- Dylan O'Brien (Teen Wolf, American Assassin) as Thomas
- Ki Hong Lee (Unbreakable Kimmy Schmidt) as Minho
- Thomas Sangster (Game of Thrones, Phineas & Ferb) as Newt
- Kaya Scodelario (Pirates of the Caribbean: Dead Man Tell No Tales, Skins) as Teresa
- Rosa Salazar (American Horror Story: Murder House, Alita: Battle Angel) as Brenda
- Giancarlo Esposito (Breaking Bad, The Jungle Book) as Jorge
- Aidan Gillen (Game of Thrones, The Dark Knight Rises) as Janson
Budget: $ 83 juta
Box Office (per 24 Januari 2018): $ 15,2 juta
Lama: 2 jam 22 menit
Rotten Tomatoes: 47%
US Release: 26 Januari 2018
US Release: 26 Januari 2018
Balik lagi dengan review gue buat entry ketiga dan terakhir dari serial film adaptasi novel ini. Bukannya gue bener-bener suka ngikutin serial novel ini, tapi gue rasa gak pantes aja kalo gue sukses nge-review dua film sebelumnya sementara review film ketiganya gue lempar ke laut. Nanggung, gitu loh.
Toh, gue pun juga tetep dapet hype buat film ketiga serial Mazer Runner meskipun udah lupa-lupa detil cerita novelnya. Trailer-nya emang mantep, sih. Film-nya? Ah, itulah guna review ini, ya nggak sih?
Sebelum kita masuk ke review beneran-nya.
Let's have a little recap, shall we?
Film Maze Runner yang pertama gue kasih sebuah high 8 dengan skor 88 dari 100. Menurut si gue dari 3 tahun lalu, rating 88 ini dia (gue) kasih karena filmnya sukses mengadaptasi novel tanpa melenceng jauh-jauh dari source material-nya. Unsur rumit dan gak penting dari novel diilangin dan membuahkan hasil yang mantep pula. Belom lagi mayoritas cast yang memerankan tokoh mereka dengan baik dan setia sama novel aslinya. 88/100 buat film pertama.
Sekuelnya, The Scorch Trials, gue kasih rating low 8 dengan skor 80 dari 100. Menurut Momo dari tahun 2015, film tersebut dikasih rating 80 gara-gara adanya perbelokan dari novel aslinya. Beda dengan film sebelumnya, perbelokan di film ini ada yang guna, ada pula yang gabut. Intinya, gak semua perbedaan dari novel aslinya membantu film tersebut. Soal tokoh-tokoh baru dan lama, semuanya lancar, gak ada yang aktingnya ampas. Meskipun gitu, ada sedikit masalah dengan mis-casting pada film tersebut. *uhuk*aris*uhuk* 80/100 buat film kedua.
Satu hal lagi. Satu hal yang jadi pertimbangan buat gue sekarang, gara-gara dibilangin sama gue yang dulu.
Di akhir review buat film kedua, si Momo dari 2015 bilang dia mau ngeliatin film ketiganya setia sama source material-nya ato gak.
Ah, makasih ya, Momo tahun 2015.
Gue bakal pertimbangin faktor yang satu itu.
Yep,
langsung aja.
So Close Yet So Far
Pertama-tama, gue bakal mulai dengan sebuah pernyataan.
Pernyataan kelegaan.
Demi apapun, gue bersyukur film ini gak dipisah jadi dua bagian.
Itu sebenernya udah kentara sih, keliatan dari judul filmnya yang gak ada tambahan 'part 1' di belakangnya. Itu, dan sebelumnya Wes Ball selaku sutradara film udah pernah bilang dia gak bakal misahin film terakhir ini jadi dua bagian. Jadi, emang udah lega dari sononya.
That being said, cerita dari novel aslinya emang agak susah buat dibelek jadi dua bagian, sih. Bukan cerita pendek, tapi gak bisa dibilang 'sepanjang itu' juga, sih.
So!
Poin pertama gue.
Apakah film ini setia dengan source material aslinya?
Honestly?
Kagak.
70% kagak.
Ow syiit, kata lo pada yang baca ini DAN udah pernah baca review Scorch Trials gue. Mampus bener ni film, udah tau si Momo ngarepin filmnya setia sama novelnya, eh malah melenceng kemana-mana. Gitu kali, ya?
Sejujur-jujurnya?
Setelah gue liat trailer pertama dari The Death Cure, gue udah memperkirakan film ini bakal jauh dari novelnya. Premis sama, plot point super penting sama (misalnya, perkara tokoh tertentu mati ato gak), tokoh sama, tapi selebihnya beda. Gue udah meng-embrace kenyataan bahwa film ini gak bakal sama dengan novelnya.
Dan for the most part, gue bersyukur buat itu.
Sedikit info kurang penting.
