Thursday, January 14, 2016

TOP TIERS - GAMES: First-Person Shooter

Wolfenstein 3D. Ini mah beneran keliatan tangannya doang...
Dimulai dari Wolfenstein 3D, sampai yang teranyar tahun lalu, Call of Duty: Black Ops 3. 

Begitulah sejarah satu baris buat first-person shooter games. 

First-person shooter games, menurut kamus BlinQid yang sangat bisa diandalkan tidak terpercaya, adalah genre video game yang menempatkan pemain di mata sang tokoh utama. Versi singkatnya, apa yang kita lihat adalah apa yang tokoh utama kita lihat. Langsung dari matanya. Jadi kalo di game-nya mata tokoh utamanya kecolok, kita ya gak bisa liat apa-apa. 
Call of Duty: Black Ops 3.

Pendapat gue, istilah ini berasal dari istilah sastra Bahasa Indonesia. Bener aja, unsur sudut pandang dalam cerita. Pastinya, game-game ini mengacu ke sudut pandang pertama dalam sebuah cerita. Pemakaian sudut pandang pertama misalnya menggunakan istilah macam 'aku' sebagai penunjuk tokoh utama. 

Kurang lebih begitulah di sini. Anggepannya, kita udah mendarah daging dan menjadi tokoh utama dari game itu sendiri. Apa yang kita lakukan dalam game, secara gak langsung, itulah diri kita dalam game itu. 

Bahasa yang jauh lebih gampang dimengerti: di gamenya, kita cuman bisa liat tangan tokoh utamanya doang. Kaki juga, sih, buat beberapa game yang niat. 

Once again, ini preferensi gue sendiri. Jelas beberapa game gak gue masukin ke sini, mengingat FPS bukanlah genre game yang sering gue datengin dan gue pantengin. Atau mungkin gue lupa.  

Langsung aja... 

Lower Tier

Battlefield: Hardline 
Kenapa bukan Battlefield 4? Ya karena gue gak main BF 4. 

Sempet pingin sih, tapi karena kelamaan gue gak dapetnya, dan udah keburu basi, akhirnya gue gak main. 

Jadinya, gue mainnya ini. 

Mungkin bisa dibilang, anak haram dari franchise Battlefield. 

Kenapa, tuh? 

Why it Stayed:
Ini Battlefield 4... 
Visuals. Bener aja. Firstly, bisa dibilang ini bukan Battlefield yang paling enak dilihat. Padahal rilisnya udah tahun 2015, taun-taunnya next-gen console dan dengan itu, next-gen graphics. And yet, tampang Hardline gak beda jauh dari Battlefield 4, dan sedihnya, ada aspek grafis yang bahkan gak lebih bagus dari BF 4. Tembok-tembok bakal somplak kalo ditembakin... kek di Battlefield sebelumnya. Untungnya itu gak diilangin. Yang diilangin malahan, adalah tekstur dari environment. Bukan tambah jelek-lek-lek sih, tapi mengingat selisih 3 tahun yang ada, orang mengharapkan lebih bagus, toh? Sayang banget, padahal sisi grafis merupakan salah satu kekuatan terbesar franchise Battlefield.  
Ini Battlefield Hardline.

Artificial Intelligence. Ada juga kegoblokan orang-orang yang mendampingi kita dalam Story Mode. Gue gak bicarain karakter mereka, tapi ya kepinteran mereka. Gue ngebicarain AI mereka dalam game. AI musuh dan temen rada mirip ngidenya, dengan satu perbedaan signifikan: musuh bisa mati. 

Seengaknya mereka nembak dan masih bisa kena. Tapi begituan kan udah ada dari jamannya Counter-Strike 1.6. Selebihnya? Mereka punya mentalitas "Maju Tak Gentar" tingkat tulen. Gak nunduk, gak berlindung, gak mundur. Mereka ini maju terus sambil nembakin target mereka, tanpa memikirkan betapa empuknya kepala mereka sebagai sasaran. Greget bet.

One Final Thing. Sebuah glitch di sebuah misi di Story Mode yang membuat gue terjebak, dan gak bisa namatin gamenya sampe sekarang. Fahk. 

