Monday, November 23, 2015

THIS IS A REVIEW - NOVEL: Assassin's Creed: Black Flag

Author: Oliver Bowden 
US Release: 20 November 2013
Publisher: Penguin Books Ltd. 
Based On: Assassin's Creed 4 - Black Flag

Jarang-jarang ya. 

Bukan "jarang-jarang ya" lagi sih, tapi emang gue belum pernah bikin resensi novel. Inipun aja gue terinspirasi dari tugas sekolah gue yang, lu tebak sendiri, suruh bikin resensi novel. Dan gue punya beberapa novel yang bisa gue resensiin kek The Maze Runner series, atau The Heroes of Olympus series. Tapi akhirnya, gue milih ni buku. 

Kenapa?

See, gue udah main gamenya. Hell, gue sebenernya main gamenya karena gue baca novel satu ini. Ini novel, adalah novel yang berhasil membuat gue masuk ke dunia Assassin's Creed (yep, AC: Black Flag adalah game AC gue yang pertama). Jadi mikir aja, kalo misalnya novel yang berdasarkan sebuah game (yang jelas dibuat belakangan) bisa bikin gue pingin main gamenya (yang jelas dibuat duluan), mestinya dia punya daya tarik tersendiri, toh? 

Apa sebenernya point of interest buku ini, sampe gue jadi ngidem main Black Flag karenanya? 

Keep in mind yang gue bahas (beda dengan gambar yang gue taro di atas) adalah versi terjemahan bahasa Indonesia. Meskipun gue gak bakal masalah kalo disuruh baca yang bahasa Inggris, ya sayangnya yang gue temuin di Gramed adalah bahasa Indonesia punya. Ya mau gimana lagi ya... 

#1:
My Name is Ezio Edward

Berbeda dengan novel sebelumnya yang kebanyakkan dibintangi Ezio Auditore da Firenze, sekarang novel Assassin's Creed dibintangi oleh... ya jelas protagonis Black Flag Edward Kenway. 

First thing... dua orang ini berasal dari dua dunia yang berbeda. 
Ezio Auditore da Firenze.

Ezio memiliki latar belakang kaum ningrat. Kaum bangsawan. Kaum kelas atas. Jadi, jelas pembawaan Ezio lebih berkelas, lebih sophisticated, dan jauh lebih mewah dari Edward. Dan hal ini ya kebawa ke cerita Assassin's Creed-nya. Bahasanya juga lebih romantis dan sopan. Ya jelas, di gamenya aja dia bisa dengan gampangnya merayu semua wanita yang dia temui. Yang cantik-cantik pula. 

Edward Kenway. 
Dan di sisi lain... Edward. Dari bab-bab pertama novelnya aja, lu bisa tau kalo Edward ini anak kampung. Ya gak kampung segitunya juga, tapi ya rada kampung. Dengan latar belakang anak pedagang bulu domba dari Swansea, Edward lebih norak dan urakan dari Ezio. Tentunya ini kebawa ke cara Edward (selaku narator cerita) membawakan novel. Bahasanya lebih lugas, lebih blak-blakkan, tapi lebih seru buat diikutin. Jelas aja, dia berlatar belakang orang biasa. 

Jangan salah, bukan cuman cerita game aslinya yang disuguhkan di novel ini, tapi juga cerita yang mendahului gamenya dan cerita setelah cerita gamenya selesai. Keduanya menggambarkan karakter Kenway yang rada keliatan di game tapi gak sekentara itu: mulut besar, berani, lancang bahkan, tapi hatinya murni. Di bab-bab awal juga diceritain alasan kenapa dia jadi bajak laut, dan juga lebih banyak penjelasan mengenai keluarganya (dengan bahasa nyelenehnya, jelas). 

Tapi yang sebenernya bagus buat diikutin adalah character development dari Edward Kenway sendiri. Mungkin sikap ngawur dia gak pernah bener-bener berubah selama jalannya cerita, tapi ada satu hal yang kentara berubah.

Motif. 

Awalnya, motivasi dia menjadi bajak laut adalah untuk mencari, meraup, merompak, dan menggrebek harta karun sebanyak-banyaknya. Yang penting, duit. Yang penting, kaya. Yang penting, makmur. Yang penting, hepi. Anggep aja, kek bajak laut tulen. Lagian, Edward Kenway itu bajak laut juga, toh? 

Tapi kawan, seiring berjalannya cerita, Edward bermetamorfosis (shiet, bahasa tinggi) dari bajak laut awam menjadi seorang Assassin yang bertujuan mulia. Edward, yang awalnya hanya mikirin duit, money, dan semua benda yang berkilau, menjadi orang yang menentang penindasan, memperjuangkan kebebasan, dan melawan tirani. Yang awalnya berpikiran sempit menjadi memiliki perspektif luas. 

Obviously, perubahan tersebut dibawa dengan wit dan charm yang dimiliki oleh seorang Edward Kenway. Gaya penulisan novel ini terlihat fresh, relatable, dan appealing. Meskipun Edward sendiri mengalami perubahan motif, dia, kek yang tadi gue bilang, gak mengalami perubahan karakter (yang drastis, seenggaknya). Dia masih punya sisi humor, sisi tengil, dan sisi kampungannya, bahkan setelah dia menjadi Assassin. Dan ini gue suka, karena dengan pembawaan macam ini, kita melihat character development yang baik tanpa melepaskan daya tarik yang kita suka dari Edward Kenway. 

This, I like. 


#2
 And We Shall Sail Under the Black Flag

Sebagus-bagusnya sebuah premis, kalo delivery-nya amburadul, ya kacaulah ceritanya. 