Pas gue nonton si The Death Cure ini, sepanjang jalannya film, gue menganggap ini adalah film yang setia dengan novel aslinya. Selama jam tayang, gue mikir "oh, ini ada di novelnya" ato "hoo, mantep juga mereka samain sama novelnya di sini". Mungkin gue kebawa sugesti si Wes Ball yang pernah bilang filmnya bakal setia sama novelnya, tapi entahlah. Intinya, gue percaya bahwa film ini emang sesuai sama novelnya.
Baru pas gue baca sinopsis novel tersebut buat riset postingan ini, gue nyadar banyak banget perbedaan si novel dan si film.
Bukannya gue gak seneng juga, sih.
See, pas gue ngeliat sinopsis novel tersebut, gue baru sadar kalo cerita The Death Cure yang asli banyak kena filler alias unsur cerita yang gak punya kepentingan selain buat manjang-manjangin cerita. Banyak juga plot point yang gak perlu, yang melibatkan geng-nya Thomas kesana-kemari kek setrikaan tanpa alasan yang bagus.
Di sini, gue dengan senang hati memberitahu lo pada kalo unsur sub-plot gak penting banyak diilangin di film ini. Semua unsur yang dirumit-rumitin di novel kek penyakit Flare, obat mujarab yang jadi plot utama novelnya, dan bahkan obat painkiller bernama Bliss yang dari novel diilangin di filmnya. Nop. Poof. Jadi simpel banget.
Mungkin ada penggemar hardcore novelnya yang mau bakar bioskop gara-gara perkara 'penistaan' terhadap novelnya, tapi gue kasitau lo: kalo filmnya setia sama novelnya 100%, rasanya tu film jadi gak bisa ditonton. Jangankan 100%, di atas 75% aja udah susah banget buat dingertiin. Yep, emang cerita aslinya serumit itu.
Untungnya, 30% kesetiaan film ini dengan novelnya adalah unsur-unsur yang bener. Unsur yang gak terpisahkan dari novel kek kematian ****** dan ****** gak diilangin dari film. Belom lagi kehadiran *****, sebuah unsur yang gak dikasitau di trailer buat film ini. Baguslah, gak ada yang ke-spoil. Kebetulan, tiga unsur ultra-penting ini adalah tiga unsur yang paling gue inget dari novelnya. Sebuah kebetulan, emang.
Gak untungnya, si 30% yang gue bilang tadi gak dieksekusi dengan sempurna.
Misalnya, kematian salah satu tokoh utama yang gue sebutin namanya tadi. Meskipun cara mati si orang ini (tenang aja, gak ada binatang yang disakiti di film ini) sama dengan novel, adegan kematiannya gak punya impact dramatis yang sama. Akting sih gak ada yang jelek, mungkin presentasinya aja yang kurang ngena, gak kek di novelnya. Belom lagi kematian tokoh ini yang dikelilingi oleh bad plot decision alias situasi tolol yang diciptakan oleh film ini menjelang kematiannya. Kek, ngapain gitu loh?
Kematian tokoh yang lain mungkin punya impact dramatis yang sama (berkat sinematografi ciamik dari film ini, sama kek film-film sebelumnya), tapi kena satu masalah yang sama dengan yang tadi gue sebutin. Yep, bad plot decision. Kali ini, lebih ke masalah timing dari keseluruhan sequence kematian si orang ini, yang menyebabkan gue (dan temen-temen gue yang lagi nonton) mikir: ni orang geblek. Gebleknya ngapain, mungkin bisa dicek sendiri. Hehe.
Kerennya, dengan banyaknya perbedaan antara film ini dan novelnya, kematian dua tokoh utama ini masih sama ceritanya dengan kematian mereka di novel secara garis besar. Jangankan cara mereka mati, situasi mengitari kematian mereka pun lumayan mirip. Ya sekilas keliatan beda, tapi let's just say kematian mereka di film sukses menjadi paralel yang sempurna terhadap kematian mereka di novel. Gak sama persis, tapi tetep kerasa familier.
Secara keseluruhan, banyak banget perbedaan antara film ini dan novel aslinya.
Lebih banyak dari The Scorch Trials, mungkin.
Bahkan, kesamaan antara film dan novel pun gak bisa dibilang sama plek. Kesamaan yang ada antara film dan novel pun disuguhkan secara garis besar, itupun dengan berbagai perbedaan dalam detail-detailnya, besar maupun kecil.
Am I okay with it?
Hell yeah I am.
WCKD's Wicked Wicks
Sebelum kita masuk ke tiga (sesuai dengan tradisi gue, because, you know, traditions) tokoh menarik di film ini, gue mau ngasitau satu hal.
Akting di film ini, sekali lagi, bagus. Banget? Mungkin aja.
Semua pemeran dalam film ini, dari Dylan O'Brien sampe Barry Pepper, memerankan tokoh mereka dengan baik. Adegan yang intens dan menegangkan dibuat lebih intens dengan akting mereka yang believable. Gak ada akting cuman sebatas baca skrip doang di sini.
