Friday, January 26, 2018

THIS IS A REVIEW: The Death Cure

Starring: 

Dylan O'Brien (Teen Wolf, American Assassin) as Thomas 
- Ki Hong Lee (Unbreakable Kimmy Schmidt) as Minho
- Thomas Sangster (Game of Thrones, Phineas & Ferb) as Newt 
- Kaya Scodelario (Pirates of the Caribbean: Dead Man Tell No Tales, Skins) as Teresa
- Rosa Salazar (American Horror Story: Murder House, Alita: Battle Angel) as Brenda
- Giancarlo Esposito (Breaking Bad, The Jungle Book) as Jorge
- Aidan Gillen (Game of Thrones, The Dark Knight Rises) as Janson 

Budget: $ 83 juta 
Box Office (per 24 Januari 2018): $ 15,2 juta 
Lama: 2 jam 22 menit 
Rotten Tomatoes: 47% 
US Release: 26 Januari 2018

Balik lagi dengan review gue buat entry ketiga dan terakhir dari serial film adaptasi novel ini. Bukannya gue bener-bener suka ngikutin serial novel ini, tapi gue rasa gak pantes aja kalo gue sukses nge-review dua film sebelumnya sementara review film ketiganya gue lempar ke laut. Nanggung, gitu loh. 

Toh, gue pun juga tetep dapet hype buat film ketiga serial Mazer Runner meskipun udah lupa-lupa detil cerita novelnya. Trailer-nya emang mantep, sih. Film-nya? Ah, itulah guna review ini, ya nggak sih? 

Sebelum kita masuk ke review beneran-nya. 

Let's have a little recap, shall we? 

Film Maze Runner yang pertama gue kasih sebuah high 8 dengan skor 88 dari 100. Menurut si gue dari 3 tahun lalu, rating 88 ini dia (gue) kasih karena filmnya sukses mengadaptasi novel tanpa melenceng jauh-jauh dari source material-nya. Unsur rumit dan gak penting dari novel diilangin dan membuahkan hasil yang mantep pula. Belom lagi mayoritas cast yang memerankan tokoh mereka dengan baik dan setia sama novel aslinya. 88/100 buat film pertama.

Sekuelnya, The Scorch Trials, gue kasih rating low 8 dengan skor 80 dari 100. Menurut Momo dari tahun 2015, film tersebut dikasih rating 80 gara-gara adanya perbelokan dari novel aslinya. Beda dengan film sebelumnya, perbelokan di film ini ada yang guna, ada pula yang gabut. Intinya, gak semua perbedaan dari novel aslinya membantu film tersebut. Soal tokoh-tokoh baru dan lama, semuanya lancar, gak ada yang aktingnya ampas. Meskipun gitu, ada sedikit masalah dengan mis-casting pada film tersebut. *uhuk*aris*uhuk* 80/100 buat film kedua

Satu hal lagi. Satu hal yang jadi pertimbangan buat gue sekarang, gara-gara dibilangin sama gue yang dulu. 

Di akhir review buat film kedua, si Momo dari 2015 bilang dia mau ngeliatin film ketiganya setia sama source material-nya ato gak. 

Ah, makasih ya, Momo tahun 2015. 

Gue bakal pertimbangin faktor yang satu itu. 

Yep, 

langsung aja. 

So Close Yet So Far

Pertama-tama, gue bakal mulai dengan sebuah pernyataan. 

Pernyataan kelegaan. 

Demi apapun, gue bersyukur film ini gak dipisah jadi dua bagian. 

Itu sebenernya udah kentara sih, keliatan dari judul filmnya yang gak ada tambahan 'part 1' di belakangnya. Itu, dan sebelumnya Wes Ball selaku sutradara film udah pernah bilang dia gak bakal misahin film terakhir ini jadi dua bagian. Jadi, emang udah lega dari sononya. 

That being said, cerita dari novel aslinya emang agak susah buat dibelek jadi dua bagian, sih. Bukan cerita pendek, tapi gak bisa dibilang 'sepanjang itu' juga, sih. 

So! 

Poin pertama gue. 

Apakah film ini setia dengan source material aslinya? 

Honestly? 

Kagak. 

70% kagak. 

Ow syiit, kata lo pada yang baca ini DAN udah pernah baca review Scorch Trials gue. Mampus bener ni film, udah tau si Momo ngarepin filmnya setia sama novelnya, eh malah melenceng kemana-mana. Gitu kali, ya? 

Sejujur-jujurnya? 

Setelah gue liat trailer pertama dari The Death Cure, gue udah memperkirakan film ini bakal jauh dari novelnya. Premis sama, plot point super penting sama (misalnya, perkara tokoh tertentu mati ato gak), tokoh sama, tapi selebihnya beda. Gue udah meng-embrace kenyataan bahwa film ini gak bakal sama dengan novelnya. 

Dan for the most part, gue bersyukur buat itu. 

Sedikit info kurang penting. 

Pas gue nonton si The Death Cure ini, sepanjang jalannya film, gue menganggap ini adalah film yang setia dengan novel aslinya. Selama jam tayang, gue mikir "oh, ini ada di novelnya" ato "hoo, mantep juga mereka samain sama novelnya di sini". Mungkin gue kebawa sugesti si Wes Ball yang pernah bilang filmnya bakal setia sama novelnya, tapi entahlah. Intinya, gue percaya bahwa film ini emang sesuai sama novelnya. 

Baru pas gue baca sinopsis novel tersebut buat riset postingan ini, gue nyadar banyak banget perbedaan si novel dan si film. 

Bukannya gue gak seneng juga, sih. 

See, pas gue ngeliat sinopsis novel tersebut, gue baru sadar kalo cerita The Death Cure yang asli banyak kena filler alias unsur cerita yang gak punya kepentingan selain buat manjang-manjangin cerita. Banyak juga plot point yang gak perlu, yang melibatkan geng-nya Thomas kesana-kemari kek setrikaan tanpa alasan yang bagus.

Di sini, gue dengan senang hati memberitahu lo pada kalo unsur sub-plot gak penting banyak diilangin di film ini. Semua unsur yang dirumit-rumitin di novel kek penyakit Flare, obat mujarab yang jadi plot utama novelnya, dan bahkan obat painkiller bernama Bliss yang dari novel diilangin di filmnya. Nop. Poof. Jadi simpel banget. 

Mungkin ada penggemar hardcore novelnya yang mau bakar bioskop gara-gara perkara 'penistaan' terhadap novelnya, tapi gue kasitau lo: kalo filmnya setia sama novelnya 100%, rasanya tu film jadi gak bisa ditonton. Jangankan 100%, di atas 75% aja udah susah banget buat dingertiin. Yep, emang cerita aslinya serumit itu. 

Balik lagi dengan geng-gong kita dari film kedua (ki-ka):
Thomas, Jorge, Frypan, Newt, dan Brenda.
Untungnya, 30% kesetiaan film ini dengan novelnya adalah unsur-unsur yang bener. Unsur yang gak terpisahkan dari novel kek kematian ****** dan ****** gak diilangin dari film. Belom lagi kehadiran *****, sebuah unsur yang gak dikasitau di trailer buat film ini. Baguslah, gak ada yang ke-spoil. Kebetulan, tiga unsur ultra-penting ini adalah tiga unsur yang paling gue inget dari novelnya. Sebuah kebetulan, emang. 

Gak untungnya, si 30% yang gue bilang tadi gak dieksekusi dengan sempurna.

Misalnya, kematian salah satu tokoh utama yang gue sebutin namanya tadi. Meskipun cara mati si orang ini (tenang aja, gak ada binatang yang disakiti di film ini) sama dengan novel, adegan kematiannya gak punya impact dramatis yang sama. Akting sih gak ada yang jelek, mungkin presentasinya aja yang kurang ngena, gak kek di novelnya. Belom lagi kematian tokoh ini yang dikelilingi oleh bad plot decision alias situasi tolol yang diciptakan oleh film ini menjelang kematiannya. Kek, ngapain gitu loh? 

Kematian tokoh yang lain mungkin punya impact dramatis yang sama (berkat sinematografi ciamik dari film ini, sama kek film-film sebelumnya), tapi kena satu masalah yang sama dengan yang tadi gue sebutin. Yep, bad plot decision. Kali ini, lebih ke masalah timing dari keseluruhan sequence kematian si orang ini, yang menyebabkan gue (dan temen-temen gue yang lagi nonton) mikir: ni orang geblek. Gebleknya ngapain, mungkin bisa dicek sendiri. Hehe.

Kerennya, dengan banyaknya perbedaan antara film ini dan novelnya, kematian dua tokoh utama ini masih sama ceritanya dengan kematian mereka di novel secara garis besar. Jangankan cara mereka mati, situasi mengitari kematian mereka pun lumayan mirip. Ya sekilas keliatan beda, tapi let's just say kematian mereka di film sukses menjadi paralel yang sempurna terhadap kematian mereka di novel. Gak sama persis, tapi tetep kerasa familier. 

Secara keseluruhan, banyak banget perbedaan antara film ini dan novel aslinya. 

Lebih banyak dari The Scorch Trials, mungkin. 

Bahkan, kesamaan antara film dan novel pun gak bisa dibilang sama plek. Kesamaan yang ada antara film dan novel pun disuguhkan secara garis besar, itupun dengan berbagai perbedaan dalam detail-detailnya, besar maupun kecil.

Am I okay with it? 

Hell yeah I am.     

WCKD's Wicked Wicks

Sebelum kita masuk ke tiga (sesuai dengan tradisi gue, because, you know, traditions) tokoh menarik di film ini, gue mau ngasitau satu hal. 

Akting di film ini, sekali lagi, bagus. Banget? Mungkin aja. 

Semua pemeran dalam film ini, dari Dylan O'Brien sampe Barry Pepper, memerankan tokoh mereka dengan baik. Adegan yang intens dan menegangkan dibuat lebih intens dengan akting mereka yang believable. Gak ada akting cuman sebatas baca skrip doang di sini. 


