Yep, langsung aja.
What, lo mau sebuah intro? Ini udah bisa diitung sebagai intro, kan?
What, kurang panjang?
Lo mau intro yang lebih panjang? Lo gak liat apa, seberapa panjangnya postingan gue tentang Babes yang kemaren? Yang berhasil memecahkan rekor postingan terpanjang yang pernah gue post, dan itu bahkan baru ngebahas SETENGAH dari personil Babes? Dengan kata lain, BELOM SEMUA?
Capek gak lo, bacanya?
Tebakan gue, mata kebanyakan orang udah berat pas udah kelar bagiannya Difa. At that point, rasanya mereka udah kelar baca punya Difa, ngerasa postingannya udah abis, trus tiba-tiba disambut dengan tulisan tebel dibawanya:
#NerdyGal: Sasa
dan langsung mikir, "f*** me, masih ada lagi?"
Bukannya gue ngerasa kalo nyeritain Sasa gak se-asik nyeritain anggota Babes yang lain. Justru kebalikannya, soalnya di section tentang Sasa tersebut gue bisa nyeritain sisi gue yang lebih nerdy. Salah satu section yang lebih menarik menurut gue, soalnya di situ gue bisa nyeritain interests yang gue punya, baik itu di bidang komik, film, anime, dan--kesukaan gue--game.
Nop, gue rasa itu gara-gara section tersebut adalah sebuah lompatan bagi gue.
See, bagi yang familier dengan blog gue, dalam ngebahas sesuatu, mau itu temen gue, mau itu review film, mau itu pengalaman geblek, gue selalu bagi postingan gue dalam 3 (tiga) section. Ditambah intro. Tapi itu dia. Tiga section utama di tiap postingannya. Mungkin bukan format terbaik, tapi entah kenapa, it works. Terkadang gue bisa nambahin dikit jadi 4 (empat) section, kek di review tahunan gue.
Kemaren itu adalah pertama kalinya dalam sejarah blog gue, gue punya 5 (LIMA) section di blog gue. Belom termasuk intro sih, tapi LIMA. SECTION. Ini adalah sesuatu yang lom pernah gue lakuin di blog gue sebelomnya. Jadi tentu aja, postingan itu jadi terkesan panjang banget. Bukan karena tu postingan emang panjang secara objektif, tapi gara-gara tu postingan lebih panjang dari postingan gue yang sebelomnya. Kek yang tadi gue bilang, sebuah loncatan lompatan.
Nah, itulah.
Intro 'panjang' yang lo pada mau. Puas?
Now, let's just get a move on now, shall we?
#TargetGal: Devina
Masih inget dengan Devina?
Yep, tadinya dia adalah kandidat pemegang gelar #ArtsyGal sebelom akhirnya gelar tersebut disabet oleh Praya.
Ah, ada apa ini? Bagaimana bisa ada dua orang yang berpotensi punya gelar yang sama di geng Babes ini? Apa yang Devina punya yang bisa nyaingin Praya di bidang ke-artsy-an? Lebih penting lagi, kenapa Praya dan bukan Devina yang dapet gelar tersebut?
Sabar, satu-satu pertanyaannya.
Devina, kek yang tadi gue bilang, adalah salah satu anggota Babes yang lebih artsy. Malahan bisa dibilang, unsur artsy yang dimiliki Devina sama kuatnya dengan Praya.
Pertama-tama, kek Praya, Devina juga penyuka film. Seleranya sama-sama tinggi pula. Dimana orang kebanyakan nonton film merhatiin ceritanya bagus ato gak, pemerannya punya chemistry bagus ato gak, aktingnya bikin cringe ato gak, Devina merhatiin lebih dari sekedar itu. Lebih dari sekedar tampang luar yang kebanyakan orang, termasuk gue, bisa liat.
Contoh termutakhir yang gue baru inget sekarang (16/5): Sausage Party.
Yep, Sausage Party. Kandidat kuat sekuat-kuatnya buat film animasi terteler, termabok, tercaur, dan terkaco sepanjang sejarah perfilman animasi segala abad. Sausage Party yang itu.
Masih inget, di review gue mengenai film tersebut, gue ngebahas animasi, cerita, tokoh, dan unsur explicit yang bertaburan di film tahun 2016 tersebut kek parutan keju di atas cheesecake? Honestly, separah-parahnya unsur cerita dalam film tersebut, gue gak bisa memungkiri kalo film tersebut adalah tontonan yang seru. Bagus dan anehnya lumayan bisa dinikmatin, kalo lo tahan sama yang begituan.
Kek yang kebanyakan orang bilang, kan? Film yang, mau itu bagus ato gak, sangat nyolot dan offensive? Itulah yang biasa orang bilang tentang film tersebut, kan?
Nampaknya, Devina bisa melihat menembus ketololan film tersebut.
Waktu itu gue lagi gencar-gencarnya berusaha ngajakin anggota Babes buat nonton film tersebut. Gak semua anggota, mind you, soalnya gue tau film tersebut bener-bener gak dikhususkan buat semua orang. Jangankan nonton, gue tau beberapa anggota Babes bisa jijik sendiri denger premis film tersebut. Tau sendirilah, kalo udah soal animasi, mereka-mereka ini teramat-sangat Disney-oriented. As in, kalo karaoke bareng, 8 dari 9 kesempatan personil-personil Babes bakalan puter A Whole New World-nya Aladdin. Simpel aja.
Waktu itu (lagi) gue lagi ngebahas film tersebut sama Nisya, yang udah nonton beberapa hari sebelomnya. Nisya, secara gak mengagetkan, bilang film itu bagus.
Tiba-tiba, nimbrunglah Devina.
"Eh, lagi ngebahas apaan, nih?"
"Ah, film greget, Dev. Sausage Party." jawab gue.
"Oh, OH! Gue udah nonton!"
"Bagus, gak?"
"Gue suka!"
Holy shit, Devina yang berselera tinggi suka sama beginian? No offense, tapi ini kan--
"Gue suka sama message filmnya, dah! Dalem tau, sebenernya."
Waini. Ini dia. Gue gak (at that time) gak bisa melihat Sausage Party lebih dari premis menggelikan makanan yang sadar kalo kita selama ini, ehm, makanin mereka dan temen-temen mereka. Kek, emangnya bisa lebih dalem dari gituan?
Nampaknya bisa buat Devina.
[SPOILER ALERT BUAT YANG LOM NONTON SAUSAGE PARTY!!!]
"Iya, jadi film itu semacam menggambarkan kalo semua agama tu penggambarannya sama gitu loh, pasti bakalan ada surga ato kehidupan setelah lo meninggal, kek di filmnya."
"Ye, terus?"
"Ya kan, di filmnya, makanan yang di rak-rak toko itu bener-bener percaya banget kan, kalo mereka bakal ke 'surga'? Kek, surga-nya mereka? Dan mereka se-percaya itu kalo manusia yang beli dan bawa mereka pulang adalah tuhan mereka? Pengantara mereka ke surga?"
"Yang mana 'surga' itu jatoh-jatohnya mereka dimakan, kan?"
"Iya, makanya! Kocak, dah. Kayak, turns out, surga yang mereka kira ternyata bukan surga gitu, loh!"
"Hahah, kocak dah," kata gue. At this point, gue udah gak seberapa fokus dibandingkan sebelomnya, otak gue terlalu sibuk kena fenomenamain bowling mind blown gara-gara pemaparan Devina mengenai film tersebut.
"Malahan sebenernya film itu kek mau bilang kalo agama tuh bukan turun dari Tuhan gitu, soalnya semua agama tuh pasti ada satu unsur yang sama: abis orang mati bakalan ada kehidupan setelahnya, kan? Kek--aduuuuh, apa itu istilahnya?"
"Afterlife?"
"Nah, iya! Afterlife! Kek semua orang seyakin itu loh, sama begituan."
Otak gue serasa kayak popcorn. Meletup sana-sini tanpa henti.
"Ending film tersebut juga bisa jadi renungan yang bagus, sih. Meskipun itu fucked up banget."
Dan dia bisa ngedapetin faedah dari ending film paling gak berfaedah sepanjang segala abad? Astaga-naga.
"Kek, manusia itu pada umumnya ada yang jahat dan ada yang baik. Gak harus pake agama juga--meskipun itu bukan satu-satunya faktor--orang kan, bisa suka-suka hidup. Ya nggak, sih?"
"Yah, kek ending filmnya yang mereka... ng--ah, gue gak tahan ngebayanginnya," ujar gue.
"Ya mau gimanapun juga, ending filmnya sebenernya bagus, jir. Walaupun, kek yang tadi gue bilang, se-messed up itu."
Status otak gue saat itu: tau Nagasaki setelah kena bom atom? Mind-blown tingkat tulen.
[DAERAH ABIS INI UDAH SPOILER-FREE. KEKNYA.]
Dengan insight sedalem itu mengenai film secetek itu, Devina jelas bukan penggemar film biasa. Setara Praya? Pasti. Lebih dari Praya? Bisa aja.
Mungkin ada yang bertanya, gimana caranya seseorang dengan selera setinggi dan sedalem itu bisa nyambung dengan gue yang--ya lo tau sendiri lah, bentuk seni yang bisa gue apresiasi adalah dank memes, dan itu aja masih dipertanyakan unsur keseniannya.
Turns out, Devina ngikutin--dan suka--sama PewDiePie.
Yep, dari semua citra selera-tinggi-dan-pemahaman-dalem-tentang-bahkan-film-tercetek itu sekalipun, ternyata Devina suka PewDiePie. YouTuber asal Swedia yang menjabat sebagai YouTuber nomer 1 di dunia, duta tantangan Don't Laugh Challenge se-YouTube, dan pelopor teknik marketing kursi kemahalan. PewDiePie yang itu.
Bukannya gue ngomong lo kalo suka PewDiePie berarti selera lo rendah, tapi gue selama ini selalu ngerasa orang-orang berselera tinggi gak suka PewDiePie. Agak kurang lazim, gitu loh. Biasanya orang yang berselera artsy parah menganggap PewDiePie sebagai pelawak gagal dengan konten yang gak berfaedah.
Tapi inget, seperti yang udah gue jabarin panjang lebar di atas,
Devina bukan penikmat selera tinggi biasa.
Gue terkadang kalo ketemu Devina di perkuliahan gue suka nanyain kalo dia ada nonton video PewDiePie baru-baru itu. Jawaban bisa bermacam-macam, dari "belom nonton lagi, kenapa emangnya?" ke "video yang mana dulu, nih?" sampe ke proaktif kek motong pertanyaan dengan "Eh, eh, eh, EH! Lo udah nonton video Pewds yang terbaru lom? Kocak banget anjir, sumpah!"
Gue sendiri bukan penggemar PewDiePie yang paling fanatik, tapi gue rasa kalo udah soal ngomongin tentang PewDiePie, gue bisa ngajak Devina. Sasa juga sebenernya, meskipun Sasa gak segila Devina soal si bakso Swedia tersebut. Memes? Tau. Topik video? Tau. Berita terbaru? Tau. Jumlah subscriber? So pasti. Lawakan receh termutakhir? Tentu aja.
Bisa dibilang, Devina tau lebih banyak soal PewDiePie. Terkadang-kadang, percakapan kita berdua tentang Pewds bisa terhenti secara mendadak gara-gara... ya, pengetahuan kita masing-masing tentang Pewds jauh banget. Terkadang, dia udah bisa ngebahas video yang keluar 3 jam sebelom percakapan tersebut, sedangkan gue masih bisa ketinggalan di video yang udah diupload 3 minggu yang lalu.
Then again, kalo udah soal PewDiePie, Devina adalah sumber intel terbaik gue. Toh, percakapan kita tentang betapa Pewds selalu membanggakan kursi $400-nya gak pernah ngebosenin.
But wait, there's more!
Kedua-dua, Devina punya akun Instagram tersendiri buat naro ilustrasi, gambar, dan lukisan dia. Dia sendiri yang gambar tu ilustrasi. Tentang apa aja. And by apa aja, maksud gue adalah apapun yang mau dia ekspresiin pas dia ngegambar ilustrasi tersebut.
Gue gak bisa bilang gambar tersebut bagus ato jelek, sih. Bukan gara-gara gambar ilustrasi Devina jelek, tapi emang otak cetek gue gak bisa mengapresiasi seni. Terus apa yang gue bisa apresiasi, dong? Tau sendirilah, dank memes.
Dengan banyaknya sifat nyeni yang Devina punya, tentu aja beberapa dari lo udah bertanya: kenapa Praya dan bukan Devina?
Ah, gimana cara jelasinnya?
See, Praya punya branding artsy yang lebih, ehm, konsisten. Anggep aja, dia lebih keliatan sebagai seseorang yang nyeni banget. Hobi ikut festival film, festival kesenian, dan temen-temennya itulah. Bahkan di email-nya aja dia taro kutipan puisi. Artsy bertebaran di Praya.
Terus, Devina? Dia gak keliatan sebagai cewek nyeni, gitu?
Oh, tidak.
Justru kebalikannya. Devina pun juga bisa keliatan sebagai cewek yang artsy. Tau sendiri, udah gue bahas sebanyak 50 baris lebih di atas.
Yang bikin dia malahan jadi #TargetGal dibandingin jadi #ArtsyGal adalah--iye sabar, ini mau gue bahas.
Kurang lebih sekitaran semester 2, Devina ngomong ke semua anggota Babes:
"Ah, gue mau jadi kasir Target aja, deh."
Bisa ditebak sendiri reaksi anggota Babes yang lain gimana.
"Lah, kenapa Dev?"
"Kok random banget, sih?"
"Lo ngapain jadi kasir Target dah, Dev?"
Intinya, bingung.
Gue pun juga bingung. Kek, ngapain lo kerja di Target? Target, of all places? Udah nyampe kuliah, bayar juga gak murah-murah amat, pas udah lulus mau kerja di Target? Ramayana-nya Amerika? Masih bagus kalo mau jadi general manager ato head of communications, ini Devina ngincer jadi... kasir.
Ah well, kalo itu yang dia mau, gue gak bisa menghalangi, sih. Seriusan. Kalo dia suka dan beneran niat, kenapa enggak? Daripada ngabisin idup lo ngelakuin pekerjaan berduit yang lo gak suka, mendingan ngabisin idup lo ngelakuin pekerjaan kurang berduit yang lo suka, kan?
That is, kalo kita berasumsi Devina bener-bener pingin jadi kasir Target.
At that point, gue gak kaget kalo Devina beneran mau jadi kasir Target. Gimana gak, kurang lebih sehari-dua hari setelah pernyataan tersebut, Devina meng-upload postingan di Snapgram-nya mengenai 'passion'-nya tersebut. Postingannya sebenernya simpel aja, foto seorang kasir Target cewek lagi melayani pengunjung retailer gede tersebut.
Yang gak simpel adalah unsur selebihnya dari foto tersebut.
See, muka kasir cewek Target di foto tersebut bukan muka semestinya si cewek tersebut.
Yang ada adalah muka Devina menggantikan muka cewek tersebut.
Yep, Devina mem-photoshop mukanya sendiri ke foto tersebut, secara ngebikin dia jadi kasir Target dalam foto tersebut.
Lebih mantep lagi adalah tulisan Devina yang semacam berperan sebagai caption foto tersebut. Dalam bahasa Inggris, di sini gue taro dalam bahasa Indonesia.
"Halo kawan-kawan! Hari ini adalah hari pertama gue kerja di Target..."
dan tulisan di bawahnya,
"Ups, si manager lagi jalan ke arah sini, gue harus cepet-cepet balik kerja!"
Yep, keknya dia serius.
Gimana gak, dia udah sampe ke fase membayangkan dirinya kerja di situ. Ngerasain gimana di situ. Bahkan, sedikit dari suka-dukanya di situ. Kurang niat gimana nih, ceritanya?
And that guys, ishow I met your mother why Devina adalah si #TargetGal.
Belakangan gue mendapatkan intel dari sumber terpercaya mengenai asal-usul sesungguhnya mengapa Devina mendadak ngidem jadi kasir toko ala Matahari dengan kearifan bule tersebut.
Semuanya berakar dari ketakutan Devina. Lebih tepatnya ketakutan gue, dia, dan berjuta-juta orang lainnya di pelosok dunia.
Takut miskin.
Terus, kalo misalnya lo kerja jadi kasir Target, lo gak miskin, gitu?
Sayangnya, kita gak bisa berasumsi kalo kerja jadi kasir di luar negeri sama nasibnya kek kalo kita kerja sebagai kasir di Indonesia. Okelah kalo lo gak bisa jadi orang kaya dengan kerja sebagai kasir, tapi lo pastinya bakal jauh, JAUH di atas garis kemiskinan kalo lo jadi kasir di luar negeri. Versi singkatnya: duit lo cukup buat lo hidup. Simpel aja.
Kehidupan yang simpel dengan kerjaan yang simpel. Itulah yang diincer Devina. Tanpa tetek-bengek muluk-muluk kek manjat tangga korporat, berurusan dengan politik perusahaan, berjuang bertumpah keringat dan darah demi dapet promosi--nop, not everybody got time for that.
Itu, dan sebuah film rilisan tahun 2013 berjudul Safe Haven.
Ada apa dengan film adaptasi novel Nicholas Sparks tersebut?
Well, konon, kata Devina, tokoh utama cewek di film tersebut berkerja sebagai seorang kasir di sebuah pelabuhan kecil yang sering jadi tempat persinggahan. Rest area lah, kurang lebih. Kehidupan yang simpel, kek apa yang Devina dambakan.
Lagian, menurut Devina,
"Gue capek gitu keknya, kalo disuruh mimpi."
Tenang aja, Dev.
Kasir Target? Gue yakin lo bisa. Lebih dari itu? Apalagi.
Bahkan, gue yakin lo bisa bikin blog review film yang lebih bagus dari gue.
Toh, lo tau sendiri, lo bisa menemukan kedalaman di film yang paling cetek sekalipun.
Yep, gue yakin.
Satu pertanyaan terakhir sebelom gue tutup ni section.
Lo mungkin adalah seseorang berselera tinggi yang bisa nge-review film lebih bagus dari gue, lebih dalam dari gue, dan lebih berfaedah dari gue. Lo, gue yakin, lebih pinter dari gue. Lebih punya selera, seenggaknya.
But can you do this?
This? This apaan?
Ah, lo tau sendiri lah, Dev.
Lo tau kan, Dev?
'Kan?
#FanGal: Rares
Fangirl.
Sebuah penggabungan dari dua kata fan dan girl. Kata fan sendiri adalah perpendekan dari katafantastic fanatic, yang berarti, ehm, 'ditandai oleh entusiasme yang berlebihan dan terkadang dedikasi tanpa pamrih' (Merriam-Webster). Girl adalah sebuah kata Inggris yang berarti 'wanita muda yang belom menikah'.
Kata fan sendiri baru masuk ke kamus besar bahasa Inggris tahun Agak aneh juga, ngeliat kata tersebut.
Di satu sisi, kita semua, termasuk gue, one way or another, adalah fangirl/boy. Kita pasti punya kesukaan yang berlebih terhadap sesuatu. Bahkan, gue bisa bilang seluruh anggota Babes adalah fangirl terhadap satu hal. Sasa adalah fangirl Megaman. Difa adalah fangirl Harry Styles. Gue fanboy Jojo's Bizarre Adventure. Haniya adalah fangirl--wait for it--Maxime Bouttier. Kita semua di sini adalah penggemar sesuatu atau seseorang.