Honorable mention buat si Barry Pepper, pemeran Vince. Vince yang tadinya cuman ada di novel ketiga, sekarang udah muncul sedari film kedua. Tokoh Vince ini punya screen presence yang enak diliat. Meskipun dia awalnya keliatan kek seorang pemimpin pasukan pemberontak generik dengan motivasi yang generik pula di film kedua, di film ketiga dia jadi sekutu dari geng Thomas yang bisa diandalkan. Belom lagi akting Barry Pepper yang mengubah Vince dari tokoh generik di film kedua tadi jadi tokoh yang lebih karismatik di film ketiga. Noice.
Anyways, ehm,
tokoh pertama.
Anyways, ehm,
tokoh pertama.
Percaya ato gak, the first guy adalah satu-satunya tokoh baru di film ini. Si dia inipun bukan sebagai tokoh utama pula.
Mohon maap, ini bukan foto Lawrence dari film. Then again, ini emang foto Walton Goggins selaku pemeran tokoh tersebut, jadi foto ini bisa dijadiin gambaran. Kurang lebih. |
Lawrence (Walton Goggins).
Lawrence di film adalah pentolan dari kelompok pemberontak yang ketemu sama geng Thomas. Yep, ada lagi geng pemberontak di sini, meskipun ada geng pemberontak di The Scorch Trials. Bedanya? Beda pemimpin sama beda domisili. Yang satu dipimpin oleh Vince, yang satu dipimpin oleh ni orang. Yang satu di padang gurun, yang satu di pinggiran kota. Dah.
Rasanya cocok kalo Lawrence disandingkan dengan Vince. Orang sama-sama pemimpin pasukan pemberontak yang mau, guess what, ngalahin WCKD. Bahkan, di novel (SPOILER ALERT) Lawrence adalah BAWAHAN dari Vince. Yep, di novel, mereka se-geng. Di sini? Beda.
Vince adalah sosok yang karismatik. Generik di awal, tapi karismatik di akhir. Tipe-tipe orang yang menyerbu Hotel Yamato, menaiki atapnya, menyobek bendera Belanda yang bertengger di sono, dan meneriakkan, "MERDEKA!" That kind of person. Banyak teriak ato minimal bernada tinggi lah, kurang lebih.
Lawrence lebih kalem. Setengah keberadaannya dalam film digunakan untuk ngasitau kalo ini orang lebih kalem tapi lebih mematikan. Setengahnya lagi? Buat ngasitau kalo dibalik kekaleman itu, Lawrence punya karisma yang gak kalah dengan Vince. Rada unpredictable. Belom lagi akting Walton Goggins yang punya nada kalem tapi dalem, semacam melengkapi tampang, ehm, menarik punya dia.
Anggep aja,
kalo di serial Far Cry, Vince setara Vaas, Lawrence setara Pagan Min.
Sayangnya, karakter Lawrence gak dikembangin dari situ. Baguslah kalo dengan sedikitnya waktu yang dia punya, tokoh dia dipaparkan dengan baik. Sayangnya, dia gak punya character development, apalagi interaksi lebih lanjut dengan geng Thomas. Cuman secuil aja penokohan yang kita dapetin terhadap si Lawrence ini. Semacam potensi yang kebuang.
Then again, dengan ramenya film The Death Cure ini, mungkin dia emang gak kebagian tempat. Bahkan, kita bisa dapet SEGITU dari dia aja udah bagus banget.
Yep, balik lagi dengan Teresa, tokoh yang udah ada dari film pertama.
Di review buat The Maze Runner, gue semacam menyayangkan kurangnya chemistry berarti antara tokoh Teresa dan protagonis film Thomas. Bukannya gue bilang kalo akting Kaya jelek, mungkin lebih ke kurang greget aja. Jatoh-jatohnya lebih ke salahnya penulisan karakter Teresa dalam film tersebut.
Di review buat The Scorch Trials, gue gak ngebahas Teresa. Yang ada, gue ngebahas Aris Jones, salah satu tokoh baru dalam film tersebut. See, bagi yang masih inget, gue semacam menyinggung adanya hubungan romantis antara Aris dan Teresa di novel, sebuah unsur yang dihilangkan dari film adaptasinya. Dan gue seneng dengan hilangnya sub-plot tolol tersebut.
Buat The Scorch Trials, gue bisa bilang mereka bener-bener main aman dengan penokohan Teresa di film tersebut. Yep, dia masih aja (SPOILERS ALERT!) mengkhianati geng Thomas, namun pengkhianatan Teresa di film semacam digambarkan... lebih beralasan? Berbeda dengan novel aslinya yang menggambarkan Teresa mengkhianati Thomas secara blak-blakan tanpa tau malu, di film pengkhianatan Teresa lebih simpatetik. Keliatan dari akting oke Scodelario yang mampu menampilkan penyesalan Teresa saat mengkhianati Thomas. Itu, dan perbedaan waktu. Di novel Teresa mengkhianati Thomas udah dari awal-awal cerita, sedangkan di film Teresa baru mengkhianati Thomas di penghujung film.