Lho gak, lu kira gue bakal bilang kalo pembawaan novel ini acakadut? 

Oke, mungkin sedikit. 

Game aslinya memilki orientasi yang lebih tinggi terhadap action dibandingkan stealth. Otomatis, bakal ada banyak adegan seru di gamenya. Bacok-bacokkan, bunuh-bunuhan, dan pedang-pedangan (don't take this the wrong way, guys). 

Mengingat ini adalah sebuah novel yang didasari oleh game action tulen tersebut, jelas gak mungkin toh, novel ini menghilangkan unsur action yang terpatri ke gamenya? 
Gimana cara lu gambarin adegan ini? 

Secara visual, adegan-adegan laga tidak terlalu susah untuk digambarkan. Tapi, secara verbal, menggambarkan adegan laga butuh usaha dan kejelian. Salah tulis, orang bingung cara bayangin adegan adu jotosnya. Siapa yang mukul, dipukul, yang giginya rontok, yang memar matanya, kalo gambarinnya meleset, ya jadinya gak jelas. 

Dan di novel ini, kita mengandalkan seorang Edward Kenway, selaku narator, untuk menggambarkan secuplik perjalanan hidupnya (Oliver Bowden sih, tapi Kenway berperan sebagai pihak pencerita di sini). 

And he is the one that made this book shine. 

Ceritanya secara keseluruhan menarik, terutama bagian prolog dan epilog yang gak ada di gamenya. Pembawaan plot novel ini menurut gue runtut dan jelas. Tapi kadang-kadang, kalo terlalu runtut dan jelas, bisa menjadi monoton. 

Maka, keluarlah fitur kedua dari novel ini, yaitu celetukan kampung khas Edward Kenway yang membuat peristiwa sekitarnya menjadi lebih menarik. 

Entah kenapa, selalu ada aja selingan ngawur dan nyeleneh milik Edward Kenway terhadap peristiwa di sekitarnya. Ketika dia merompak, membunuh orang, menghunuskan hidden blade-nya ke dada orang, bahkan saat sedang mabok-mabokkan sama temen-temennya. Secara diam-diam, opini Kenway mengenai sekitarnya menggambarkan karakter Kenway, yaitu besar mulut (dan dia sendiri mengakuinya). 

Soal action yang tak terhindarkan dari cerita novel ini, sebenernya seru juga, kalopun lu belom tau apa-apa tentang game-nya. Edward si bajak laut selain nyeleneh, juga memiliki indra tajam tentang sekitarnya (ya semua Assassin gitu juga, sih). Terbukti dari cara dia menggambarkan sebuah adegan laga dengan sangat detail dan rapi. Mulai dari dia menghindari bogem orang, sampe dia balik bogem orang itu, crystal-clear. Belum lagi, ada aja celetukan khas Edward Kenway, jadinya ada tuangan humor ke adegan seru itu. Nice. 

Versi singkatnya, ini adalah Black Flag dari mata Kenway, and this, I like as well. 

#3: 
Lost in Translation

Apa yang tadi gue bilang tentang premis Black Flag yang diberantakin?

Sedikit? 

Karena sebenarnya, novel Black Flag adalah novel yang baik apa adanya. Seperti yang tadi gue bilang, meskipun berorientasi action, adegan laga pada novel tersebut digambarkan dengan baik. Ada juga celetukan Edward Kenway yang unik dan menyentil, sehingga cerita novel memiliki warna khas. 

Sebenarnya. 

See, sebenarnya, dalam arti, novel yang sebenarnya. Dalam arti lain, novel yang asli. Dalam arti lain, novel dalam bahasa asalnya, bahasa Inggris. 

Kan yang gue baca versi terjemahan bahasa Indonesia-nya. 

Dalam transisinya ke bahasa Indonesia, novel ini ya gak bisa dibilang ancur-lebur. Jelas aja, soalnya gue masih ngerti apa yang sebenernya dibicarakan oleh novel ini. 

Sayangnya, ada aja istilah-istilah yang gue gak mudeng, mau sejernih-jernih ataupun mau se-'you-don't-say'-nya penjelasan dari si Edward, kadang-kadang ya gue gak terlalu paham. Atau gue yang goblok. Ada aja adegan action yang gue gak terlalu nangkep, sehingga rada kabur di imajinasi gue. 

Apa ini gara-gara penerjemahan yang kurang jago? 

Partly. 

Tapi coba kita liat dari sisi lain, yaitu the source material. 

Gak perlu gue baca versi asli bahasa Inggrisnya, gue udah tau kalo ni buku memiliki tema bajak laut yang kental beudh. Saking kentalnya, kita orang Indonesia yang gak ngikutin bajak laut kek Blackbeard (yang kita kebanyakan tau cuman dari One Piece) (dan itupun jelas gak kek aslinya), ya gak tau apa-apa. 

Nothing wrong with being original. With being authentic. Jelas, mengurangi unsur authenticity dari novel bajak laut ini sama saja dengan mengurangi salah satu daya tarik utama dari novel itu sendiri. Maka, gue punya saran terhadap kendala ini. 

That is, make the details more accessible. Maksud gue, kasih penjelasan tentang dunia bajak laut yang sedang kita masukkin. Gambar, ato mungkin keterangan dari penulis, ato mungkin lebih implisit lagi, yaitu penjelasan langsung dari si Edward Kenway. Then again, ini sebenernya opsional, karena tanpa keberadaan hal ini pun, novel ini masih sangat layak dibaca. 

But not perfect. 


(+) - Tokoh utama dibuat likeable. 
     - Pembawaan cerita jauh dari membosankan. 
     - Latar belakang bajak laut yang authentic. 
(-) - Terlalu authentic, kurang penjelasan, jadi agak susah dingertiin. 
     