Di sisi yang lain, fangirl sendiri adalah sebuah fenomena yang agak susah masuk di akal. Ngedenger kata fangirl, gue langsung kebayang cewek-cewek ultra-antusias yang biasanya suka nongol di konser BTS ato EXO ato kawan-kawannya itulah. Yep, mereka-mereka yang teriak 10x lebih keras dari lagu konser tersebut, bahkan sampe kita gak tau yang manggung lagi nyanyi lagu apaan (ini pernah kejadian sama The Beates, btw). Mereka-mereka yang semua konten Twitter-nya adalah retweet-an dari semua tweet berita, fakta unik, ato bahkan sekadar rumor mengenai idola mereka, yang display picture social media-nya bukan muka mereka sendiri tapi muka cowok Korea/bule/Indonesia ganteng, dan yang isi kamarnya diselimuti oleh merchandise idola mereka, dari tembok, lemari, tempat tidur, sampe ke langit-langit kalo perlu.
Kek gituan, gue kira gue cuman bisa liat di TV. Ato di berita. Ato dimanapun selain di sekitar gue. Anggep aja kek kangguru. Senyata-nyatanya si kangguru, dia gak bakalan tiba-tiba nongol depan rumah gue, kan?
Begitulah sampe gue kenal--dan deket sama--Rares.
Singkat cerita, Rares adalah fangirl terhadap banyak hal. Inget, fangirl. Terhadap lebih dari satu hal. Bukan cuma sekadar 'suka' ato 'tertarik' terhadap banyak hal kek yang gue (dan banyak orang) lakukan, tapi udah masuk ke bener-bener ngefans dan cinta mati.
Tentu saja pernyataan gue ini adalah efek samping dari pengamatan, observasi, dan analisa gue setelah masuk peer group Babes dan otomatis jadi temen Rares selama kurang lebih satu tahun BUT sebenernya istilah Rares sebagai seorang fangirl-banyak-hal udah mengambang lebih lama dari itu.
Lebih tepatnya, Korea. Fangirl terhadap Korea. Boyband, drakor, artis ganteng, dan temen-temennya itulah.
See, di semester-semester awal, kurang lebih semua tugas melibatkan sebuah unsur krusial: e-mail. Surat elektronik. Bukan cuma buat ngirimin tugas doang, tapi buat berbagi file-file kek soal tugas, materi perkuliahan, buku-buku referensi, bahkan sampe ke soal ujian. Oke, mungkin buku referensi gak langsung dikirim via e-mail, tapi mereka seringnya ditaro di Google Drive. Yang mana harus diakses via e-mail. Kurang penting apa, coba?
And guess what, salah satu dari sekian banyaknya tugas kuliah gue di semester satu melibatkan Rares. Lebih tepatnya, dia temen sekelompok gue. Satu-satunya temen sekelompok gue sebenernya, soalnya satu kelompok isinya dua orang. Dan kita bekerja lewat e-mail.
Actually, ada kisah di balik penemuan ke-fangirl-an Rares ini.
Let's just say, di satu dan satu-satunya kesempatan gue sekelompok bareng Rares, ada unsur ketololan. Ketololannya bukan dari dia, bukan dari gue. Tapi tetep aja tolol parah.
See, kita dipasangkan buat mengerjakan tugas dalam mata kuliah Pemasaran. Marketing, kalo istilah KKI-nya. Kita kuliah setiap hari Kamis jam 11 siang (yekali 11 malem), dan di setiap hari Kamis tersebut selalu ada presentasi oleh kelompok-isi-dua-anak yang udah dibagi sama dosennya. Setiap kelompok bakalan dapet giliran maju ke depan kelas buat presentasi sekali.
Simpel aja, kan?
Sayangnya, kita belom ke bagian mantepnya.
Bagian mantepnya adalah,
setiap presentasi udah harus dikirim ke e-mail dosennya hari Selasa sebelom presentasi jam 22.00 WIB dalam bentuk soft copy.
Eh salah, itu bukan bagian mantepnya. At least, itu bukan bagian TER-mantep dari kisah kecil ini.
So, slide presentasi udah harus kelar dua hari sebelom kita beneran presentasi. Bukan cuma udah kelar, tapi udah harus dikirim ke dosennya. Dua hari sebelom presentasi. Agak mengganggu mental deadliner tulen yang gue punya, tapi gak papa. Toh gue dan Rares cuman bakal maju sekali, dan abis itu gak ada lagi yang namanya tugas-dikumpulin-rada-kecepetan kek matkul Pemasaran ini. Lagian, gue liat, pasangan kelompok yang lain keknya gak ada masalah sama beginian, semuanya lancar ngumpulin tepat waktu tanpa kena semprot dari dosennya.
Intinya, tenang. Zen. Kalopun gue lupa, Rares ato dosennya pasti ngingetin gue. Pasti salah satu kita bakalan inget. Gak bakal ada masalah, kan?
Well, kalo gak ada masalah apa-apa, gue gak bakal ceritain, ya nggak sih?
Waktu itu hari di minggu yang sama gue presentasi.
Gue lagi ongkang-ongkangan di kamar kosan gue. Main game? Fallout 4? Ber-Instagram ria? Ngeliatin video Chandra Liow yang terbaru? Entahlah, tapi intinya gue gak lagi mikirin soal tugas itu sama sekali. Gue tenang-tenang aja. Kek yang tadi gue bilang, pasti ada yang inget. Ato ingetin. Sebelom hari Selasa jam 10 malam.
*BRRRT* hape gue geter.
WhatsApp dari dosen Pemasaran gue.
"Mo, kamu belum mengumpulkan presentasi, ya? Kamu presentasi minggu ini, bukan?"
Gak mungkin dia salah ngirim ke anak lain yang entah gimana presentasinya minggu itu juga, soalnya jelas-jelas dia taro 'Mo' di depan pertanyaan tersebut. Gak ada 'Mo' lain di kelas gue, kecuali lo mau maksain ke nama Adri yang notabene nama depannya Muhammad dijadiin Mohammad, terus dipanggil dari 'Mo'-nya doang.
Ehm.
Kenapa dia harus nge-WA gue? Mungkin dia ngingetin. Baik juga si mbak.
Penasaran, gue buka jam hape gue.
Jam 22.30.
Sial. Lewat. Pantesan aja dia ngingetin gue, Selasa jam 10 malem lom dikumpulin.
Mau gitupun juga, gue yakin kalo gue dan Rares gercep se-gercep-gercepnya, kita bisa ngelarin sebelom jam 11 malem. Apes-apesnya, ini tugas kelar jam 23.00. Lebih apes lagi, ni tugas baru kelar sekitar jam 12-an. Telat sih telat banget, tapi dia masih ada banyak waktu buat meriksa slide-nya, kan?
It's not like itu slide dikumpulin hari Kamis pagi, kan?
Kan?
Mata gue berpaling ke nama hari di hape gue.
Rabu.
Bukan Selasa.
Rabu. Wednesday.
Mampus.
Otak gue langsung kebanjiran banyak banget pikiran. 90%-nya adalah kata kotor, 5%-nya adalah 'kok lo bisa lupa, dah?' ato 'goodbye dah, nilai lo.' Tapi 5% sisanya itu yang paling menonjol dari benak lainnya.
'Kok lo masih planga-plongo aja? BURUAN KABARIN SI RARES!'
Minta maaf ke si dosen tersebut, buka LINE, ngabarin Rares.
Gue sempet diterpa ketakutan kalo dia udah tidur, tapi at that point tingkat ke-bodo-amat-an gue udah 110%. Kalo dia udah tidur, gue gak bakalan buang waktu nelpon dia 10x buat bangunin dia. Sikat aja tugasnya sendiri. Yep, se-desperate itu. Tidur jam 3 pagi? Salah sendiri lo kelupaan ada tugas.
[Side note: percakapan LINE gue dan Rares aslinya gak mengandung tanda baca dan EyD.]
"RES!" pesan terkirim jam 22.35.
'"apaan?" pesan masuk jam 22.37.
Baguslah, dia masih bangun. Dan baguslah lagi, dia fast respond. Gue langsung ngetikin situasi tolol yang kita lagi hadapi, tapi sebelom gue sempet bales lagi, keluar pesan dari dia.
"KITA PEMASARAN MAJU MINGGU INI YA, MO!?" pesan masuk jam 22.38.
Yep, kita saling tau kalo satu kelompok, kita berdua udah janji buat saling ngingetin, and yet gak ada satupun dari kita berdua yang tau kapan sebenernya kita harus maju. Kompak sampe ke lupa-lupanya. Ntaps, Res.
Singkat cerita, kita bertukar alamat e-mail biar kita bisa kerja bareng meskipun kita gak bareng. Yep, itulah kegunaan e-mail pas gue kuliah. Kerja kelompok virtual.
Dari situlah, gue tau e-mail dia.
*********13@yahoo.co.kr.
Yahoo.co.kr. K-R. As in, Korea.
Langsung curiga aja gue. Ni anak penggemar anything related to Korea. Saking sukanya, sampe-sampe region buat e-mail dia ditaronya di Korea. Buseng. Lebih ke suudzon sih itu, tapi dari situ gue udah memasang rambu kalo Rares ini teramat-sangat besar kemungkinannya adalah penyuka Korea. Lagian, ngapain lo taro region lo di Korea kalo lo bukan penggemar atau seenggak-enggaknya tertarik terhadap Korea?
Oh ya, gimana kabarnya tugas bersama gue dan Rares itu?
Kelar jam setengah 2 pagi. Yang mana menyebabkan gue tidur kemaleman (obviously). Which leads to gue bangun jam 10.55. Which leads to gue telat masuk kelas. Yang mana pada saat itu Rares udah nge-LINE gue berkali-kali, mungkin takut gue gak masuk dan bikin dia presentasi sendirian. Yang mana pada saat gue masuk kelas, Rares udah di depan, baru aja mulai presentasi. Yang mana pas gue presentasi, otak gue ngablu tingkat akut. Ya gimana gak, 15 menit sebelomnya aja gue masih ngorok.
But hey, gue gak digoreng sama dosen gue!
Diliat dari sisi positifnya yang lain, seenggaknya dua hari gendeng tersebut adalah langkah pertama menuju penyelidikan mendalam gue terhadap unsur ke-fangirl-an dari Rares.
So, Korea.
Setelah gue menggali intel dari sumbernya langsung, fangirling Rares lebih terfokus ke sektor boyband. Seengaknya, pas gue tanyain dia (8/6), dia bilang dia lebih ke boyband. Oke then. Pas gue tanyain soal aktor, dia cuman nyebut satu aja aktor drakor (drama Korea) kesukaan dia, Lee Sang-yeob. Meskipun gue 99% yakin oppa Sang-yeob bukan satu-satunya aktor yang dia suka.
Yaudah, siapa aja?
"Semuanya," dia bilang.
Say again, what?
"Semuanya, kecuali Black Pink," itulah versi lengkap pernyataan dia.
Yaelah, gimana dia mau suka boyband Black Pink? Bukan gara-gara dia gak suka ato gara-gara mereka jelek, tapi gara-gara sebuah alasan yang jauh lebih simpel dari itu: Black Pink gak bisa memenuhi syarat dasar dari sebuah boyband. BOY-band. Yep, isinya cewek semua.
Not like Rares emang gak suka Black Pink sih. Yang itu dia ngefans juga. Itu, dan iKon.
Dan setelah gue gali-gali lagi, ini bukan pernyataan ngawang. Dia bukan tipe-tipe yang ngomong, "Oh, gue suka semuanya," tapi yang dia beneran suka cuman specifically satu cowok ganteng dari satu boyband berisikan 15 cowok.
Dia. Suka. Semuanya.
Keliatan dari Snapgram dia, sih.
Wait, ada apa dengan Snapgram dia?
Masih inget analisa gue terhadap Difa dan kesukaannya terhadap kucing Anggora-nya, Gluki?
Kalo diterjemahin ke dalam Snapgram, seberapa suka kah Difa terhadap kucingnya ini?
Dari 5-10 story, 3-4 story berisikan kucing dia.
Rares?
20 story, 20 tentang Korea.
Oke, ini angka lebay. 20 story, 15 tentang Korea.
Then again, gue inget pernah ngeliat deretan snapgram isi 20 story yang isinya boyband Korea semua. Just for that one day, though.
Trus dari lo pada ada yang mikir, "Ah, gak mungkin, Mo! Masa' dua puluh-dua puluh-nya isinya Korea semua? Pasti ada 5-10 story yang dia gak lagi mantengin Korea, kan?"
Dan lo, as a matter of fact, bener. Dari 15 story tersebut, ada 5-10 story yang bukan berupa dia naro kamera hape-nya di depan TV nontonin boyband kesukaannya.
Tapi, kek yang tadi gue bilang: TENTANG Korea.
Yep, kamera gak lagi nyorotin TV, tapi lagi nyorotin muka dia pas dia lagi 1) ikutan nyanyi lagu boyband tersebut, 2) joget ngikutin lagu tersebut ft. shaky cam yang ngalahin film action, 3) caption dia yang menyatakan kesukaan dia terhadap boyband tersebut, atau 4) dia ngomongin boyband tersebut ala-ala vlogger lagi nge-review makanan Go-Food.
Ah, how do I put this?
Kalo bicara soal fangirl, gue langsung berpikir mereka ini suka sama sesuatu secara teramat sangat. Sesuatu. SE-suatu. Satu hal. Satu subjek dalam sebuah bidang. Sasa suka Megaman, satu subjek dalam bidang gaming. Difa suka Harry Styles, satu subjek dalam bidang cowok-penyanyi-ganteng. Satu subjek, satu entry, dalam satu bidang.
Rares dalam bidang boyband Korea suka sama...semua subjek.
Ini mah udah bukan fangirl lagi. Master of fangirl. M.fg pangkatnya.
Jatoh-jatohnya, gue deket bukan cuma sama fangirl semi-fiktif yang biasa gue liat di TV. Gue deket sama master of fangirl yang bahkan sesama kaum fangirl anggap semi-fiktif.
I mean, holy shit!
Ehm.
Buat sekarang (8/6), dia suka NCT, sih.
Dan lo pada mesti tau, kesukaan Rares JAUH lebih dari sekadar Korea doang. Korea? Pffft, itu cuman puncak gunung es dari ke-fangirl-an Rares. Dan ke-fangirl-an terhadap Korea yang gue ceritain? Itupun juga masih masih daerah permukaan dari unsur fangirl yang Rares punya terhadap Korea.
Kek this one time dia minta Praya nge-photoshop mukanya--I repeat, mukanya--ke foto Mark NCT dengan seorang penggemar. As in, muka penggemar tersebut diplasterin muka Rares. Well, Praya yang mulai dengan menawarkan diri di group chat Babes gara-gara gabut, tapi Rares-lah yang ngambil kesempatan tersebut.
Singkat cerita aja, soalnya gue rasa ini postingan udah kepanjangan. Mon maap nih, Res.
Sejauh ini, Rares adalah fangirl yang luar biasa. Yang gue pikir ketemu langsung aja udah susah banget, apalagi jadi temen. Kek, menurut gue, ketemu--dan temenan sama--fangirl tipe beginian udah kek ketemu burung cendrawasih di Kebun Raya Bogor. Mungkin suatu hari bakal terjadi, tapi 'suatu hari' itu mungkin adalah kurang lebih 50 tahun dari sekarang. Yep, susah banget.
Tapi ada satu kisah yang membuat dia bener-bener stand out dari fangirl lainnya. Bahkan, gue rasa ini adalah kisah yang bikin dia stand out dari--kalo ada--sesama pemegang gelar M.fg.
Ini kejadiannya pas beberapa hari setelah sebuah berita sedih yang melanda dunia K-Pop.
Lebih tepatnya, berita duka.
Meninggalnya Kim Jong-hyun.
Singkat cerita, pada hari itu, seluruh dunia K-Pop berduka. Gak sesama boyband, gak girlband, gak manajemen, gak penyanyi solo...semuanya.
Tapi gue rasa yang paling terpukul adalah pihak fans. Para penggemar.
Di hari beredarnya kabar Jong-hyun meninggal tersebut, feed social media gue kebanjiran ucapan belasungkawa. Ucapan belasungkawa, hashtag #StayStrongShawols , tulisan RIP raksasa, emoji nangis, foto item-putih si Jong-hyun, semuanya membanjiri feed Instagram dan LINE gue. Semua untuk orang yang gue gak kenal. Yang mana bikin gue kebingungan setengah idup. Not that gue gak suka dia, sih. Orang dia siapa aja gue gak tau, gimana gue mau ikutan sedih?
Rasanya, meninggalnya personil Shinee tersebut menyebabkan kesedihan massal. Bukan cuma penggemar Shinee dan Jong-hyun doang, tapi, kek yang tadi gue bilang, penggemar K-Pop in general.
Yep, ini adalah berita yang menyedihkan.
Tapi gue gak nyangka bakal ada yang sesedih ITU.
Itu? Itu gimana? Sedih sampe berapa?
Gimana kalo sedih sampe depresi?
Gimana kalo sedih sampe mau mati?
Gimana kalo sedih sampe NYOBA BUNUH DIRI?
No joke, kurang lebih dua hari setelah berita bunuh diri Jong-hyun beredar, gue kedapetan berita bunuh diri lainnya. Lebih tepatnya, berita PERCOBAAN bunuh diri. Fiuh, untung doi masih hidup.
Dilansir dari www.tribunnews.com , dua fans Jong-hyun di Indonesia kedapatan mencoba bunuh diri setelah meninggalnya superstar K-Pop tersebut. Gak ada detail mengenai kedua percobaan bunuh diri tersebut kek modus operandi, saksi mata, barang bukti, dan kawan-kawannya itulah, tapi that's that.
Percobaan bunuh diri. Dua fans. Di Indonesia.
I mean, berita meninggalnya oppa Jong-hyun emang sedih.
Tapi gue gak nyangka bakalan ada yang sedih sampe SEGITUNYA.
Damn.
Gue tau Rares pasti sedih. Berduka.
Tapi apakah dia sesedih dua fans itu juga?
I imagine Rares sebagai seorang penggemar K-Pop gelar master fangirl pasti terpukul banget. Jangankan Rares, fans K-Pop casual aja sedih, apalagi yang kelas kakap kek dia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut gue dapetin kurang lebih 5 jam setelah berita itu beredar. Dalam bentuk Snapgram. Dari akun Instagram Rares sendiri.
UPDATE (11/6): pas gue tanyain, ternyata Rares udah lupa. Lupa, ato mungkin ternyata 'Snapgram' tersebut datengnya bukan dari Rares alias gue salah intel. Syit. Either way, dia minta maaf buat ketiadaan informasi ini.
"WKWKWKWKWKWKWK MON MAAP SEKELUARGA :(" katanya di LINE setelah gagal mengingat.
[Side note: 'mohon maaf sekeluarga' adalah catchphrase Rares. Mirip-mirip lah, sama 'kangen Dion'-nya Nisya atau 'ya gue emang kek gitu'-nya Difa. The more you know, right?]
Anyways, lanjut.
Tetep aja gue tanyain pendapat dia tentang situasi dua-fans-yang-nyoba-bunuh-diri tersebut meskipun dia sendiri sebenernya udah pernah berpendapat sebelom gue tanyain. Eh, apaan sih?
"Yaudah, apa pendapat lo tentang fans yang nyoba bunuh diri itu?"
"Apa ya, hmmmm," balas Rares.
*semenit kemudian*
"Menurut gue, daripada suicide mending tobat, deketin diri sama yang di atas," katanya. "Idup lo bukan sekadar oppa oppa Korea doang, mereka kenal lo aja enggak."
Dan karena ini LINE, dia tutup dengan
"-Rares 2018"
"Lo sendiri pastinya sedih kan, pas Jong-hyun meninggal?" tanya gue lagi.
"YE MENURUT LO?" balasnya, literally pake caps semua.
"Tapi gak nyampe segitunya, kan?"