Why it Managed
Story Mode. Persetan dengan apa yang Angry Joe bilang, sebenernya cerita BF: H gak jelek-jelek amat. Predictable? Iya. Cliche? Yo'e. Unoriginal? Hell yes. Cerita Hardline langsung, uncut, dari police procedural drama macam CSI, NCIS, Hawaii Five-O, dan semacamnya, minus 'procedural'. Oh, itu di-'cut', ya? 

Mau digimanain juga, cerita Hardline meskipun dasarnya biasa aja, pembawaan mereka itu yang bikin main campaign-nya jadi gak sebosenin yang diduga. Dialog di game-nya asik-asik aja, ringan tanpa kehilangan keseriusan. Secara keseluruhan juga, ceritanya enak juga diikutin karena tokoh-tokoh yang menarik, narrative set pieces, dan action sequences yang membuat Story Mode-nya standout. Seengaknya, dari masih diatas Battlefield 3 & 4, meskipun masih dibawah serial BF: Bad Company.    

Lagian, predictable itu berasal dari fakta bahwa gue secara gak sengaja mendapatkan spoilers yang beredaran di internet. Jadinya gue udah tau ceritanya, meskipun gue belum main. Cliche berasal dari hobi gue nonton police procedural drama, jadinya gue tau beberapa cliche yang sering bertebaran di genre tersebut. Unoriginal juga berasal dari hobi gue nonton-- ya tau sendirilah. 

Buat Story Mode Hardline, gue kasih toleransi, lah. Orang bilang jelek, tapi lu kadang-kadang mesti liat Battlefield sebelumnya. Seengaknya Hardline memanfaatkan tema Pol-Mal kentel yang mereka punya.    


Borderlands: The Pre-Sequel 


Few know Borderlands 2. 

Fewer still know *this* type of Borderlands.

And yet, why not many people know this game? 

Why It's Nothing More
Innovation. Pada saat ni game satu keluar, pastinya orang-orang udah mengharapkan fitur, gimmick, dan mechanics baru dari Borderlands yang satu ini. Mungkin aja, hal-hal yang kurang di yang sebelumnya, kek more side activities, gun customization, character creation, atau unsur RPG yang lebih dalem, bakal ada di sini, kan? Competitive multiplayer, mungkin? 

Sadly, no. 

Untung aja seenggaknya ada secuil fitur-fitur baru, kek 'stomping' mechanics, atau The Grinder, yang bisa ngeganjel kehausan kita akan inovasi anyar dari franchise FPS cartoonish ini. Sayangnya, fitur-fitur kecil ini cuman buat ngeganjel, bukan buat ngenyangin. 

Terus kek gini, dan mungkin serial Borderlands bakalan kek franchise FPS lainnya, Call of Duty, yang terus-terusan rilis game baru dengan sedikit-sampai-gak-ada fitur baru yang nyegerin. 

Setting. Sayangnya, Elpis, bulan Pandorra (setting dua Borderlands sebelumnya), udah gak terlalu menarik di atas kertas. Lagian, apa aja yang bisa lu temuin di atas bulan? 
Elpis. 
Untungnya, Elpis gak semembosankan yang gue takutkan. But, masih di bawah Pandorra. Not many interesting things to see here. Dan secercah kegilaan berupa bandit, monster, dan lingkungan yang kita temuin, cuman bisa mencakup seperempat kegilaan Pandorra. 

Belum lagi kadang-kadang, Elpis serasa terlalu lapang dan sepi, padahal jelas-jelas ukurannya gak lebih gede dari Pandorra. Tapi bener aja, ada daerah Elpis yang bener-bener kosong dan serasa hampa (jelas aja, gak ada atmosfer sehingga menciptakan ruang hampa, gimana sih). Kurang mengandung isi yang menarik, sehingga kadang-kadang, gue bisa diserang kebosanan saat menjelajahi Elpis. 

Why It's Nothing Less
Humor. Eh well, at least hal yang membuat franchise Borderlands masih bernapas masih ada di sini. Tentu saja yang gue maksud adalah selera humor yang absurd. Masih nongol aja tu benda di sini, dengan punchline-punchline yang ngelitik dan kejadian-kejadian koplak bikin ngakak.