[COMMEND!!] -->> 93/100

Conlusion: 
Bagi mereka yang udah main maupun belum main game aslinya yang mendasari novel ini, novel ini tetep patut dibaca. Pembawaan yang asik dan gak bertele-tele merupakan titik terang dari novel ini, dan nampaknya jauh melebihi latarnya yang kurang bisa dipahami. 

Until the next post, bungs! :D





Monday, November 9, 2015

@REVENREV: Doraemon Tanpa Kantong Ajaib

Jadi gue bakal cerita soal temen sekolah gue.

Seperti yang kebanyakan orang tahu, SMAK Kolese Santo Yusup dibilangin sebagai salah satu sekolah terbaik di Indonesia tercinta (apa bener?). Berpredikat sebagai salah satu sekolah dengan rating tertinggi di Indonesia, jelas murid-muridnya pasti punya integritas tinggi, toh? Rajin belajar, anak baik-baik dengan perawakan baik-baik, berprestasi tingkat tulen, dan semacamnya, toh? 

Partly right... and partly wrong. 

Oke, soal prestasi, nilai, tugas, IP, keranjingan kerajinan, ketekunan, dan semacamnya, itu emang bener. Tapi gue masalahin perangai penghuni-penghuni sekolah ini. Tenang-tenang, kita bukan orang-orang gila belajar yang setiap hari berkutat di kamar buat belajar dan baca textbook setebel 500 halaman sebagai hobi. Nggak!

Seperti salah satunya adalah temen gue, yang gue kenal pas gue kelas 2 SMA (sekarang gue kelas 3). Setelah gue nego sama orangnya dan dia gak setuju gue menampilkan namanya. Kalo gitu, sebut aja namanya VENA (jika belom kenal) dengan panggilan DORAEMON (jika sudah kenal). Loh, dia gak ngelarang nyebut nampilin nama panggilannya, toh? 

Jadi, pas kelas 2 dulu, terjadi pengacakan tempat duduk. Dan gue, yang sebelumnya duduk dengan temen-temen deket gue dari asrama. Yah gue nyaman banget dengan mereka, bercanda bareng, ngomong bareng, ngakak bareng, sampean kesannya kek cuman mereka ini yang gue kenal di kelas gue. Setelah pengacakan, gue sebangku sama DORAEMON ini.

Kesan pertama gue sama orang ini... not so good.

Dengan kacamata frame ultragede dan ultratebel, orang ini terlihat seperti, ya orang-orang gila belajar yang gue sebutin di atas.  Apalagi tatapannya ke gue... dia ngeliatin gue kayak ngeliatin anak berandalan yang kerjaannya nyolong makanan dari kantin sekolah.

Intinya, 3 hari pertama gue sebangku dengan dia, Silento silent. Gak ada ngomong, gak ada nyapa, natap muka aja sungkan. Awkward seawkward-awkward-nya.  Trus gue, ngeliatin temen-temen asrama gue, kek nya asik beudh dengan temen sebangku mereka (malah ada yang dapet model kelas lagi), gue mikir, "Tai, salah bangku kayaknya gue."

Sampe akhirnya terjadi breakthrough dengan adanya Nika, anak asal Malang yang duduk di belakang gue. Ya gue kira dia asal Malang, sampe dia bilang "Eh, Mo, lu dari Bekasi ya?"

Aneh ya, anak Malang ngomong pake gue lu. Mungkin karena selama gue duduk sama si DORAEMON, gue kalo ngomong sama anak-anak lain selalu pake gue lu (selain sama sebelah gue, tentunya). Kepancing, kali, dia.

"Iye Nik, napa emangnya?"

Entah kenapa, Nika langsung naik nada suaranya, dan logat Jakarte-nya keluar semua.

"Wee, Moo, sama dong!! Tapi lu Bekasi bagian mana?"

"Lippo Cikarang itu loo..."

"OOH!! Kek sepupu gue dong! SMP di mana?"

"Dian Harapan.."

"WEEEEEY!! Gila cak, sepupu gue lho, sekolah di situ! Satu angkatan di bawah lu kayaknya."

"Oh yo? Siapa namanya, Nik? Mungkin gue kenal, gitu.."

Dan seterusnya. Semakin banyak gue sama Nika cerita-cerita soal kampung halaman gue Bekasi, Nika ini langsung semangat kek lumba-lumba dilemparin makanan. Makin banyak kita cerita, makin seru. Apalagi dia selama ngomong-ngomong kita pake logat gue lu, gue ngerasa kek ngomong sama anak Bekasi beneran.

Ya si DORAEMON ini, yang sebelumnya lagi sibuk-sibuknya nyatet materi Matriks di papan tulis, noleh ke belakang.

"Oh, kon iku dari Bekasi toh, Mo?"

Bukan pertama kali sih, gue denger suara dia.

Tapi pertama kali, gue bener-bener ngomong sama dia (cie elaaaahhhh).

"Iye."

Dan lanjutlah ini percakapan menjadi tiga arah, antara Nika, gue, dan Vena. Ya secara keseluruhan antara gue dengan Nika, Vena sih lebih sering nimpalin, nanya-nanya soal kota asal gue Bekasi, soalnya jelas dia belum pernah ke sono. Padahal kalo mau dipikir, penggambaran Bekasi sangat simpel: Jakarta tanpa macet, tanpa Ahok, dan tanpa Monas.

Setelah three-way conversation itu, Vena jadi gak ansos lagi sama gue. Awalnya kita ngomong itu ngebahas hal yang rada penting, kek ulangan kimia.