"Iyes bener Mo, gak segitunya."
There you have it, folks.
Sedih sih boleh, tapi bunuh diri gara-gara idola lo meninggal is a little too much, don't you think?
Tengoklah Rares, master fangirl, pakar K-Pop tingkat tulen, yang pastinya terpukul pas Jong-hyun meninggal, kentara banget dari chat-nya dengan gue.
Apakah dia bersedih terus sampe berlarut-larut? Enggak.
Apakah dia membiarkan meninggalnya idola dia ini memengaruhi kehidupan dia? Nop.
Terpenting,
apakah dia jadi berpikir irasional?
Hell no.
Granted, dua fans Jong-hyun tersebut punya masalah tersendiri yang lebih gede dari sekadar kecintaan mereka terhadap idol K-Pop tersebut. Menurut artikel dari Tribun yang gue taro di atas, dua-duanya punya masalah dalam kehidupan mereka, yang mana satu fan kedua orang tuanya udah meninggal dan fan yang lain datang dari broken home. Seakan-akan Jong-hyun adalah 'perlindungan' mereka, sumber kebahagiaan mereka di saat kurang lebih semua dalam kehidupan mereka amburadul.
Then again, suicide is never an answer. Never was, never is, and never will be.
Sedih itu boleh. Sedih ketika idola lo meninggal itu boleh. Sangat wajar. Gue juga bakalan sedih kalo suatu hari tiba-tiba gue dapet kabar kalo idola EDM gue, Avicii, meninggal dunia. Oh, wait...
Point is, lo gak boleh lupa kalo lo sendiri punya kehidupan. Kehidupan nyata, yang lo jalanin sekarang banget, yang jauh terlepas dari dunia K-Pop tersebut. Kehidupan nyata yang lebih dari sekadar jatuh-bangun, single-taken, mati-idup-nya bintang K-Pop kesayangan lo. Your life, right here, right now. That's all that matters.
Dan itu dia yang bikin Rares seorang fangirl yang luar biasa.
Segila-gilanya dedikasi Rares terhadap fandom-nya, dia gak membiarkan kegemarannya ini menghalangi akal sehat dia. Dia gak terbutakan oleh kesukaannya terhadap K-Pop.
Se-fangirl-fangirl-nya Rares terhadap K-Pop, dia gak lupa kalo masih ada kehidupan nyata yang harus dia jalanin, lengkap dengan segala masalah-masalahnya.
Segede-gedenya kesukaan dia terhadap fandom-nya,
Rares gak kecanduan.
Gak berlebihan.
Dan itu, kawan-kawan.
Itulah yang bikin dia truly stand out di antara sesama fangirl. Bahkan di antara sesama master fangirl.
Res,
you truly are an extraordinary fangirl.
Di antara golongan fangirl dan bahkan master fangirl sekalipun.
Not only that lo punya kesukaan yang sangat luas, merata, dan not to mention dalem terhadap semua aspek dari fandom lo tanpa terkecuali, tapi lo juga gak membiarkan kesukaan lo ini bikin lo jadi irasional. Lo berdedikasi tingkat tulen tanpa ngilangin mikir. Bener-bener kombinasi yang seimbang.
Fangirl yang luar biasa.
Salah.
Fangirl yang sesungguhnya. Teladan fangirl yang semestinya.
A true fangirl.
#EmoGal: Sandra
Sandra aka Dewi.
Demi apapun, nama dia bukan Sandra Dewi. Kalo lo ngiranya dalam nama dia ada unsur nama 'Sandra' dan 'Dewi', lo bener. Tapi nama dia bukan Sandra Dewi. Lebih-lebih lagi, gak ada dalam nama lengkap dia ada 'Sandra Dewi' yang berjejer barengan dengan unsur nama 'Sandra' yang disebutkan pas sebelom unsur nama 'Dewi'.
Sial, gue lagi kehabisan topik, ya?
Ehm.
Sandra.
Kalo kita menilik Sandra, kita harus balik lagi ke jaman-jaman semester satu. Jaman-jaman gue lom tau ada yang namanya Babes. Jaman-jaman peer gue masih tu dua orang, Ali dan Adri (astaga li dri, jangan baper lah, you both are still my homies kok hehe).
Jaman-jaman gue lom deket sama anggota Babes yang sekarang.
Waktu itu masih minggu pertama banget kuliah. Hari Jumat.
"Eh, ini siapa, dah?" tanya Adri sambil ngeliatin kertas presensi kelas.
"Siapa... ya siapa, dri?" balas gue.
"Ini," pungkas Adri sambil menunjuk ke sebuah nama di daftar absen.
Nama Sandra.
Sedikit bocoran: nama Sandra panjang banget, kurang lebih lima kata, tentunya dengan unsur nama 'Sandra' dan 'Dewi' di dalamnya. In other words, Adri gak mungkin salah nunjuk.
"Dia sampe sekarang lom pernah masuk, yak?" lanjut Adri.
"Eh iya yak, gue aja sampe gak nyadar kita masih ada satu anak lagi," kata gue.
"Mana, mana," timbrung Ali, ngeliatin daftar absen. "Salah kelas, kali? Eh, tapi gak mungkin juga, ya?"
"Hmmm, ni anak misterius, ya. Keren juga," ujar gue.
Pasalnya, selama satu minggu pertama tersebut, Sandra gak pernah muncul sama sekali di kelas. Bukan cuma hari pertama ato hari kedua yang biasa orang lakuin, tapi bener-bener SATU MINGGU. 5 hari kuliah, gak ada satu hari pun dari lima hari tersebut dia muncul. Lom lagi gak pernah muncul intel ato kabar ato informasi mengenai keberadaan Sandra. Pastinya dia seorang cewek (kecuali sekarang mereka udah mulai ngasih cowok nama 'Dewi'), tapi other than that, nothing.
Fast forward ke minggu depannya.
Nampaknya, gue baru dapet kabar dari Sandra dua minggu setelah pertama kali masuk kuliah. Langsung dari orangnya. Tanpa perantara. Antara gue duluan yang contact-an sama dia ato dia duluan yang tiba-tiba nge-LINE gue, gue gak tau. Lebih tepatnya, lupa.
Yang gue inget adalah alasan dia sempet 'ngilang' selama kurang lebih dua minggu.
Operasi usus buntu.
"Wew, tapi lo udah bisa masuk minggu depan?" tanya gue di LINE.
"Udah bisa kok, Mo," balas Sandra. "Pelajarannya mata kuliahnya udah nyampe mana aja?" lanjutnya.
"Ya, kebanyakan mata kuliah baru masuk perkenalan sih," jawab gue. "Palingan ada mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang udah ada tugasnya."
"Tugasnya apa Mo?"
"Presentasi sih, digilir, mulainya minggu depan. Seinget gue lo masih lama, sih."
"Oalah, oke-oke," tukas Sandra. "Selain itu ada apa lagi?"
"Udah sih, yang udah ada tugasnya palingan itu aja."
"Okeee, makasih banyak ya Mooo," tulis Sandra di LINE.
"Iye sama-sama," jawab gue.
Well, she seems nice, itulah yang lewat di pikiran gue setelah selesai ngabarin Sandra. Sejujurnya, first impression gue terhadap Sandra gak ada masalah. Bagus, malahan. Lebih bagus dari beberapa anggota Babes yang sekarang lebih deket sama gue, e.g. Difa.
She seemed nice, and she IS nice, apparently. Pernyataan gue gak berubah.
Loncat ke beberapa minggu kemudian, Sandra menjadi salah satu temen deket gue. Tentu saja ada the two guys, tu dua orang, dua manusia yang jadi selalu jadi peer gue, tapi surprisingly gue lumayan deket sama Sandra. Gak canggung ketika ketemu, gak canggung ketika ngomong, dan tentunya gue gak ada rasa dongkol kalo ngomong sama dia, gak kek--you know what, gue rasa gak perlu gue sebutin. Lagi.
Oh ya, dan Sandra tau Skyrim.
Sandra tau Skyrim nama lengkap The Elder Scrolls V: Skyrim, salah satu game RPG paling mantep sejagat. Kata gue, ini dia satu unsur yang bikin kita bisa jadi lebih deket. Adanya kesamaan field of experience. Suatu kesamaan di bidang pengalaman/pengetahuan yang bisa jadi bahan omongan selama berjam-jam. Come to think about it, gue emang udah pernah ngobrolin Skyrim sama Sandra selama lebih dari satu jam. Apakah Sandra tau lebih dari sekadar Skyrim? Entahlah, gue gak pernah nanyain lagi? Gimana, Dra?
Lebih lagi, Sandra pernah ngasih gue sebuah souvenir dari pengetahuannya terhadap Skyrim.
Secarik kertas berisikan tulisan nama gue dalam dovahzul--bahasa naga--yang terdapat dalam Skyrim. Bahasa yang cuman digaungkan oleh kawanan naga dalam game tersebut. Bahasa yang saking kerennya, mereka punya dialek sendiri, aksara sendiri, dan makna tersendiri dalam setiap katanya. Bahasa para naga. Wow.
Somehow, Sandra tau (atau seenggaknya, punya waktu buat mencari tahu) bahasa tersebut, dan suatu hari nanyain ke gue
"Eh Mo, kamu mau gak, nama kamu kutulisin dalam dovahzul?"
[Side note: Sandra orang Magelang, sebuah daerah di mana yang namanya 'gue-lo' gak seberapa lazim di sono. Yang ada, mereka ngomong pake 'aku-kamu', mau itu orangnya pacar mereka ato bukan. Sedikit konteks aja, sebelom ada yang mikir kejauhan.]
"Woooo, lo bisa, Dra?" tanya gue. Sandra mengangguk.
Dan pikiran gue waktu itu adalah, sure, why not? Itulah pikiran gue, dan itulah jawaban gue ke pertanyaan dia.
Besoknya, dia dateng ke gue, membawa secarik kertas putih dengan tulisan dovahzul dari nama depan gue, Anselmo. Tulisan tersebut terdiri dari aksara bahasa naga yang mewakili setiap huruf dari nama gue. Setiap huruf diwakili oleh sebuah aksara.
Ya gue bisa aja cari di Google, but the fact that dia beneran nyari tau tentang (kalo dia lom tau sebelomnya) dan nulisin aksara tersebut dan ngebawain souvenirnya ke gue besoknya, that's real nice. Not a lot of people would've done that.
Apa yang tadi gue bilang? Seemed nice and IS nice. Seenggaknya, di singkatnya waktu gue bertemu dengan dia di semester satu.
Hold up.
#EmoGal ? Ada apa dengan itu?
See, ini adalah sesuatu yang gue temuin SETELAH semester satu. Setelah gue udah gak sekelas lagi sama Sandra. Setelah Sandra masuk peminatan kuliah PR/Public Relations/Humas dan gue masuk peminatan Advertisement/Periklanan.
Mungkin Sandra udah gak sekelas lagi sama gue, tapi dia adalah anggota Babes. Dan Babes punya group chat LINE sendiri, dengan Sandra sebagai salah satu anggotanya.
Waktu itu, anak-anak PR baru ngelarin tugas mereka. Bikin video tentang self-advertising. Ato self-public relations. Ato self-marketing. Ato self-communicating. Entahlah, intinya mereka bikin video tentang seberapa gunanya PR menurut diri mereka. Itu yang gue tangkep, sih.
Video-video ini murni buatan mereka. Artinya, masing-masing anak harus bikin konsep video sendiri, nge-direct video mereka sendiri dengan segala tetek-bengeknya, dan meng-edit sendiri. Semua serba sendiri. Jatoh-jatohnya, setiap video dari setiap anak PR punya style yang teramat sangat beda dari satu anak ke yang lain.
Selain Sandra, gue bakal ambil dua contoh lain yang paling gampang: Ali dan Adri.
Ali ngambil tema (kalo gue gak salah ya li) 'Famous or Notorious'. Gimana caranya PR bisa memutarbalikkan reputasi seseorang dari yang tengkurep jadi mantep ato sebaliknya. Di video tersebut, Ali memerankan seseorang yang jelas-jelas masuk ke lingkup 'notorious'--DM Instagram dia isinya negatif semua, orang-orang risi sama dia sampe gak mau duduk di sebelah dia di bangku taman, dan bahkan tukang nasi goreng aja nolak ngejual ke dia. Meskipun agak susah dibayangin mengingat Ali sendiri jelas-jelas jatoh ke lingkup 'famous' di kehidupan nyata.
Adri ngambil tema... yang gue udah lupa temanya apa. Yang gue inget adalah konten dari videonya Adri ini: sebuah wawancara antara orang HRD dan para pengincar lowongan kerja. Kalo gue gak salah inget, mereka-mereka yang punya skill PR dan komunikasi yang bagus diterima. Simpel aja message-nya, gak usah muluk-muluk. Eh, deskripsi gue bener kan, Dri?
Dah, itulah pekerjaan sebuah tugas-bikin-video-dari-anak-PR versi Ali-Adri.
Sandra?
Ah, how do I put this?
Penilaian gue terhadap Sandra sebagai seorang #EmoGal hampir aja seluruhnya berasal dari tugas dan tugas ini aja.
See, yang mana anak-anak lain membawa video mereka dengan nada kek kehidupan sehari-hari yang lebih ringan dan terkadang mengandung unsur kocak, video Sandra jatoh-jatohnya kek film horor. I repeat, kek film horor.
Satu menit pertama dari video Sandra aja udah diiringi sama lagu pelan bernada mencekam, mirip dengan lagu-lagu music box yang biasanya ada di film horor. Mungkin itu gak seberapa serem, tapi lagu tersebut hanyalah latar dari key visuals mantep yang Sandra punya: serba gelap, item, mengandung unsur flashing lights (meskipun untungnya gak ada jump scare disitu) dan overall mencekam.
Semuanya itu dinarasikan oleh suara Sandra sendiri. Dan hoo boy, suara Sandra ini bagian termantep dari video tersebut.
Tau hantu anak cewek kembar yang ada di The Shining?
Let's just say suara Sandra rada mengingatkan gue sama tu dua anak cewek. Gak sama persis tentunya, mengingat mereka punya logat Inggris. Tenang, ringan, pelan, namun teramat sangat monoton, up to the point of ke-monoton-an suara tersebut bikin lo jadi gak nyaman.
Bukannya dia emang gak bisa berekspresi ato gak tau cara berekspresi yang baik dan benar, sih.
If anything, I'd say she did a good job.
Video tersebut rada twisted, gelap, dan emo lah, bisa dibilang. Kalo emang ini direction dan reaksi yang Sandra pingin, gue bilang sih dia mampu membawa suasana emo tersebut dengan sangat baik. Ntaps, Dra.
Gue masih inget, pas video ini beredar di group chat LINE Babes.
Beberapa anggota group tersebut bilang kalo video Sandra ini emang serem. Antara ada 'banget'-nya ato gak, gue lupa. Tapi serem. Difa, Haniya, dan Rares, kalo gak salah. And I'd say they are correct. Dari semua entry tugas-video-anak-PR tersebut, punya Sandra adalah yang paling beda, in the sense that punya dia adalah yang paling serem.
Sekali lagi, kudos to you, Dra.
Setelah satu kejadian tersebut, gue pun nyadar satu aspek lagi dari Sandra yang semacam memperkuat unsur emo dirinya.
See, ada suatu waktu dimana status LINE-nya adalah dua kata.
Macabre Phantasmagoria.
Di permukaannya, dua kata tersebut kedengeran random. Dua kata yang digabungin bareng gara-gara mereka berdua enak didenger. Dua kata yang gak saling berhubungan. Well, emang aslinya dua kata tersebut gak berhubungan, sih.
Tapi kedua kata tersebut punya arti tersendiri.
'Macabre' berarti 'sesuatu yang menyeramkan dikarenakan keterlibatan atau penampilan dari kematian atau luka'. Sesuatu yang melibatkan kematian sebagai tema sentralnya. Ato sesuatu yang pada dasarnya sadis atau mengerikan.
'Macabre' yang lain sebenernya adalah sebuah film Indonesia keluaran 2009.
Mungkin dari lo pada ada yang pernah denger film Indonesia berjudul 'Macabre' sebelomnya, tapi bagi yang gak familier, 'Macabre' adalah judul internasional dari film Rumah Dara. Masih gak tau juga? Versi singkat: film Saw dengan kearifan lokal. Ceritanya, satu geng temen-temen disambut seorang wanita bernama Dara ke dalam rumahnya, namun yang ada Dara itu sebenernya adalah seorang pembunuh ala-ala Leatherface, lengkap dengan starter pack-nya tersendiri kek chainsaw dan kawan-kawannya itulah.
Tu film dilarang diputar di Malaysia saking serem dan sadisnya. Sebuah pencapaian, mengingat belom pernah ada film Indonesia yang di-ban di Malaysia sebelom si Macabre ini.
Jadi, 'Macabre' yang mana yang Sandra sebenernya maksud di statusnya? Yang pertama ato yang kedua? Either way, dua konteks dari kata tersebut jatoh-jatohnya sama: horor.
Sementara itu, 'Phantasmagoria' gak seberapa serem, meskipun unsur seremnya masih ada.
'Phantasmagoria' adalah sebuah teknik yang dipake oleh teater-teater tema horor abad ke-19. Mereka pake banyak teknik buat bikin tema horor tersebut, salah satunya dengan make apa yang mereka sebut dengan magic lantern buat bikin gambar-gambar serem kek hantu, tengkorak, dan teman-temannya.
Intinya, horor. Lagi.
Pastinya ada konteks lagi mengenai kata 'phantasmagoria' ini yang gue gak temuin dari sesi riset 5 menit gue di Google. Entahlah, rasanya cuma Sandra yang tau.
So that's that. Dua kata bertemakan horor kelas kakap, dua-duanya dia jadiin status di LINE dia. Not that it's a bad thing, dua kata tersebut 1) enak didenger, suka gak suka, dan 2) adalah kata bertemakan horor yang lumayan dalem maknanya. Istilah keren dalam horor lah, istilahnya.
Emo? Kurang lebih.
Mungkin bukan emo beneran yang teramat sangat edgy dan benci terhadap kurang lebih segala sesuatu, tapi diliat dari estetika, Sandra nampak seperti seorang emo. Pembawaan dia serba gelap dan rada-rada disturbing, meskipun gue tau persis dia sendiri bukan orang yang kek gitu.
Like I said, she's a nice girl. Bukan emo beneran. Emo by appearance doang sih, lebih tepatnya. Bukan emo sesungguhnya yang kadang-kadang suka mikirin suicide, ato emo yang hobi dengan hashtag #Selfhurt ato #Selfharm , ato emo yang ansos, tapi emo yang sebenernya bukan emo.
Kalo udah kek gini, gak sepantasnya gue melabeli dia sebagai seorang #EmoGal , ya?
Tenang aja, Dra.
Di mata gue,
you are and always will be one of the nicer ones.
Menurut gue, seenggaknya.
#RightGal: Ghina
Percaya ato gak, Ghina is actually one of the classic ones.
Gue udah tau Ghina dari sebelom gue tau Ali-Adri. The more you know.
Percaya ato gak (lagi),
Ghina ada di sana pas gue pertama kali kenalan sama Ali dan Adri.
Gue lupa konteks macam apa yang terdapat dalam percakapan kita waktu itu, tapi gue ingeti dia ada ngomong,
"Haha, kita tampangnya gak kayak anak KKI ya, Mo?"
Gue cuman bisa ketawa pas denger pernyataan/pertanyaan dia waktu itu.
Hampir dua tahun kemudian, pas gue lagi nulis postingan ini (13/6), gue ngerasa dia pernyataan dia ada benernya.