Honorable mention buat si Barry Pepper, pemeran Vince. Vince yang tadinya cuman ada di novel ketiga, sekarang udah muncul sedari film kedua. Tokoh Vince ini punya screen presence yang enak diliat. Meskipun dia awalnya keliatan kek seorang pemimpin pasukan pemberontak generik dengan motivasi yang generik pula di film kedua, di film ketiga dia jadi sekutu dari geng Thomas yang bisa diandalkan. Belom lagi akting Barry Pepper yang mengubah Vince dari tokoh generik di film kedua tadi jadi tokoh yang lebih karismatik di film ketiga. Noice. 

Anyways, ehm, 

tokoh pertama. 

Percaya ato gak, the first guy adalah satu-satunya tokoh baru di film ini. Si dia inipun bukan sebagai tokoh utama pula. 

Mohon maap, ini bukan foto Lawrence dari film.
Then again, ini emang  foto Walton Goggins selaku pemeran tokoh
tersebut, jadi foto ini bisa dijadiin gambaran. Kurang lebih.

Lawrence (Walton Goggins). 

Lawrence di film adalah pentolan dari kelompok pemberontak yang ketemu sama geng Thomas. Yep, ada lagi geng pemberontak di sini, meskipun ada geng pemberontak di The Scorch Trials. Bedanya? Beda pemimpin sama beda domisili. Yang satu dipimpin oleh Vince, yang satu dipimpin oleh ni orang. Yang satu di padang gurun, yang satu di pinggiran kota. Dah. 

Rasanya cocok kalo Lawrence disandingkan dengan Vince. Orang sama-sama pemimpin pasukan pemberontak yang mau, guess what, ngalahin WCKD. Bahkan, di novel (SPOILER ALERT) Lawrence adalah BAWAHAN dari Vince. Yep, di novel, mereka se-geng. Di sini? Beda.  

Vince adalah sosok yang karismatik. Generik di awal, tapi karismatik di akhir. Tipe-tipe orang yang menyerbu Hotel Yamato, menaiki atapnya, menyobek bendera Belanda yang bertengger di sono, dan meneriakkan, "MERDEKA!" That kind of person. Banyak teriak ato minimal bernada tinggi lah, kurang lebih. 

Lawrence lebih kalem. Setengah keberadaannya dalam film digunakan untuk ngasitau kalo ini orang lebih kalem tapi lebih mematikan. Setengahnya lagi? Buat ngasitau kalo dibalik kekaleman itu, Lawrence punya karisma yang gak kalah dengan Vince. Rada unpredictable. Belom lagi akting Walton Goggins yang punya nada kalem tapi dalem, semacam melengkapi tampang, ehm, menarik punya dia. 

Anggep aja, 

kalo di serial Far Cry, Vince setara Vaas, Lawrence setara Pagan Min. 

Sayangnya, karakter Lawrence gak dikembangin dari situ. Baguslah kalo dengan sedikitnya waktu yang dia punya, tokoh dia dipaparkan dengan baik. Sayangnya, dia gak punya character development, apalagi interaksi lebih lanjut dengan geng Thomas. Cuman secuil aja penokohan yang kita dapetin terhadap si Lawrence ini. Semacam potensi yang kebuang. 

Then again, dengan ramenya film The Death Cure ini, mungkin dia emang gak kebagian tempat. Bahkan, kita bisa dapet SEGITU dari dia aja udah bagus banget. 




Kedua adalah Teresa (Kaya Scodelario). 


Yep, balik lagi dengan Teresa, tokoh yang udah ada dari film pertama. 

Di review buat The Maze Runner, gue semacam menyayangkan kurangnya chemistry berarti antara tokoh Teresa dan protagonis film Thomas. Bukannya gue bilang kalo akting Kaya jelek, mungkin lebih ke kurang greget aja. Jatoh-jatohnya lebih ke salahnya penulisan karakter Teresa dalam film tersebut. 

Di review buat The Scorch Trials, gue gak ngebahas Teresa. Yang ada, gue ngebahas Aris Jones, salah satu tokoh baru dalam film tersebut. See, bagi yang masih inget, gue semacam menyinggung adanya hubungan romantis antara Aris dan Teresa di novel, sebuah unsur yang dihilangkan dari film adaptasinya. Dan gue seneng dengan hilangnya sub-plot tolol tersebut. 

It was at this moment in the second movie that we knew...
she f***ed up.

Buat The Scorch Trials, gue bisa bilang mereka bener-bener main aman dengan penokohan Teresa di film tersebut. Yep, dia masih aja (SPOILERS ALERT!) mengkhianati geng Thomas, namun pengkhianatan Teresa di film semacam digambarkan... lebih beralasan? Berbeda dengan novel aslinya yang menggambarkan Teresa mengkhianati Thomas secara blak-blakan tanpa tau malu, di film pengkhianatan Teresa lebih simpatetik. Keliatan dari akting oke Scodelario yang mampu menampilkan penyesalan Teresa  saat mengkhianati Thomas. Itu, dan perbedaan waktu. Di novel Teresa mengkhianati Thomas udah dari awal-awal cerita, sedangkan di film Teresa baru mengkhianati Thomas di penghujung film. 

Gue sih gak masalah dengan perubahan-perubahan tersebut. Malahan, gue seneng dengan film adaptasinya yang berani menggambarkan tokoh Teresa berbeda dengan novelnya. Penggambaran yang bagus pula, berhasil TIDAK membuat Teresa jadi tokoh yang minta dibogem mukanya. 

Oh ya, sori buat satu-paragraf-yang-literally-isinya-spoiler-semua-nya. 

Gimana si Teresa di film ketiga? 

Nampaknya film The Death Cure masih menggunakan kesan simpatetik yang dimiliki oleh Teresa. 

Sebenernya, film dibagi menjadi dua sudut pandang utama: Teresa dan Thomas. 

Kita semua tau lah sisi Thomas. Berjuang menjatuhkan WCKD, membebaskan para bocah kelinci percobaan, dan membebaskan (SPOILERS ALERT!) Minho yang diculik WCKD di penghujung film The Scorch Trials. 

Sisi Teresa, however, menceritakan perjuangan Teresa untuk mencari obat penyembuh mujarab buat penyakit Flare. Sisi Teresa menceritakan bagaimana dibalik tembok-tembok megah WCKD, pencarian buat obat penyembuh pun gak gampang-gampang amat. Selain susah dapet persetujuan dari berbagai pihak, WCKD sendiri juga harus berurusan dengan pembuatan obat itu sendiri yang ternyata banyak makan biaya, korban, dan waktu. 

Sisi Teresa ini, menurut gue, semacam menggambarkan sudut pandang dan motivasi pihak 'antagonis' serial film The Maze Runner dengan baik. Tentu saja, pencarian buat antidote penyakit Flare sendiri emang butuh pengorbanan yang gak sedikit. Akan tetapi, diliat dari sudut pandang Teresa, itu semua demi kebaikan bersama. 

Belom lagi, sifat Teresa yang lebih pengertian terhadap Thomas dkk. Alih-alih menunjukkan kebencian terhadap Thomas (because, you know, Thomas udah ngabisin dua film terakhir ngacungin jari tengah ke WCKD), dia bersifat lebih simpatik terhadap 'lawan'-nya tersebut. 

Gue suka dengan penokohan Teresa yang dibuat jadi protagonis sekunder. Berjuang untuk kebaikan bersama meskipun dengan cara yang berbeda dari Thomas. Semuanya didukung habis-habisan dengan akting solid dari Kaya Scodelario. Bukan yang terbaik (harus gue akuin, kadang-kadang Teresa ini bisa nyebelin juga), tapi boleh juga. 

Bukan yang terbaik. 

Akting terbaik dalam film ini jatoh ke tokoh ketiga. 




Newt (Thomas Sangster). 


Menurut gue tiga tahun lalu, adaptasi karakter Newt ke film setia dengan novel aslinya. Kalem dan tenang, bahkan terkesan ramah. Belom lagi film menambahkan sebuah fitur unik ke Newt versi film dengan meng-cast Thomas Sangster yang notabene adalah orang Inggris. Dari situlah, logat Inggris kental gak lepas dari tokoh Newt di film. Newt sendiri juga digambarkan sebagai salah satu anggota geng Thomas yang lebih 'bijak', lebih rasional dan mengedepankan logika dalam petualangannya dengan Thomas, meskipun dia gak bisa dibilang penakut juga.  

Karakter Newt yang tenang dan kalem menghadapi segala masalah tetep ada di film kedua. Selain sifat kalem tadi, Newt pun mulai lebih ditunjukkan sifat rasionalnya, terlihat dari ketidaksetujuannya terhadap sifat impulsif Thomas beberapa kali di The Scorch Trials. Meskipun gitu, Newt tetep punya pembawaan yang anteng, dan dia pun tetep jadi salah satu pengikut Thomas yang paling setia. 

Bisa dibilang, Newt adalah tokoh yang paling banyak berdinamika di film ketiga. 

Di film ketiga ini, kita bisa ngeliat berbagai sikap Newt yang belom pernah ditunjukkan di film sebelumnya. Di The Death Cure, Newt pun bisa sedih, sentimentil, kesal, dan bahkan marah. Di film ketiga inilah gue dibawa ke berbagai sisi lain Newt. 

Di film inilah kita bakal bisa ngeliat penokohan Newt bener-bener berkembang. 

Dan semua itu ditopang dengan sangat mantap oleh akting dari Thomas Sangster.

Thomas Sangster sendiri mampu memerankan berbagai ekspresi Newt dalam film ini dengan sangat natural. Belom lagi chemistry dia dengan Thomas yang diperankan oleh Dylan O'Brien. Sangster mampu menjaga sifat Newt yang kalem dan rasional dari dua film pertama, tapi di saat yang bersamaan Sangster berhasil memerankan sifat Newt yang lebih dramatis di film ketiga. 

Belom lagi interaksi Newt dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Bukannya gue mengesampingkan Dylan O'Brien sebagai Thomas, tapi di beberapa adegan, Newt terkesan sebagai tokoh utama. Terkadang Newt menjadi pusat perhatian dari berbagai adegan. Tentunya dibawakan dengan sangat baik oleh Thomas Sangster.    