Dan tingkat kreativitas Borderlands dalam meletakkan lawakannya semacam gak kenal batas. Mulai dari misi-misi dalam cerita, musuh-musuh yang kita hajar, side-quest yang mana kita cukup goblok dan kurang kerjaan buat, ya, ngerjain, sampe senjata yang kita pake pelurunya. Semua punya daya ngelucu tersendiri. 

Ini yang gue suka dari Borderlands. Still crazy, still funny, still zany.  

Characters. Unsur tulang punggung dari macam-macam kelucuan tersebut dari mana lagi kalo bukan dari character-character yang kita temuin di game ini. Dari banyaknya tokoh-tokoh baru game ini (kek General Zarpedon, atau para penduduk Elpis gendeng yang kita hajar) maupun tokoh familiar (Moxxi si semok, Roland dan Lilith dari Borderlands pertama), gue bakal ngambil dua tokoh yang standout. Menurut gue. 

Pertama adalah Jack. Sebelum dia menyandang 'Handsome' di depan namanya.

Mesti diingat bahwa cerita Pre-Sequel adalah kisah sedih Jack dalam perjuangannya menggapai harta karun The Vault di Elpis, yang pada akhirnya membuatnya menjadi tiran atas planet Pandorra. 

Mesti gue akuin juga, Jack di Borderlands 2 adalah, yah, semacam b*****t. Bener-bener gue benci tu orang dari detik-detik pertama gue mainin cerita Borderlands 2. Selama perjalanan cerita, gue pingin cepet-cepet selesai bukan biar gue bisa memperoleh harta yang terletak di The Vault, atau medapatkan senjata tercanggih. Gue cuman pingin nyicipin rasanya bolongin kepala Jack. 
Jack. 
Bagusnya dari game ini, kita bisa ngeliat semacam character development dari Jack. Sisi lain Jack yang lebih enak didengar dan dilihat diekspos di sini. Dari penulisan dan jalannya cerita yang melibatkan Jack, gue menaruh simpati terhadap Jack. Keliatan banget kalo sebenernya dia bukanlah orang yang rese' tulen sejak dulu. Ada aja peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan sisi dia yang lebih manusiawi. 

Selanjutnya, gue bakal nyesel ngatain ini, adalah Claptrap. 

Yep, si robot tong sampah banyak omong yang muncul di kedua Borderlands sebelumnya kembali lagi di Pre-Sequel. Parahnya lagi, dia gak muncul sebagai sekadar NPC. 

Dia bisa dimainin sekarang. 
Cuz, why not?
Yep, dia sekarang tergolong playable character yang lu bisa gerakin, bisa lu bikin loncat, nembak, dan nunduk. Itulah dia sekarang. 

Gue juga gak percaya bakal ngomong ini, tapi dia adalah salah satu character yang menarik di game ini, meskipun predikat playable character di serial Borderlands gak terlalu menonjol dibandingkan main character lainnya. Beda dengan Claptrap. Banyak omong dia gak banyak berkurang, bahkan ketika dia dimainkan. Tembak-tembakkan tingkat kacau malah jadi kedengeran koplak gara-gara kita dengerin dia ngomong. 

Dengan adanya dua tokoh ini, gue masih bisa bilang, Borderlands belum kehilangan nafas hidupnya. Fiuh. 

Higher Tier

Bioshock: Infinite
GOTY 2013 right here, setelah Grand Theft Auto V dan The Last of Us.

'Mangnya ngapain aja ni game, sampe dia bisa punya kehormatan buat menyandang gelar itu?

Why It's Nothing Less:
Story. Game ini adalah salah satu dari game-game itu yang story-nya... bener-bener menghipnotis. Dimulai dengan bagus, sampe ke pertengahan dimana Booker DeWitt si tokoh utama ketemu Elisabeth, sampe perjalanan mereka yang menakjubkan dan bikin melongo. Semakin jauh lu main, semakin dalem pula cerita yang ditawarkan. 

Tema macam rasisme dan American exceptionalism dieksplor di sini. Menurut gue game ini merupakan salah satu representasi yang bagus terhadap rasisme dalam dunia hiburan, selain film 12 Years a Slave dan Django Unchained. 