Ada benernya as in Ghina-lah yang tampangnya gak kayak anak KKI. Pernyataan tersebut setengah bener, karena Ghina-lah yang bener-bener gak terlihat kayak anak KKI. Kayak anak dari Kelas Internasional.
Dan nop, ini bukan sebuah hinaan. Lebih ke pujian malahan.
And why is that?
Karena saking humble, sederhana, simpel, dan rendah hati-nya si Ghina ini, at first glance lo gak bakal nyangka kalo dia ini adalah bagian dari anak-anak KKI yang biasanya terkenal hedon, glamor, tajir, dan overall materialistik. Gue gak bilang semua anak KKI yang gue temuin kek gitu, tapi kalo misalnya ada yang ngomong kek gitu, gue gak bisa sepenuhnya nyalahin mereka juga.
So, Ghina.
The #RightGal . Cewek yang bener. Cewek yang saking bersahajanya, lo bisa ngira dia bukan anak KKI.
Ada dengan Ghina ini sebenernya?
Pertama-tama, #RightGal . Judul dari postingan ini. Kurang lebih julukan gue ke Ghina, meskipun postingan ini adalah pertama kali banget gue make istilah tersebut sebagai julukan terhadap Ghina.
Kenapa #RightGal ?
Let's just say that Ghina adalah anggota Babes yang paling alim.
Tentu aja, gak ada tipe-tipe nakal di geng Babes--seinget gue, anggota Babes yang terakhir berbuat nakal adalah Haniya, dan tindakan 'kenakalan' yang dia lakuin adalah membuka paksa pintu KRL yang udah ketutup. Yep, kita-kita ini emang sealim itu.
Which makes kealiman Ghina makin mengagumkan. Gimana caranya lo terkenal sebagai anggota yang alim di antara sebuah peer group yang semua anggotanya aja udah terkenal alim?
Entahlah, mungkin lo pada bisa tanya Ghina.
As far as I'm concerned, Ghina gak pernah terlibat sama yang namanya masalah-serius-yang-bisa-dijadiin-bahan-ghibah. Kalopun dia bener pernah terlibat sama begituan, gue bisa jamin kalo masalah tersebut datengnya bukan dari dia, tapi dari... ya siapapunlah selain dia. Dia emang sealim itu.
Yang ada, Ghina sering jadi korban ketidakbecusan orang-orang di sekitar dia yang menyebabkan masalah bukan cuma ke dia doang, tapi ke orang lain pula. Versi singkat dari kalimat 24 kata tadi: temen tugas kelompok yang gak becus. Ini gak berarti Ghina pasrah dan legowo aja sama situasi tersebut. Oh tidak, Ghina yang ultra-alim aja punya batas kesabaran tersendiri, dan itu kentara dari nada dia pas nyeritain ketololan dalam kelompok tugasnya.
Intinya, Ghina itu teramat sangat baik, tapi jangan lo anggep kebaikan tersebut sebagai kelemahan dia.
Kealiman Ghina sendiri bukan dateng dari gue doang. Satu Babes pun menyadari kalo Ghina merupakan anggota Babes yang paling, katakanlah, 'normal'. Bisa dibilang, unsur weirdo (yang pernah gue bahas di section tentang Sasa) yang terdapat pada Ghina jumlahnya paling sedikit. Difa sendiri pernah bilang, di Instagramnya, kalo Ghina adalah yang "gue rasa idupnya paling bener".
Dan gue setuju sama itu.
The #RightGal . Cewek yang bener. Bukan gara-gara Ghina adalah cewek yang paling bener buat semua cowok di sana, tapi cewek yang paling bener idupnya, yang paling gak bermasalah di segenap geng Babes ini.
Kalo dari gue?
Wait, what?
Kalo dari gue sendiri sebagai seorang anggota Babes, seberapa nice kah Ghina?
Astaga, lo mesti banget nanya itu, ya?
Alright, gue ada sebuah cerita singkat melibatkan sebuah percakapan LINE antara Ghina dan gue.
But first, konteks.
Kita sebagai manusia-manusia KKI ujung-ujungnya bakal melanjutkan kuliah kita ke luar negeri. Pas udah memasuki semester 5. Itu udah pasti, otherwise 'KI' di KKI gak berarti apa-apa. Gak ada yang namanya Kelas Khusus Internasional kalo udah kek gitu, yang ada ya... kelas aja.
Buat anak-anak Komunikasi yang tergolong dalam KKI, kita bakal melanjutkan pembelajaran kita ke Australia. Pulau Kangguru. Negeri Koala. The outback. The down under. The wildest place on earth, kalo menurut internet.
Di Australia, kita bisa melanjutkan perkuliahan kita ke salah satu dari tiga universitas di tiga daerah yang berbeda: Perth, Melbourne, dan Brisbane. Tentu aja tiga universitas ini adalah tiga universitas lokal, soalnya UI obviously gak punya cabang di luar negeri.
Gue dan Ghina, simply put, bakalan berangkat ke universitas yang berbeda. Gue ke Melbourne, dia ke Brisbane. Dikarenakan oleh kenyataan tersebut, otomatis tanggal masuk kuliah kita berbeda, yang mana menyebabkan tanggal berangkatnya kita ke sono juga beda.
Apakah kita udah clear di departemen perkonteksan?
Kurang lebih sebulan sebelom sekarang (14/6), pas gue lagi jalan-jalan di Kota Kasablanka, Ghina nge-LINE gue. Sebuah fenomena langka, mengingat gue dan Ghina lumayan jarang berkomunikasi lewat LINE sebelomnya. Kek, hal penting macam apa yang bikin dia sampe nge-LINE gue?
Ehm, anyways...
"Momoooo" nyampe di gue jam 16.49.
Dan gue gara-gara lagi jalan-jalan dan jarang ngeliat hape, baru ngebales jam 17.22.
"Yo, ghin."
Kurang lebih satu jam kemudian baru dia bales lagi. 18.31.
"Lo berangkat ke aussie kapan, Mo?"
Aussie di sini artinya adalah Australia. The more you know.
"Gue sih antara tanggal 25-28 Juni, Ghin."
Lagi-lagi, ada apa dengan Ghina dan pertanyaan ini? Bukannya gue risi ato ngerasa gak nyaman ato gimana-gimana, tapi simply kenapa? Pastinya dia punya alasan yang bagus buat tiba-tiba nanya gue perihal kapan gue cabut ke aussie, kan? Dia gak pernah ngangkat percakapan ini sekalipun sebelomnya, so why now?
"Lo gak bareng agent?" tanya Ghina lagi.
Agent di sini mengacu ke, you know, agent. Agensi pendidikan internasional (demi apapun, gue gak tau istilah yang bener apa) yang biasanya bertugas membantu dan memperlancar proses kita para mahasiswa menuju ke pendidikan di luar negeri. Briefing tentang apa yang harus dipersiapkan, apa yang harus dilakuin di sono, apa yang BISA dilakuin di sono, dan ngebantuin transisi kita. You know, the usual stuff.
"Kagak kayaknya," balas gue. "Agent-nya gak nganterin, sih."
"Lo berangkatnya sama siapa, dong?"
"Ya gue kalo gak bareng Vero, ya bareng Mayang-Ucha."
Wow, tiga nama baru di sini. Vero, Mayang, dan Ucha. Simply put, mereka juga anak-anak kelas advert. Ingat, kelas advert terdiri dari anak-anak lain juga, bukan cuma geng Babes doang.
"Lo gak nawarin bareng Devina?" tanya Ghina. Devina, si #TargetGal . You know the one.
Semper beredar kabar kalo Devina bakalan ngelanjutin kuliah ke Melbourne, satu kampus sama gue. Waktu itu dia masih lumayan bingung, soalnya dia sendiri tadinya ngincer ke Brisbane, tapi gara-gara satu dan lain hal, jalannya menuju kuliah di Brisbane jadi rada terhalang. Maka dari itu, dia jadi mempertimbangkan kuliah di Melbourne.
All that aside, Ghina lumayan cepet masuk ke inti permasalahan. Apakah gue ke Melbourne bakalan bareng Devina? Ato dia bakal ke sono sendirian? Dan diliat dari kata-kata yang dia pake, dia rasanya semacam MENGHARAPKAN gue ngajak berangkat bareng Devina. Ato seenggaknya, MENDUGA gue bakalan bareng Devina.
Dan gak, at that point, gue belom mempertimbangkan ngajak Devina. Tentu aja gue bakalan ngajakin Devina, tapi emangnya dia mau berangkat bareng gue? Di hari yang sama dengan gue?
"Devina berangkat kapan?" gue balas bertanya.
"Gak tau, coba aja tanya," jawab Ghina. "Lo udah harus kesana sebelom tanggal 3?"
Dari mana dia tau informasi itu? For the record, gue gak inget pernah ngasitau intel tersebut ke dia secara langsung. Then again, bisa aja dia tau dari Ali-Adri, dua orang yang sering banget nanyain gue perihal urusan aussie gue.
"Ye, kurang lebih," jawab gue. "Katanya sih mendingan berangkat dari Juni biar ada waktu buat adaptasi di sononya," lanjut gue lagi. Semacam jawaban semi-preventif, soalnya dari situ gue udah setengah mengira dia bakal ngebales gue dengan "Ah Mo, lo gak bisa diundur aja berangkatnya?" ato "Gak bisa Juli aja berangkatnya, Mo?"
Yang ada, jawaban dia adalah
"Ooooow, iya sih, harusnya emang gitu."
Hah, keknya gue emang gak tau dia secara bener-bener.
"Gue kemaren nanya sama dia belom dijawab gitu," lanjut Ghina merujuk ke Devina. "Nanyain dia berangkatnya gimana."
"Tapi you should ask her sih, gue takut dia gak ada temen bareng ke sana."
Dev, Ghina peduli sama lo. Sampe segitunya.
Ini mantep banget sih. Ghina *semacam* mengharapkan--ato seenggaknya menduga--gue nemenin dan berangkat bareng Devina ke Australia. Ghina nanyain Devina kapan dan gimana dia berangkat. Ghina secara langsung meminta gue buat nanyain ke Devina, dan secara gak langsung meminta gue buat ngajakin Devina berangkat bareng. Ghina, of all people.
Mestinya gue yang ngelakuin ginian gegara GUE yang jatoh-jatohnya bareng Devina, bukan Ghina. And yet, Ghina-lah yang memulai rangkaian tindakan tersebut. Ghina, yang gak seberapa deket sama gue, yang gue gak kira bakalan mintain begininan.
Sebuah gestur yang sederhana dan mungkin keliatannya sepele, tapi sampe ngambil waktu buat nge-LINE gue yang gak terlalu deket sama dia? Ah, keknya gak sesepele itu.
Damn, Ghin. You're so kind.
Gak cuman itu, Ghina juga sangat, bisa dibilang, bersahaja.
Mungkin ini perasaan gue doang, tapi gue selalu ngerasa kalo Ghina adalah anggota Babes yang gaya penampilannya paling simpel. Simpel bukan berarti gak ada selera sama sekali, tapi lebih ke arah gak muluk-muluk. Gak kesana-kemari nenteng tas Kate Spade (RIP) gede mentereng kemana-mana, gak ada perhiasan berlebihan, dan gak ada yang namanya make-up menor. Simpel aja.
Kek yang gue bilang, kalo lo liat Ghina untuk yang pertama kalinya, lo gak bakal nyangka kalo dia adalah anak KKI.
Bukan cuma dari penampilan dia doang. Ini udah masalah pembawaan dia, which means ini udah lebih dari sekadar tampang dia doang; ini udah nyampe ke cara dia ngomong, bahasa tubuh dia, dan ekspresi dia.
Simpel aja, gak usah terlalu lebay. Kalem, tenang, dan humble.
Ghina sendiri jarang ngomong dengan nada tinggi, gak peduli bahan pembicaraannya apa. Nada bicaranya selalu tenang dan terkendali, tapi gak necessarily monoton kek, ehm, tu hantu kembar cewek di The Shining. Dan meskipun deskripisi gue tadi mengindikasikan kalo tipe ngomong dia adalah pelan-saking-pelannya-suara-dia-gak-kedengeran, nop. Tentu aja suara dia kalah dari Babes yang lebih bacot kek Rares atau Haniya, tapi bukan berarti suara dia lebih sering kekubur dari pada keluar.
Overall, Ghina mungkin adalah orang pertama yang lo bisa approach kalo lo mau tau lebih mendalam tentang Babes. Gara-gara dua kualitas yang gue jelasin di atas, Ghina jadi orang yang sangat approachable. Lumayan mirip dengan Sandra, first impression gue terhadap Ghina juga bagus, which is more than I can say about beberapa anggota Babes yang lain, kek--ya, lo pada tau sendiri, lah.
Dan... yep, keknya gue udah kehabisan bahan omongan.
It's not that gue dan Ghina gak deket. Oke, mungkin gak seberapa deket dibandingin anggota Babes yang lain, tapi bukan berarti gue dan Ghina bener-bener total complete strangers. Kesusahan ini dateng dari kenyataan bahwa Ghina dan gue cuman pernah sekelas bener-bener sekali doang, yaitu pas semester satu.
Intinya, Ghina adalah anggota Babes yang paling alim.
Dan pesen gue buat lo, Ghin,
don't change.
#WhatAGal: Laras
Saving the best for the last, eh?
Well,
you're not wrong.
Classic one kek Ghina dan Nisya? Gak juga. Gue kenal Laras setelah gue kenal--dan deket--sama Ali-Adri.
However, gue udah TAU Laras sebelom gue kenal Ali-Adri. Melalui sebuah peristiwa pas ospek fakultas gue.
For some reason, ospek fakultas gue melibatkan MC. Bener, MC dalam artian Master of Ceremony. MC, mereka-mereka yang jadi host beribu macam acara, dari nikahan sampe lahiran, dari makrab angkatan SMA sampe award show yang masuk TV sedunia. Entah kenapa, mereka ada di ospek fakultas gue. Not that mereka gaje ato garing ato lebih bikin kita pingin cepet-cepet pulang dari kating yang marahin kita, sih. Honestly? Mereka kocak. Seriusan. Kocak dan teramat sangat mampu bikin kita lupa dengan kenyataan kalo lagi diospekin.
Dan for some reason lagi, gue dipanggil maju ke depan.
Tentu aja gue maju ke depan. Keuntungan apa yang gue dapet kalo gue nolak? Gue berusaha ngindar, yang ada tu MC bakal tambah semangat buat nyeret gue ke depan. Lom lagi gue bakalan lebih malu-maluin diri gue sendiri kalo gue ngeyel. Apa ruginya? Toh ini 1) gak bakal ngaruh soal nilai kuliah gue, dan 2) gue dapet public exposure dikit. Jadi terkenal sementara, hehe.
Pas gue udah di depan, otak gue kebanjiran sejuta pikiran. Bakal disuruh ngapain gue? Joget? Nge-dab 100 kali berturut-turut? Salto? Nge-rap bagian supersonic speed yang ada di lagu Rap God? Gue yang tadinya pede aja, sekarang jadi nervous. Meskipun gak keder sampe gemeteran, sih.
But surprise surprise, mereka manggil satu orang lagi ke depan.
"Ah! Iya, kamu! Siapa namamu?" tanya si MC sambil berusaha mengintip nametag yang dipake oleh tu orang.
"Laras?" tanya si MC.
"Oke Laras, kamu juga maju ke depan!" katanya bersemangat. Tenang aja, gak ada maksud ancaman sama sekali di kalimat tersebut. Para MC emang beneran semangat, kok.
Dan naiklah Laras ke atas panggung. Back then, gue gak tau apa-apa tentang Laras. Gue gak tau dia anak KKI. Gue gak tau dia anak Komunikasi. Gue bahkan gak tau ada anak FISIP yang namanya Laras.
"Oke, Mo!" seru si MC sambil menunjuk ke arah gue. "Lo sama Laras pimpin temen-temen lo salam FISIP!"
Gue langsung mengehela napas lega.
Dari semua kemungkinan tolol nan memalukan yang bisa si MC suruh gue lakuin, dia suruh gue salam FISIP. Ini bisa aja jadi mimpi buruk bagi gue kalo waktu itu adalah hari pertama banget gue ikut kegiatan ospek fakultas tersebut. Dengan kata lain, gue gak bakal tau apa itu 'salam FISIP' kalo gue gak ngikutin pernah ngikutin kegiatan ini sebelomnya.
Tapi tenang aja, gue udah ngikutin ospek ini dari hari pertama. Dan gue tau banget apa itu 'salam FISIP' yang dimaksud oleh si MC.
"Oke, ehm," deham gue sambil menoleh ke Laras. Laras pun juga menoleh ke arah gue sambil ngasih aba-aba. "Barengan, yak," kata Laras pelan tapi terdengar. "Satu, dua, tiga!"
And that my kids, is how I met your mother. And that my friends, is how I met Laras.
[Side note: Salam FISIP-nya berjalan lancar aja. What, lo meng-expect sesuatu yang sangat memalukan dan bikin tengsin terjadi di momen krusial gue ketemu sama Laras, gitu? Sorry mates, tapi just because gue nyeritain sesuatu bukan berarti ketololan pasti terjadi dalam sesuatu itu, ya nggak sih? Tenang aja, masih banyak ketololan buat di lain hari. Oke?]
Fast forward 2 minggu kemudian. Gue udah ketemu Ali-Adri. Gue udah memasuki hari pertama kuliah gue. Gue udah masuk kelas dan lagi ngikutin pelajaran. Only this time hampir gak ada yang namanya 'pelajaran' beneran hari itu, yang ada cuman sesi perkenalan doang. You know, yang biasa dilakuin kurang lebih semua jenis guru dan dosen di semua jenis sekolah di minggu pertama masuk sekolah/kuliah ?
Anyways, perkenalan ini sistemnya bergilir, dan sampailah giliran perkenalan ini ke seorang cewek yang duduk lumayan jauh dari kita.
"Hello, my name is Laras."
Lagi-lagi ada seorang cewek yang gue tau yang bernama Laras. Another Laras, it would seem. Dalam kurun waktu dua minggu, gue udah kenal dua Laras di dua kesempatan yang berbeda. Wow.
Pas gue ngeliat ke arah Laras, dia menatap gue balik. Kek dia kenal gue. Melambaikan tangannya kek, you know, gue udah pernah ketemu dia sebelomnya.
Tentu aja gue bales melambaikan tangan gue ke dia, gue gak mau langsung dicap anak songong di hari pertama banget gue masuk kuliah, but do I really know her? Itulah pertanyaan yang terlewat di benak gue.
Answer is: yes, I DO know her.
Itu Laras yang sama!
Dari yang ketemu gue di ospek fakultas!
Tapi kenapa gue gak ngenalin dia pada awalnya?
Yep, dia ganti model rambut. Buseng, Ras.
Setelah dipikir-pikir lagi pas sekarang gue nulis section ini (19/6), gonta-ganti model rambut adalah semacam ciri khas tersendiri dari Laras. Dimana ada temen gue yang lain yang hobinya gonta-ganti WARNA rambut (more on her later), Laras ini seringnya gonta-ganti MODEL rambut. The more you know, eh?
Anyways, Laras adalah personil Babes yang paling unik hubungannya dengan gue. Can I say that? I can? Good.
See, Laras gak termasuk ke kategori the classic ones, kek yang gue bilang di atas. Gue gak temenan sama dia sebelom gue temenan sama Ali-Adri.
However, gue udah TAU dia sebelom gue bahkan tau Ali-Adri.
Tambah lagi, ehm,
Laras adalah satu-satunya anggota Babes yang deket sama Ali-Adri.