Gue sih gak masalah dengan perubahan-perubahan tersebut. Malahan, gue seneng dengan film adaptasinya yang berani menggambarkan tokoh Teresa berbeda dengan novelnya. Penggambaran yang bagus pula, berhasil TIDAK membuat Teresa jadi tokoh yang minta dibogem mukanya.
Oh ya, sori buat satu-paragraf-yang-literally-isinya-spoiler-semua-nya.
Gimana si Teresa di film ketiga?
Nampaknya film The Death Cure masih menggunakan kesan simpatetik yang dimiliki oleh Teresa.
Sebenernya, film dibagi menjadi dua sudut pandang utama: Teresa dan Thomas.
Kita semua tau lah sisi Thomas. Berjuang menjatuhkan WCKD, membebaskan para bocah kelinci percobaan, dan membebaskan (SPOILERS ALERT!) Minho yang diculik WCKD di penghujung film The Scorch Trials.
Sisi Teresa, however, menceritakan perjuangan Teresa untuk mencari obat penyembuh mujarab buat penyakit Flare. Sisi Teresa menceritakan bagaimana dibalik tembok-tembok megah WCKD, pencarian buat obat penyembuh pun gak gampang-gampang amat. Selain susah dapet persetujuan dari berbagai pihak, WCKD sendiri juga harus berurusan dengan pembuatan obat itu sendiri yang ternyata banyak makan biaya, korban, dan waktu.
Sisi Teresa ini, menurut gue, semacam menggambarkan sudut pandang dan motivasi pihak 'antagonis' serial film The Maze Runner dengan baik. Tentu saja, pencarian buat antidote penyakit Flare sendiri emang butuh pengorbanan yang gak sedikit. Akan tetapi, diliat dari sudut pandang Teresa, itu semua demi kebaikan bersama.
Belom lagi, sifat Teresa yang lebih pengertian terhadap Thomas dkk. Alih-alih menunjukkan kebencian terhadap Thomas (because, you know, Thomas udah ngabisin dua film terakhir ngacungin jari tengah ke WCKD), dia bersifat lebih simpatik terhadap 'lawan'-nya tersebut.
Gue suka dengan penokohan Teresa yang dibuat jadi protagonis sekunder. Berjuang untuk kebaikan bersama meskipun dengan cara yang berbeda dari Thomas. Semuanya didukung habis-habisan dengan akting solid dari Kaya Scodelario. Bukan yang terbaik (harus gue akuin, kadang-kadang Teresa ini bisa nyebelin juga), tapi boleh juga.
Bukan yang terbaik.
Akting terbaik dalam film ini jatoh ke tokoh ketiga.
Menurut gue tiga tahun lalu, adaptasi karakter Newt ke film setia dengan novel aslinya. Kalem dan tenang, bahkan terkesan ramah. Belom lagi film menambahkan sebuah fitur unik ke Newt versi film dengan meng-cast Thomas Sangster yang notabene adalah orang Inggris. Dari situlah, logat Inggris kental gak lepas dari tokoh Newt di film. Newt sendiri juga digambarkan sebagai salah satu anggota geng Thomas yang lebih 'bijak', lebih rasional dan mengedepankan logika dalam petualangannya dengan Thomas, meskipun dia gak bisa dibilang penakut juga.
Karakter Newt yang tenang dan kalem menghadapi segala masalah tetep ada di film kedua. Selain sifat kalem tadi, Newt pun mulai lebih ditunjukkan sifat rasionalnya, terlihat dari ketidaksetujuannya terhadap sifat impulsif Thomas beberapa kali di The Scorch Trials. Meskipun gitu, Newt tetep punya pembawaan yang anteng, dan dia pun tetep jadi salah satu pengikut Thomas yang paling setia.
Bisa dibilang, Newt adalah tokoh yang paling banyak berdinamika di film ketiga.
Di film ketiga ini, kita bisa ngeliat berbagai sikap Newt yang belom pernah ditunjukkan di film sebelumnya. Di The Death Cure, Newt pun bisa sedih, sentimentil, kesal, dan bahkan marah. Di film ketiga inilah gue dibawa ke berbagai sisi lain Newt.
Di film inilah kita bakal bisa ngeliat penokohan Newt bener-bener berkembang.
Dan semua itu ditopang dengan sangat mantap oleh akting dari Thomas Sangster.
Thomas Sangster sendiri mampu memerankan berbagai ekspresi Newt dalam film ini dengan sangat natural. Belom lagi chemistry dia dengan Thomas yang diperankan oleh Dylan O'Brien. Sangster mampu menjaga sifat Newt yang kalem dan rasional dari dua film pertama, tapi di saat yang bersamaan Sangster berhasil memerankan sifat Newt yang lebih dramatis di film ketiga.