Behind the scenes.
Dan perkembangan karakter Newt inipun juga gak terkesan maksa ataupun aneh, soalnya dinamika dia dengan tokoh lain di film ini nyambung dengan sifat dia di film sebelumnya. Terutama interaksi dan chemistry dia dengan Thomas, yang udah dibangun dari film-film sebelumnya. Peran dia di film ini pun juga lebih sentral, sehingga kita pun bisa ngeliat character development mancay secara jelas. 

Ya tentunya Thomas (dan Teresa) adalah tokoh utama di sini, tapi Newt adalah tokoh yang dapet treatment paling bagus. Hasil yang ciamik dari pembangunan karakter selama tiga film. 

So, there it is. 

Newt: best character and acting. 

Every Maze Has an End 

Serial film Maze Runner adalah sebuah serial film adaptasi novel yang anehnya punya action sequence yang teramat sangat bagus. Keliatan dari cara kedua film pertama menyajikan action sequence: para tokoh utama harus lari untuk menyelamatkan hidup mereka. Pasti ada aja adegan itu. 

The Maze Runner punya vibe misterius dan mencekam dimana para penduduk Glade harus bertahan hidup di tempat yang mereka gak ngerti sama sekali. The Scorch Trials punya vibe menegangkan dan seru dimana penduduk Glade sekarang udah di dunia luar yang sama sekali gak bersahabat sama mereka. 

Apa yang The Death Cure punya? 

Well, for starters, The Death Cure gak punya kedua vibe unik milik kedua film sebelumnya. Tentu saja The Death Cure punya action sequence yang seru dan menegangkan, tapi apa yang sebenernya dipertaruhkan oleh para tokoh utama dalam adegan seru tersebut? 

Sejujur-jujurnya, gak ada vibe baru di sini. Film ini dominan menyajikan perjuangan Thomas dan geng-nya melawan WCKD, yang mana vibe tersebut udah ada di penghujung film kedua. Balas dendam terhadap WCKD yang udah memperlakukan mereka dengan semena-mena, itu udah ada di film kedua. Itu, dan sedikit adegan dimana mereka harus melarikan diri guna menyelamatkan nyawa. Itupun udah ada di kedua film sebelumnya. 

Jatoh-jatohnya, kita udah familier dengan vibe yang dibawa oleh The Death Cure. 

Dan apa salahnya dengan itu? 


Hooo, Jojen Reed bisa pegang senjata juga ya.
Toh action sequences di film ini masih seru, meskipun lawan dan medan yang harus dihadapi udah beda. Camera angle dari film ini pun mampu menangkap ketegangan setiap adegan dengan baik. Ditambah dengan sinematografi yang mampu menangkap nuansa tegang dari masing-masing adegannya.

Meskipun impact dan intensitas dari masing-masing adegan aksi tersebut udah berkurang. 

Yep, keseruan adegan action dari film ini berkurang dari film sebelumnya. Gak seberapa parah sih, tapi kerasa. Mungkin gara-gara film ini lebih berorientasi ke tembak-tembakan (lumayan banyak tembak-tembakan di film ini) daripada lari-larian jika dibandingkan dengan film sebelumnya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, bukan gara-gara masalah teknis kek sudut kamera. Lebih ke writing menurut gue. 

Tapi ya mau gimana lagi? Masa' satu film kerjaannya lari-larian terus? 

Anehnya, sedikitnya adegan lari-larian (ato seenggaknya, melarikan diri) di film ini tetep jadi aspek yang paling menegangkan dari film ini, lebih menegangkan dari adegan tembak-tembakannya. Teramat sangat sesuai dengan nama serial ini. 

Satu hal lagi yang gue perhatiin dari film ini adalah scope adegan aksi di film ini. Lebih gede dan lebih ambisius menurut gue. Cerminan dari 20 menit terakhir The Scorch Trials. Ngerasa ledakan dan tembakan dari The Scorch Trials kurang? Tenang aja, mayoritas 20 menit ini isinya begituan.  Terutama satu jam terakhir. Bukan cuma tembakan doang, ada juga adegan-adegan lain yang lebih spektakuler dari film sebelumnya. 

Which leads me to the second flaw. 

Gara-gara adegan aksi yang lebih spektakuler dan ambisius, ada aja adegan yang kurang masuk akal. Gak enak ditonton bukan gara-gara kebanyakan shaky cam ato sudut kamera yang nyasar; gara-gara gak logis aja. Anggep aja bad plot decision. Ada aja adegan yang bikin gue bertanya-tanya, "lah, kenapa si ini gak kek gini aja?" ato "lah, udah kek gitu kenapa si ini masih idup?" ato "lah, emang bisa kek gitu di dunia nyata?"  

Itu, dan lebih banyaknya CGI dalam berbagai action scene dalam film bisa terkesan aneh. Tau sendiri lah, film paling pertama lebih mengedepankan unsur thriller dibandingkan action. Film kedua pun sama, meskipun action di film kedua lebih kentara. Yang ini? Udah rada seimbang sekarang. 

Not me, though. Some people may be annoyed. But not me.

Gue gak masalah dengan adegan seru yang lebih banyak dari adegan tegang. 

Toh, sinematografi dan presentasi-nya pun rapi. 

Toh (lagi), CGI di film ini masih jauh lebih jinak dibandingkan dengan film yang overdosis CGI kek Transformers. Oh tidak, The Death Cure gak ada bandingannya dengan film itu. 

Mungkin film trilogi Maze Runner dengan action scenes paling ngebosenin, tapi itupun masih di atas rata-rata. Masih bagus, anggeplah. 


(+) - Penokohan yang mantap didukung dengan akting yang mantap oleh segenap cast
     - Dari segi cerita, sebuah kemajuan dari cerita novel aslinya. 
     - Sinematografi yang rapi. 
(-) - Action scenes yang gak sebagus dua film sebelumnya. 
    - Penulisan dalam beberapa adegan krusial rada gak masuk akal. Bad plot decision. 

VERDICT: 

[ NAIL / FAIL ] 84/100

Conclusion
Kekurangan The Death Cure di keseruan dan ketegangan ditutupi oleh akting mantap dari cast film dan cerita yang lebih bagus dari novel aslinya. Sebuah penutup yang manis buat trilogi Maze Runner. 

Side note: gue gak bisa bilang ini adaptasi novel remaja terbaik sepanjang masa; kehormatan itu milik serial film Harry Potter. Masih lebih bagus dari serial film Twilight, Divergent, dan Percy Jackson, sih. 



Until the next post, bungs! :D






Sunday, January 14, 2018

THIS IS A REVIEW: 2k17 (#2)

Dah?

Langsung aja. 

What? 

Iye seriusan, langsung aja. 

Astaga, mau gue kasih bacot apa lagi? 

Kagak mau, kan? 

Udeh, langsung aja. 

Of Nets and Pies

Gimana caranya jadi orang yang paling dibenci di internet? 

Sebar-sebar pernyataan kontroversial? 

Donald Trump udah ngejadiin itu kebiasaan bangun tidur dia, dan masih banyak aja orang yang ngedukung dia. Gue gak bilang semua pernyataan dia mengenai sesuatu udah pasti salah; gue bilang apapun yang dia lontarkan dari mulutnya (dan Twitter-nya) pasti jadi bahan omongan. 

Trus? 

Gampang. 

Utak-atik aja hak orang ber-internet. 

Yep, satu hal yang paling dilindungi dan paling dihargai oleh warganet adalah internet itu sendiri. Tempat mereka berekspresi, tempat mereka berkomunikasi, dan--terkadang--tempat mereka bener-bener idup. Lo main-main sama tempat 'sakral' tersebut, lo main-main sama segenap warganet. 

Siapa gerangan manusia yang berhasil bikin satu internet marah? 

Kenalin, 

Ajit Pai. 

Ajit Varadaraj Pai, lebih tepatnya. 

Emang apa sih yang dia lakuin, sampe-sampe dia bisa bikin seluruh warganet marah sama doi? 

Sedikit konteks. Lagi. 

Ajit Pai adalah ketua dari Federal Communications Commission (FCC) Amerika Serikat. Ngapain aja ni organisasi? Well, mereka berfungsi untuk ngatur komunikasi antar propinsi, ato istilah sono-nya, negara bagian. Mau itu radio kek, satelit kek, cable kek, internet kek, mereka ini yang ngatur penggunaan bentuk komunikasi tersebut. 

Pai sendiri sebenernya udah jadi anggota dari FCC ini lumayan lama. Lama dalam artian dia udah jadi anggota komite ini dari tahun 2011. Sebelum itu aja dia udah jadi perwakilan hukum buat FCC, dari tahun 2007. Sebelum itu... ah, gue kurang ngerti birokrasi lembaga hukum di Amerika. Intinya, dia berkutat di daerah sono. Hukum. Sebelum itu? Pengacara buat Verizon sampe tahun 2003. 

Balik lagi ke pertanyaan tadi, apa yang Pai lakuin sampe dia bisa bikin seluruh netijen (di Amerika, seenggaknya) marah sama dia? 

Dia ngutak-atik hak orang ber-internet, tau, tapi gimana dia lakuinnya? 

Dia ngubah peraturan buat provider internet di Amerika. 

Emang apa peraturan yang diubah? 

Ah, kita harus balik ke tahun 2015. Tahun dimana Obama si Anak Menteng belom digusur oleh Donal Bebek Donald Trump. 

Tahun 2015, FCC mengeluarkan peraturan bahwa Internet Service Provider kek  berfungsi sebagai common carrier untuk fasilitas internet di Amerika. Artinya, perusahaan provider internet wajib memberikan akses internet yang sama untuk semua pengguna internet, semua situs, semua layanan internet, tanpa terkecuali. Gak ada ceritanya mereka bikin beberapa situs jadi lebih lelet cuman gara-gara mereka punya provider lawan. Nop. Semua harus sama rata. 

Internet yang terbuka untuk semua orang. Internet yang netral. Net neutrality

Inget, di tahun 2015, Ajit Pai udah jadi anggota FCC. Secara gak mengagetkan, dia adalah salah satu dari lima anggota FCC yang memilih melawan pengesahan peraturan tersebut. Sori ambigu, anggota FCC yang vote against peraturan tersebut gak nyampe lima orang. Orang anggota FCC sendiri cuman lima orang, gimana caranya peraturan itu jadi sah kalo yang gak setuju ada lima orang? Anyways, dia gak setuju dengan konsep net neutrality yang dibawa oleh peraturan tersebut. 

