling mendasar dari semua alasan di dunia: uang. Betul itu, karena EGS mengiming-imingi para developer game dengan pembagian hasil penjualan sebanyak 88% untuk pihak developer, yang (harus gue akuin) lebih menguntungkan dari Steam dengan pembagian sebesar 70%.
Tapi kalo gak ada yang beli game-nya di EGS gara-gara gak ada yang mau pake EGS, terus apa bedanya?
Lagian, kalo lo udah punya produk yang unggul, buat apa lo memindahkan kesetiaan lo? Belom lagi kalo produk yang satunya malah "menculik" barang kesayangan lo biar lo mau sama dia? Ya kali.
Akhir cerita, gue dan beribu-ribu kaum gamer lainnya menolak untuk pindah ke EGS.
Tapi nampaknya Randy Pitchford gak setuju dengan keputusan kita, karena gue denger dia berantem di Twitter sama banyak penggemar Borderlands soal keputusan pindah ini. Saking serunya dia berantem, sampe dia masuk berita. Hah, dia lagi dia lagi.
Sialnya, keputusan Randy untuk "mengunci" Borderlands 3 di EGS tetep bertahan. Gue gak bisa main Borderlands 3 di laptop gue ketika game-nya keluar.
Tapi tenang aja, gue masih bisa main game itu di PS4.
Eh, lo kira cuman sampe segitu doang, kontroversi-nya?
Bahkan SETELAH game-nya rilis, BL3 teteplah sebuah game yang divisif menurut gue. Game-nya sendiri gak menghasilkan kontroversi seheboh Randy Pitchford sebelom rilisnya sih, tapi ada beberapa poin yang membuat BL3 sebuah game yang divisif menurut gue:
Grafiknya bagus sih, jauh lebih bagus dari BL2 padahal art style-nya masih sama, tapi sesuai dengan pengalaman gue waktu PAX AU 2019, game ini gak se-smooth BL2 dari segi frame per second (FPS). Kadang-kadang ngadet, kadang-kadang lemot, dan emang pada kenyataannya FPS-nya gak selancar BL2.
Gameplay-nya seru. Banget. Lebih cepet dan lebih eksplosif dari BL2. Bukan cuma tembak-tembakannya doang, tapi sistem skills yang dimiliki keempat karakter utama sangat beragam dan sangat berkontribusi terhadapnya serunya BL3.
Sayangnya, story-nya dibawah Borderlands 2 dari segi kualitas. Ini bukan cuma masalah antagonis BL3 (Tyreen dan Troy Calypso) yang kurang menarik dibandingkan antagonis BL2 (Handsome Jack), tapi emang ceritanya aja kurang bagus. Banyak karakter veteran kesayangan fans yang diperlakukan secara semena-mena, sedangkan karakter yang mestinya menggantikan mereka kurang menarik atau nyebelin. Cutscenes yang canggung dan parahnya, GAK BISA DILEWATIN.
Senjata yang jadi fitur utama Borderlands 3, banyak dapet inovasi. Penggunaan senjata dalam game lebih kreatif dan lebih bervariasi gara-gara sekarang banyak senjata yang bisa menembak dalam lebih dari satu mode. Ada senjata yang bisa nembak peluru api ATAU peluru listrik, ada senjata yang bisa nembak peluru biasa ATAU roket, dan ada senjata bisa nembak sekali (dor!) atau tiga kali sekaligus (do-do-dor!).
Sayangnya, sistem drop senjata jadi agak ngejomplang. Senjata ULTRA-LANGKA yang gue yakin di BL2 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000,000, sekarang di BL3 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000. Dengan kata lain, lebih gampang dapet senjata langka di BL3 sekarang. Kalo kurang lebih semua senjata yang kita dapet unik, bukannya itu berarti gak ada senjata yang bener-bener unik?
Mau gimanapun, gue tetep sayang Borderlands 3. Terlepas dari ketololan Randy Pitchford, EGS, cerita dalam game-nya, ataupun sistem loot-nya, Borderlands adalah salah satu game 2019 terseru yang pernah gue mainin. Buktinya, ketika gue mencari data Playstation tentang pola main gue, tercatat bahwa Borderlands 3 adalah game yang paling sering gue mainin tahun 2019 sebanyak 102 jam.
Kemungkinan besar angka itu akan bertambah ketika Borderlands 3 nyampe di Steam dan akhirnya bisa gue mainin di laptop gue. Bakal agak lama sampe itu terjadi sih, karena (1) gue mau nunggu sampe harganya diskon, dan (2) dia harus ngantri barengan dua game lain yang gue wishlist di Steam, Soulcalibur 6 dan Metro Exodus.