Belom lagi interaksi Newt dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Bukannya gue mengesampingkan Dylan O'Brien sebagai Thomas, tapi di beberapa adegan, Newt terkesan sebagai tokoh utama. Terkadang Newt menjadi pusat perhatian dari berbagai adegan. Tentunya dibawakan dengan sangat baik oleh Thomas Sangster.
Dan perkembangan karakter Newt inipun juga gak terkesan maksa ataupun aneh, soalnya dinamika dia dengan tokoh lain di film ini nyambung dengan sifat dia di film sebelumnya. Terutama interaksi dan chemistry dia dengan Thomas, yang udah dibangun dari film-film sebelumnya. Peran dia di film ini pun juga lebih sentral, sehingga kita pun bisa ngeliat character development mancay secara jelas.
Ya tentunya Thomas (dan Teresa) adalah tokoh utama di sini, tapi Newt adalah tokoh yang dapet treatment paling bagus. Hasil yang ciamik dari pembangunan karakter selama tiga film.
So, there it is.
Newt: best character and acting.
Every Maze Has an End
Serial film Maze Runner adalah sebuah serial film adaptasi novel yang anehnya punya action sequence yang teramat sangat bagus. Keliatan dari cara kedua film pertama menyajikan action sequence: para tokoh utama harus lari untuk menyelamatkan hidup mereka. Pasti ada aja adegan itu.
The Maze Runner punya vibe misterius dan mencekam dimana para penduduk Glade harus bertahan hidup di tempat yang mereka gak ngerti sama sekali. The Scorch Trials punya vibe menegangkan dan seru dimana penduduk Glade sekarang udah di dunia luar yang sama sekali gak bersahabat sama mereka.
Apa yang The Death Cure punya?
Well, for starters, The Death Cure gak punya kedua vibe unik milik kedua film sebelumnya. Tentu saja The Death Cure punya action sequence yang seru dan menegangkan, tapi apa yang sebenernya dipertaruhkan oleh para tokoh utama dalam adegan seru tersebut?
Sejujur-jujurnya, gak ada vibe baru di sini. Film ini dominan menyajikan perjuangan Thomas dan geng-nya melawan WCKD, yang mana vibe tersebut udah ada di penghujung film kedua. Balas dendam terhadap WCKD yang udah memperlakukan mereka dengan semena-mena, itu udah ada di film kedua. Itu, dan sedikit adegan dimana mereka harus melarikan diri guna menyelamatkan nyawa. Itupun udah ada di kedua film sebelumnya.
Jatoh-jatohnya, kita udah familier dengan vibe yang dibawa oleh The Death Cure.
Dan apa salahnya dengan itu?
Toh action sequences di film ini masih seru, meskipun lawan dan medan yang harus dihadapi udah beda. Camera angle dari film ini pun mampu menangkap ketegangan setiap adegan dengan baik. Ditambah dengan sinematografi yang mampu menangkap nuansa tegang dari masing-masing adegannya.
Meskipun impact dan intensitas dari masing-masing adegan aksi tersebut udah berkurang.
Yep, keseruan adegan action dari film ini berkurang dari film sebelumnya. Gak seberapa parah sih, tapi kerasa. Mungkin gara-gara film ini lebih berorientasi ke tembak-tembakan (lumayan banyak tembak-tembakan di film ini) daripada lari-larian jika dibandingkan dengan film sebelumnya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, bukan gara-gara masalah teknis kek sudut kamera. Lebih ke writing menurut gue.
Tapi ya mau gimana lagi? Masa' satu film kerjaannya lari-larian terus?
Anehnya, sedikitnya adegan lari-larian (ato seenggaknya, melarikan diri) di film ini tetep jadi aspek yang paling menegangkan dari film ini, lebih menegangkan dari adegan tembak-tembakannya. Teramat sangat sesuai dengan nama serial ini.
Satu hal lagi yang gue perhatiin dari film ini adalah scope adegan aksi di film ini. Lebih gede dan lebih ambisius menurut gue. Cerminan dari 20 menit terakhir The Scorch Trials. Ngerasa ledakan dan tembakan dari The Scorch Trials kurang? Tenang aja, mayoritas 20 menit ini isinya begituan. Terutama satu jam terakhir. Bukan cuma tembakan doang, ada juga adegan-adegan lain yang lebih spektakuler dari film sebelumnya.
Which leads me to the second flaw.
Gara-gara adegan aksi yang lebih spektakuler dan ambisius, ada aja adegan yang kurang masuk akal. Gak enak ditonton bukan gara-gara kebanyakan shaky cam ato sudut kamera yang nyasar; gara-gara gak logis aja. Anggep aja bad plot decision. Ada aja adegan yang bikin gue bertanya-tanya, "lah, kenapa si ini gak kek gini aja?" ato "lah, udah kek gitu kenapa si ini masih idup?" ato "lah, emang bisa kek gitu di dunia nyata?"