Dua tahun kemudian, begitu dia naik jadi ketua komite tersebut, langsung gercep aja ni anak. Naik tanggal 23 Januari, tanggal 23 April dia udah ngeluarin Notice of Proposed Rulemaking yang isinya mencabut peraturan 2015 tersebut. Dengan kata lain, mencabut net neutrality dari, ya, internet. 

Apa ini artinya? 

Anggep aja kebalikan dari paragraf gak-terlalu-panjang yang udah gue tulis di atas. Internet Service Provider jadi 'diperbolehkan' buat 'ngatur' kelancaran lalu lintas di internet, ngilangin akses buat situs-situs tertentu, dan bahkan nyuruh netijen buat bayar biar bisa akses situs tersebut. Mirip dengan sistem pay to win di dunia game yang pernah gue bahas. Ya itu udah masuk kategori worst case scenario sih, tapi tetep aja. Dengan diilanginnya net neutrality, provider bisa aja ngelakuin gituan. 

Begitu warganet Amrik tau situasi ini, Pie-man (julukan gue buat si Pai ini) langsung jadi manusia paling dibenci di seantero internet. 

Meme mengenai P-man beredar dimana-mana, mukanya dipasang di samsak tinju (rasanya), dan P-man sendiri dapet kecaman dari berbagai pihak. Dari seleb sampe netijen biasa, dari omongan baik-baik sampe ancaman dibunuh. 

Gue sendiri gak terlalu telat buat ikut tren ini. Kek, gue udah liat meme-nya di Instagram dan YouTube dari November akhir, sekitaran pas Pie-man ngumumin pemilihan suara buat pencabutan peraturan 2015 tersebut. Thing is, gue gagal paham keadaan tersebut. Gue gak ngerti tentang seseorang keturunan India bernama Ajit Pai dan kenapa dia ini mendadak jadi manusia ter-brengsek se-internet. Gue cari di Wikipedia juga, hasilnya nihil. Tetep aja gue gak mudeng. Sekarang udah *agak* mudeng sih. 

Intinya, ini topik baru panas banget pas akhir-akhir November. Pas suara mau diambil mengenai nasib net neutrality tersebut. Udah lumayan panas sih pas April, tapi situasinya bener-bener mendidih pas suara mau diambil pada bulan November-Desember.

Jujur, P-man keliatan seperti orang baik. Yap betul, dia dan senyumnya yang agak maksa itu mungkin terlihat aneh, tapi keliatannya dia jauh lebih mending dari Donal Bebek atasannya. At least dia lebih kalem dan ramah, gak marah-marah di Twitter begitu ada orang yang nyinyir dia. 

Berangkat dari pengertian gue tersebut, gue jadi ngerti kenapa Pie-man semacam berusaha buat 'mencairkan suasana'. Kek yang tadi gue bilang, dia keliatannya ramah. 


Tanggal 13 Mei 2017, channel YouTube Independent Journal Review mengunggah video yang isinya Ajit Pai ngebacain tweet yang ditujukan buat dia. Bisa ditebak, gak ada satu tweet pun yang isinya ngebelain dia. Lucunya, dalam video tersebut Pie-man sendiri keliatan sadar bahwa dia adalah manusia yang paling dibenci di internet. Kek, santai bener dia nanggepin tweets yang dipenuhi kata-kata mutiara tersebut. Bahkan, dia masih sanggup ngelontarin tanggapan-tanggapan nyentil dan self-aware terhadap tweets tersebut. Kocak-bikin-ngakak sih enggak, tapi gue lumayan salut dengan Pie-man yang (semacam) punya selera humor. 

Tanggal 30 November 2017, PewDiePie selaku raja YouTube mengunggah video mengenai isu net neutrality di channel YouTube-nya (emang mau dimana lagi?). Pembahasan Pewds mengenai isu ini lengkap, tertata, dan (rada) profesional menurut gue. Plus keheranan dia terhadap heboh internet mau 'dipagerin' padahal internet dia sendiri masih lemot kek tolol. Saking rapinya video tersebut, gue rasa ada baiknya bagi yang udah bosen baca post ini nonton aja video tersebut. Seriusan. Stop di sini, klik link yang gue taro di atas, dan anggep aja lo udah baca section tentang net neutrality ini sampe abis. Dan nop, gue gak lagi sarkas.  

Selain nyinggung masalah internet rumahnya yang cacat, Pewds juga ngerasa Pie-man sedang bantuin kawan-kawan lamanya di Verizon (inget, dia dulu pengacara Verizon). Itu, dan dia juga ngerasa pemerintah Amerika agak tolol juga ngobrak-abrik sebuah sistem yang udah berjalan sempurna tanpa cacat. Kek, ngapain gitu loh, kata bakso Swedia tersebut. Orang kampung masih susah dapet internet? Emangnya gak bisa diselesaiin pas masih ada net neutrality? Emangnya ngilangin net neutrality bakal ngilangin permasalahan tersebut? 

Again, bagi yang bosen dengan postingan ini, bisa ngungsi ke video Pewds. 

Oh, masih ada yang di sini? 

Wow. 

Well, kita udah nyampe sini juga. 

Sekalian aja bablas sampe abis. 


Tanggal 13 Desember 2017, channel YouTube Daily Caller mengeluarkan satu video yang mengandung unsur Ajit Pai di dalamnya. Isinya adalah si Pie-man (berusaha) meyakinkan warganet bahwa mereka masih bisa make internet sesuka mereka setelah net neutrality angus. Snapgram-in makanan, nontonin Game of Thrones dari pagi sampe malem sampe pagi lagi, belanja fidget spinner di online shop, sampe bikin memes. Agak lucu juga dia ngomong begituan, soalnya Pie-man sendiri udah jadi meme berjalan.

Sedikit cerita samping mengenai video ini.

Salah satu poin yang disampein Pie-man adalah lo masih bisa berdiskusi, berdebat, dan in general ngomongin serial TV (Game of Thrones, Sherlock) atau serial film (Star Wars, Marvel Cinematic Universe) dengan warganet lain. Ngikutin fandom kesukaan lo, istilahnya. 

Di video tersebut, Pie-man nyontohin poinnya dengan berpose sambil megang lightsaber dari Star Wars. Gak lupa adalah theme song Star Wars sebagai background music adegan tersebut. Namanya juga usaha a) mencairkan suasana dan b) nge-relate dengan warganet yang udah dendam kesumat sama dia. 

Eh, dia pun dapet kritikan dari seseorang yang udah tersohor namanya di dunia Star Wars. George Lucas? Bukan. Harrison Ford? Bukan. Yang baru kek Daisy Ridley? Bukan. 

Mark Hamill alias Luke Skywalker. di Twitter. Lumayan panjang, sih. 



"Lucu ya videonya Ajit 'unyu banget gue' Pai *emoji muntah* - tapi lo bener-bener gak pantes buat megang sebuah lightsaber - seorang Jedi bertindak tanpa pamrih buat orang banyak-bukan ngebohongin mereka demi memperkaya perusahaan gede. BTW lo bayar royalti ke John Williams gak? @AjitPaiFCCorpShill #AJediYouAreNot" 

Ah sial, lewat 280 karakter. Tapi intinya dia ngomong itu, dah.   

Mana lightsaber Luke di film Star Wars pertama dan kedua berwarna biru, sama persis dengan warna lightsaber yang dipegang sama Pie-man. Gue lumayan ngerti sih sudut pandang Mark di sini. Kek, lo mau gak benda yang paling orang inget mengenai lo dipegang sama orang ter-brengsek di internet? Agak risih juga, ya. Lo risih, fans lo lebih risih lagi. 

Di sisi lain, Pie-man ini bener-bener gak bisa lepas dari kecaman, kritikan, dan hajaran orang, ya nggak sih? Emoji muntah ditaro pas lagi ngebahas dia, dia dikatain ngeboongin orang demi dapet duit, dikatain bukan Jedi, dan secara halus dikatain nyolong theme song Star Wars dari komposernya, John Williams. Semua itu oleh orang yang identik dengan Star Wars. Hell, mungkin Mark Hamill ADALAH Star Wars. 

Ah, Pie-man bukan tipe orang yang terhina segampang itu. Gak segampang sekelompok orang di Indonesia, seenggaknya. Dia udah dicerca sedemikian banyaknya orang di dalam maupun luar internet, emang satu tweet bisa apa? Lo gak bisa merusak apa yang udah rusak, ya nggak sih? 

Sehari setelah tanggal main video tersebut, voting pun dilaksanakan. 

Hasilnya? 

3-2. 

3 orang setuju sama pencabutan peraturan net neutrality tahun 2015. 

Artinya, net neutrality ilang. 

Provider internet gak punya halangan buat ngatur laju internet. 

Elah. 

Si Pie-man gimana sih, udah tau netijen Amrik se-gak suka itu sama lo, ini pake acara net neutrality beneran ilang lagi. Yang tadinya ngomong baik-baik berubah jadi ngancem bunuh. Yang ngancem bunuh mungkin udah masuk ke tahap perwujudan wacana ngebunuh-nya. 

Di sisi lain, gue seneng karena memes mengenai Pie-man udah makin spicy aja. Beuh, makin tajem, makin banyak, dan makin kreatif pula memes warganet tentang si Pie-man. Meskipun gue gak kena pengaruh kebijakan tersebut, seenggaknya gue kecipratan hiburan. Itu, dan topik buat blog gue. 

Sampe detik ini, gue denger orang masih netijen Amrik masih menganggap perjuangan buat dapet net neutrality kembali belom berakhir. Nop. Belom kelar. Di saat harapan keliatan udah sirna, warganet Amerika masih berjuang sampe sekarang. 