Malahan, Laras sebenernya adalah anggota dari Babes DAN peer group mini gue & Ali-Adri. Yep, at one point, Laras adalah bagian dari peer group gue, Ali, dan Adri. Kita sempet bukan cuma bertiga, tapi ada berempat dengan Laras. Sampe sekarang masih sih, sebenernya. Intinya Laras adalah bagian dari dua peer group yang ada gue-nya. Satu-satunya anggota Babes yang punya pangkat tersebut. Sial, susah banget yak, ngejelasin ini?
Which brings up another point: Laras dan gue udah temenan lama sebelom gue tau ada yang namanya Babes. Dan ini melibatkan Ali-Adri, beda kasusnya dengan Nisya ataupun Ghina.
So, gimana si Laras ini?
Well, sesuai judulnya. #WhatAGal. What a girl.
Gue harus mulai dari mana, ya?
Firstly, Laras aslinya adalah seorang selebriti di masa kecilnya. Oke, gak nyampe seleb juga, tapi let's just say dia lumayan terkenal.
Dia adalah mantan host Koki Cilik. Yep, Koki Cilik-nya Trans 7.
Mungkin lo pada lebih kenal Prilly aka Prilly Latuconsina yang namanya udah beredar dimana-mana sekarang, ato Rachquel yang (menurut artikel referensi gue) sekarang udah membintangi FTV dimana-mana , ato bahkan Hanggi yang sekarang udah jadi YouTuber. Mungkin lo pada inget mereka-mereka yang lebih tenar dibandingkan Laras.
[Side note: bagi yang kepo, Laras ini adalah si Laras yang pernah liputan ke Korea Selatan. Yep, Laras yang itu. Dialah yang lagi gue bahas di sini.]
Then again, gila juga.
Maksudnya, setelah dipikir-pikir, Laras ini, temen gue ini, kemungkinan pernah gue tonton indi TV pas gue masih kecil. Gue nontonin dia, ngagumin gimana caranya anak-anak bisa masak sejago itu, sepede itu di depan kamera...dan entah kenapa, salah satu dari anak-anak tersebut adalah temen gue. Salah satu temen terdeket gue, as a matter of fact. Kinda crazy, you know? Ngagumin mereka-mereka yang udah mencapai banyak banget pas lo masih kecil, tanpa sadar lo seumuran sama mereka, dan tiba-tiba mereka adalah temen kelas lo sendiri? Kek, temen lo, I repeat, TEMEN LO pernah masuk di TV, dan dia gak cuman lewat doang; dia jadi host.
Ah, terkadang gue masih susah percaya sama fakta kalo Laras adalah mantan koki cilik.
Dan bener aja, Laras punya karisma yang tinggi. Pembawaan Laras pas ngomong kalem, tenang, dan anggun. Ramah dan friendly banget, itulah perlakuannya ke kurang lebih setiap orang yang dia temuin. Belom lagi nada bicaranya yang cenderung tenang tanpa ada indikasi nyolot sedikitpun, gak kek--ya lo pada tau sendiri lah. Semua itu ditambah dengan pemilihan kata yang selalu on point ngebikin Laras jadi anggota Babes yang paling populer. Temennya banyak banget lah, bisa dibilang.
Kek pengalaman ospek fakultas gue dengan Laras. Sebenernya waktu itu gue udah dapet indikasi akan kepedean Laras, meskipun waktu itu gue lom menyadari tingginya karisma Laras. Yep, pas kita pertama ketemu, Laras gak menunjukan tanda-tanda nervous sama sekali. Sure, dia kaget pas tiba-tiba disuruh maju ke depan, tapi pas udah nyampe saatnya kita memimpin kurang lebih 500-an orang buat yel-yel, Laras gak keder. Suara dia gak pecah. Gak sampe membentak, tapi cukup lantang dan sangat jelas sampe ke pelafalannya.
Kata gue, itu tadi adalah produk dari pengalamannya sebagai seorang koki cilik.
A-elah, ngapain gue kaitin semua hal mengenai Laras ke koki cilik, yak?
I mean, gue rasa dia emang dari sononya adalah cewek yang teramat sangat baik sikapnya. Deskripsi dia sebagai orang yang ramah dan friendly, gue rasa itu udah dari sononya. Tapi karisma dia yang tinggi? Gue rasa itu adalah hasil dari--you guessed it--pengalaman dia di Koki Cilik.
Dan seriusan, Laras ini jago ngomong. Bukan tipe-tipe jago ngomong kek ketua BEM yang bisa orasi di depan seribu-an orang dengan suara lantang nan membara, tapi lebih jago ngomong kek calon-calon Putri Indonesia dengan suara yang tenang, teratur, dan diksi yang rapi. Yep, kek gitulah Laras.
Mungkin ada yang kepo, apa yang dilakukan Laras, kurang lebih 6 tahun setelah masa-masa-nya sebagai seorang koki cilik?
Actually tadi itu cuman formalitas sih, gue bakalan tetep ngasitau apa-apa aja yang lagi dilakuin Laras sekarang, mau lo kepo beneran ato gak peduli sama sekali. Lagian, kalo lo gak peduli, ngapain lo di sini?
Ehm.
Laras?
Like I said, what a girl.
Bisa dibilang, dia adalah anggota geng Babes yang paling aktif. Aktif organisasi, kegiatan, kepanitiaan, dan teman-temannya itulah.
Wait, pangkat tersebut sebenernya lebih cocok dipegang oleh Praya. You know, Praya dengan kurang lebih 10-15 kegiatan kepanitiaan dalam satu semester?
Oke, gimana dengan anggota geng Babes yang paling terkenal?
Mungkin kegiatan Laras gak sebanyak Praya. Tapi gue bisa bilang Laras punya popularitas yang sangat tinggi. Bukan cuma di lingkaran KKI doang, bukan cuma di kalangan Komunikasi UI angkatan 2016, tapi se-FISIP UI 2016. Yep, dia se-terkenal itu.
Let's start with art.
Laras adalah manusia teater. Dan dansa. Dan puisi. Come to think about it, dia adalah #ArtsyGal ketiga di dalam Babes.
Rasanya Faktanya, Laras pernah mengikuti pentas seni FISIP di bagian teater. Istilah yang kita pake di sini bukan 'pentas seni FISIP' per se, tapi let's just say itulah acara yang kita ikuti waktu itu. Mewakili jurusan Komunikasi.
Dan nope, dia bukan tata rias. Ato backing vocal. Ato backup dancer.
She's the actress. Dia adalah salah satu pemeran utama dari pementasan tersebut. Center of the stage. Center of attention.
Di pentas teater tersebut, Laras memerankan seorang aktris (actress-ception, I know) bernama Labin. Menurut pementasan tersebut (dari pengamatan gue), Labin dikisahkan sebagai seorang pemeran wanita yang pendiam, pendendam, dan pemendam. Karakter yang mungkin di permukaannya keliatan pemalu, tapi diam-diam punya masa lalu yang kelam dan gak enak diinget. Masa lalu yang semacam membentuk sifat dia yang sekarang.
Gara-gara pengalaman pahit tersebut, Labin cenderung bersifat tertutup dan jatoh-jatohnya keliatan seperti cewek yang lemah. Ya gimana gak, 'pengalaman pahit' Labin melibatkan jatoh cinta, dihamilin, dan ditinggalin gitu aja sama pasangannya. Holy shit, itu parah banget.
Pengalamanpahit tragis tersebut bikin Labin jadi punya sifat-sifat lain di samping sifat 3P-nya. Dia punya sifat yang bitter dan ketus ketika dipancing, apalagi kalo udah menyangkut masa lalunya. Menurut Laras sendiri, dia "udah have enough sama yang namanya cinta". Bisa dibilang, dia gak suka sama konsep cinta. Segitunya sampe dia gak mengharapkan cinta dari siapa-siapa lagi. Yah, who can blame her?
Dengan banyaknya dan detail-nya deskripsi gue tentang karakter Labin, datanglah sebuah pertanyaan dasar.
Did Laras nail it?
Jawaban gue, mengutip Okoye (Danai Gurira) dari film Black Panther (2018):
Without question.
Deskripsi, definisi, dan detail segitu mendalamnya tentang si karakter Labin ini, gimana bisa Laras gak berhasil memerankan tokoh itu dengan baik?
Acting Laras sangat believable. Dia berhasil menangkap dan memerankan sifat Labin yang pemalu dan borderline tragis. Belom lagi interaksi Labin dengan neneknya yang mengingatkan dirinya buat gak sembarangan pilih cowok (oh, the irony!), yang menambah unsur miris dari karakternya. Gara-gara adegan dengan neneknya ini, dimensi karakter Labin bertambah, dan gue bisa bilang makin keliatan-lah kepiawaian Laras memerankan karakter rumit tersebut.
Apalagi ini adalah teater, bukan TV ataupun film, gak ada yang namanya re-take ataupun reshoot. Mau seberapa banyak mereka latian, sekalinya mereka salah di hari-H, mampus. Beda dengan TV ataupun silver-screen yang seringnya terselamatkan oleh post-production. Here? Nah bro, it's all raw acting, raw footage, and raw action.
Keknya acting bagusnya ini berasal dari Koki Cilik Ntaps, Ras.
Laras juga jago dansa.
Wait, tadi udah gue singgung, kan? Ini bukan sesuatu yang gue keluarin tiba-tiba, kan? Bukan sesuatu yang mendadak turun dari langit ketujuh, kan?
Ini lumayan baru, tapi Laras sebenernya adalah bagian dari KTF (Komunitas Tari FISIP).
Gak banyak yang gue bisa bilang mengenai keterlibatan Laras dalam KTF selain dari dia adalah...well, dia nari di sono. Mungkin sedikit intel mengenai Laras adalah dia pernah pentas bareng temen-temen KTF-nya di Taman Ismail Marzuki, dan--menurut anggota Babes yang hadir di pentasnya--Laras emang jago nari. Contohnya adalah Haniya selaku salah satu penonton yang kabarnya lumayan t e r k e d j o e t ngeliat Laras "melakukan gerakan yang gue (Haniya) gak tau bisa dia lakuin". Entahlah, gue gak hadir soalnya. Maap ya, Ras.
[Side note: Lucunya, tu dua orang gak hadir juga dalam pementasan tari Laras. Gue udah bener-bener ngira Ali-Adri dateng, nonton, ngasih dukungan ke Laras, foto sama dia, ngirim foto tersebut ke gue buat nyinyirin gue, only for me to find out...mereka gak dateng juga. Bah.]
Dan puisi. Hooo boy, puisi.
Mungkin Laras bukan tipe-tipe yang hobi ngumpulin puisi karangannya ke majalah, art display, ato ke kanal media sosial, tapi...hah, come to think about it, dia emang ngumpulin puisinya ke social media dia.
Kurang 80% dari postingan di Instagram Laras memiliki caption berupa puisi.
Bukan rangkaian kata-kata indah dan enak didenger ala-ala Catatan Najwa doang, tapi ini beneran puisi. Dengan diksi, bait, rima, dan majas-majasnya. Puisi beneran.
Kalopun bukan puisi, caption dari postingan foto Laras tetep aja punya pemilihan kata yang mancay. Frasa dan istilah kek 'sudah berapa purnama', ato 'kamu masih hangat seperti dulu', ato bahkan 'seneng banget semalem bisa melepas rindu' kerap menghiasi caption Instagram Laras. Spoiler alert: semua contoh tadi berasal dari satu postingan yang sama. But you get the idea.
Like I said, #ArtsyGal yang ketiga.
And then, we move on to journalism.
Abis Koki Cilik, lo mau jadi apa lagi, Ras?
Host TV UI?
No seriously though, dia bener-bener ngelakuin itu.
Sepengamatan gue, Laras adalah host sebuah acara di TV UI berjudul Fun Day. Simpel aja isi acara tersebut, arahnya lebih ke soft news kek takjil di Pasar Benhil, atau liputan di JakCloth Lebaran 2018. You know, simple stuff. Gak sampe masuk ke tema-tema berat kek politik atau ekonomi ato temen-temennya.
You should know that Laras di TV UI gak beda jauh dengan Laras di Koki Cilik. Karismatik, energetic, dan interaktif. Kepedeannya dari jaman-jaman dia sebagai seorang koki cilik masih terlihat, meskipun dia udah 8 tahun lebih tua. Bisa dibilang, dia udah terlatih sebagai seorang host TV UI dari 8 tahun sebelomnya, pas dia jadi host di Koki Cilik.
I've said it once and I'll say it again.
Keknya kepedeannya di TV UI berasal dari Koki Cilik.
Loh, apa salahnya? Toh dua-duanya rada berhubungan. Kedua acara melibatkan Laras berbicara langsung ke depan kamera, berinteraksi dengan penonton. Kedua acara menaro Laras sebagai host. Terpenting lagi, kedua acara pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan makanan seenggaknya sekali. Dengan Laras sebagai host bahasan tersebut.
Ah, ge-er aja gue ini. Emang sebenernya gak ada salahnya, sih.
Lastly, bagian terpenting.
Perihal hubungan Laras, gue, Ali, dan Adri. Yang udah gue singgung nun jauh di atas sana.
Tu mulainya kek gimana, sih?
Iseng-iseng sih, kalo gue harus jujur.
Menurut Ali? Semuanya itu berasal dari Adri.
See, waktu itu adalah jaman-jamannya persiapan menuju pensi FISIP. Tau sendirilah, yang tadi udah gue singgung. Yang melibatkan Laras berperan sebagai Labin. Yang itu.
Sebuah malam Selasa, kalo gak salah.
Gimana caranya gue inget kalo itu malam Selasa?
Soalnya besoknya ada quiz mata kuliah Sosiologi. Dan gue inget kalo mata kuliah Sosiologi itu (rasanya) diadakan pada hari Rabu.
Waktu itu, bukan cuma Laras doang yang lagi latian buat penampilan teater pensi FISIP tersebut. Ada kita bertiga juga. Yep, the full package meliputi gue, Ali, dan Adri.
Rencananya sih setelah latian tersebut adalah langsung ke tempat tinggal gue buat ngafalin bahan quiz besoknya tersebut. Tadinya, acara belajar bareng ini cuman melibatkan kita bertiga doang tanpa adanya personil tambahan.
Tadinya.
"Eh, ajak Laras sabi kali, ya?" ujar Adri.
Hal pertama yang terlintas di benak gue adalah "What in the what in the hell, Dri?" Tapi, beberapa detik setelah pikiran tersebut lewat, apa yang gue pikirin adalah "Ah, no problem." Toh kita selama keseluruhan proses penghafalan selama 15 menit tersebut lagi buntu. Ato istilah Adri-nya, penat. Gak terlalu banyak materi pelajaran yang masuk ke otak kita. Bisa dibilang, kalo kita langsung quiz dengan apa yang otak kita punya waktu itu, rasanya dapet 5/10 aja udah bagus banget.
Dan kehadiran Laras bisa, I don't know, ngebantu kita? I mean like, why not? Sejauh itu, Laras di kelas terkenal sebagai anak yang rajin dan bisa diandelin kalo udah menyangkut pelajaran. Mungkin bukan anak yang paling pinter di kelas, tapi definitely above average. Ya gimana gak, belakangan kita tau kalo Laras sebenernya adalah anak akselerasi. Yep, dia mestinya satu angkatan di bawah kita.
"Yaudah Dri, lo aja yang nga--"
"Oy Li, lo yang ajak dah," saran Adri ke Ali, memotong gue.
Awalnya gue ngira Ali bakalan punya pendapat yang berbeda dengan Adri, but turns out dia pun gak masalah dengan wacana Laras belajar bareng kita. Prinsipnya sama dengan apa yang gue pikirin tadi, why not?
Toh (lagi) ini juga bisa jadi ajang yang bagus banget buat nambah relasi ke temen-temen kelas kita yang lain. Dapet temen baru, dan jika memungkinkan, dapet temen baru lagi dari temen baru yang tadi. Dan seterusnya. Temenan lebih dari bertiga doang lah, kurang lebih. Meskipun ini lebih berlaku ke gue dibandingkan ke tu dua orang, sih.
Maka disamperlah Laras oleh Ali. Ali doang yang bener-bener ngomong ke Laras, kita berdua cuman tinggal nungguin hasil tawaran tersebut. Kenapa bukan Adri--manusia yang punya ide buat ngajakin Laras belajar bareng kita--yang nyamper Laras, gue masih gak tau. Kenapa bukan gue? Well, 1) ini bukan ide gue, dan 2) bukan gue yang disuruh Adri.
Lima menit kemudian, kembalilah Ali ke kita berdua, dengan Laras di sebelahnya.
"Mau noh, Larasnya," lapor Ali.
"Ayok!" sanggah Laras meyakinkan.
And the rest?
History.
[Side note: Perihal tentang Laras ini, gue dapet banyak bantuan dari Ali. Yep, Ali yang itu. Dia sih gak bantu di bagian nulisnya, tapi lebih ke...mengingat. Mengingat kejadian-kejadian yang berhubungan dengan Laras, apalagi yang ada hubungannya dengan hubungan Laras dengan kita bertiga. Semacam sumber intel gue mengenai subjek Laras ini. So yeah, credits to Ali's photographic memory.]
Fast forward satu setengah tahun lebih dari pertemuan tersebut, Laras gak banyak berubah dari pertama kali kita kenal sama dia. Ramah, bersahabat, dan berperan sebagai suara paling rasional dari antara kita berempat. No Ali, lo bukan orang yang paling rasional/gak receh dari kita berempat. Kalo bertiga minus Laras? Bisa jadi. Tapi kalo udah melibatkan Laras? Nope.
Meskipun begitu, sesempurna-sempurnanya Laras, nampaknya dia gak sesempurna itu.
See, Laras sangat populer. Itu sih udah pasti.
Tapi, kepopuleran dan keaktifannya di berbagai bidang bisa menyebabkan dia rada...susah dijangkau.
Ibaratnya, dari 5 kesempatan kita ngumpul/nongki/makan/nonton bareng, Laras cuman bisa hadir di 2, gue ulangi DUA dari LIMA kesempatan tersebut.
Selebihnya?
Let's just say dia sibuk.
Sibuk jadi presenter, sibuk liputan, sibuk jadi calon Putri Indonesia, sibuk latian dansa, sibuk jadi delegasi AIESEC ke Hungaria, sibuk jadi aktivis pendidikan di NTT, dan masih banyak lagi kesibukan yang dimiliki oleh Laras ini. Btw, satu dari enam 'fakta' yang gue kasih di atas adalah hoax. You've been warned.
Not like it's a bad thing though. Well, it is to us sometimes, tapi ini semua adalah pengalaman yang bagus dan berguna buat Laras. Sibuk sih sibuk, tapi gue bisa bilang semua kegiatan yang bikin dia sibuk bersifat positif dan produktif. Gak kek gue yang nulis postingan begini bisa molor sampe berbulan-bulan.
Emang bener sih, semua kesibukan ini bikin dia jadi susah buat ngumpul bareng gue-Ali-Adri, tapi emang apa salahnya? Toh alasan dia gak ngumpul sangat kuat dan bisa diterima.
Kita bisa liat dari sisi positifnya, kalo mau agak dipaksa: gara-gara kesibukan yang bikin ketemuan dengan Laras jadi rada 'langka', kita bertiga jadi lebih menghargai dan mensyukuri kehadiran Laras kalo kita beneran jadi nongkrong bareng. Kita jadi lebih pingin memanfaatkan waktu kita dengan Laras lebih baik dari sebelomnya, soalnya lebih besar kemungkinan kita gak bisa ketemuan di kesempatan berikutnya. Ya 'kan, Ras?
So that's that.
Itulah kesibukan Laras sekarang, 6 tahun setelah dia jadi seorang koki cilik.
Masih aktif, ceria, dan karismatik, gak jauh beda dari dirinya 6 tahun sebelumnya.
Like I said,
what a girl indeed.