Bagaimana cara game ini menggambarkan masalah perbedaan warna kulit membuat kita menjadi simpatis terhadap kaum afro yang tertindas di game ini. Belum lagi American exceptionalism yang dipaparkan di game ini, membuat kita jadi antipati terhadap kaum mayoritas. Bikin kita mikir, 'gile, goblok banget ya, mereka ini?' Unsur-unsur permasalahan sosial tersebut ditaro dan disempilin di dalam cerita game ini sedemikian rupanya sampean gue merasa terhanyut di dalamnya. 

Immersive, you know. 

Gameplay. Tembak-tembakkan di sini rasanya juga gak mau kalah dengan cerita yang makin lama makin teler. Bisa ada jaminan, makin jauh progress terhadap cerita, makin jauh pula tembak-tembakkan dari kebosanan. Ada vigors yang berperan sebagai power-up di game ini, yang memberikan lu berbagai kekuatan supernatural buat ngalahin musuh dengan berbagai cara. 

Vigors ini juga lumayan bervariasi, dan setelah di-upgrade, variasi vigors ini juga nambah, dan dengan itu, opsi taktis main juga bertambah. Skema baku tembak yang sama gak ada jaminannya bakal terjadi dua kali di game ini, karena arena dar-der-dor yang gak monoton dan linear. Tambahin itu dengan vigors, upgrade senjata, dan Elisabeth (gue bahas entar), semua encounter dengan musuh pasti ada aja unsur serunya. 
One last thing, yaitu Sky-Hook, semacam peralatan gondola. Sky-Hook membuat berpergian di arena tarung maupun antar arena jauh lebih cepat, dan pemakaiannya pun juga tidak terkesan membosankan. Sky-Hook ini juga merupakan salah satu unsur yang menambah keseruan ke dalam segmen gunplay di game ini. Dengan adanya Sky-Hook, kecepatan gameplay dan gunplay di dalamnya bertambah cepat, dan nambah satu lagi unsur yang bikin Bioshock Infinte game FPS yang seru. 

Elisabeth. Ini dia mascot dari Bioshock Infinte. Untuk sebuah alasan yang bagus. Elisabeth adalah salah satu dari sedikit tokoh fiksi dalam gaming yang bener-bener punya alasan yang kuat buat disukain. Dia sangat manusiawi, dia anggun, dia kuat, dia tegar, dan terpenting, untuk sebuah game berdasarkan escort, dia bukan beban. Berguna banget, malahan. 

Mulai aja dari unsur manusiawi. Pertama-tama, chemistry dia dengan Booker si tokoh utama cerita. Chemistry mereka berdua bener-bener klop, seakan-akan saling melengkapi. Booker yang kasar dan keras adalah yang terhadap yin-nya Elisabeth yang polos dan manis. Dia juga sangat realistis terhadap lingkungan sekitarnya, dan reaksinya terhadap peristiwa yang terjadi dalam cerita sangat believable. Dan somethin' about her is natural. Dalam perjalanan kita, gue merasa dia sangat likable, tanpa dilebih-lebihkan. 

Lalu ke unsur kuat. Elisabeth, mau secantik-cantiknya dia, bukan tipikal damsel in distress yang cliche. Mungkin pada saat awal-awal Booker ketemu dia. But, buat selanjutnya, dia sangat independen dan berkepribadian kuat. Dia gak bereaksi berlebihan (kek yang gue bilang sebelumnya, realistis), apalagi lebay, terhadap kegilaan apapun yang ditemuin dalam cerita.  
Elisabeth.

Unsur berguna ini yang gak kalah penting. Elisabeth, gak kek damsel in distress biasanya, sangat ngebantuin dalam tembak-tembakkan yang mungkin kita temuin dalam cerita. Dia bisa ngelemparin kita peluru, salts buat ngisi meteran vigor, atau bahkan tambahan nyawa (dalam bentuk P3K maksudnya) saat lagi seru-serunya tembak-tembakkan. Bayangin aja pas lagi krisis, trus tau-tau dia ngelemparin senjata. Guna banget, gak? 