Adalah www.battleforthenet.com yang masih menghimbau segenap netijen Amerika untuk berjuang buat kebebasan ber-internet mereka. Menurut battleforthenet.com ini, warga Amerika masih bisa membuat FCC membatalkan kebijakan mereka. Caranya adalah dengan menulis surat ke kongres Amerika Serikat lewat situs tersebut. Harapannya adalah kongres ngeliat bejibunnya surat yang dikirim oleh netijen dan memberlakukan Resolution of Disapproval yang bisa membatalkan kebijakan dari FCC. Situsnya lengkap dan informatif, mulai dari ngasih background net neutrality, ngasih tau tampang (dan Twitter) anggota kongres yang melawan net neutrality, sampe ngasih tau situs-situs yang mendukung net neutrality

Nop, gue gak ngajak lo pada buat ikut-ikutan. Orang kita gak kena pengaruh permasalahan tersebut sama sekali. Mungkin iya dalam jangka panjang, tapi gak sekarang. Toh, di website-nya para pengirim surat disuruh taro nama, alamat, e-mail, ZIP code, dan nomer hape. Mau taro apa di isian ZIP code-nya? Kode pos? Then again, kalo emang mau, silakan aja. Kalo bisa, that is

Niat juga ya, orang-orang. 

Maka sampailah kita ke bagian akhr-akhir dari postingan satu ini. Bagian terpenting, tapi rasanya bagian yang paling sering kena skip. 

Pendapat gue. 

Comcast selaku salah satu perusahaan internet service provider
merupakan salah satu perusahaan paling dibenci di Amerika
(Sauter & Stebbins, 2017)

Pertama-tama, gue setuju dengan satu pendapat PewDiePie: pemerintah Amerika ngutak-atik sebuah sistem yang gak ada cacat sama sekali. Orang seneng, provider internet gak ada masalah, kenapa harus diilangin? Toh gue yakin permasalahan kek orang kampung susah dapet internet bisa diselesaiin tanpa harus ngilangin net neutrality. Itu permasalahan lom kelar, tambah satu lagi permasalahan yaitu citra FCC yang terjun bebas gara-gara kebijakan tersebut. Jangka panjangnya, jatoh lagi citra pemerintahan Donald Trump, although kali ini warganet lebih banyak nyerang Pie-man dibandingkan nyerang si Trump.

Secondly, kalo akses internet mau bener-bener diserahin ke pihak swasta (dalam hal ini, para provider layanan internet) tanpa adanya halangan dan intervensi dari pemerintah, FCC harus bisa meyakinkan warganet kalo pihak providers bisa dipercaya dalam mengelola kecepatan layanan internet tanpa pamrih. Intinya, memastikan internet masih terbuka dan gratis untuk semua orang dan situs tanpa adanya prinsip net neutrality

Ini aja udah susah, mengingat menurut situs battleforthenet.com beberapa perusahaan internet service provider udah masuk ke jajaran perusahaan paling dibenci di Amerika. Satu aja perusahaan yang mulai macem-macem dengan kebebasan ber-internet, gue rasa kantor FCC dibakar sama warganet. Lagian, gak ada yang nyuruh ngilangin net neutrality, kan? 

Ketiga dan terakhir, warganet agak terlalu lebay mengenai isu ini. Yap betul, net neutrality harus diperjuangkan demi internet yang adil untuk semua pihak. Yap betul, keputusan Pie-man buat ngilangin net neutrality adalah sebuah blunder. Dan yap betul, ada kemungkinan kongkalikong dibalik semua keputusan ini. 

Tapi, gue harus bilang bahwa orang bilang "net neutrality ilang, internet ancur", ato "gara-gara Ajit Pai, internet udah kaco", ato bahkan ada yang bilang "no internet, no fanfics, no fanarts, no fandoms, NO MEMES" itu gak bener. 

Internet bisa berubah? 

Betul. 

Internet bakal berubah? 

Belom tentu. 

Inget, dengan ilangnya net neutrality, pihak provider internet BISA ngutak-atik akses internet. BISA. Bukan BAKAL. Toh, orang masih aja bikin memes, nge-upload video, dan ngeposting di Instagram, padahal net neutrality udah ilang. Belom ada berita mengenai Netflix jadi lebih lelet kalo provider-nya Verizon, ato Amazon sering crash gara-gara provider-nya AT&T. Mungkin pihak provider lom pada berani, takut kantornya dibakar kalo kejadian beneran. Dengan panasnya situasi antara FCC, netijen Amrik, dan pihak provider, gue rasa belom--mungkin gak bakal--ada provider yang mau beneran ngatur kecepatan layanan akses internet. 

Bilang internet ilang kalo net neutrality ilang is a little too much, don't you think? 

Lagian, 

titel #1 most hated person on the internet gak cuman dipegang Ajit Pai doang. 

Sebenernya, pada tahun 2017, penghargaan terhormat tersebut dipegang oleh dua orang. 

Si Pai ini, sama satu orang lagi. 

Begonya, orang ini bahkan gak berusaha 'ngilangin' internet kek si Pie-man. 

Yang ada, dia dibenci gara-gara dia, ehm, 

bego. 

Ada ya orang kek gitu--

eits, postingan ini udah kepanjangan. 

Kita kembali lagi setelah pesan berikut ini lanjut ke section selanjutnya. 

Oh, hampir lupa.  

Teruntuk Pie-man, 

you got what you wanted. 

So enjoy it while it lasts. 

England is Not a City

Paul. 

Ring a bell? Merasa familiar dengan nama tersebut? 

Paul? 

Ah, agak susah juga kalo gue gak kasih konteks tentang si 'Paul' ini. Nama yang lumayan umum, soalnya. Meskipun gak terlalu banyak orang terkenal banget yang pake nama Paul, tanpa konteks pastinya susah juga buat mastiin siapa 'Paul' yang gue maksud ini. 

Apakah gue lagi ngebahas Paul McCartney? Bah, apa yang mau dibenci dari tu orang? Man's a living legend. Paul Pogba si pemain bola merangkap tukang dab? Gak juga, meskipun gue tau gak sedikit orang yang gak suka dengan dia. Mendiang Paul Walker? Again, gak ada yang gak suka sama dia. 

Oh, maap. 

Paul di sini bukan sebagai nama depan. 

Nama belakang, lebih tepatnya. 

Dan gue udah bisa mendeteksi segelintir pembaca post ini udah tau siapa yang gue maksud.

Tanpa berlama-lama lagi, gue persembahkan kepada lo  


Jake Paul. 


#2 most hated dude on the internet. 

Setelah Ajit Pai, tentunya. Mungkin udah lengser jadi orang yang paling dibenci ketiga sekarang, setelah skandal yang melibatkan koko-nya Logan Paul baru-baru ini. Although gue pribadi lebih gak suka Jake Paul dibandingkan dengan Pie-man. Kenapa? Ntar dulu. 

Anehnya, meskipun gue ngerasa dia adalah the #2 most hated dude on the internet, nampaknya dia punya banyak fans yang siap ngebelain dia. That's right, gak ada satupun warganet yang mau belain Ajit Pai, tapi ada beribu-ribu bahkan jutaan orang yang mau belain si sempak bekas kecirit ini. Yep, makin gue pikirin, makin gue gak suka. Waduh, kenapa tuh? Ntar dulu.

Kita mulai dari tanggal 6 Juni 2017. 

PewDiePie (yep, lagi-lagi si Swedia satu ini) meng-upload sebuah video ke channel-nya. Judulnya 'JAKE PAUL'. Gak lebih, gak kurang. 

Sebelum PewDiePie meng-upload video tersebut, gue tau dikit aja tentang Jake Paul. Gue tau dia adalah seorang content creator buat Vine, gue tau dia adalah semacam 'raja' di sono, dan terpenting, gue tau tampang dia kek gimana. Gue tau dikit, tapi cukup. 

Yang gue gak tau adalah dia hijrah ke YouTube dan mulai taro-taro video di sono. Sebuah informasi baru yang gue dapetin dari video PewDiePie tersebut. 


Dalam video-nya tersebut, PewDiePie bereaksi terhadap 'lagu' yang Jake Paul upload ke channel YouTube-nya pada tanggal 30 Mei 2017, It's Everyday Bro. Long story short, Pewds gak suka. Saking gak sukanya, Pewds merasa kondisi kesehatannya yang kurang baik jadi menurun setelah nonton video tersebut. 

Dan gue setuju dengan kebanyakan poin yang diangkat oleh Pewds terhadap lagu tersebut.

Gue gak bakal ngebahas flow dari lagu tersebut gara-gara setelah nulis beberapa baris tentang betapa flow lagu tersebut jelek, gue nyerah. Gue baru sadar gue gak ngerti rap. Tapi, gue bisa bilang ke lo pada kalo flow lagu tersebut jauh dari kata bagus. Catchy? Iya. Ampas? Iya juga. Inget, lagu catchy gak berarti lagu tersebut bagus. Lagian, Baby-nya Justin Bieber catchy juga, kan? 

Instead, gue bakal ngebahas dosa terbesar dari 'lagu' ini. 

Lirik. 

Semua lirik dari lagu It's Everyday Bro jatoh ke salah satu dari lima kategori ini: sok pinter, sok tenar, sok kece, dan sok waras. Terkadang ada lirik yang ajaibnya bisa masuk ke dua ato lebih dari lima kategori tersebut. Se-nyebelin itu. 

Dalam lagu tersebut, Jake Paul ceritanya lagi nge-diss ato ngejek dua orang. Alissa Violet mantannya, dan Logan Paul kakaknya. Tololnya, ejekan tersebut gak nyambung bahkan terkesan berbalik ke Jake Paul sendiri. Jatoh-jatohnya jadi menunjukkan ketololan dirinya atau ketinggian egonya. 

Misalnya, lirik 

"Passed all the competition man, PewDiePie is next" 

All the competition muke lo. PewDiePie is next mata lo. 

Buat sekarang, jumlah subscriber Jake Paul di YouTube sedikit di bawah 13 juta. Jangankan PewDiePie yang jumlah subscriber-nya hampir nyampe 60 juta, dia ngelewatin Logan Paul--kakaknya--aja belom. Hell, dia bahkan gak masuk 50 besar channel dengan subscriber terbanyak di YouTube. Urutan 50 (CanalCanalha dari Brazil) aja punya 15 juta subscriber. Lah ni anak satu? Nyampe 15 juta aja setengah mati. All the competition? Masih ada 50+ channel di atas lo, mohon maap. 

Ato lirik 

"And I just dropped all some new merch and it's selling like a god, church"
Oh. Oke. 