Oya Ras, one last thing.
Mengingat tujuan kuliah Australia gue dan Ali-Adri-Laras bakalan beda (I know, tragic), gue punya sebuah pesan buat Laras. You know, kek 'pesan-pesan' yang udah gue sampein secara tersirat maupun tersurat ke anggota Babes lainnya.
Buat lo Ras, satu aja.
Take care of them two dudes for me.
A'ight?
Masih inget dengan Devina?
Yep, tadinya dia adalah kandidat pemegang gelar #ArtsyGal sebelom akhirnya gelar tersebut disabet oleh Praya.
Ah, ada apa ini? Bagaimana bisa ada dua orang yang berpotensi punya gelar yang sama di geng Babes ini? Apa yang Devina punya yang bisa nyaingin Praya di bidang ke-artsy-an? Lebih penting lagi, kenapa Praya dan bukan Devina yang dapet gelar tersebut?
Sabar, satu-satu pertanyaannya.
Devina, kek yang tadi gue bilang, adalah salah satu anggota Babes yang lebih artsy. Malahan bisa dibilang, unsur artsy yang dimiliki Devina sama kuatnya dengan Praya.
Pertama-tama, kek Praya, Devina juga penyuka film. Seleranya sama-sama tinggi pula. Dimana orang kebanyakan nonton film merhatiin ceritanya bagus ato gak, pemerannya punya chemistry bagus ato gak, aktingnya bikin cringe ato gak, Devina merhatiin lebih dari sekedar itu. Lebih dari sekedar tampang luar yang kebanyakan orang, termasuk gue, bisa liat.
Contoh termutakhir yang gue baru inget sekarang (16/5): Sausage Party.
Yep, Sausage Party. Kandidat kuat sekuat-kuatnya buat film animasi terteler, termabok, tercaur, dan terkaco sepanjang sejarah perfilman animasi segala abad. Sausage Party yang itu.
Masih inget, di review gue mengenai film tersebut, gue ngebahas animasi, cerita, tokoh, dan unsur explicit yang bertaburan di film tahun 2016 tersebut kek parutan keju di atas cheesecake? Honestly, separah-parahnya unsur cerita dalam film tersebut, gue gak bisa memungkiri kalo film tersebut adalah tontonan yang seru. Bagus dan anehnya lumayan bisa dinikmatin, kalo lo tahan sama yang begituan.
Kek yang kebanyakan orang bilang, kan? Film yang, mau itu bagus ato gak, sangat nyolot dan offensive? Itulah yang biasa orang bilang tentang film tersebut, kan?
Nampaknya, Devina bisa melihat menembus ketololan film tersebut.
Waktu itu gue lagi gencar-gencarnya berusaha ngajakin anggota Babes buat nonton film tersebut. Gak semua anggota, mind you, soalnya gue tau film tersebut bener-bener gak dikhususkan buat semua orang. Jangankan nonton, gue tau beberapa anggota Babes bisa jijik sendiri denger premis film tersebut. Tau sendirilah, kalo udah soal animasi, mereka-mereka ini teramat-sangat Disney-oriented. As in, kalo karaoke bareng, 8 dari 9 kesempatan personil-personil Babes bakalan puter A Whole New World-nya Aladdin. Simpel aja.
Waktu itu (lagi) gue lagi ngebahas film tersebut sama Nisya, yang udah nonton beberapa hari sebelomnya. Nisya, secara gak mengagetkan, bilang film itu bagus.
Tiba-tiba, nimbrunglah Devina.
"Eh, lagi ngebahas apaan, nih?"
"Ah, film greget, Dev. Sausage Party." jawab gue.
"Oh, OH! Gue udah nonton!"
"Bagus, gak?"
"Gue suka!"
Holy shit, Devina yang berselera tinggi suka sama beginian? No offense, tapi ini kan--
"Gue suka sama message filmnya, dah! Dalem tau, sebenernya."
Waini. Ini dia. Gue gak (at that time) gak bisa melihat Sausage Party lebih dari premis menggelikan makanan yang sadar kalo kita selama ini, ehm, makanin mereka dan temen-temen mereka. Kek, emangnya bisa lebih dalem dari gituan?
Nampaknya bisa buat Devina.
[SPOILER ALERT BUAT YANG LOM NONTON SAUSAGE PARTY!!!]
"Iya, jadi film itu semacam menggambarkan kalo semua agama tu penggambarannya sama gitu loh, pasti bakalan ada surga ato kehidupan setelah lo meninggal, kek di filmnya."
"Ye, terus?"
"Ya kan, di filmnya, makanan yang di rak-rak toko itu bener-bener percaya banget kan, kalo mereka bakal ke 'surga'? Kek, surga-nya mereka? Dan mereka se-percaya itu kalo manusia yang beli dan bawa mereka pulang adalah tuhan mereka? Pengantara mereka ke surga?"
"Yang mana 'surga' itu jatoh-jatohnya mereka dimakan, kan?"
"Iya, makanya! Kocak, dah. Kayak, turns out, surga yang mereka kira ternyata bukan surga gitu, loh!"
"Hahah, kocak dah," kata gue. At this point, gue udah gak seberapa fokus dibandingkan sebelomnya, otak gue terlalu sibuk kena fenomena
"Malahan sebenernya film itu kek mau bilang kalo agama tuh bukan turun dari Tuhan gitu, soalnya semua agama tuh pasti ada satu unsur yang sama: abis orang mati bakalan ada kehidupan setelahnya, kan? Kek--aduuuuh, apa itu istilahnya?"
"Afterlife?"
"Nah, iya! Afterlife! Kek semua orang seyakin itu loh, sama begituan."
Otak gue serasa kayak popcorn. Meletup sana-sini tanpa henti.
"Ending film tersebut juga bisa jadi renungan yang bagus, sih. Meskipun itu fucked up banget."
Dan dia bisa ngedapetin faedah dari ending film paling gak berfaedah sepanjang segala abad? Astaga-naga.
"Kek, manusia itu pada umumnya ada yang jahat dan ada yang baik. Gak harus pake agama juga--meskipun itu bukan satu-satunya faktor--orang kan, bisa suka-suka hidup. Ya nggak, sih?"
"Yah, kek ending filmnya yang mereka... ng--ah, gue gak tahan ngebayanginnya," ujar gue.
"Ya mau gimanapun juga, ending filmnya sebenernya bagus, jir. Walaupun, kek yang tadi gue bilang, se-messed up itu."
Status otak gue saat itu: tau Nagasaki setelah kena bom atom? Mind-blown tingkat tulen.
[DAERAH ABIS INI UDAH SPOILER-FREE. KEKNYA.]
Dengan insight sedalem itu mengenai film secetek itu, Devina jelas bukan penggemar film biasa. Setara Praya? Pasti. Lebih dari Praya? Bisa aja.
Mungkin ada yang bertanya, gimana caranya seseorang dengan selera setinggi dan sedalem itu bisa nyambung dengan gue yang--ya lo tau sendiri lah, bentuk seni yang bisa gue apresiasi adalah dank memes, dan itu aja masih dipertanyakan unsur keseniannya.
Turns out, Devina ngikutin--dan suka--sama PewDiePie.
Yep, dari semua citra selera-tinggi-dan-pemahaman-dalem-tentang-bahkan-film-tercetek itu sekalipun, ternyata Devina suka PewDiePie. YouTuber asal Swedia yang menjabat sebagai YouTuber nomer 1 di dunia, duta tantangan Don't Laugh Challenge se-YouTube, dan pelopor teknik marketing kursi kemahalan. PewDiePie yang itu.
Bukannya gue ngomong lo kalo suka PewDiePie berarti selera lo rendah, tapi gue selama ini selalu ngerasa orang-orang berselera tinggi gak suka PewDiePie. Agak kurang lazim, gitu loh. Biasanya orang yang berselera artsy parah menganggap PewDiePie sebagai pelawak gagal dengan konten yang gak berfaedah.
Tapi inget, seperti yang udah gue jabarin panjang lebar di atas,
Devina bukan penikmat selera tinggi biasa.
Gue terkadang kalo ketemu Devina di perkuliahan gue suka nanyain kalo dia ada nonton video PewDiePie baru-baru itu. Jawaban bisa bermacam-macam, dari "belom nonton lagi, kenapa emangnya?" ke "video yang mana dulu, nih?" sampe ke proaktif kek motong pertanyaan dengan "Eh, eh, eh, EH! Lo udah nonton video Pewds yang terbaru lom? Kocak banget anjir, sumpah!"
Gue sendiri bukan penggemar PewDiePie yang paling fanatik, tapi gue rasa kalo udah soal ngomongin tentang PewDiePie, gue bisa ngajak Devina. Sasa juga sebenernya, meskipun Sasa gak segila Devina soal si bakso Swedia tersebut. Memes? Tau. Topik video? Tau. Berita terbaru? Tau. Jumlah subscriber? So pasti. Lawakan receh termutakhir? Tentu aja.
Bisa dibilang, Devina tau lebih banyak soal PewDiePie. Terkadang-kadang, percakapan kita berdua tentang Pewds bisa terhenti secara mendadak gara-gara... ya, pengetahuan kita masing-masing tentang Pewds jauh banget. Terkadang, dia udah bisa ngebahas video yang keluar 3 jam sebelom percakapan tersebut, sedangkan gue masih bisa ketinggalan di video yang udah diupload 3 minggu yang lalu.
Then again, kalo udah soal PewDiePie, Devina adalah sumber intel terbaik gue. Toh, percakapan kita tentang betapa Pewds selalu membanggakan kursi $400-nya gak pernah ngebosenin.
But wait, there's more!
Kedua-dua, Devina punya akun Instagram tersendiri buat naro ilustrasi, gambar, dan lukisan dia. Dia sendiri yang gambar tu ilustrasi. Tentang apa aja. And by apa aja, maksud gue adalah apapun yang mau dia ekspresiin pas dia ngegambar ilustrasi tersebut.
Gue gak bisa bilang gambar tersebut bagus ato jelek, sih. Bukan gara-gara gambar ilustrasi Devina jelek, tapi emang otak cetek gue gak bisa mengapresiasi seni. Terus apa yang gue bisa apresiasi, dong? Tau sendirilah, dank memes.
Dengan banyaknya sifat nyeni yang Devina punya, tentu aja beberapa dari lo udah bertanya: kenapa Praya dan bukan Devina?
Ah, gimana cara jelasinnya?
See, Praya punya branding artsy yang lebih, ehm, konsisten. Anggep aja, dia lebih keliatan sebagai seseorang yang nyeni banget. Hobi ikut festival film, festival kesenian, dan temen-temennya itulah. Bahkan di email-nya aja dia taro kutipan puisi. Artsy bertebaran di Praya.
Terus, Devina? Dia gak keliatan sebagai cewek nyeni, gitu?
Oh, tidak.
Justru kebalikannya. Devina pun juga bisa keliatan sebagai cewek yang artsy. Tau sendiri, udah gue bahas sebanyak 50 baris lebih di atas.
Yang bikin dia malahan jadi #TargetGal dibandingin jadi #ArtsyGal adalah--iye sabar, ini mau gue bahas.
Kurang lebih sekitaran semester 2, Devina ngomong ke semua anggota Babes:
"Ah, gue mau jadi kasir Target aja, deh."
Bisa ditebak sendiri reaksi anggota Babes yang lain gimana.
"Lah, kenapa Dev?"
"Kok random banget, sih?"
"Lo ngapain jadi kasir Target dah, Dev?"
Intinya, bingung.
Gue pun juga bingung. Kek, ngapain lo kerja di Target? Target, of all places? Udah nyampe kuliah, bayar juga gak murah-murah amat, pas udah lulus mau kerja di Target? Ramayana-nya Amerika? Masih bagus kalo mau jadi general manager ato head of communications, ini Devina ngincer jadi... kasir.
Ah well, kalo itu yang dia mau, gue gak bisa menghalangi, sih. Seriusan. Kalo dia suka dan beneran niat, kenapa enggak? Daripada ngabisin idup lo ngelakuin pekerjaan berduit yang lo gak suka, mendingan ngabisin idup lo ngelakuin pekerjaan kurang berduit yang lo suka, kan?
That is, kalo kita berasumsi Devina bener-bener pingin jadi kasir Target.
At that point, gue gak kaget kalo Devina beneran mau jadi kasir Target. Gimana gak, kurang lebih sehari-dua hari setelah pernyataan tersebut, Devina meng-upload postingan di Snapgram-nya mengenai 'passion'-nya tersebut. Postingannya sebenernya simpel aja, foto seorang kasir Target cewek lagi melayani pengunjung retailer gede tersebut.
Yang gak simpel adalah unsur selebihnya dari foto tersebut.
See, muka kasir cewek Target di foto tersebut bukan muka semestinya si cewek tersebut.
Yang ada adalah muka Devina menggantikan muka cewek tersebut.
Yep, Devina mem-photoshop mukanya sendiri ke foto tersebut, secara ngebikin dia jadi kasir Target dalam foto tersebut.
Lebih mantep lagi adalah tulisan Devina yang semacam berperan sebagai caption foto tersebut. Dalam bahasa Inggris, di sini gue taro dalam bahasa Indonesia.
"Halo kawan-kawan! Hari ini adalah hari pertama gue kerja di Target..."
dan tulisan di bawahnya,
"Ups, si manager lagi jalan ke arah sini, gue harus cepet-cepet balik kerja!"
Yep, keknya dia serius.
Gimana gak, dia udah sampe ke fase membayangkan dirinya kerja di situ. Ngerasain gimana di situ. Bahkan, sedikit dari suka-dukanya di situ. Kurang niat gimana nih, ceritanya?
And that guys, is
Belakangan gue mendapatkan intel dari sumber terpercaya mengenai asal-usul sesungguhnya mengapa Devina mendadak ngidem jadi kasir toko ala Matahari dengan kearifan bule tersebut.
Semuanya berakar dari ketakutan Devina. Lebih tepatnya ketakutan gue, dia, dan berjuta-juta orang lainnya di pelosok dunia.
Takut miskin.
Terus, kalo misalnya lo kerja jadi kasir Target, lo gak miskin, gitu?
Sayangnya, kita gak bisa berasumsi kalo kerja jadi kasir di luar negeri sama nasibnya kek kalo kita kerja sebagai kasir di Indonesia. Okelah kalo lo gak bisa jadi orang kaya dengan kerja sebagai kasir, tapi lo pastinya bakal jauh, JAUH di atas garis kemiskinan kalo lo jadi kasir di luar negeri. Versi singkatnya: duit lo cukup buat lo hidup. Simpel aja.
Kehidupan yang simpel dengan kerjaan yang simpel. Itulah yang diincer Devina. Tanpa tetek-bengek muluk-muluk kek manjat tangga korporat, berurusan dengan politik perusahaan, berjuang bertumpah keringat dan darah demi dapet promosi--nop, not everybody got time for that.
Itu, dan sebuah film rilisan tahun 2013 berjudul Safe Haven.
Ada apa dengan film adaptasi novel Nicholas Sparks tersebut?
Well, konon, kata Devina, tokoh utama cewek di film tersebut berkerja sebagai seorang kasir di sebuah pelabuhan kecil yang sering jadi tempat persinggahan. Rest area lah, kurang lebih. Kehidupan yang simpel, kek apa yang Devina dambakan.
Lagian, menurut Devina,
"Gue capek gitu keknya, kalo disuruh mimpi."
Tenang aja, Dev.
Kasir Target? Gue yakin lo bisa. Lebih dari itu? Apalagi.
Bahkan, gue yakin lo bisa bikin blog review film yang lebih bagus dari gue.
Toh, lo tau sendiri, lo bisa menemukan kedalaman di film yang paling cetek sekalipun.
Yep, gue yakin.
Satu pertanyaan terakhir sebelom gue tutup ni section.
Lo mungkin adalah seseorang berselera tinggi yang bisa nge-review film lebih bagus dari gue, lebih dalam dari gue, dan lebih berfaedah dari gue. Lo, gue yakin, lebih pinter dari gue. Lebih punya selera, seenggaknya.
But can you do this?
This? This apaan?
Ah, lo tau sendiri lah, Dev.
Lo tau kan, Dev?
'Kan?
#FanGal: Rares
Fangirl.
Sebuah penggabungan dari dua kata fan dan girl. Kata fan sendiri adalah perpendekan dari kata
Di satu sisi, kita semua, termasuk gue, one way or another, adalah fangirl/boy. Kita pasti punya kesukaan yang berlebih terhadap sesuatu. Bahkan, gue bisa bilang seluruh anggota Babes adalah fangirl terhadap satu hal. Sasa adalah fangirl Megaman. Difa adalah fangirl Harry Styles. Gue fanboy Jojo's Bizarre Adventure. Haniya adalah fangirl--wait for it--Maxime Bouttier. Kita semua di sini adalah penggemar sesuatu atau seseorang.
Di sisi yang lain, fangirl sendiri adalah sebuah fenomena yang agak susah masuk di akal. Ngedenger kata fangirl, gue langsung kebayang cewek-cewek ultra-antusias yang biasanya suka nongol di konser BTS ato EXO ato kawan-kawannya itulah. Yep, mereka-mereka yang teriak 10x lebih keras dari lagu konser tersebut, bahkan sampe kita gak tau yang manggung lagi nyanyi lagu apaan (ini pernah kejadian sama The Beates, btw). Mereka-mereka yang semua konten Twitter-nya adalah retweet-an dari semua tweet berita, fakta unik, ato bahkan sekadar rumor mengenai idola mereka, yang display picture social media-nya bukan muka mereka sendiri tapi muka cowok Korea/bule/Indonesia ganteng, dan yang isi kamarnya diselimuti oleh merchandise idola mereka, dari tembok, lemari, tempat tidur, sampe ke langit-langit kalo perlu.
Kek gituan, gue kira gue cuman bisa liat di TV. Ato di berita. Ato dimanapun selain di sekitar gue. Anggep aja kek kangguru. Senyata-nyatanya si kangguru, dia gak bakalan tiba-tiba nongol depan rumah gue, kan?
Begitulah sampe gue kenal--dan deket sama--Rares.
Singkat cerita, Rares adalah fangirl terhadap banyak hal. Inget, fangirl. Terhadap lebih dari satu hal. Bukan cuma sekadar 'suka' ato 'tertarik' terhadap banyak hal kek yang gue (dan banyak orang) lakukan, tapi udah masuk ke bener-bener ngefans dan cinta mati.
Tentu saja pernyataan gue ini adalah efek samping dari pengamatan, observasi, dan analisa gue setelah masuk peer group Babes dan otomatis jadi temen Rares selama kurang lebih satu tahun BUT sebenernya istilah Rares sebagai seorang fangirl-banyak-hal udah mengambang lebih lama dari itu.
Lebih tepatnya, Korea. Fangirl terhadap Korea. Boyband, drakor, artis ganteng, dan temen-temennya itulah.
See, di semester-semester awal, kurang lebih semua tugas melibatkan sebuah unsur krusial: e-mail. Surat elektronik. Bukan cuma buat ngirimin tugas doang, tapi buat berbagi file-file kek soal tugas, materi perkuliahan, buku-buku referensi, bahkan sampe ke soal ujian. Oke, mungkin buku referensi gak langsung dikirim via e-mail, tapi mereka seringnya ditaro di Google Drive. Yang mana harus diakses via e-mail. Kurang penting apa, coba?
And guess what, salah satu dari sekian banyaknya tugas kuliah gue di semester satu melibatkan Rares. Lebih tepatnya, dia temen sekelompok gue. Satu-satunya temen sekelompok gue sebenernya, soalnya satu kelompok isinya dua orang. Dan kita bekerja lewat e-mail.
Actually, ada kisah di balik penemuan ke-fangirl-an Rares ini.