Sayang sekali ulangan kimia gue yang pertama pas gue kelas 2 SMA adalah 60, jadi sebenernya bukan pembicaraan yang mengenakkan. Si DORAEMON sih, udah berusaha puk-pukin gue, tapi gue rasa dia puk-pukin gue gak bakal naikin nilai 60 gue jadi 90 (padahal, 6-nya tinggal diputer doang). Tapi, seenggaknya, kudos for trying.

Sampe hal yang rada gak penting, kek film yang dibintangi dirinya sendiri, Doraemon: Stand by Me.

Pada saat pelajaran KIR (Karya Ilmiah Remaja), anak-anak diharuskan membawa laptop, buat kerja KIR (you don't say?!). Ya gue jelas bawa punya gue, dan dia bawa punya dia, yang ukuran layarnya mungkin 3/4 punya gue, tapi seenggaknya touch screen, gak kayak gue punya.

Dan tau-tau,

"Mo! Kamu tau gak soal film Doraemon yang terbaru?"

"Yang mana?" Mengingat banyak banget film Doraemon sebenernya, kek Doraemon di Negeri Angin, Doraemon di Luar Angkasa, dan kaum-kaumnya itulah.

"Ooh, kamu gak tau, ya?" Sambil dia buka laptopnya, buka mbah dukun paling sakti satu jagat (baca: google), dan buka link videonya, dia bilang,

"Judulnya Stand by Me loh Mo, masak kamu gak tau?"

"Ya sorry toh, kalo gue gak tau, tau sendiri lah yau, gue asrama, ya jelas gue kudet."

Dan so, dia tunjukin, tuh, trailernya Doraemon: Stand by Me. Entah mungkin karena ada dia sebagai tokoh utama di situ dia semangat banget nunjukin ke gue, ato mungkin karena dia ngerasa harus bagi-bagi informasi DORAEMON kepada penggemar DORAEMON lainnya, tu anak keknya baper banget selama satu trailer itu. Ya emang trailernya rada baper sih, TAPI GAK SEGITUNYA JUGA, VEN.

Ehm.

Dan kita berdua setuju, itu adalah salah satu film inceran gue dan DORAEMON buat tahun 2014.

Bukan cuman percakapan ultra random kek dua di atas, tapi secara keseluruhan, ni anak emang kek DORAEMON tanpa kantong ajaib. Dan satu sekolah setuju, kalo bukan mirip Jaiko (adeknya Giant), ni anak mirip DORAEMON. Bahkan ketika dia berusaha untuk tidak terlihat seperti DORAEMON.

Seperti pas gue acara kelas bareng, ya kelas gue. Udah dikasitau sebelumnya, kalo kita bakal basah-basahan, dalam arti, cebur-ceburan tingkat tulen. Ya kita nyewa tempat yang ada kolam renangnya, masa gak dipake?

Yang mana anak-anak pas dateng pada pake baju jalan-jalan, baju liburan, dan baju siap kotor kek kaos oblong, celana pendek, dan sendal jepit, si DORAEMON ini malah pake

Kemeja polo, celana capri item, dan sendal gunung.

Oke sendal gunung mungkin bukan masalah di sini, tapi selebihnya itu yang gue gak habis pikir. Saking gak habis pikirnya, sampe

"Ven woy ven, lu kayak encik-encik Mangga Dua, sumpah."

Dan seakan udah memprediksi pernyataan tersebut, dia bilang

"Aduh Mo, ini satu-satunya baju warna hitemku..."

Dan bukan cuman sekali dia dateng ke sebuah acara dan berpenampilan layaknya encik-encik Mangga Dua. Setelah insiden acara kelas gue, ada sebuah pesta HSS temen gue, yang mana gue dan dia (berserta puluhan temen-temen lainnya) diundang.

Dress Code: Putih.

Untung gak ruwet-ruwet, karena standar attire HSS gue ya gitu-gitu aja. Kemeja, celana panjang, kaos kaki, dan sepatu. Kaos kaki aja kadang-kadang gue ilangin. Jadi gue dan kawan-kawan asrama gue dateng dengan pakaian segituan.

Baru setelah gue nulis nama di guestbook, datenglah si Vena ini.

Cewek-cewek lain dateng dengan berbagai macam, jenis, dan spesies attire (maklumlah, cewek). Blouse, dress, shirt, t-shirt malahan, dengan bawahan-bawahan yang gue gak ngerti istilahnya (maklumlah, gue). Kebanyakan, malahan hampir semua, ya gue gak masalah dengan penampilan mereka.

Hampir semua, karena sebenernya semua cewek gue gak masalah, kecuali dia.

Ya kek cewek kebanyakan yang hadir di situ, dia pake dress. Karakteristik dress dia aja udah rada mencolok dengan bawahan tiga perempat yang bermotif bunga mawar warna kuning. Tapi yang bikin mencolok bukan cuman dress-nya doang, melainkan orang yang memakainya, ya si DORAEMON itu sendiri.

Entah kenapa, dengan postur tubuhnya yang tidak terlihat tinggi apalagi kurus (karena emang faktanya dia emang gak tinggi apalagi kurus), rambut bob cut terinspirasi dari Velma-nya Scooby Doo, dan gaya jalannya yang mengingatkan gue sama Bilbo Baggins, dia terlihat seperti... ya gimana ya, Hobbit cewek pake dress.

Lanjut ke perihal DORAEMON tanpa kantong ajaib...