But until then, gue akan menunggu dan memainkan game lain yang gue punya sambil mendendangkan lagu-lagu asoy yang udah dikenalin serial game Borderlands ke gue.
Salah satunya adalah "Let Me Live / Let Me Die" karya Des Rocs.
Back from the dead
See, their eyes got nothing left
Kiss me, I am the cobra
It's killing time
Oh let me live, oh let me live, or let me die~
I know pain, I know dread
Wicked veins, they turn to lead
Tears don't stop the fire
It's killing time
Selamat datang di Borderlands 3.
Selamat datang di salah satu game paling kontroversial tahun 2019.
Padahal, game ini gak punya sistem microtransactions licik atau loot box mechanics.
Setelah pertemuan singkat gue dengan BL3 di PAX AU 2019, gue akhirnya kesampaian main game tersebut setelah gue pulang ke Indonesia. Gue baru namatin game ini sekali, meskipun gitu gue udah nyobain tiga dari empat karakter utama BL3: Moze, Zane, sama FL4K. Karakter yang gue pake buat namatin BL3 adalah Moze, dan saking OP (overpowered) nya dia ini, gue hampir namatin game ini dua kali pake Moze.
Hmm, gue mulai dari mana ya, soal Borderlands 3 ini.
Di satu sisi, game ini gak terjerat kontroversi kelas teri kayak sistem transaksi dalam game yang rakus, atau sistem loot box yang curang dan lebih rakus, atau bahkan praktik penjualan DLC (downloadable content) yang gak sepadan harganya. Tumben.
TAPI di satu sisi, demi apapun, game ini terjerat kurang lebih SEMUA kontroversi lainnya, terutama sebelom tanggal rilis game.
Sumber dari semua kontroversi ini kebanyakan berasal dari satu orang, sih: Randy Pitchford, CEO dari Gearbox Software selaku perusahaan developer BL3. Gue gak bakal ngungkit masa lalu kelam Randy seperti merusak citra serial Aliens dengan rilis ancur game Aliens: Colonial Marines, tapi terlepas dari itu aja... ni orang banyak berulah.
Pertama-tama, pengisi suara Claptrap diganti dari David Eddings jadi Jim Foronda. Padahal suara Eddings sebagai Claptrap sangat memorable, hampir se-memorable suara Charles Martinet sebagai Mario dari Super Mario. Katanya Eddings ini pisah karena dia sebel sama Randy soal bayaran, dan dia juga bilang kalo Randy ini emang rese' orangnya. Sebuah perkembangan yang disayangkan, tapi gak papa.
Lalu, beredar kabar kalo Randy kehilangan sebuah flash disk yang isinya rahasia perusahaan superpenting milik Gearbox. Dan ternyata, itu bukan bagian yang paling menariknya. Bagian yang paling menarik adalah... dalam flash disk itu juga tersimpan materi bokep. Astaganaga, ni manusia emang.
Tapi yang paling sedap dari ini semua adalah sebuah kasus melibatkan Epic Games Store.
Jadi, Epic Games Store berasal dari Epic Games, developer yang bikin game Fortnite. Kita semua tau Fortnite: game PUBG berestetika kartun yang didesain KHUSUS untuk anak-anak 18 tahun ke bawah.
Setelah kesuksesan besar Fortnite, Epic Games membuat sebuah platform distribusi game digital bernama Epic Games Store (EGS). Intinya, EGS dibuat untuk bersaing dengan Steam, platform distribusi game digital terbesar untuk game PC. Gue adalah salah satu pemakainya sejak 2011, dan gue gak pernah menyesali keputusan gue untuk memakai Steam.
Normalnya, keberadaan EGS bukanlah hal yang buruk. Steam bukanlah satu-satunya distributor game PC digital di dunia sebelom ada EGS. Ada Origin yang menjual game buatan EA, UPlay yang menjual game Ubisoft, ada juga GoG, dan buat kita warga +62, ada Garena. Ini sangat wajar.
Yang gak wajar adalah, EGS ini suka nyolong game yang normalnya dijual di platform lain untuk dijual di platform-nya sendiri DAN platform-nya sendiri doang. Istilahnya, eksklusivitas. Meskipun game ini gak selamanya dijual di EGS doang, menurut gue ini gak adil buat distributor yang lain karena dia punya headstart sehingga dia dapet duit duluan.
Ibaratnya gini, dah.