Let's just say, di satu dan satu-satunya kesempatan gue sekelompok bareng Rares, ada unsur ketololan. Ketololannya bukan dari dia, bukan dari gue. Tapi tetep aja tolol parah.
See, kita dipasangkan buat mengerjakan tugas dalam mata kuliah Pemasaran. Marketing, kalo istilah KKI-nya. Kita kuliah setiap hari Kamis jam 11 siang (yekali 11 malem), dan di setiap hari Kamis tersebut selalu ada presentasi oleh kelompok-isi-dua-anak yang udah dibagi sama dosennya. Setiap kelompok bakalan dapet giliran maju ke depan kelas buat presentasi sekali.
Simpel aja, kan?
Sayangnya, kita belom ke bagian mantepnya.
Bagian mantepnya adalah,
setiap presentasi udah harus dikirim ke e-mail dosennya hari Selasa sebelom presentasi jam 22.00 WIB dalam bentuk soft copy.
Eh salah, itu bukan bagian mantepnya. At least, itu bukan bagian TER-mantep dari kisah kecil ini.
So, slide presentasi udah harus kelar dua hari sebelom kita beneran presentasi. Bukan cuma udah kelar, tapi udah harus dikirim ke dosennya. Dua hari sebelom presentasi. Agak mengganggu mental deadliner tulen yang gue punya, tapi gak papa. Toh gue dan Rares cuman bakal maju sekali, dan abis itu gak ada lagi yang namanya tugas-dikumpulin-rada-kecepetan kek matkul Pemasaran ini. Lagian, gue liat, pasangan kelompok yang lain keknya gak ada masalah sama beginian, semuanya lancar ngumpulin tepat waktu tanpa kena semprot dari dosennya.
Intinya, tenang. Zen. Kalopun gue lupa, Rares ato dosennya pasti ngingetin gue. Pasti salah satu kita bakalan inget. Gak bakal ada masalah, kan?
Well, kalo gak ada masalah apa-apa, gue gak bakal ceritain, ya nggak sih?
Waktu itu hari di minggu yang sama gue presentasi.
Gue lagi ongkang-ongkangan di kamar kosan gue. Main game? Fallout 4? Ber-Instagram ria? Ngeliatin video Chandra Liow yang terbaru? Entahlah, tapi intinya gue gak lagi mikirin soal tugas itu sama sekali. Gue tenang-tenang aja. Kek yang tadi gue bilang, pasti ada yang inget. Ato ingetin. Sebelom hari Selasa jam 10 malam.
*BRRRT* hape gue geter.
WhatsApp dari dosen Pemasaran gue.
"Mo, kamu belum mengumpulkan presentasi, ya? Kamu presentasi minggu ini, bukan?"
Gak mungkin dia salah ngirim ke anak lain yang entah gimana presentasinya minggu itu juga, soalnya jelas-jelas dia taro 'Mo' di depan pertanyaan tersebut. Gak ada 'Mo' lain di kelas gue, kecuali lo mau maksain ke nama Adri yang notabene nama depannya Muhammad dijadiin Mohammad, terus dipanggil dari 'Mo'-nya doang.
Ehm.
Kenapa dia harus nge-WA gue? Mungkin dia ngingetin. Baik juga si mbak.
Penasaran, gue buka jam hape gue.
Jam 22.30.
Sial. Lewat. Pantesan aja dia ngingetin gue, Selasa jam 10 malem lom dikumpulin.
Mau gitupun juga, gue yakin kalo gue dan Rares gercep se-gercep-gercepnya, kita bisa ngelarin sebelom jam 11 malem. Apes-apesnya, ini tugas kelar jam 23.00. Lebih apes lagi, ni tugas baru kelar sekitar jam 12-an. Telat sih telat banget, tapi dia masih ada banyak waktu buat meriksa slide-nya, kan?
It's not like itu slide dikumpulin hari Kamis pagi, kan?
Kan?
Mata gue berpaling ke nama hari di hape gue.
Rabu.
Bukan Selasa.
Rabu. Wednesday.
Mampus.
Otak gue langsung kebanjiran banyak banget pikiran. 90%-nya adalah kata kotor, 5%-nya adalah 'kok lo bisa lupa, dah?' ato 'goodbye dah, nilai lo.' Tapi 5% sisanya itu yang paling menonjol dari benak lainnya.
'Kok lo masih planga-plongo aja? BURUAN KABARIN SI RARES!'
Minta maaf ke si dosen tersebut, buka LINE, ngabarin Rares.
Gue sempet diterpa ketakutan kalo dia udah tidur, tapi at that point tingkat ke-bodo-amat-an gue udah 110%. Kalo dia udah tidur, gue gak bakalan buang waktu nelpon dia 10x buat bangunin dia. Sikat aja tugasnya sendiri. Yep, se-desperate itu. Tidur jam 3 pagi? Salah sendiri lo kelupaan ada tugas.
[Side note: percakapan LINE gue dan Rares aslinya gak mengandung tanda baca dan EyD.]
"RES!" pesan terkirim jam 22.35.
'"apaan?" pesan masuk jam 22.37.
Baguslah, dia masih bangun. Dan baguslah lagi, dia fast respond. Gue langsung ngetikin situasi tolol yang kita lagi hadapi, tapi sebelom gue sempet bales lagi, keluar pesan dari dia.
"KITA PEMASARAN MAJU MINGGU INI YA, MO!?" pesan masuk jam 22.38.
Yep, kita saling tau kalo satu kelompok, kita berdua udah janji buat saling ngingetin, and yet gak ada satupun dari kita berdua yang tau kapan sebenernya kita harus maju. Kompak sampe ke lupa-lupanya. Ntaps, Res.
Singkat cerita, kita bertukar alamat e-mail biar kita bisa kerja bareng meskipun kita gak bareng. Yep, itulah kegunaan e-mail pas gue kuliah. Kerja kelompok virtual.
Dari situlah, gue tau e-mail dia.
*********13@yahoo.co.kr.
Yahoo.co.kr. K-R. As in, Korea.
Langsung curiga aja gue. Ni anak penggemar anything related to Korea. Saking sukanya, sampe-sampe region buat e-mail dia ditaronya di Korea. Buseng. Lebih ke suudzon sih itu, tapi dari situ gue udah memasang rambu kalo Rares ini teramat-sangat besar kemungkinannya adalah penyuka Korea. Lagian, ngapain lo taro region lo di Korea kalo lo bukan penggemar atau seenggak-enggaknya tertarik terhadap Korea?
Oh ya, gimana kabarnya tugas bersama gue dan Rares itu?
Kelar jam setengah 2 pagi. Yang mana menyebabkan gue tidur kemaleman (obviously). Which leads to gue bangun jam 10.55. Which leads to gue telat masuk kelas. Yang mana pada saat itu Rares udah nge-LINE gue berkali-kali, mungkin takut gue gak masuk dan bikin dia presentasi sendirian. Yang mana pada saat gue masuk kelas, Rares udah di depan, baru aja mulai presentasi. Yang mana pas gue presentasi, otak gue ngablu tingkat akut. Ya gimana gak, 15 menit sebelomnya aja gue masih ngorok.
But hey, gue gak digoreng sama dosen gue!
Diliat dari sisi positifnya yang lain, seenggaknya dua hari gendeng tersebut adalah langkah pertama menuju penyelidikan mendalam gue terhadap unsur ke-fangirl-an dari Rares.
So, Korea.
Setelah gue menggali intel dari sumbernya langsung, fangirling Rares lebih terfokus ke sektor boyband. Seengaknya, pas gue tanyain dia (8/6), dia bilang dia lebih ke boyband. Oke then. Pas gue tanyain soal aktor, dia cuman nyebut satu aja aktor drakor (drama Korea) kesukaan dia, Lee Sang-yeob. Meskipun gue 99% yakin oppa Sang-yeob bukan satu-satunya aktor yang dia suka.
Yaudah, siapa aja?
"Semuanya," dia bilang.
Say again, what?
"Semuanya, kecuali Black Pink," itulah versi lengkap pernyataan dia.
Yaelah, gimana dia mau suka boyband Black Pink? Bukan gara-gara dia gak suka ato gara-gara mereka jelek, tapi gara-gara sebuah alasan yang jauh lebih simpel dari itu: Black Pink gak bisa memenuhi syarat dasar dari sebuah boyband. BOY-band. Yep, isinya cewek semua.
Not like Rares emang gak suka Black Pink sih. Yang itu dia ngefans juga. Itu, dan iKon.
Dan setelah gue gali-gali lagi, ini bukan pernyataan ngawang. Dia bukan tipe-tipe yang ngomong, "Oh, gue suka semuanya," tapi yang dia beneran suka cuman specifically satu cowok ganteng dari satu boyband berisikan 15 cowok.
Dia. Suka. Semuanya.
Keliatan dari Snapgram dia, sih.
Wait, ada apa dengan Snapgram dia?
Masih inget analisa gue terhadap Difa dan kesukaannya terhadap kucing Anggora-nya, Gluki?
Kalo diterjemahin ke dalam Snapgram, seberapa suka kah Difa terhadap kucingnya ini?
Dari 5-10 story, 3-4 story berisikan kucing dia.
Rares?
20 story, 20 tentang Korea.
Oke, ini angka lebay. 20 story, 15 tentang Korea.
Then again, gue inget pernah ngeliat deretan snapgram isi 20 story yang isinya boyband Korea semua. Just for that one day, though.
Trus dari lo pada ada yang mikir, "Ah, gak mungkin, Mo! Masa' dua puluh-dua puluh-nya isinya Korea semua? Pasti ada 5-10 story yang dia gak lagi mantengin Korea, kan?"
Dan lo, as a matter of fact, bener. Dari 15 story tersebut, ada 5-10 story yang bukan berupa dia naro kamera hape-nya di depan TV nontonin boyband kesukaannya.
Tapi, kek yang tadi gue bilang: TENTANG Korea.
Yep, kamera gak lagi nyorotin TV, tapi lagi nyorotin muka dia pas dia lagi 1) ikutan nyanyi lagu boyband tersebut, 2) joget ngikutin lagu tersebut ft. shaky cam yang ngalahin film action, 3) caption dia yang menyatakan kesukaan dia terhadap boyband tersebut, atau 4) dia ngomongin boyband tersebut ala-ala vlogger lagi nge-review makanan Go-Food.
Ah, how do I put this?
Kalo bicara soal fangirl, gue langsung berpikir mereka ini suka sama sesuatu secara teramat sangat. Sesuatu. SE-suatu. Satu hal. Satu subjek dalam sebuah bidang. Sasa suka Megaman, satu subjek dalam bidang gaming. Difa suka Harry Styles, satu subjek dalam bidang cowok-penyanyi-ganteng. Satu subjek, satu entry, dalam satu bidang.
Rares dalam bidang boyband Korea suka sama...semua subjek.
Ini mah udah bukan fangirl lagi. Master of fangirl. M.fg pangkatnya.
Jatoh-jatohnya, gue deket bukan cuma sama fangirl semi-fiktif yang biasa gue liat di TV. Gue deket sama master of fangirl yang bahkan sesama kaum fangirl anggap semi-fiktif.
I mean, holy shit!
Ehm.
Buat sekarang (8/6), dia suka NCT, sih.
Dan lo pada mesti tau, kesukaan Rares JAUH lebih dari sekadar Korea doang. Korea? Pffft, itu cuman puncak gunung es dari ke-fangirl-an Rares. Dan ke-fangirl-an terhadap Korea yang gue ceritain? Itupun juga masih masih daerah permukaan dari unsur fangirl yang Rares punya terhadap Korea.
Kek this one time dia minta Praya nge-photoshop mukanya--I repeat, mukanya--ke foto Mark NCT dengan seorang penggemar. As in, muka penggemar tersebut diplasterin muka Rares. Well, Praya yang mulai dengan menawarkan diri di group chat Babes gara-gara gabut, tapi Rares-lah yang ngambil kesempatan tersebut.
Singkat cerita aja, soalnya gue rasa ini postingan udah kepanjangan. Mon maap nih, Res.
Sejauh ini, Rares adalah fangirl yang luar biasa. Yang gue pikir ketemu langsung aja udah susah banget, apalagi jadi temen. Kek, menurut gue, ketemu--dan temenan sama--fangirl tipe beginian udah kek ketemu burung cendrawasih di Kebun Raya Bogor. Mungkin suatu hari bakal terjadi, tapi 'suatu hari' itu mungkin adalah kurang lebih 50 tahun dari sekarang. Yep, susah banget.
Tapi ada satu kisah yang membuat dia bener-bener stand out dari fangirl lainnya. Bahkan, gue rasa ini adalah kisah yang bikin dia stand out dari--kalo ada--sesama pemegang gelar M.fg.
Ini kejadiannya pas beberapa hari setelah sebuah berita sedih yang melanda dunia K-Pop.
Lebih tepatnya, berita duka.
Meninggalnya Kim Jong-hyun.
Singkat cerita, pada hari itu, seluruh dunia K-Pop berduka. Gak sesama boyband, gak girlband, gak manajemen, gak penyanyi solo...semuanya.
Tapi gue rasa yang paling terpukul adalah pihak fans. Para penggemar.
Di hari beredarnya kabar Jong-hyun meninggal tersebut, feed social media gue kebanjiran ucapan belasungkawa. Ucapan belasungkawa, hashtag #StayStrongShawols , tulisan RIP raksasa, emoji nangis, foto item-putih si Jong-hyun, semuanya membanjiri feed Instagram dan LINE gue. Semua untuk orang yang gue gak kenal. Yang mana bikin gue kebingungan setengah idup. Not that gue gak suka dia, sih. Orang dia siapa aja gue gak tau, gimana gue mau ikutan sedih?
Rasanya, meninggalnya personil Shinee tersebut menyebabkan kesedihan massal. Bukan cuma penggemar Shinee dan Jong-hyun doang, tapi, kek yang tadi gue bilang, penggemar K-Pop in general.
Yep, ini adalah berita yang menyedihkan.
Tapi gue gak nyangka bakal ada yang sesedih ITU.
Itu? Itu gimana? Sedih sampe berapa?
Gimana kalo sedih sampe depresi?
Gimana kalo sedih sampe mau mati?
Gimana kalo sedih sampe NYOBA BUNUH DIRI?
No joke, kurang lebih dua hari setelah berita bunuh diri Jong-hyun beredar, gue kedapetan berita bunuh diri lainnya. Lebih tepatnya, berita PERCOBAAN bunuh diri. Fiuh, untung doi masih hidup.
Dilansir dari www.tribunnews.com , dua fans Jong-hyun di Indonesia kedapatan mencoba bunuh diri setelah meninggalnya superstar K-Pop tersebut. Gak ada detail mengenai kedua percobaan bunuh diri tersebut kek modus operandi, saksi mata, barang bukti, dan kawan-kawannya itulah, tapi that's that.
Percobaan bunuh diri. Dua fans. Di Indonesia.
I mean, berita meninggalnya oppa Jong-hyun emang sedih.
Tapi gue gak nyangka bakalan ada yang sedih sampe SEGITUNYA.
Damn.
Gue tau Rares pasti sedih. Berduka.
Tapi apakah dia sesedih dua fans itu juga?
I imagine Rares sebagai seorang penggemar K-Pop gelar master fangirl pasti terpukul banget. Jangankan Rares, fans K-Pop casual aja sedih, apalagi yang kelas kakap kek dia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut gue dapetin kurang lebih 5 jam setelah berita itu beredar. Dalam bentuk Snapgram. Dari akun Instagram Rares sendiri.
UPDATE (11/6): pas gue tanyain, ternyata Rares udah lupa. Lupa, ato mungkin ternyata 'Snapgram' tersebut datengnya bukan dari Rares alias gue salah intel. Syit. Either way, dia minta maaf buat ketiadaan informasi ini.
"WKWKWKWKWKWKWK MON MAAP SEKELUARGA :(" katanya di LINE setelah gagal mengingat.
[Side note: 'mohon maaf sekeluarga' adalah catchphrase Rares. Mirip-mirip lah, sama 'kangen Dion'-nya Nisya atau 'ya gue emang kek gitu'-nya Difa. The more you know, right?]
Anyways, lanjut.
Tetep aja gue tanyain pendapat dia tentang situasi dua-fans-yang-nyoba-bunuh-diri tersebut meskipun dia sendiri sebenernya udah pernah berpendapat sebelom gue tanyain. Eh, apaan sih?
"Yaudah, apa pendapat lo tentang fans yang nyoba bunuh diri itu?"
"Apa ya, hmmmm," balas Rares.
*semenit kemudian*
"Menurut gue, daripada suicide mending tobat, deketin diri sama yang di atas," katanya. "Idup lo bukan sekadar oppa oppa Korea doang, mereka kenal lo aja enggak."
Dan karena ini LINE, dia tutup dengan
"-Rares 2018"
"Lo sendiri pastinya sedih kan, pas Jong-hyun meninggal?" tanya gue lagi.
"YE MENURUT LO?" balasnya, literally pake caps semua.
"Tapi gak nyampe segitunya, kan?"
"Iyes bener Mo, gak segitunya."
There you have it, folks.
Sedih sih boleh, tapi bunuh diri gara-gara idola lo meninggal is a little too much, don't you think?
Tengoklah Rares, master fangirl, pakar K-Pop tingkat tulen, yang pastinya terpukul pas Jong-hyun meninggal, kentara banget dari chat-nya dengan gue.
Apakah dia bersedih terus sampe berlarut-larut? Enggak.
Apakah dia membiarkan meninggalnya idola dia ini memengaruhi kehidupan dia? Nop.
Terpenting,
apakah dia jadi berpikir irasional?
Hell no.
Granted, dua fans Jong-hyun tersebut punya masalah tersendiri yang lebih gede dari sekadar kecintaan mereka terhadap idol K-Pop tersebut. Menurut artikel dari Tribun yang gue taro di atas, dua-duanya punya masalah dalam kehidupan mereka, yang mana satu fan kedua orang tuanya udah meninggal dan fan yang lain datang dari broken home. Seakan-akan Jong-hyun adalah 'perlindungan' mereka, sumber kebahagiaan mereka di saat kurang lebih semua dalam kehidupan mereka amburadul.
Then again, suicide is never an answer. Never was, never is, and never will be.
Sedih itu boleh. Sedih ketika idola lo meninggal itu boleh. Sangat wajar. Gue juga bakalan sedih kalo suatu hari tiba-tiba gue dapet kabar kalo idola EDM gue, Avicii, meninggal dunia. Oh, wait...
Point is, lo gak boleh lupa kalo lo sendiri punya kehidupan. Kehidupan nyata, yang lo jalanin sekarang banget, yang jauh terlepas dari dunia K-Pop tersebut. Kehidupan nyata yang lebih dari sekadar jatuh-bangun, single-taken, mati-idup-nya bintang K-Pop kesayangan lo. Your life, right here, right now. That's all that matters.
Dan itu dia yang bikin Rares seorang fangirl yang luar biasa.
Segila-gilanya dedikasi Rares terhadap fandom-nya, dia gak membiarkan kegemarannya ini menghalangi akal sehat dia. Dia gak terbutakan oleh kesukaannya terhadap K-Pop.
Se-fangirl-fangirl-nya Rares terhadap K-Pop, dia gak lupa kalo masih ada kehidupan nyata yang harus dia jalanin, lengkap dengan segala masalah-masalahnya.
Segede-gedenya kesukaan dia terhadap fandom-nya,
Rares gak kecanduan.
Gak berlebihan.
Dan itu, kawan-kawan.
Itulah yang bikin dia truly stand out di antara sesama fangirl. Bahkan di antara sesama master fangirl.
Res,
you truly are an extraordinary fangirl.