Bagaimana sifat Doraemon? Meskipun teknisnya dia adalah robot, dia punya kepribadian yang tidak semencolok Nobita (tapi masih kentara), antara lain:

1. Bijak.
2. Bisa diandalkan.
3. Selalu terlihat periang,
4. Kecuali saat bertemu dengan tikus.

Bandingkan dengan DORAEMON yang satu ini, dengan sifat uniknya tersendiri, yaitu:

1. Selalu merasa dirinya bijak.
2. Bisa diandalkan buat catatan, jawaban soal latihan, dan contekan tugas.
3. Selalu terlihat terlalu riang,
4. Kecuali saat dilemparin cacing, meskipun hanya dalam bentuk sisa karet penghapus.

Bukan berarti dia ini sotoy tingkat tulen, tapi dia kelihatannya pede sekali dengan kata-kata yang sering dilontarkannya, dan baru kehilangan pede tersebut setelah tau dia khilaf. Jarang salah juga sih, quotes-nya dia, jarang bukan berarti tidak pernah, toh? Selebihnya, gak butuh penjelasan banyak-banyak. Terutama di poin keempat.

Oh, belum jelas juga?

Jadi Vena ini orangnya terlihat sangat riang gembira, seakan-akan hidupnya bukan cuman gak ada beban, tapi mungkin dia gak tau beban hidup itu kek gimana. Gak cuman di sekolah gue ketemu kurang lebih tiap hari, tapi di tempat umum kek mal. Jauh dari jaim. Sampe kalo ngeliat dia di tempat umum, gue mikir, "Sialan, jangan sampe ni orang ngeliat gue..."

Lo sorry to Ven, tapi gue punya penjelasan...

Suatu hari, Vena ngajak gue dan tiga temen gue yang lain traktiran di mal terdekat sekolah gue, Malang Town Square (Matos). Singkat cerita, gue udah nyampe di Matos, dan langsung menyasarkan diri ke Gramedia, bareng temen gue. Ya kita disuruh nungguin dia disono, belom nyampe soalnya dia. Kurang lebih lima belas menit kemudian, dia menampakkan diri.

Penampilan sih ya lumayan standar buat jalan-jalan (tumben), dengan celana pendek, kaos warna abu-abu, sendal, dan tas selempang.

What happened next after gue ngeliat dia yang masih terngiang-ngiang di otak gue.

Dia jinjit (padahal itu sendal ada haknya), dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi kek mau narik angkot, dan dengan nada suara yang lebih tinggi dari tangan kanannya, dia nyapa gue dan teman gue, "HAI TEMAN-TEMAN!" (caps tidak menyatakan kerasnya suara). Ya kek Nobita mau panggil Shizuka aja.

Ya gue spontan nyapa balik, kan kesian dia dikira orang gila sama satpam Gramed.

Pas kita jalan bareng ke restoran tempat dia traktirin kita, kita bertiga ngomongin betapa noraknya Vena itu tadi sebenernya.

"Iya lho Ven, klo gue tau lu bakal kayak gitu, gue mungkin langsung pura-pura gak kenal kali."

Balik lagi ke perihal dilemparin cacing.

Vena punya banyak kelemahan. Mukanya bisa berubah menjadi tomat kalo dia kecapekan, dan dia sangat takut dengan serangga. Serangga beneran, maksudnya. Gak jadi ding, sama serangga mainan aja dia takut kali.

Kayak kasusnya kumbang yang berhasil temen gue dapetin di kelas. Ya gue sebagai orang yang gak pernah liat kumbang, gue sangat takjub dengan penemuan temen gue. Gue pantengin itu serangga, gue liatin dari pala, sayap, kaki, sampe pantat. Maklum lah, yang lu liat di buku-buku dan internet gak sebanding dengan aslinya.

Trus pas gue mau pegang tu serangga,

"IIIIIIHHH!!!"

Secara reflek gue langsung noleh kanan-kiri, nyariin sumber pekikan tersebut. Jelas cewek, karena kalo itu berasal dari cowok, berarti dia bukan cowok. Target pertama gue biasanya adalah orang-orang yang duduk di deket gue, tapi gue buat pengecualian, karena gue bisa mengenali suara teriakan tersebut.

Langsung gue noleh ke tempat duduk Vena, dan di situ gue liat si DORAEMON, dengan muka kek abis kena teror abang-abang ojek. Mukanya mungkin gak berwarna merah tomat, tapi udah mendekati warna merah, dan itu udah jadi alesan yang kuat buat gue untuk memastikan kalo dia

"JIJIK POLL MO!! Kenapa bisa ada binatang di sini?"

Gue langsung bertatapan dengan temen gue yang megangin makhluk itu.

"Singkirin la, Mo! Aduuh, aku jijik banget sama binatang!"

Orang normal bakalan langsung nurut, dan lempar kumbang itu keluar jendela.

Masalahnya gue bukan orang normal.

Jadi gue lakuin yang sebaliknya, yaitu sodorin itu kumbang ke dia.

Dan si DORAEMON ini, yang awalnya kek abis diteror sama abang-abang ojek, langsung naik taraf jadi kek abis diteror sama preman yang kerjaannya neror abang-abang ojek. Raut wajah dia makin panik, muka dia makin merah, dan dia menjerit

"HIIIIIIIHHH!!! MO! GET THAT THING AWAY FROM ME!!"

Dan kalimat-kalimat imperatif lainnya seperti

"STOP IT, MO!"

"MO, JAUH-JAUHIN ITU BINATANG DARI AKU!"

"WHAT THE HECK, MO! KENAPA MAKIN DIDEKETIN SERANGGANYA!!??"

Makin dia panik, ya jelas makin gue deketin itu serangga. Jangan ditiru ya adek-adek.