Itu, dan lebih banyaknya CGI dalam berbagai action scene dalam film bisa terkesan aneh. Tau sendiri lah, film paling pertama lebih mengedepankan unsur thriller dibandingkan action. Film kedua pun sama, meskipun action di film kedua lebih kentara. Yang ini? Udah rada seimbang sekarang.
Not me, though. Some people may be annoyed. But not me.
Gue gak masalah dengan adegan seru yang lebih banyak dari adegan tegang.
Toh, sinematografi dan presentasi-nya pun rapi.
Toh (lagi), CGI di film ini masih jauh lebih jinak dibandingkan dengan film yang overdosis CGI kek Transformers. Oh tidak, The Death Cure gak ada bandingannya dengan film itu.
Mungkin film trilogi Maze Runner dengan action scenes paling ngebosenin, tapi itupun masih di atas rata-rata. Masih bagus, anggeplah.
(+) - Penokohan yang mantap didukung dengan akting yang mantap oleh segenap cast.
- Dari segi cerita, sebuah kemajuan dari cerita novel aslinya.
- Sinematografi yang rapi.
(-) - Action scenes yang gak sebagus dua film sebelumnya.
- Penulisan dalam beberapa adegan krusial rada gak masuk akal. Bad plot decision.
VERDICT:
[ NAIL /FAIL ] 84/100
Conclusion:
Kekurangan The Death Cure di keseruan dan ketegangan ditutupi oleh akting mantap dari cast film dan cerita yang lebih bagus dari novel aslinya. Sebuah penutup yang manis buat trilogi Maze Runner.
Side note: gue gak bisa bilang ini adaptasi novel remaja terbaik sepanjang masa; kehormatan itu milik serial film Harry Potter. Masih lebih bagus dari serial film Twilight, Divergent, dan Percy Jackson, sih.
Until the next post, bungs! :D
Kedua adalah Teresa (Kaya Scodelario).
Yep, balik lagi dengan Teresa, tokoh yang udah ada dari film pertama.
Di review buat The Maze Runner, gue semacam menyayangkan kurangnya chemistry berarti antara tokoh Teresa dan protagonis film Thomas. Bukannya gue bilang kalo akting Kaya jelek, mungkin lebih ke kurang greget aja. Jatoh-jatohnya lebih ke salahnya penulisan karakter Teresa dalam film tersebut.
Di review buat The Scorch Trials, gue gak ngebahas Teresa. Yang ada, gue ngebahas Aris Jones, salah satu tokoh baru dalam film tersebut. See, bagi yang masih inget, gue semacam menyinggung adanya hubungan romantis antara Aris dan Teresa di novel, sebuah unsur yang dihilangkan dari film adaptasinya. Dan gue seneng dengan hilangnya sub-plot tolol tersebut.
It was at this moment in the second movie that we knew... she f***ed up. |
Buat The Scorch Trials, gue bisa bilang mereka bener-bener main aman dengan penokohan Teresa di film tersebut. Yep, dia masih aja (SPOILERS ALERT!) mengkhianati geng Thomas, namun pengkhianatan Teresa di film semacam digambarkan... lebih beralasan? Berbeda dengan novel aslinya yang menggambarkan Teresa mengkhianati Thomas secara blak-blakan tanpa tau malu, di film pengkhianatan Teresa lebih simpatetik. Keliatan dari akting oke Scodelario yang mampu menampilkan penyesalan Teresa saat mengkhianati Thomas. Itu, dan perbedaan waktu. Di novel Teresa mengkhianati Thomas udah dari awal-awal cerita, sedangkan di film Teresa baru mengkhianati Thomas di penghujung film.
Gue sih gak masalah dengan perubahan-perubahan tersebut. Malahan, gue seneng dengan film adaptasinya yang berani menggambarkan tokoh Teresa berbeda dengan novelnya. Penggambaran yang bagus pula, berhasil TIDAK membuat Teresa jadi tokoh yang minta dibogem mukanya.
Oh ya, sori buat satu-paragraf-yang-literally-isinya-spoiler-semua-nya.
Gimana si Teresa di film ketiga?
Nampaknya film The Death Cure masih menggunakan kesan simpatetik yang dimiliki oleh Teresa.
Sebenernya, film dibagi menjadi dua sudut pandang utama: Teresa dan Thomas.
Kita semua tau lah sisi Thomas. Berjuang menjatuhkan WCKD, membebaskan para bocah kelinci percobaan, dan membebaskan (SPOILERS ALERT!) Minho yang diculik WCKD di penghujung film The Scorch Trials.
Sisi Teresa, however, menceritakan perjuangan Teresa untuk mencari obat penyembuh mujarab buat penyakit Flare. Sisi Teresa menceritakan bagaimana dibalik tembok-tembok megah WCKD, pencarian buat obat penyembuh pun gak gampang-gampang amat. Selain susah dapet persetujuan dari berbagai pihak, WCKD sendiri juga harus berurusan dengan pembuatan obat itu sendiri yang ternyata banyak makan biaya, korban, dan waktu.