First of all, ni manusia satu malah nge-promosiin merchandise dia di lagu dia sendiri. PROMOSI. Bukannya naro lirik yang lebih berfaedah ato lebih ngena, dia malah jualan. Penting banget. Second of all, apa artinya "selling like a god church"? What in the bloody shit does that mean? Lakunya kek dewa? Selaku dewa? Selaku Tuhan? Kalopun lo--pake pelet macam apa--bisa ngertiin arti tersebut, terus ada apa dengan kata church di belakangnya? Digabungin jadinya godchurch gitu? Ada gereja itu di sono? Terus barangnya laku banget kek... gereja, gitu?  

Orang bule aja bingung ni bocah ngomong apa, apalagi kita? 

Oh, lo mau gue lanjut? Masih banyak stok nih. 

Ada lagi lirik yang berbunyi

"5 mil on YouTube in six months, never done before" 

Never done before, katanya. Baru dia yang pernah ngelakuin, katanya. 

Belom lagi lirik ini datengnya pas sebelum lirik yang ada PewDiePie-nya tadi. Seakan-akan baru dia YouTuber pertama yang pernah dapetin 5 juta subscriber dalam waktu 6 bulan. Agak lucu aja, soalnya PewDiePie sendiri udah pernah dapet kurang lebih 11 JUTA subscriber antara bulan Oktober 2013 dan Maret 2014. Dua kali, kalo bulan Februari sampe Juli 2013 diitung juga, dimana dia dapet 6 juta subscriber. TIGA KALI bahkan, yaitu 8 juta subscriber antara Februari sampe Juli 2014. Yep, Pewds udah pernah dapet '5 mil on YouTube in six months' 3 kali lebih banyak dari Jake Paul. Yang mana ketiga-tiganya dapet lebih banyak dari 5 juta subscriber

Pas ditanyain, Jake Paul bilang maksud dia adalah 6 bulan pertama dia di YouTube. 

Dalam kasus ini, PewDiePie emang gak dapet 5 juta subscriber dalam 6 bulan pertama dia di YouTube. Orang karir YouTube dia baru lepas landas sekitaran tahun 2012, dan channel dia sendiri udah ada dari tahun 2010. 

Then again, Jake Paul juga sama. 

Channel YouTube Jake Paul sendiri udah ada dari tahun 2013. Dia baru dapet pencapaian '5 mil on YouTube in 6 months' itu baru antara bulan November 2016 dan Mei 2017, bulan dia upload lagu It's Everyday Bro. Jauh dari '6 bulan pertama' dia di YouTube. 

Dan tentu saja, bagian paling terkenal dari lagu tersebut, yang dinyanyikan oleh Nick Crompton, kawannya. 

"England is my city and if it weren't for Team 10, then the US would be shitty"

"England is my city" 

Inggris adalah sebuah kota. Menurut Jake Paul, NEGARA Inggris adalah sebuah kota.


Dude, go back to high school. Learn some f****** geography

Dalam pembelaan Jake Paul, England adalah sebuah kota di Arkansas, jadi secara teknis dia gak salah dalam menulis lirik 'England is my city'. Gue cek sendiri, emang bener England adalah sebuah kota di Arkansas, Amerika. 

Bener kalo bukan karena satu hal. 

Kalo yang nyanyiin, Nick Crompton, beneran dari England, Arkansas. 

Yang ada, Nick Crompton orang Inggris. 

Dengan Nick Crompton ngomong sesuatu tentang 'England is my city', otomatis konteks lirik tersebut mengarah ke England sebagai sebuah negara di Britania Raya di Eropa, bukan sebuah kota di Amerika Serikat. Nick dalam lagu tersebut dianggap sebagai perwakilan dari Inggris, bukan dari kota di Amerika bernama England. Kalopun maksudnya adalah England--sebuah kota di Arkansas--kenapa Nick Crompton yang nyanyiin bagian lagu tersebut? Apa kepentingan dia terhadap England, Arkansas? 

Jatoh-jatohnya, dalam lagu tersebut tetep aja bagian 'England is my city' mengacu ke Inggris, Eropa, bukan England, Arkansas. 

Bagian 'and if it weren't for Team 10' dan seterusnya biasa aja. Tingkat egonya emang parah sih. Sok asik-nya emang parah sih. Emang kalo gak ada Team 10, Amerika bakal turun tingkat kekerenannya, gitu? Emang songong banget sih, tapi gak separah bagian 'England is my city'. 

Bottom line, bad song. Catchy sih iya, tapi ampas juga iya. Sejujur-jujurnya buat gue, itu udah masuk lagu yang so bad it's good. Songong, nirfaedah, ampas, tapi kocak banget buat diketawain. Buat jadi bahan lelucon. Gue sih dengerin lagu itu buat ngingetin diri gue sendiri betapa gak bisa-nya Jake Paul dalam bikin lagu. Jangankan lagu bagus, lagu fungsional aja gak bisa.

Udah gitu, si geblek sempet-sempetnya ngatain Kendrick Lamar. 

Yep, seorang Kendrick Lamar. Rapper leget yang ngeluarin lebih banyak hit single daripada Jake Paul ngeluarin lirik lagu berfaedah. Kendrick Lamar yang itu. 

See, begitu rilis, lagu It's Everyday Bro meraup popularitas yang gede banget. Gue rasa popularitas tersebut hasil dari bejibunnya Jake Pauler--sebutan buat fans Jake Paul--yang memviralkan lagu tersebut. Di stream di Spotify lah, di share ke kawan-kawannya lah, di donlot lah, gue gak tau. 

Itu lagu, saking viralnya, sukses menggeser lagu Humble milik Kendrick Lamar sebagai lagu trending nomor 1. Apa dari trending list-nya Spotify, ato SoundCloud, ato mungkin trending-nya Twitter doang, gue gak tau. Pokoknya, It's Everyday Bro sempet jadi lagu trending nomor 1. 

Ya siapa juga yang gak seneng lagunya sukses berada di 'atas' lagu Kendrick Lamar, kan? 

Saking senengnya, Jake Paul pun taro pernyataan ini di Twitter. 


"Maap Kendrick!! @kendricklamar 

Gue bakal kembaliin posisi no.1-nya ke lo pas para Jake Pauler udah kelar" 

First of all, your song is shite. 

Lo gak pantes buat ngatain Kendrick Lamar kek gitu, itu sih udah kentara banget. Gak perlu dijelasin, gak perlu ditanyain. Lagu lo ampas, and yet lo ngerasa itu lagu udah setara bahkan lebih bagus dari lagu-lagu pemenang Grammy. 

Kedua, apa yang lo dapet adalah fifteen minutes of fame. Gak lebih. 

Mungkin ada yang bertanya, "lah, kalo lagunya jelek kayak yang lo bilang, kenapa dia bisa ngegeser lagunya Kendrick Lamar yang 'bagus' itu?"

Mungkin yang bertanya lupa kalo itu adalah hasil dari rombongan Jake Pauler yang memviralkan lagu tersebut. 

Pas lagu It's Everyday Bro lagi manjat tangga lagu trending, Jake Paul gak henti-hentinya nge-tweet nyuruh kawanan Jake Pauler-nya buat memviralkan lagu tersebut. Tentu aja mereka ini bersedia banget buat ngeviralin lagunya. Jangankan ngeviralin lagu doang, dia suruh loncat ke jurang mungkin mereka mau juga. Bahkan, gue ngerasa orang-orang yang berhasil ngangkat lagu It's Everyday Bro terdiri dari 100% Jake Pauler. 

Jadi jangan salah, lagu It's Everyday Bro bisa trending ngalahin Humble bukan gara-gara lagu itu bagus, ato gara-gara orang suka. Nop. Yang ada, lagu itu jadi trending gara-gara beribu-ribu bahkan beratus-ratus ribu fans Jake Paul sengaja ngebikin lagu itu naik tangga trending. Rasanya cuman mereka doang yang nganggep lagu itu bagus dan layak ngegeser Kendrick Lamar. Kalopun mereka gak nganggep lagu itu bagus, mereka ngelakuin itu karena disuruh sama si Jake. 

Begitu masuk trending aja, langsung besar kepala gak ketulungan. 

Padahal yang bikin dia trending fans dia doang. 

Kek buku Raditya Dika yang pertama, Kambingjantan. Laku 25 kopi di hari pertama, namun ternyata 24 dari buku-buku tersebut dibeli sama nyokapnya sendiri. No offense, dan toh Kambingjantan emang beneran lucu dan emang beneran laku akhirnya. Beda dengan It's Everyday Bro yang jadi video dengan dislike terbanyak keempat di YouTube. 

Dari sini, kita tau bahwa cacat di Jake Paul bukan cuma di ketololannya pas nulis lirik lagu, tapi juga dengan egonya yang segede gaban dan rombongan fans-nya yang gak kalah nyebelin.

Ah, satu contoh gak cukup ya? 

Tanggal 17 Juli 2017, channel TV berita KTLA 5 meliput Jake Paul di rumahnya di Hollywood barat

See, Jake Paul punya geng sendiri. Geng semacam geng pendiri Indovidgram punyanya Chandra Liow atau geng Sidemen punyanya KSI. Team 10 namanya. 

Per bulan Juli 2017, geng Team 10 milik Jake Paul menyewa sebuah rumah di kawasan Beverly Grove di Los Angeles. Agak aneh ya, kenapa kita bisa tau di komplek mana dia tinggal. Aneh, soalnya YouTuber kelas paus kek PewDiePie aja gak ketauan tinggal di mana. Bener, dia tinggal di Brighton, Inggris, tapi dimananya? Beda dengan Jake Paul yang kita sampe tau dia tinggal di kawasan mana. 

Oh, mungkin gara-gara Jake TARO ALAMAT LENGKAPNYA DI GOOGLE. 

Yep, dimana kebanyakan seleb--baik dari dunia Hollywood atopun YouTube--sengaja gak ngasitau alamat mereka demi privasi, ni orang satu malah taro alamatnya di Google. 

Mau tau tampang 99,9% Jake Pauler kek gimana?
Tuh, yang joget-joget belakangnya si Jake.