Ya gue ngerasa punya sensasi tersendiri pas gue ganggu-gangguin Vena pake kumbang temuan itu. Entah kenapa, reaksi panik tulen dia pas kumbang itu mendekat mengingatkan gue sama Doraemon pas ketemu tikus: panik, pucat, takut, dan kena nervous breakdown. Belom lagi makin gue perhatiin, mata Vena (meskipun dia pake kacamata) menyiratkan udah mau nangis tu anak. Bukan cuman jijik atau geli biasa, tapi genuine fear.

Baru setelah dia bilang

"MO! Kalo kamu lanjutin ulah kumbangmu, aku diemin kamu sampe kita lulus!"

gue berhenti.

Partly karena gue kesian sama dia, partly karena gue gak mau berhenti temenan sama dia, kan sayang kalo DORAEMON kek dia jadi musuhan sama gue, dan partly karena gue rada goblok, keok sama gertakannya dia. Kalo itu emang gertakan.

Tapi seenggaknya, gue belajar satu hal.

Serangga itu kelemahan Vena, seperti tikus itu kelemahannya Doraemon.

Bukan cuman ini, keanehan, ke-quirky-an, dan kejeniusan dari Vena temen DORAEMON gue. Mostly karena empat poin yang gue sebutin di atas. Tapi ada juga yang gara-gara emang gaya pembawaan dia yang riang gembira seakan gak punya beban hidup. Ya dia gak punya beban, karena semua pelajaran MIA terkutuk ini bukan beban buat dia. Gue 75, dia 90. Dia 75, gue gak lulus. Dia gak lulus, gue SP. Dia SP, gue DO. Emang rajin banget anaknya. Gelo.

Sekarang, entah sebuah keuntungan atau kesialan, gue sekelas lagi sama dia. Dan dia tetep menghasilkan nilai-nilai teler yang gue gak bakalan bisa capai seumuran idup gue. Then again, di kelas baru saat kelas 3 SMA ini, it's always good to have a (too) friendly face among the faces of strangers.

Dan setelah berbagai insiden di atas, gue pun belajar satu hal baru lagi sekarang.

Gue gak bakal ketemu orang kek gini dua kali.

Ya nggak, Ven? ;)

Until the next post, bungs! :D






Thursday, November 5, 2015

ALL ABOARD THE HYPE TRAIN: Assassin's Creed Syndicate

Any AC (Assassin's Creed) game better than AC Unity is a good AC game. 

Entah kenapa, frasa di atas sukses menjadi sebuah anekdot yang tersebar di kalangan para gamer, termasuk gue (padahal nyentuh Unity aja belom). Padahal, franchise Assassin's Creed terkenal dengan kualitas game-gamenya yang terbilang mantap dan stabil, meskipun kebanyakan gamers setuju kalo AC yang diawal-awal lebih bagus dari AC-AC yang dirilis akhir-akhir ini. Trus, ada apa dengan Unity ini, sampe dibilang salah satu game AC terburuk

Firstly, release AC Unity amburadul. Pas release, AC Unity diberedeti dengan glitch-glitch yang menyeramkan. Bukan cuman teknis, tapi juga secara tekstur dan fisik, dan saking terkenalnya, sampe galat-galat ini jadi terkenal di sosmed para gamers. 

ini glitch yang paling terkenal...
Secondly, Unity kena reputasi buruk dari game Ubisoft sebelumnya, Watch Dogs. Watch Dogs selama dua tahun lebih disuguhkan hype yang sangat gila sehingga kaum gamers, pro maupun amatiran (kek gue) menganggap game ini bakalan, for the first time in forever, bisa nyaingin GTA V. Sayangnya, pas rilis, banyak gamer kecewa karena kualitas yang diiklankan dan yang didapatkan jauh. Gak jelek, tapi gak sepadan juga. Unity yang dirilis gak jauh dari rilisnya Watch Dogs, terkena imbasnya. Orang udah kadung gak yakin sama Unity gara-gara Watch Dogs. Dan, pas dirilis, yah poin pertama terjadi. 

              ... dan ini glitch lainnya. What the fahk?
Thirdly, Unity sebenernya game yang biasa-biasa aja, bahkan gak sebagus game-game AC lainnya. Bahkan dari AC Rogue, anak buangan franchise AC. Cerita ya biasa, tokoh utama ya datar, gameplay, okelah kalo gameplay Unity menawarkan hal-hal baru, tapi tidak sesuai dengan spirit dari franchise AC. Seperti yang dijelaskan di atas, gameplay Unity banyak kena imbas glitch. 

Dan hasil dari tiga poin penting di atas adalah rating 73% untuk PC, 70% untuk XONE, dan 68% untuk PS4 (GameRankings). Bandingkan dengan AC Rogue, yang mendapatkan 74% untuk PS3, 73% untuk X360, dan 69% untuk PC. Padahal dua-duanya dirilis pada waktu yang sangat berdekatan, dengan spotlight yang kebanyakkan difokuskan kepada Unity. 

Tapi ya sudahlah, apa gunanya berlama-lama di masa lalu? 

Baru kita dapet Unity, tersiar kabar akan dirilis AC baru, yaitu AC Syndicate (yang sebelumnya berjuluk "AC Victory"). Latar dari game ini adalah pada tahun 1868, London, pada saat masa-masa revolusi industri (saat ditemukannya kereta api, kapal uap, dan kaum-kaumnya itulah). At this point, gue udah berpikiran negatif tentang game ini, gara-gara Unity. Apakah bakal mengalami rilis amburadul? 

Lalu keluarlah rating untuk Syndicate. Mengingat baru dirilis untuk XONE dan PS4, maka hanya ada rating untuk kedua platform tersebut. XONE meraih rating 80%, dan PS4 lebih rendah dengan skor 76% (GameRankings).