Gak cuman itu, dia juga bisa buka portal ke dunia lain. Versi singkatnya, portal-portal ini memperlihatkan barang-barang yang kita butuhkan. Misalnya, kait buat kita gelantungan di atas musuh dan nembakin mereka dari sana. Atau, kotak isi dinamit yang bisa kita tembakin biar musuh kena ledakannya. Dengan adanya Elisabeth, kita gak cuman kebantu di logistik, tapi taktis juga. Kurang guna apa, coba?

Real and authentically useful. 

Setting. Ini yang terakhir, gue rasa. Rasanya. Tapi emang setting dari Bioshock Infinite ini udah jauh dari mainstream. Premis bahwa game ini memiliki setting kota YANG MELAYANG DI ANGKASA udah anti-mainstream dari sononya. Begituan, ditambahin dengan latar waktu dari game ini, yaitu 1912. Bayangin aja, ini udah 2016, dan kita punya kantor yang bisa terbang aja belum. 
Columbia. 

Latar sosial dari game ini, secara menarik, juga dalem. Kota yang melayang tersebut, Columbia, adalah tempat yang totalitarian, dan mengedepankan ras kaukasia sebagai ras yang lebih unggul. Jelas aja, ras yang lain jadi korban rasis. Dan latar sosial itulah, yang menjadi salah satu isu yang dibahas di game ini. Penggunaan latar tersebut dalam cerita game bagus, kek yang gue bilangin di kurang lebih 12 paragraf di atas. 

All in all, a masterpiece in its own rights. 

Why It's Nothing Perfect:
Final Boss. Bukan karena final boss dari game ini kurang memuaskan, tapi faktanya, emang final boss gak ada di game ini. Atau mungkin, final segment dari game ini gak menampilkan lawan akhir yang spektakuler sebagai penutup cerita. Sayangnya. 

Ending. Mind-blowing and all, ending Bioshock Infinite gak punya resolusi yang pas. Bukan karena endingnya membingungkan (karena udah dijelasin di build-up ke endingnya), tapi plot twist dari ending semacam terjadi... dan udah, itu aja. Gak ada semacam penjelasan terhadap apa yang sesungguhnya terjadi selanjutnya. Kurang ada sense of closure, gitu. 


Team Fortress 2
Didn't see this coming, did ya? 

Malahan, mungkin ada yang bertanya, 'game apaan nih?' 

Ya makanya, gue di sini buat mengekspos salah satu FPS terasik di dunia. 

Why It's Nothing Less
Style. Dari tampangnya aja, TF2 udah secara blak-blakkan mengandung unsur anti-mainstream. Art directionnya jelas gak mengedepankan (mengebelakangkan, malahan) visuals yang tajam dan realistis. Goofy dan eye-catching, game ini dari sononya udah jauh dari unsur Call of Duty clone. Beda sendiri. 

Lagian, berani beda itu baik, kan? 

Ya gitu juga TF2. Mulai dari environment, para class yang bisa dimainkan, style of play, game modes, mechanics, sampe senjata, semuanya udah masuk kategori ngayal. Jauh dari realistis. Seakan-akan, biar bisa masuk, mendalami, dan mengerti game ini, adalah dengan membuang unsur serius dan realistis ke laut. Stupidity? Wajar. Hillarity? Sarapan. Craziness? Biasa.    

Gara-gara kengayalan yang bertebaran di game FPS yang satu ini, jelas menawarkan pengalaman yang bener-bener baru buat para penggemar FPS. Atau gamer secara keseluruhan. Belum lagi banyaknya kelucuan, baik yang secara kekanak-kanakkan maupun di atas level umur tersebut, yang berserakan di game ini. Akhirnya, game menjadi fresh. Gak bosenin buat dimainin. 

Weaponry. Hal bagus yang lain adalah faktanya TF2 1) adalah game yang gratis, tanpa pajak, di Steam sampe sekarang, dan 2) content game selalu di-update sampe sekarang. Dengan kata lain, TF2 yang dulu gak sama dengan TF2 yang sekarang. Bugs secara konstan diperbaikin dan unbalanced gameplay secara konstan, ya dibikin seimbang. 