Sisi Teresa ini, menurut gue, semacam menggambarkan sudut pandang dan motivasi pihak 'antagonis' serial film The Maze Runner dengan baik. Tentu saja, pencarian buat antidote penyakit Flare sendiri emang butuh pengorbanan yang gak sedikit. Akan tetapi, diliat dari sudut pandang Teresa, itu semua demi kebaikan bersama.
Belom lagi, sifat Teresa yang lebih pengertian terhadap Thomas dkk. Alih-alih menunjukkan kebencian terhadap Thomas (because, you know, Thomas udah ngabisin dua film terakhir ngacungin jari tengah ke WCKD), dia bersifat lebih simpatik terhadap 'lawan'-nya tersebut.
Gue suka dengan penokohan Teresa yang dibuat jadi protagonis sekunder. Berjuang untuk kebaikan bersama meskipun dengan cara yang berbeda dari Thomas. Semuanya didukung habis-habisan dengan akting solid dari Kaya Scodelario. Bukan yang terbaik (harus gue akuin, kadang-kadang Teresa ini bisa nyebelin juga), tapi boleh juga.
Bukan yang terbaik.
Akting terbaik dalam film ini jatoh ke tokoh ketiga.
Newt (Thomas Sangster).
Menurut gue tiga tahun lalu, adaptasi karakter Newt ke film setia dengan novel aslinya. Kalem dan tenang, bahkan terkesan ramah. Belom lagi film menambahkan sebuah fitur unik ke Newt versi film dengan meng-cast Thomas Sangster yang notabene adalah orang Inggris. Dari situlah, logat Inggris kental gak lepas dari tokoh Newt di film. Newt sendiri juga digambarkan sebagai salah satu anggota geng Thomas yang lebih 'bijak', lebih rasional dan mengedepankan logika dalam petualangannya dengan Thomas, meskipun dia gak bisa dibilang penakut juga.
Karakter Newt yang tenang dan kalem menghadapi segala masalah tetep ada di film kedua. Selain sifat kalem tadi, Newt pun mulai lebih ditunjukkan sifat rasionalnya, terlihat dari ketidaksetujuannya terhadap sifat impulsif Thomas beberapa kali di The Scorch Trials. Meskipun gitu, Newt tetep punya pembawaan yang anteng, dan dia pun tetep jadi salah satu pengikut Thomas yang paling setia.
Bisa dibilang, Newt adalah tokoh yang paling banyak berdinamika di film ketiga.
Di film ketiga ini, kita bisa ngeliat berbagai sikap Newt yang belom pernah ditunjukkan di film sebelumnya. Di The Death Cure, Newt pun bisa sedih, sentimentil, kesal, dan bahkan marah. Di film ketiga inilah gue dibawa ke berbagai sisi lain Newt.
Di film inilah kita bakal bisa ngeliat penokohan Newt bener-bener berkembang.
Dan semua itu ditopang dengan sangat mantap oleh akting dari Thomas Sangster.
Thomas Sangster sendiri mampu memerankan berbagai ekspresi Newt dalam film ini dengan sangat natural. Belom lagi chemistry dia dengan Thomas yang diperankan oleh Dylan O'Brien. Sangster mampu menjaga sifat Newt yang kalem dan rasional dari dua film pertama, tapi di saat yang bersamaan Sangster berhasil memerankan sifat Newt yang lebih dramatis di film ketiga.
Belom lagi interaksi Newt dengan tokoh-tokoh lain di film ini. Bukannya gue mengesampingkan Dylan O'Brien sebagai Thomas, tapi di beberapa adegan, Newt terkesan sebagai tokoh utama. Terkadang Newt menjadi pusat perhatian dari berbagai adegan. Tentunya dibawakan dengan sangat baik oleh Thomas Sangster.
Behind the scenes. |
Ya tentunya Thomas (dan Teresa) adalah tokoh utama di sini, tapi Newt adalah tokoh yang dapet treatment paling bagus. Hasil yang ciamik dari pembangunan karakter selama tiga film.
So, there it is.
Newt: best character and acting.
Every Maze Has an End
Serial film Maze Runner adalah sebuah serial film adaptasi novel yang anehnya punya action sequence yang teramat sangat bagus. Keliatan dari cara kedua film pertama menyajikan action sequence: para tokoh utama harus lari untuk menyelamatkan hidup mereka. Pasti ada aja adegan itu.
The Maze Runner punya vibe misterius dan mencekam dimana para penduduk Glade harus bertahan hidup di tempat yang mereka gak ngerti sama sekali. The Scorch Trials punya vibe menegangkan dan seru dimana penduduk Glade sekarang udah di dunia luar yang sama sekali gak bersahabat sama mereka.