Tinggal satu platform lagi buat game ini, yaitu PC, platform yang bakal gue coba. 

Kenapa gue mau nyoba game ini, padahal Unity belom gue coba? 

Alasan sesungguhnya gue gak nyoba Unity...
Pertama-tama gue mau berterima kasih buat tiga poin di awal blog ini sebagai alasan gue gak nyoba Unity. Yap, tiga poin itu sebenernya udah cukup buat meyakinkan gue bahwa Unity bukanlah game yang sebagus dipublikasikan. Dan pada akhirnya, gue memutuskan buat gak nyoba Unity. Sorry aja kalo gue gak mau nyoba Unity berdasarkan pendapat orang lain, tapi ini bukan pendapat para kritikus doang, melainkan orang-orang yang gue liat di sosmed kebanyakkan mengatakan Unity bukanlah game AC yang terbaik. 

Dan kenapa, sejak rilis kapal pecah Unity, gue pingin main game setelahnya?

Pertama, cerita yang ditawarkan (katanya) lebih menarik. Momok dari Unity menuju predikat game AC yang baik adalah ceritanya yang hambar. Di atas kertas kelihatannya menarik (yep.. jarang-jarang AC melibatkan kisah cinta terlarang), tapi diluar kertas, fail. Syndicate, di sisi lain, menawarkan cerita yang lebih fresh, yaitu melibatkan dunia kriminal sebagai salah satu cara untuk menjatuhkan otoritas yang mengekang. Dan menurut para kritik, ceritanya lebih light-hearted, artinya gak banyak baper yang terlibat. Good thing, karena gue adalah orang yang sangat tidak dramatis.

Evie Frye. 
Kedua, kedua protagonis. Dimulai GTA V yang menyajikan 3 karakter utama, Syndicate ini rasanya kayak gak mau kalah dengan menyajikan dua karakter utama, Jacob dan Evie Frye. Keduanya juga menampilkan gaya permainan yang berbeda. Jacob mungkin lebih cocok dengan pemain-pemain AC yang anyar (AC 3 dst) dengan style yang lebih cepat, brutal, terbuka dengan keahliannya sebagai petarung jalanan. Evie pastinya lebih cocok dengan pemain AC hardcore (AC - AC 2) yang mengedepankan stealth, subtlety, dan tentunya keahliannya mengendap-endap macam Assassin tulen.
Jacob Frye. 
Gaya main mereka juga menggambarkan sifat mereka. Jacob tentunya lebih nyeleneh, lebih keras, tapi lebih woles, sedangkan Evie pastinya lebih dingin, lebih kalem, tapi jelas lebih pinter. Kedua penokohan ini yang bikin gue tertarik main Syndicate. Apalagi setelah kasus protagonis Unity Arno Dorian yang lebih hambar dari ceritanya, kayaknya protagonis yang asyik kek gini adalah hal yang kita butuhkan.

London di Syndicate.
Ketiga, gameplay. Mereka bilang Unity memiliki gameplay yang baru, tapi ternyata tidak seseger itu. Mereka juga bilang, Syndicate mengalami hal yang sama. Gue bilang, dari penglihatan gue dari video-video di internet, pacing gameplay Syndicate cepet dan otomatis, lebih seru. Belum lagi dengan adanya fitur-fitur baru seperti Assassin's Gauntlet, naik kereta kuda, dan perang antargeng London. Semua ini jelas gak ada di Unity, dan hal-hal ini membuat Syndicate terlihat lebih fresh dan menjanjikan dari Unity.    

Then again, Unity juga keliatan menjanjikan, bukan? 

Sejauh ini, berjalan mulus buat Syndicate, belum ada laporan menggemparkan mengenai muka yang tersisa bola matanya doang, tapi kita liat aja ntar. For me, I'm going up the hype train. I'm going to be the first one to laugh if the Unity case happens again. 