As of the mechanics itself, keknya nurut banget sama style teler yang gue sebutin di atas. Rocket launcher bisa dipake layaknya trampolin, flamethrower buat mademin api, tangan (ya, tangan tok) sebagai melee weapon, dan pisau daging adalah senjata lempar. Itu cuman sebagian kecil dari kengayalan TF2. Kedengerannya aja udah aneh, apalagi mainnya? Itu masih weapon-wise. 

Untungnya, gara-gara poin kedua yang gue sebutin di atas, TF2 hampir gak pernah mengandung unsur unfair, imba, ataupun overpowered. Semua jenis senjata buat semua jenis class punya keuntungan dan kelemahan masing-masing. Mungkin aja ada beberapa senjata yang lebih susah dikuasain dari yang lain, tapi secara keseluruhan, semua senjata berguna. Kalo gak, ya patch pun beraksi. Terpenting adalah gak ada senjata yang menonjol secara berlebihan dari segi kekuatan. 

Class. 9 class yang bisa dimainkan di sini adalah tulang punggung dari humor yang terdapat di game kocak ini. Semua dengan skill mereka masing-masing, senjata masing-masing,  dan terpenting, gaya main masing-masing. Mulai dari Scout si banyak bacot, Soldier yang kebakar semangat '45, Pyro si misterius, Heavy si otak dengkul, Demoman si mabok, Engineer si santai, Medic si gila, Sniper si sabar, dan terakhir Spy yang licik. 
(sjj): Demoman, Sniper, Soldier, Spy, Heavy, Scout, Engineer, dan Medic. 

Class ini juga membawa daya tarik masing-masing. Daya tarik inilah yang membuat game ini tambah lucu. Anggep aja si Heavy dengan badannya yang besar membuat dia meremehkan lawan-lawannya, dan sering pula ia memanggil mereka "babies" (bayi). Atau si Sniper yang keliatannya pendiem, tapi begitu peluru dia nyasar secara sengaja ke jidat musuh, disitulah keluar persona Aussie-nya yang berlidah cepat. 
Pyro, yang gak ada di atas.

Karakterisasi dari masing-masing kelas inilah yang membawa kebanyakkan humor dari game ini, tanpa adanya Story Mode yang bener-bener solid, rasanya lawakan-lawakan kawakan dari tokoh-tokoh dalam game ini adalah nafas kehidupan dari game itu sendiri. 

Game Modes. Semua jenis game mode di sini bakal berjalan dengan satu arah: jauh dari wajar. Biasanya, Multiplayer-based FPS mengedepankan teamwork, tapi lain ceritanya di sini. Teamwork emang masih disarankan, tapi emang terkadang hal terbaik adalah ketika kegilaan tingkat tulen yang mengambil alih keadaan. Misalnya di game ini. 

Maksudnya, emang teamwork di sini masih bisa eksis, tapi pada akhirnya, orang yang bisa seorang pemain andalkan adalah pemain itu sendiri. Map-map juga memberi garis bawah terhadap pernyataan tersebut, karena semua punya approach yang berbeda-beda. As of game mode itself, game mode di game inipun juga bisa terbilang anti-mainstream. Gak semua game mode yang di-showcase di sini ada di game FPS lainnya. 

Bagusnya, mau sekacau-kacaunya berjalannya sebuah game di TF2, teamwork pun masih ada dalam wujud yang berbeda-beda. Entah kenapa, para pemain tidak dipaksa untuk bermain secara kompak secara langsung, tapi jalannya sebuah game bisa merangsang pemain untuk memutar otak sedikit dalam sebuah permainan. Gak mau adaptasi, ya siap terima kalah.  

Point is, embrace the craziness of this game. 

You'll enjoy eventually. 

Why It's Nothing Perfect:
Story Mode. Gak ada Story Mode yang bener-bener Story Mode di game ini. Cerita di game ini berperan cuman sebagai latar doang, dan malahan banyak pemain yang gak tau apa sesungguhnya cerita di balik game ini. Padahal, cerita latar dari game ini terbilang bagus dan tetep setia sama sifat outlandish yang dibawa game ini.

Sependapat? 

Jangan sungkan, lah...  

Until the next post, bungs!











No comments:

Post a Comment

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...