Apa yang The Death Cure punya?
Well, for starters, The Death Cure gak punya kedua vibe unik milik kedua film sebelumnya. Tentu saja The Death Cure punya action sequence yang seru dan menegangkan, tapi apa yang sebenernya dipertaruhkan oleh para tokoh utama dalam adegan seru tersebut?
Sejujur-jujurnya, gak ada vibe baru di sini. Film ini dominan menyajikan perjuangan Thomas dan geng-nya melawan WCKD, yang mana vibe tersebut udah ada di penghujung film kedua. Balas dendam terhadap WCKD yang udah memperlakukan mereka dengan semena-mena, itu udah ada di film kedua. Itu, dan sedikit adegan dimana mereka harus melarikan diri guna menyelamatkan nyawa. Itupun udah ada di kedua film sebelumnya.
Jatoh-jatohnya, kita udah familier dengan vibe yang dibawa oleh The Death Cure.
Dan apa salahnya dengan itu?
Hooo, Jojen Reed bisa pegang senjata juga ya. |
Meskipun impact dan intensitas dari masing-masing adegan aksi tersebut udah berkurang.
Yep, keseruan adegan action dari film ini berkurang dari film sebelumnya. Gak seberapa parah sih, tapi kerasa. Mungkin gara-gara film ini lebih berorientasi ke tembak-tembakan (lumayan banyak tembak-tembakan di film ini) daripada lari-larian jika dibandingkan dengan film sebelumnya. Seperti yang gue bilang sebelumnya, bukan gara-gara masalah teknis kek sudut kamera. Lebih ke writing menurut gue.
Tapi ya mau gimana lagi? Masa' satu film kerjaannya lari-larian terus?
Anehnya, sedikitnya adegan lari-larian (ato seenggaknya, melarikan diri) di film ini tetep jadi aspek yang paling menegangkan dari film ini, lebih menegangkan dari adegan tembak-tembakannya. Teramat sangat sesuai dengan nama serial ini.
Satu hal lagi yang gue perhatiin dari film ini adalah scope adegan aksi di film ini. Lebih gede dan lebih ambisius menurut gue. Cerminan dari 20 menit terakhir The Scorch Trials. Ngerasa ledakan dan tembakan dari The Scorch Trials kurang? Tenang aja, mayoritas 20 menit ini isinya begituan. Terutama satu jam terakhir. Bukan cuma tembakan doang, ada juga adegan-adegan lain yang lebih spektakuler dari film sebelumnya.
Which leads me to the second flaw.
Gara-gara adegan aksi yang lebih spektakuler dan ambisius, ada aja adegan yang kurang masuk akal. Gak enak ditonton bukan gara-gara kebanyakan shaky cam ato sudut kamera yang nyasar; gara-gara gak logis aja. Anggep aja bad plot decision. Ada aja adegan yang bikin gue bertanya-tanya, "lah, kenapa si ini gak kek gini aja?" ato "lah, udah kek gitu kenapa si ini masih idup?" ato "lah, emang bisa kek gitu di dunia nyata?"
Itu, dan lebih banyaknya CGI dalam berbagai action scene dalam film bisa terkesan aneh. Tau sendiri lah, film paling pertama lebih mengedepankan unsur thriller dibandingkan action. Film kedua pun sama, meskipun action di film kedua lebih kentara. Yang ini? Udah rada seimbang sekarang.
Not me, though. Some people may be annoyed. But not me.
Gue gak masalah dengan adegan seru yang lebih banyak dari adegan tegang.
Toh, sinematografi dan presentasi-nya pun rapi.
Toh (lagi), CGI di film ini masih jauh lebih jinak dibandingkan dengan film yang overdosis CGI kek Transformers. Oh tidak, The Death Cure gak ada bandingannya dengan film itu.
Mungkin film trilogi Maze Runner dengan action scenes paling ngebosenin, tapi itupun masih di atas rata-rata. Masih bagus, anggeplah.
(+) - Penokohan yang mantap didukung dengan akting yang mantap oleh segenap cast.
- Dari segi cerita, sebuah kemajuan dari cerita novel aslinya.
- Sinematografi yang rapi.
(-) - Action scenes yang gak sebagus dua film sebelumnya.
- Penulisan dalam beberapa adegan krusial rada gak masuk akal. Bad plot decision.
VERDICT:
[ NAIL /
Conclusion:
Kekurangan The Death Cure di keseruan dan ketegangan ditutupi oleh akting mantap dari cast film dan cerita yang lebih bagus dari novel aslinya. Sebuah penutup yang manis buat trilogi Maze Runner.
Side note: gue gak bisa bilang ini adaptasi novel remaja terbaik sepanjang masa; kehormatan itu milik serial film Harry Potter. Masih lebih bagus dari serial film Twilight, Divergent, dan Percy Jackson, sih.
Until the next post, bungs! :D
No comments:
Post a Comment