Imbasnya, para Jake Pauler selalu menggerombol di depan rumah dia. Literally planga-plongo di depan rumah dia sambil teriak-teriak namanya lah, mintain tanda tangannya lah, ato mungkin nyari material snapchat bagus lah. Banyak banget dan rame banget, dari pagi sampe sore. Gak masalah kalo mereka, ehm, tau adat. Lah ini? Ngekor Jake kemana-mana, gak peduli ngalangin jalan orang ato gak, dan ngeganggu ketentraman dan kedamaian penduduk di komplek tersebut. HAMPIR SETIAP HARI. 

Blom nyebelin? Oke, mungkin gak se-nyebelin itu. Toh, ada aja selebriti Hollywood yang ketauan rumahnya dimana dan sering didatengin penggemarnya, kan? 

Masalahnya terletak di Jake Paul sendiri. 

Jake Paul, sebelom dan setelah meng-upload lagu ampas mahakaryanya ke YouTube, sering bikin video gila-gilaan bareng temen-temennya. 

Kebanyakan berbentuk prank dan stunt yang melibatkan banyak orang, banyak barang, dan banyak tempat. Gak cuman dia yang ngelakuin hal ini. Ada Roman Atwood, ada FouseyTube, bahkan channel gede kek PewDiePie pun pernah ngelakuin stunt

Permasalahannya adalah, Jake Paul gak tau batas. 

Yep, gue sendiri yang bilang. Tu manusia gak tau batas dalam bikin video stunt

Gue kasitau dua aja, selebihnya bisa diliat di YouTube. Dua stunt terparah yang gue tau.


Pertama adalah main jenga raksasa di rumah kontrakan tersebut. 

Si geblek beneran main jenga dengan balok kayu asli yang tingginya bisa nyampe dua lantai. Bareng temen-temennya. Tentu saja jenga pasti roboh, dan yep, jenga yang dibangun Jake Paul roboh setelah kurang lebih 8 menit. Gak usah pake ada yang cedera, mainan ini aja bahaya banget. 

Masalahnya, robohnya jenga tersebut memakan korban. 

Adalah Emilio Martinez yang kakinya ketimpa salah satu balok dari jenga tersebut.


Emilio aja keliatan kesakitan setelah menghindari jatohnya jenga tersebut. Saking kesakitannya, dia gak bisa jalan dan harus digotong oleh anggota Team 10 yang lain keluar. Gimana mau gak sakit, orang lantai rumah tersebut aja sampe retak setelah bangunan jenga tersebut roboh. Lantai aja retak, apalagi kaki Emilio? 


Kedua adalah ngebakar perabotan rumah tangganya. 

Tanpa penjelasan lebih lanjut, mungkin kedengerannya gak terlalu parah. Dengan penjelasan lebih lanjut, stunt tersebut jadi parah banget. 

Bayangkan tetangga lo bakar perabotan rumah tangga dia pas di sebelah rumah lo. 

Udah kebayang? 

Yep, itu yang Jake Paul lakuin terhadap perabotan rumah tangganya. 

Si sengklek naro perabotan rumah tangganya ke kolam kosong di belakang rumahnya dan ngebakar segenap perabotan tersebut.

Barbeku di halaman belakang rumah lo mah santai aja. Asep pasti ada dan gak sedikit pula asep yang keluar dari sono, tapi itu gak sebanding dengan NGEBAKAR PERABOTAN LO. 

Bukan cuma asep ultra-tebel yang keluar dari kebakaran tersebut, tapi konon--menurut tetangga Jake Paul-- api yang dihasilkan tingginya bisa lebih tinggi dari rumah. 

Kalo bukan karena polusi ato takut kena kebakaran, minimal--SEMINIMAL-MINIMALNYA--para tetangga keganggu sama gedenya api yang muncul dari halaman belakang kontrakan Jake Paul. Malem-malem si tetangga buka jendela dan ngeliat ada api gede banget di belakang rumah tetangganya, gimana dia gak kaget? 

Gimana lo mau idup dengan tenang kalo tetangga lo berpotensi buat gak sengaja ngebakar rumah lo? 

Ngeladenin dia dan ketololannya hampir 24/7, gue pasti gak tahan. 

Pas channel KTLA 5 dateng ke rumah Jake Paul, mereka disambut dengan teriakan para Jake Pauler dan lagak Jake Paul. Loncat-loncat, teriak-teriak, nodongin kameranya ke kamera KTLA 5, dan, get this, naikin atap news van milik channel tersebut. Kesian juga tu channel TV, baru dateng van-nya langsung dipanjatin. 

Gak lama kemudian, Chris Wolfe selaku news anchor KTLA 5 mewawancarai Jake Paul.

Btw ini hasil terjemahan gue, liputan lengkapnya gue taro di sini

"Ada tetangga yang mengeluh, mereka bener-bener kesel." 

"Lah, kenapa?"

"Mereka bilang lo udah bikin suasana yang bener-bener gak enak di sini, kek sirkus--" 

"Ya emang orang pingin ke sirkus, kan?"

That's not the point, tapi sudahlah. 

"Apa pendapat lo buat para tetangga yang kesel ini? 

"Ah, gue sejujurnya ngerasa kalo ini emang parah. Ini emang situasi yang gak enak. Gue merasa gak enak ke tetangga gue. Itu pasti. Sayangnya, kita gak bisa ngelakuin apa-apa sih, soalnya para Jake Pauler adalah pasukan terkuat di luar sana. *dab*" 


Gue gak bercanda. Dia bener-bener nge-dab di depan reporter tersebut. 

Gak cuman itu, penjelasan yang dia kasih terhadap situasi tetangga-masa-gitu-nya juga gak jelas. 'Kita gak bisa ngelakuin apa-apa, soalnya para Jake Pauler adalah pasukan paling kuat di luar sana'? Gak minta maaf, gak ngasih alasan yang bagus, gak mau kompromi, gitu? 

Dan wawancara ditutup dengan Jake Paul dkk neriakin "What are thoooosee!!!??" ke sepatu Chris Wolfe. 

Dengan tingkat ketololan kek gitu, apa pembelaan penggemarnya terhadap Jake Paul ini? 

Sebuah video yang diunggah channel YouTube The Hollywood Fix menjawab pertanyaan ini. 

Dalam video tersebut, gerombolan Jake Pauler bertengger di depan rumah Jake nyanyiin It's Everyday Bro. Bareng-bareng. Dengan volume sekeras itu. Sambil loncat-loncat dan joget-joget pula. Intinya, bikin keributan. Selama kurang lebih 6 menit. Yep, gue itungin sendiri tuh. Kadang-kadang mereka berhenti nyanyi buat neriakin anggota Team 10 yang keluar, dalam kasus ini Justin Roberts. Dan astaga, teriakan itu. 

Salah satu ibu-ibu tetangga Jake Paul (yang terdzolimi) pun dateng ke mereka buat nyuruh mereka nurunin volume mereka. Gue perhatiin ini ibu-ibu muncul di liputan KTLA 5 tadi, yang bilang Jake Paul udah mengganggu ketentraman komplek mereka. Setelah menyuruh mereka lebih tenang sedikit, ibu-ibu itu pergi. 

Apa yang terjadi setelah ibu-ibu itu pergi? 

Salah satu Jake Pauler dengan bangganya bilang, 

"Gue udah rekam tuh." 

Lah, terus? Ada ibu-ibu normal yang berusaha bikin komplek perumahannya lebih tentram sedikit, dan lo nganggap itu kek sesuatu harus direkam, gitu? Buat apa? Buat dilaporin ke Jake Paul? Buat bikin si ibu-ibu itu keliatan jadi brengsek gara-gara dia ngeganggu karaoke It's Everyday Bro lo? 

Entah gara-gara udah gerah, ato udah kesel terpendam, ato emang penasaran, akhirnya si perekam video dari The Hollywood Fix bertanya ke gerombolan Jake Pauler ini. 

"Apa menurut kalian tentang tetangga yang ngedatengin kalian tadi?" 

Ada satu bocah cewek nih. 10 tahun umurnya, mungkin. Dia ngejawab pertanyaannya. 

"Kata gue kita mendingan nge-dab aja ke para haters itu. Dab on them haters!

Bukan gue yang naro tulisan UNICEF dkk -nya.

Kata dia sambil nge-dab

Kata-kata bocah cewek tersebut disambung dengan Jake Pauler lainnya ngejawabin  ke si camerawoman bersamaan. Bersamaan, gak satu-satu. Saking rame dan ributnya, gue gak nangkep mereka ngomong apa. Sama sekali. 

Satu bocah cowok pun nanggepin. Umurnya 7 tahun, mungkin? Anyways, dia pake hoodie item dengan tulisan Team 10 raksasa di bagian depannya. Fix Jake Pauler tulen. 

"Dia tuh cemburu! She's just jealous!

"Oh, menurut kalian dianya yang cemburu?" balas si camerawoman

"She's JEALOUS!" kata mereka makin keras.

Ya ngapain juga dia iri sama kalian? Hidup tu ibu-ibu tenang-tenang aja, gak ada masalah di tempat dia tinggal sebelom Jake Paul dateng, dan dia kalo gak ada kalian juga gak masalah. Hell, rasanya idup mereka LEBIH tenang kalo gak ada kalian. Apa yang mau dicemburuin? 

Pas setelah teriakan 'jealous!' tersebut, si camerawoman disambut dengan dua cewek nge-dab masing-masing 10 kali sekaligus dengan pesan, "you just dab on them haters!"  

"Oke, oke..." kata camerawoman tersebut mengundurkan diri. 

Kuat juga tuh camerawoman-nya. 

Masih ada lagi ketololan yang dilakuin Jake Paul. Dia memperlakukan beberapa anggota Team 10 dengan buruk. Emilio Martinez yang tadi? Emilio dan kembarannya Ivan gak dikasih duit hasil video-video mereka, padahal nyokap mereka lagi sakit. Dia ngebantuin korban hurricane Harvey buat cari perhatian. Yang ada bukannya ngebantuin, malah bikin macet dengan banyaknya Jake Pauler yang ngalangin jalan, bahkan buat ambulans. Dia menyelingkuhi Alissa Violet dan ngejelek-jelekin Alissa setelah putus. Dia berbuat rasis ke salah satu penggemarnya yang dari Kazakhstan, ngatain penggemar itu keliatan kek mau ngeledakin seseorang. Dia memfitnah YouTuber FaZe Banks atas mencekik asistennya di sebuah nightclub.