Fanta bikin rasa baru, Fanta rasa Boba Tea, misalnya. Kita tau kalo SEMUA produk-produk Fanta biasanya dijual di Alfamart, Indomaret, dan FamilyMart. Nah sekarang bayangin, kalo tiba-tiba Indomaret kongkalikong sama Fanta dan akhirnya Fanta Boba dijual di Indomaret DOANG selama satu bulan. Apakah itu adil buat mereka-mereka yang di komplek perumahan mereka cuma ada Alfamart ato FamilyMart? Apakah itu adil buat pihak perusahaan Alfamart dan FamilyMart?
Gitu dah, kurang lebih. (Setau gue) gak salah sih apa yang mereka lakuin, tapi demi apapun itu nyebelin banget. Parahnya, Borderlands 3 "ditahan" di EGS bukan selama sebulan kayak perumpamaan gue tadi, tapi selama ENAM BULAN. Yes betul itu, baru bulan ini baru gue bisa nikmatin main Borderlands 3 di laptop gue, kalo semuanya lancar.
Dan itu udah pernah kejadian sebelom DAN setelah Borderlands 3 keluar. Sebelom Borderlands 3 ada Metro Exodus, dan setelah Borderlands 3 ada The Outer Worlds.
Padahal--ini nih yang kocak--semua game Borderlands dan Metro sebelom BL3 dan Exodus ADA DI STEAM SEMUANYA. Borderlands, Borderlands 2, Borderlands: the Pre-Sequel, Metro 2033, dan Metro Last Light semuanya ada di Steam. Terus kenapa game berikutnya gak ada, padahal mereka udah rilis sejak kapan lamanya? EGS, itulah jawabannya.
Trus yaudah, pindah ke EGS aja, susah amat.
Idealnya sih itu, tapi kenyataannya adalah EGS adalah produk yang inferior dibandingkan dengan Steam. Salah satu yang paling gampang gue jelasin adalah di EGS kita gak bisa ngumpulin user review buat game, sehingga kita gak bisa memberikan feedback kita ke developer game yang kita mainin. Ada bug, glitch atau error yang bikin kita gak bisa mainin game kesayangan kita? Sayang sekali, kita gak bisa mengkomunikasikan uneg-uneg kita ke pihak developer di EGS. Di Steam bisa sih, hehe. Ini gue belom ngebahas fitur dasar kayak tampilan beranda tempat game dijual dan fitur perpustakaan game kita, yang mana dalam kedua bidang Steam lebih bagus dari EGS.
Satu-satunya alasan kenapa Borderlands 3 berserta beberapa game lainnya berpindah ke EGS adalah alasan paling mendasar dari semua alasan di dunia: uang. Betul itu, karena EGS mengiming-imingi para developer game dengan pembagian hasil penjualan sebanyak 88% untuk pihak developer, yang (harus gue akuin) lebih menguntungkan dari Steam dengan pembagian sebesar 70%.
Tapi kalo gak ada yang beli game-nya di EGS gara-gara gak ada yang mau pake EGS, terus apa bedanya?
Lagian, kalo lo udah punya produk yang unggul, buat apa lo memindahkan kesetiaan lo? Belom lagi kalo produk yang satunya malah "menculik" barang kesayangan lo biar lo mau sama dia? Ya kali.
Akhir cerita, gue dan beribu-ribu kaum gamer lainnya menolak untuk pindah ke EGS.
Tapi nampaknya Randy Pitchford gak setuju dengan keputusan kita, karena gue denger dia berantem di Twitter sama banyak penggemar Borderlands soal keputusan pindah ini. Saking serunya dia berantem, sampe dia masuk berita. Hah, dia lagi dia lagi.
Sialnya, keputusan Randy untuk "mengunci" Borderlands 3 di EGS tetep bertahan. Gue gak bisa main Borderlands 3 di laptop gue ketika game-nya keluar.
Tapi tenang aja, gue masih bisa main game itu di PS4.
Eh, lo kira cuman sampe segitu doang, kontroversi-nya?
Bahkan SETELAH game-nya rilis, BL3 teteplah sebuah game yang divisif menurut gue. Game-nya sendiri gak menghasilkan kontroversi seheboh Randy Pitchford sebelom rilisnya sih, tapi ada beberapa poin yang membuat BL3 sebuah game yang divisif menurut gue:
Grafiknya bagus sih, jauh lebih bagus dari BL2 padahal art style-nya masih sama, tapi sesuai dengan pengalaman gue waktu PAX AU 2019, game ini gak se-smooth BL2 dari segi frame per second (FPS). Kadang-kadang ngadet, kadang-kadang lemot, dan emang pada kenyataannya FPS-nya gak selancar BL2.