Until the next post, bungs! :D  


Monday, November 2, 2015

Chapter 6 of Roque Mendez, Debt Collector

Mendez spotted Trey Becks ascending  a stairway, visible when entering the building. He did the same, and then saw Becks turning around to a hallway. Roque kept a relatively close distance at this part of the chase, but at times Becks even got a chance to, for example, knock over a trash can in front of an apartment to momentarily slow Mendez down. Mendez' reflexes really did the work for him, as he just jumped over the impromptu obstacle, not much sweat dropped. Also, for yet another example, when some guy trying to open the door to his apartment. He was startled of two not-so-good-looking persons was on a wild chase. Due to the narrow hallway, there wasn't many room for Becks to try and slip in between of the hallway wall and the guy, so instead he momentarily wallran to effectively avoid the poor bystander. Roque just darted beside the guy, and judging by a quick glance back by Roque, he was dazed. 
Both finally reached the rooftops, with Roque just a few seconds behind Becks. Becks, instead of actually giving up, made a sharp turn to the left and started to leap between buildings. Roque followed in hot pursuit. And then, after more parkour antics Mendez was growing tired of, they finally reached a very large gap. Not an ordinary jump would get anyone across, much less a bunny hop. Not an ordinary parkour practitioner would cross this, much less a washed-up war veteran like him. Unless, this Becks boy was not an ordinary one. 
Roque had seen the gap the moment he landed on the building before it. He didn't know about Becks, but he at least would've slowed down. Maybe, if he was lucky enough, Beck's could've stopped. And then tried something at Mendez, of which he would gladly oblige. But, through his sight, he felt Becks not slowing down. He, instead, saw Becks accelerating. As if Becks didn't even saw there was a nicely put giant hole between two buildings. Or he was doing something Roque just came across two seconds before Becks finally did it. He was going for a jump.
Roque thought, well this guy is either escaping or die trying. Roque slowed down his run to a jog. And then to a stroll. He walked and watched as Becks attempted the  jumped he either will escape from or die from. Becks sprinted, then fixed his footing and body motion. The footing was deliberately perfect, as Becks didn't look like he was about to trip. Then he leaped. It was as if all form of sound stopped save for Mendez' own heartbeat. Mendez was at the edge now. He peeked below if this guy had not reached the other building, much less the windows plastered on it. But instead what he saw was Becks crashing into one of the lower windows. He sighed, thinking, ah well, my breath might just give in now. He took several steps back, maybe ten, twenty, five, not even knowing exactly how many much. Then he took on a start, and deliberately placed his foot on the exact edge of the building. Then he jumped. 
On his highest of jump arch, he thought he was gonna make it -- at least he'll plant his face on the wall if he managed not to go through one of the windows. Then he started to descend, gravity pulled him to the concrete below. He screamed, flailing his arms, slightly hoping he suddenly got the ability to fly. Then he descended, him getting closer to the building across. Then he saw a window, and made a brief calculation of him landing there -- at least reaching there, maybe by a finger. He then finally made impact with the window. The edge of the window, by the least. He was relieved, but come to think of it, if he didn't pull himself up --  well it's not like he was going to hang there forever. He struggled to contract all the muscles on his hands, and then finally setting his body on the other side of the window. 
He coughed of fatigue, and then limped to the apartment door. The door of the apartment itself was open, and he had noticed before that the glass of the window he went in was broken and shards were scattered on the floor. This, at least, was the room Becks had entered by himself. He exited the room, into the hallway. He caught glimpse of Becks vaulting over a fire escape. Roque almost caught the idea that Becks was getting bored of this one particular guy, relentlessly chasing him all over the block, and decided to just end it. But his guts told Roque to follow Becks. By the time he reached the edge of the fire escape, he saw Becks, doing what he initially did at the beginning of the chase, only now he's climbing down. Roque was tired of descending the stairwell again. So he slowly climbed over the railing, and saw there was a coupe below, and considering it was not so high over the ground, the car would've cushioned the landing. Or, if it was not even close to a cushion at all, at least they he won't land on solid concrete. He saw Becks was looking away from the railing he was holding on, and Roque thought, he was about to let go. The moment Becks finally did, Roque also did the same -- releasing his grip on the railing and, illogically, he was perfectly directly on top of Becks. He dropped down and landed on the coupe, Trey Becks directly below him. The coupe was genuinely squashed but at least he got the game he was hunting for the last fifteen minutes. Finally. It wasn't like his targets didn't try to run, but he never had one that made him sweat.
Mendez practically laid on Becks' back. "Ah, finalmente. If only you hadn't ran we would've sat and talked like a civilized--"he received an elbow strike and he was flipped off from Becks, who looked like he was up for a rumble "--person!" Mendez grabbed Becks by the ankle and tripped Becks down. Both stood again, toe-to-toe.  "Man, I don't know who you are, bro-dude, but no one's takin' my money! Again!" were the first words Roque heard from this hooded man. "Hey man, I'm not even gonna take your money! It's not even yours, anyway!" "Aw, go to hell, you piece of crap! I ain't gonna give my money now!" "I'll go to hell soon enough, if I'm not lucky. But certainly not for trying to be civilized!" With that word spat out, both Roque and Trey simultaneously drew fists, and launched them against one another. Both fists impacted hard on one other's. The next three seconds, both were wrestling on the car. 
They both started on the roof of the coupe, before slowly mobilizing to the back hood, trading punches, kicks, and blows from wherever else their body can offer. By the back hood, Roque kicked Becks off the coupe and attempted to slam Becks using the trunk. Becks just dodged the fatal blow in time. Roque performed a drop kick on Becks, but Becks magically caught both Mendez' leg, lifted him, and threw him into the still-open trunk. He was about to do the trunk-cap-slam-trick on Mendez but Mendez retaliated with a kick before it could happen. Becks was knocked back. The fist-trade act continued. Mendez had no problem blocking and sideswiping every blow Becks offered, but Becks surprisingly held out well enough to avoid getting a fatal blow. Although it's not like Mendez didn't manage to land any successful blow on Becks. But none was enough to knock Trey down. From the back of the car, they slowly moved to the right side of the car. 
At this instance, the participants got more creative to utilize the right side car door, front and back. Mendez had used Becks' head to open the back door windows, forcibly though, by slamming it through the window. Becks, on the other hand, had attempted to use the doors by swinging them Mendez' direction, trying to faceplant him with it. It hit Mendez (the first blow not to be dodged nor blocked), but Mendez still stood tall. Mendez in turn, after some punches later, slammed Becks' back against the front door window once, and then through it. Becks kicked Mendez (now the second successful hit against Mendez) and used the door to block Mendez' kick. The latter's foot would've been sandwiched if he wasn't quick enough to pull it from the door arc. Becks' next jab was blocked, and so the fisticuffs competition proceeded. That was, until Becks performed a mid-height roundhouse kick. Roque was fast enough to see it coming, and he ducked. He exploited Becks' speed and momentum to reverse his attack, lifted him by the lower body, spun, and threw him to the car. Becks' back was the first thing to make contact with the roof of the car. Becks slid down, now slumped against the car. Becks had been KO'd. It was by then Roque remembered he had a gun. He could've used that earlier to subdue Becks faster. But he didn't. If he did, he would have missed the thrill on bagging this catch. But then again, it could've been infinitely faster. Silly me, he thought. 

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...