Rasanya bukan cuma itu doang. 

Tapi, gara-gara skandal baru-baru ini yang melibatkan Logan Paul, kakaknya, 

rasanya buat tahun 2018 dia lengser jadi the #3 most hated dude on the internet. 

Turun sih, tapi masih tinggi peringkatnya. 

Mau gimanapun juga, mau  seberapa banyak warganet dan tetangga yang gak suka sama dia, penggemar dia gak bakal berkurang. Para Jake Pauler ini bakal ngebelain idola mereka habis-habisan. Sampe mati kalo perlu. Udah separah itu. 

Mau gimanapun juga, tahun 2017 jadi semacam 'tahunnya' Jake Paul dan kroni-kroninya di Team 10. Tololnya, tahun ini juga jadi tahunnya Jake Paul terekspos sebagai salah satu bintang YouTube yang paling ngawur. Beberapa seleb jadi terkenal dulu baru ngawur, lah ini orang jadi terkenal gara-gara ngawur. 

Ah, ya sudahlah. 

Mau gimanapun juga, Jake Paul juga bakal jadi bintang YouTube buat waktu yang lama. 

Mau gimanapun juga, 

Jake Paul gak bakal sadar. Tu anak gak bakal sadar. 

Jadi, mau gimana lagi? 

Oh ya, sebuah pesan terakhir untuk menutup section yang ternyata panjang banget ini.

Para Jake Pauler selalu berpesan, terutama kepada haters-nya Jake, 

"Dab on them haters." 

Pesan gue--dan beratus-ratus ribu warganet--kepada mereka, 

"But what if the haters dab back?" 

To Them I Raise My Glass

Nampaknya kita sudah sampai di penghujung, kawan-kawan. 

Percaya sama gue, ini kelarnya lebih lama dari yang gue pingin. 

Nop, gue gak lagi ngomongin satu section ini doang. 

Satu postingan ini jadinya emang kelamaan. 

Tanpa berlama-lama lagi, sebagai hidangan penutup review tahun 2017, gue mau ngebahas satu hal. Yang gue bahas juga tahun lalu. 

Death. Kematian. 

Yep, kita nyampe di bagian yang itu lagi. 

Tahun lalu, kek tahun-tahun sebelumnya, kita kehilangan banyak selebriti. Kita kehilangan aktor Inggris yang paling sering memerankan James Bond, Roger Moore. Kita kehilangan orang yang pertama banget jadi pemeran Batman, Adam West. Kita kehilangan sutradara pembawa zombie ke layar lebar, George A. Romero. Kita kehilangan aktris heboh Julia Perez. Mohon maap gue cuman bisa taro 'aktris heboh' di depannya si Jupe, soalnya gue gak tau banyak tentang dia selain dia seorang, ehm, aktris heboh. 

Tapi rasanya ada satu orang yang peristiwa kematiannya bener-bener ngagetin. 

Chester Bennington. 


Lead singer Linkin Park. 

Linkin Park, yang lagu-lagunya hits banget pas jaman-jaman gue masih SMP? Linkin Park, yang lagunya jadi OST film Transformers yang pertama? Linkin Park, yang popularitasnya meledak gak karuan pas tahun 2000 awal? Linkin Park, grup musik cadas itu? 

Yep, Linkin Park yang itu. 

Sayangnya gue kurang bisa merasakan kehampaan atau kesedihan luar biasa yang dialami oleh penggemar Linkin Park--atau penggemar musik rock--pas Chester dikabarkan meninggal. Gue tau Linkin Park, gue tau lagu mereka, gue suka lagu Bleed It Out bahkan, tapi gue gak tau siapa-siapa aja yang ada di dalam Linkin Park. Gue cuman tau Mike Shinoda. Udah. Bahkan gue gak tau nama lead singer Linkin Park sampe gue denger kabar duka tersebut. 

Yang gue bisa lakukan adalah turut berbelasungkawa. Buat Chester, buat keluarganya yang ditinggalin, buat Mike Shinoda dkk yang kehilangan seorang temen baik mereka, dan buat segenap penggemar Chester, baik itu fans Linkin Park atau bukan. 

Karena, harus gue akuin, 

Chester was a damn good singer. 

Bener aja, kebanyakan lagu hits Linkin Park bisa dianggap demikian gara-gara suara Chester. Tentu aja ada aransemen lagu dan lirik yang lumayan, tapi pembawaan Chester ini yang sukses menghidupkan lagu-lagu tersebut. Apalagi lagu kek Numb ato Bleed It Out yang bener-bener meng-showcase suara ikonik milik Chester. Gue yang bukan penggemar ataupun pengikut Linkin Park aja suka sama dua lagu tersebut, apalagi mereka yang setia ngikutin band dari California ini. 

Linkin Park gak bakal sama lagi tanpa Chester Bennington. 

Gue berusaha memahami situasi tersebut dengan menempatkan kenyataan jika lead singer band kesukaan gue sendiri yang (amit-amit) meninggal dengan situasi yang mirip. Kek, apa jadinya kalo Dan Reynolds, Patrick Stump, atau Chris Martin mengalami nasib serupa? Shock, terpukul, dan gak percaya? Rasanya jauh lebih parah dari itu. 

Kabarnya, Chester ditemukan tewas di rumahnya akibat gantung diri. 

Beda dengan John Lennon yang tewas ditembak oleh penggemarnya sendiri. Beda pula dengan Freddie Mercury yang jadi korban AIDS. Apalagi dengan David Bowie yang meninggal gara-gara kanker. 

Chester tewas bunuh diri. 

Chester meninggal aja udah ngagetin. Apalagi kalo ternyata dia meninggal gara-gara bunuh diri. 

Chester bukan seleb penyanyi pertama yang bunuh diri. Kurt Cobain bunuh diri. Chris Cornell bunuh diri. Bahkan, di tahun yang sama dengan Chester, penyanyi kenamaan Korea Kim Jong-hyun bunuh diri juga. Kematian Jong-hyun juga gak kalah sedihnya dengan Chester, dengan banyaknya penggemar K-pop yang berduka pula. Saking parahnya, sampe salah satu fans Jong-hyun dari Indonesia mencoba bunuh diri juga. Oke, yang itu emang tolol. 

Kek, man, bunuh diri itu bukan jawaban. 

Pas lo mati, lo gak bakal menderita lagi setelahnya. Yang menderita adalah semua orang di sekitar lo. Semua orang di sekitar lo yang peduli sama lo. Keluarga lo, temen-temen lo, rekan kerja lo. Mereka ini yang sebenernya lebih menderita di saat lo meninggal. 

Bunuh diri bukan jawaban. 

Which leads to the next thing. 

Depresi. 

Chester dan Jong-hyun masing-masing punya hidup yang keliatannya gak ada masalah. Pasti ada aja orang yang bilang, "ah, kenapa sih mau bunuh diri, orang ada yang idupnya lebih susah", atau "dasar gak tau bersyukur" dan temen-temennya itulah. 

Thing is, depression is subjective

Beban mental yang seseorang pegang mungkin lebih berat kalo dipegang orang lain. Yang orang lain bilang 'gak ada apa-apanya', mungkin 'beratnya gak tau diri' kalo dipegang oleh seseorang. Begitupun sebaliknya. 

Semua orang punya reaksi yang berbeda-beda terhadap suatu masalah. Ada yang langsung move on. Ada yang butuh berhari-hari. Bahkan, ada yang butuh berbulan-bulan. 

Setiap orang beda. Begitupun masalah setiap orang beda. 

That being said, mungkin ada di antara kita yang udah gak tahan dengan beban hidup mereka. Mungkin mereka udah stres. Parah lagi, mungkin mereka udah depresi. 

Jangan bilang kalo beban idup lo lebih berat dari mereka. Nop. 

At that point, lo udah gak bisa nyamain beban idup lo dengan mereka. Nop. Inget, bukan cuma beban masalah idup mereka yang mereka pikul di sono, melainkan juga beban perasaan dan pikiran mereka terhadap masalah tersebut. Yep, itu pun bisa jadi beban. Mungkin lo gak bakal mikirin suatu masalah sampe segitunya sehingga bebannya gak seberapa berat, tapi di orang-orang ini, pikiran dan perasaan mereka bisa jadi beban.

Ujung-ujungnya, kalo lo dikasih beban yang sama persis, pasti susah juga. 

Yang lo bisa lakuin adalah mengingatkan mereka kalo mereka berharga. Ingetin mereka kalo keberadaan mereka berarti. Ingetin mereka kalo masih banyak yang peduli sama mereka. Ingetin mereka kalo tanpa mereka, idup lo gak bakal sama lagi. Ingetin mereka kalo lo ada buat mereka, dan lo siap buat dengerin mereka. Simpel, tapi terkadang cuman itu yang mereka butuhin. Seorang pendengar.  

Ingetin mereka, 

suicide is not an answer. 

Dan teruntuk Chester, Jong-hyun, dan bejibun yang lain, 

I raise my glass to you. 

Teruntuk 58 korban penembakan massal di Las Vegas, 

I raise my glass to you. 

Teruntuk 305 korban serangan terhadap masjid di Sinai, Mesir, 

I raise my glass to you. 

Teruntuk mereka kaum Rohingya korban pembersihan etnis di Myanmar, 

I raise my glass to you. 

Terpenting, 

teruntuk mereka yang udah mendahului kita tahun lalu, 


I raise my glass to you all. 


***

Agak kepanjangan, ya? 

Ato panjangnya sama persis?

You be the judge. 

Mau gimanapun juga, 

inilah review gue terhadap tahun 2017. 

Bermanfaat ato gak, berfaedah ato gak, menghibur ato gak, 

gue cuman mau berbagi pendapat gue ke lo pada. 

Kalo misalnya postingan ini bermanfaat, berfaedah, atau menghibur, ya gue anggep aja nilai plus. Kalo bener begitu ya bagus, kalo gak ya gapapa. 

Pokoknya, sampe di sini dulu. 

Until the next post, bungs! :D
  















   









  

















      












SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...