Gameplay-nya seru. Banget. Lebih cepet dan lebih eksplosif dari BL2. Bukan cuma tembak-tembakannya doang, tapi sistem skills yang dimiliki keempat karakter utama sangat beragam dan sangat berkontribusi terhadapnya serunya BL3.
Sayangnya, story-nya dibawah Borderlands 2 dari segi kualitas. Ini bukan cuma masalah antagonis BL3 (Tyreen dan Troy Calypso) yang kurang menarik dibandingkan antagonis BL2 (Handsome Jack), tapi emang ceritanya aja kurang bagus. Banyak karakter veteran kesayangan fans yang diperlakukan secara semena-mena, sedangkan karakter yang mestinya menggantikan mereka kurang menarik atau nyebelin. Cutscenes yang canggung dan parahnya, GAK BISA DILEWATIN.
Senjata yang jadi fitur utama Borderlands 3, banyak dapet inovasi. Penggunaan senjata dalam game lebih kreatif dan lebih bervariasi gara-gara sekarang banyak senjata yang bisa menembak dalam lebih dari satu mode. Ada senjata yang bisa nembak peluru api ATAU peluru listrik, ada senjata yang bisa nembak peluru biasa ATAU roket, dan ada senjata bisa nembak sekali (dor!) atau tiga kali sekaligus (do-do-dor!).
Sayangnya, sistem drop senjata jadi agak ngejomplang. Senjata ULTRA-LANGKA yang gue yakin di BL2 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000,000, sekarang di BL3 kemungkinan dapetnya adalah 1:1,000. Dengan kata lain, lebih gampang dapet senjata langka di BL3 sekarang. Kalo kurang lebih semua senjata yang kita dapet unik, bukannya itu berarti gak ada senjata yang bener-bener unik?
Mau gimanapun, gue tetep sayang Borderlands 3. Terlepas dari ketololan Randy Pitchford, EGS, cerita dalam game-nya, ataupun sistem loot-nya, Borderlands adalah salah satu game 2019 terseru yang pernah gue mainin. Buktinya, ketika gue mencari data Playstation tentang pola main gue, tercatat bahwa Borderlands 3 adalah game yang paling sering gue mainin tahun 2019 sebanyak 102 jam.
Kemungkinan besar angka itu akan bertambah ketika Borderlands 3 nyampe di Steam dan akhirnya bisa gue mainin di laptop gue. Bakal agak lama sampe itu terjadi sih, karena (1) gue mau nunggu sampe harganya diskon, dan (2) dia harus ngantri barengan dua game lain yang gue wishlist di Steam, Soulcalibur 6 dan Metro Exodus.
But until then, gue akan menunggu dan memainkan game lain yang gue punya sambil mendendangkan lagu-lagu asoy yang udah dikenalin serial game Borderlands ke gue.
Salah satunya adalah "Let Me Live / Let Me Die" karya Des Rocs.
Back from the dead
See, their eyes got nothing left
Kiss me, I am the cobra
It's killing time
Oh let me live, oh let me live, or let me die~
***
Yap, kita udah sampai di penghujung.
"Review" yang kali ini lebih pendek karena jujur aja, ini udah telat banget. Tiga bulan udah berlalu. Sebenernya apa yang gue ulas di sini udah basi, tapi gue tetep tulis aja, soalnya jari gue tetep harus gue asah.
Untuk selanjutnya, mungkin gue akan bikin extended version dari ulasan gue tentang Game of Thrones, Star Wars, dan Marvel Cinematic Universe. Mestinya gak terlalu lama sih, orang sebagian besar dari post tersebut terdiri dari copas-an.
Tapi untuk sekarang, inilah ulasan dua babak milik gue tentang tahun lalu, tahun 2019.
Buat tahun 2020... astaga, terlalu banyak yang bisa dibahas. Mau mulai dari mana gue? Perang Dunia III, Kobe Bryant, dan COVID-19? Itu aja udah tiga, dan ini baru BULAN MARET.
Ah well, kita tunggu aja sampai bulan Desember. Kalo gue gak hoki, mungkin gue akan punya 12 topik, satu buat tiap bulan, karena tiap bulan ada aja masalahnya. Emang ada-ada aja, dunia yang kita tinggali ini.
Kalo lo udah baca sampe sini, selamat dan makasih banyak karena udah bersabar mantengin tulisan ngasal gue.
Sampai jumpa di edisi berikutnya.
Arriverderci! :D