Di antara golongan fangirl dan bahkan master fangirl sekalipun.
Not only that lo punya kesukaan yang sangat luas, merata, dan not to mention dalem terhadap semua aspek dari fandom lo tanpa terkecuali, tapi lo juga gak membiarkan kesukaan lo ini bikin lo jadi irasional. Lo berdedikasi tingkat tulen tanpa ngilangin mikir. Bener-bener kombinasi yang seimbang.
Fangirl yang luar biasa.
Salah.
Fangirl yang sesungguhnya. Teladan fangirl yang semestinya.
A true fangirl.
#EmoGal: Sandra
Sandra aka Dewi.
Demi apapun, nama dia bukan Sandra Dewi. Kalo lo ngiranya dalam nama dia ada unsur nama 'Sandra' dan 'Dewi', lo bener. Tapi nama dia bukan Sandra Dewi. Lebih-lebih lagi, gak ada dalam nama lengkap dia ada 'Sandra Dewi' yang berjejer barengan dengan unsur nama 'Sandra' yang disebutkan pas sebelom unsur nama 'Dewi'.
Sial, gue lagi kehabisan topik, ya?
Ehm.
Sandra.
Kalo kita menilik Sandra, kita harus balik lagi ke jaman-jaman semester satu. Jaman-jaman gue lom tau ada yang namanya Babes. Jaman-jaman peer gue masih tu dua orang, Ali dan Adri (astaga li dri, jangan baper lah, you both are still my homies kok hehe).
Jaman-jaman gue lom deket sama anggota Babes yang sekarang.
Waktu itu masih minggu pertama banget kuliah. Hari Jumat.
"Eh, ini siapa, dah?" tanya Adri sambil ngeliatin kertas presensi kelas.
"Siapa... ya siapa, dri?" balas gue.
"Ini," pungkas Adri sambil menunjuk ke sebuah nama di daftar absen.
Nama Sandra.
Sedikit bocoran: nama Sandra panjang banget, kurang lebih lima kata, tentunya dengan unsur nama 'Sandra' dan 'Dewi' di dalamnya. In other words, Adri gak mungkin salah nunjuk.
"Dia sampe sekarang lom pernah masuk, yak?" lanjut Adri.
"Eh iya yak, gue aja sampe gak nyadar kita masih ada satu anak lagi," kata gue.
"Mana, mana," timbrung Ali, ngeliatin daftar absen. "Salah kelas, kali? Eh, tapi gak mungkin juga, ya?"
"Hmmm, ni anak misterius, ya. Keren juga," ujar gue.
Pasalnya, selama satu minggu pertama tersebut, Sandra gak pernah muncul sama sekali di kelas. Bukan cuma hari pertama ato hari kedua yang biasa orang lakuin, tapi bener-bener SATU MINGGU. 5 hari kuliah, gak ada satu hari pun dari lima hari tersebut dia muncul. Lom lagi gak pernah muncul intel ato kabar ato informasi mengenai keberadaan Sandra. Pastinya dia seorang cewek (kecuali sekarang mereka udah mulai ngasih cowok nama 'Dewi'), tapi other than that, nothing.
Fast forward ke minggu depannya.
Nampaknya, gue baru dapet kabar dari Sandra dua minggu setelah pertama kali masuk kuliah. Langsung dari orangnya. Tanpa perantara. Antara gue duluan yang contact-an sama dia ato dia duluan yang tiba-tiba nge-LINE gue, gue gak tau. Lebih tepatnya, lupa.
Yang gue inget adalah alasan dia sempet 'ngilang' selama kurang lebih dua minggu.
Operasi usus buntu.
"Wew, tapi lo udah bisa masuk minggu depan?" tanya gue di LINE.
"Udah bisa kok, Mo," balas Sandra. "Pelajarannya mata kuliahnya udah nyampe mana aja?" lanjutnya.
"Ya, kebanyakan mata kuliah baru masuk perkenalan sih," jawab gue. "Palingan ada mata kuliah Pengantar Ilmu Politik yang udah ada tugasnya."
"Tugasnya apa Mo?"
"Presentasi sih, digilir, mulainya minggu depan. Seinget gue lo masih lama, sih."
"Oalah, oke-oke," tukas Sandra. "Selain itu ada apa lagi?"
"Udah sih, yang udah ada tugasnya palingan itu aja."
"Okeee, makasih banyak ya Mooo," tulis Sandra di LINE.
"Iye sama-sama," jawab gue.
Well, she seems nice, itulah yang lewat di pikiran gue setelah selesai ngabarin Sandra. Sejujurnya, first impression gue terhadap Sandra gak ada masalah. Bagus, malahan. Lebih bagus dari beberapa anggota Babes yang sekarang lebih deket sama gue, e.g. Difa.
She seemed nice, and she IS nice, apparently. Pernyataan gue gak berubah.
Loncat ke beberapa minggu kemudian, Sandra menjadi salah satu temen deket gue. Tentu saja ada the two guys, tu dua orang, dua manusia yang jadi selalu jadi peer gue, tapi surprisingly gue lumayan deket sama Sandra. Gak canggung ketika ketemu, gak canggung ketika ngomong, dan tentunya gue gak ada rasa dongkol kalo ngomong sama dia, gak kek--you know what, gue rasa gak perlu gue sebutin. Lagi.
Oh ya, dan Sandra tau Skyrim.
Sandra tau Skyrim nama lengkap The Elder Scrolls V: Skyrim, salah satu game RPG paling mantep sejagat. Kata gue, ini dia satu unsur yang bikin kita bisa jadi lebih deket. Adanya kesamaan field of experience. Suatu kesamaan di bidang pengalaman/pengetahuan yang bisa jadi bahan omongan selama berjam-jam. Come to think about it, gue emang udah pernah ngobrolin Skyrim sama Sandra selama lebih dari satu jam. Apakah Sandra tau lebih dari sekadar Skyrim? Entahlah, gue gak pernah nanyain lagi? Gimana, Dra?
Lebih lagi, Sandra pernah ngasih gue sebuah souvenir dari pengetahuannya terhadap Skyrim.
Secarik kertas berisikan tulisan nama gue dalam dovahzul--bahasa naga--yang terdapat dalam Skyrim. Bahasa yang cuman digaungkan oleh kawanan naga dalam game tersebut. Bahasa yang saking kerennya, mereka punya dialek sendiri, aksara sendiri, dan makna tersendiri dalam setiap katanya. Bahasa para naga. Wow.
Somehow, Sandra tau (atau seenggaknya, punya waktu buat mencari tahu) bahasa tersebut, dan suatu hari nanyain ke gue
"Eh Mo, kamu mau gak, nama kamu kutulisin dalam dovahzul?"
[Side note: Sandra orang Magelang, sebuah daerah di mana yang namanya 'gue-lo' gak seberapa lazim di sono. Yang ada, mereka ngomong pake 'aku-kamu', mau itu orangnya pacar mereka ato bukan. Sedikit konteks aja, sebelom ada yang mikir kejauhan.]
"Woooo, lo bisa, Dra?" tanya gue. Sandra mengangguk.
Dan pikiran gue waktu itu adalah, sure, why not? Itulah pikiran gue, dan itulah jawaban gue ke pertanyaan dia.
Besoknya, dia dateng ke gue, membawa secarik kertas putih dengan tulisan dovahzul dari nama depan gue, Anselmo. Tulisan tersebut terdiri dari aksara bahasa naga yang mewakili setiap huruf dari nama gue. Setiap huruf diwakili oleh sebuah aksara.
Ya gue bisa aja cari di Google, but the fact that dia beneran nyari tau tentang (kalo dia lom tau sebelomnya) dan nulisin aksara tersebut dan ngebawain souvenirnya ke gue besoknya, that's real nice. Not a lot of people would've done that.
Apa yang tadi gue bilang? Seemed nice and IS nice. Seenggaknya, di singkatnya waktu gue bertemu dengan dia di semester satu.
Hold up.
#EmoGal ? Ada apa dengan itu?
See, ini adalah sesuatu yang gue temuin SETELAH semester satu. Setelah gue udah gak sekelas lagi sama Sandra. Setelah Sandra masuk peminatan kuliah PR/Public Relations/Humas dan gue masuk peminatan Advertisement/Periklanan.
Mungkin Sandra udah gak sekelas lagi sama gue, tapi dia adalah anggota Babes. Dan Babes punya group chat LINE sendiri, dengan Sandra sebagai salah satu anggotanya.
Waktu itu, anak-anak PR baru ngelarin tugas mereka. Bikin video tentang self-advertising. Ato self-public relations. Ato self-marketing. Ato self-communicating. Entahlah, intinya mereka bikin video tentang seberapa gunanya PR menurut diri mereka. Itu yang gue tangkep, sih.
Video-video ini murni buatan mereka. Artinya, masing-masing anak harus bikin konsep video sendiri, nge-direct video mereka sendiri dengan segala tetek-bengeknya, dan meng-edit sendiri. Semua serba sendiri. Jatoh-jatohnya, setiap video dari setiap anak PR punya style yang teramat sangat beda dari satu anak ke yang lain.
Selain Sandra, gue bakal ambil dua contoh lain yang paling gampang: Ali dan Adri.
Ali ngambil tema (kalo gue gak salah ya li) 'Famous or Notorious'. Gimana caranya PR bisa memutarbalikkan reputasi seseorang dari yang tengkurep jadi mantep ato sebaliknya. Di video tersebut, Ali memerankan seseorang yang jelas-jelas masuk ke lingkup 'notorious'--DM Instagram dia isinya negatif semua, orang-orang risi sama dia sampe gak mau duduk di sebelah dia di bangku taman, dan bahkan tukang nasi goreng aja nolak ngejual ke dia. Meskipun agak susah dibayangin mengingat Ali sendiri jelas-jelas jatoh ke lingkup 'famous' di kehidupan nyata.
Adri ngambil tema... yang gue udah lupa temanya apa. Yang gue inget adalah konten dari videonya Adri ini: sebuah wawancara antara orang HRD dan para pengincar lowongan kerja. Kalo gue gak salah inget, mereka-mereka yang punya skill PR dan komunikasi yang bagus diterima. Simpel aja message-nya, gak usah muluk-muluk. Eh, deskripsi gue bener kan, Dri?
Dah, itulah pekerjaan sebuah tugas-bikin-video-dari-anak-PR versi Ali-Adri.
Sandra?
Ah, how do I put this?
Penilaian gue terhadap Sandra sebagai seorang #EmoGal hampir aja seluruhnya berasal dari tugas dan tugas ini aja.
See, yang mana anak-anak lain membawa video mereka dengan nada kek kehidupan sehari-hari yang lebih ringan dan terkadang mengandung unsur kocak, video Sandra jatoh-jatohnya kek film horor. I repeat, kek film horor.
Satu menit pertama dari video Sandra aja udah diiringi sama lagu pelan bernada mencekam, mirip dengan lagu-lagu music box yang biasanya ada di film horor. Mungkin itu gak seberapa serem, tapi lagu tersebut hanyalah latar dari key visuals mantep yang Sandra punya: serba gelap, item, mengandung unsur flashing lights (meskipun untungnya gak ada jump scare disitu) dan overall mencekam.
Semuanya itu dinarasikan oleh suara Sandra sendiri. Dan hoo boy, suara Sandra ini bagian termantep dari video tersebut.
Tau hantu anak cewek kembar yang ada di The Shining?
Let's just say suara Sandra rada mengingatkan gue sama tu dua anak cewek. Gak sama persis tentunya, mengingat mereka punya logat Inggris. Tenang, ringan, pelan, namun teramat sangat monoton, up to the point of ke-monoton-an suara tersebut bikin lo jadi gak nyaman.
Bukannya dia emang gak bisa berekspresi ato gak tau cara berekspresi yang baik dan benar, sih.
If anything, I'd say she did a good job.
Video tersebut rada twisted, gelap, dan emo lah, bisa dibilang. Kalo emang ini direction dan reaksi yang Sandra pingin, gue bilang sih dia mampu membawa suasana emo tersebut dengan sangat baik. Ntaps, Dra.
Gue masih inget, pas video ini beredar di group chat LINE Babes.
Beberapa anggota group tersebut bilang kalo video Sandra ini emang serem. Antara ada 'banget'-nya ato gak, gue lupa. Tapi serem. Difa, Haniya, dan Rares, kalo gak salah. And I'd say they are correct. Dari semua entry tugas-video-anak-PR tersebut, punya Sandra adalah yang paling beda, in the sense that punya dia adalah yang paling serem.
Sekali lagi, kudos to you, Dra.
Setelah satu kejadian tersebut, gue pun nyadar satu aspek lagi dari Sandra yang semacam memperkuat unsur emo dirinya.
See, ada suatu waktu dimana status LINE-nya adalah dua kata.
Macabre Phantasmagoria.
Di permukaannya, dua kata tersebut kedengeran random. Dua kata yang digabungin bareng gara-gara mereka berdua enak didenger. Dua kata yang gak saling berhubungan. Well, emang aslinya dua kata tersebut gak berhubungan, sih.
Tapi kedua kata tersebut punya arti tersendiri.
'Macabre' berarti 'sesuatu yang menyeramkan dikarenakan keterlibatan atau penampilan dari kematian atau luka'. Sesuatu yang melibatkan kematian sebagai tema sentralnya. Ato sesuatu yang pada dasarnya sadis atau mengerikan.
'Macabre' yang lain sebenernya adalah sebuah film Indonesia keluaran 2009.
Mungkin dari lo pada ada yang pernah denger film Indonesia berjudul 'Macabre' sebelomnya, tapi bagi yang gak familier, 'Macabre' adalah judul internasional dari film Rumah Dara. Masih gak tau juga? Versi singkat: film Saw dengan kearifan lokal. Ceritanya, satu geng temen-temen disambut seorang wanita bernama Dara ke dalam rumahnya, namun yang ada Dara itu sebenernya adalah seorang pembunuh ala-ala Leatherface, lengkap dengan starter pack-nya tersendiri kek chainsaw dan kawan-kawannya itulah.
Tu film dilarang diputar di Malaysia saking serem dan sadisnya. Sebuah pencapaian, mengingat belom pernah ada film Indonesia yang di-ban di Malaysia sebelom si Macabre ini.
Jadi, 'Macabre' yang mana yang Sandra sebenernya maksud di statusnya? Yang pertama ato yang kedua? Either way, dua konteks dari kata tersebut jatoh-jatohnya sama: horor.
Sementara itu, 'Phantasmagoria' gak seberapa serem, meskipun unsur seremnya masih ada.
'Phantasmagoria' adalah sebuah teknik yang dipake oleh teater-teater tema horor abad ke-19. Mereka pake banyak teknik buat bikin tema horor tersebut, salah satunya dengan make apa yang mereka sebut dengan magic lantern buat bikin gambar-gambar serem kek hantu, tengkorak, dan teman-temannya.
Intinya, horor. Lagi.
Pastinya ada konteks lagi mengenai kata 'phantasmagoria' ini yang gue gak temuin dari sesi riset 5 menit gue di Google. Entahlah, rasanya cuma Sandra yang tau.
So that's that. Dua kata bertemakan horor kelas kakap, dua-duanya dia jadiin status di LINE dia. Not that it's a bad thing, dua kata tersebut 1) enak didenger, suka gak suka, dan 2) adalah kata bertemakan horor yang lumayan dalem maknanya. Istilah keren dalam horor lah, istilahnya.
Emo? Kurang lebih.
Mungkin bukan emo beneran yang teramat sangat edgy dan benci terhadap kurang lebih segala sesuatu, tapi diliat dari estetika, Sandra nampak seperti seorang emo. Pembawaan dia serba gelap dan rada-rada disturbing, meskipun gue tau persis dia sendiri bukan orang yang kek gitu.
Like I said, she's a nice girl. Bukan emo beneran. Emo by appearance doang sih, lebih tepatnya. Bukan emo sesungguhnya yang kadang-kadang suka mikirin suicide, ato emo yang hobi dengan hashtag #Selfhurt ato #Selfharm , ato emo yang ansos, tapi emo yang sebenernya bukan emo.
Kalo udah kek gini, gak sepantasnya gue melabeli dia sebagai seorang #EmoGal , ya?
Tenang aja, Dra.
Di mata gue,
you are and always will be one of the nicer ones.
Menurut gue, seenggaknya.
#RightGal: Ghina
Percaya ato gak, Ghina is actually one of the classic ones.
Gue udah tau Ghina dari sebelom gue tau Ali-Adri. The more you know.
Percaya ato gak (lagi),
Ghina ada di sana pas gue pertama kali kenalan sama Ali dan Adri.
Gue lupa konteks macam apa yang terdapat dalam percakapan kita waktu itu, tapi gue ingeti dia ada ngomong,
"Haha, kita tampangnya gak kayak anak KKI ya, Mo?"
Gue cuman bisa ketawa pas denger pernyataan/pertanyaan dia waktu itu.
Hampir dua tahun kemudian, pas gue lagi nulis postingan ini (13/6), gue ngerasa dia pernyataan dia ada benernya.
Ada benernya as in Ghina-lah yang tampangnya gak kayak anak KKI. Pernyataan tersebut setengah bener, karena Ghina-lah yang bener-bener gak terlihat kayak anak KKI. Kayak anak dari Kelas Internasional.
Dan nop, ini bukan sebuah hinaan. Lebih ke pujian malahan.
And why is that?
Karena saking humble, sederhana, simpel, dan rendah hati-nya si Ghina ini, at first glance lo gak bakal nyangka kalo dia ini adalah bagian dari anak-anak KKI yang biasanya terkenal hedon, glamor, tajir, dan overall materialistik. Gue gak bilang semua anak KKI yang gue temuin kek gitu, tapi kalo misalnya ada yang ngomong kek gitu, gue gak bisa sepenuhnya nyalahin mereka juga.
So, Ghina.
The #RightGal . Cewek yang bener. Cewek yang saking bersahajanya, lo bisa ngira dia bukan anak KKI.
Ada dengan Ghina ini sebenernya?
Pertama-tama, #RightGal . Judul dari postingan ini. Kurang lebih julukan gue ke Ghina, meskipun postingan ini adalah pertama kali banget gue make istilah tersebut sebagai julukan terhadap Ghina.
Kenapa #RightGal ?
Let's just say that Ghina adalah anggota Babes yang paling alim.
Tentu aja, gak ada tipe-tipe nakal di geng Babes--seinget gue, anggota Babes yang terakhir berbuat nakal adalah Haniya, dan tindakan 'kenakalan' yang dia lakuin adalah membuka paksa pintu KRL yang udah ketutup. Yep, kita-kita ini emang sealim itu.
Which makes kealiman Ghina makin mengagumkan. Gimana caranya lo terkenal sebagai anggota yang alim di antara sebuah peer group yang semua anggotanya aja udah terkenal alim?
Entahlah, mungkin lo pada bisa tanya Ghina.
As far as I'm concerned, Ghina gak pernah terlibat sama yang namanya masalah-serius-yang-bisa-dijadiin-bahan-ghibah. Kalopun dia bener pernah terlibat sama begituan, gue bisa jamin kalo masalah tersebut datengnya bukan dari dia, tapi dari... ya siapapunlah selain dia. Dia emang sealim itu.
Yang ada, Ghina sering jadi korban ketidakbecusan orang-orang di sekitar dia yang menyebabkan masalah bukan cuma ke dia doang, tapi ke orang lain pula. Versi singkat dari kalimat 24 kata tadi: temen tugas kelompok yang gak becus. Ini gak berarti Ghina pasrah dan legowo aja sama situasi tersebut. Oh tidak, Ghina yang ultra-alim aja punya batas kesabaran tersendiri, dan itu kentara dari nada dia pas nyeritain ketololan dalam kelompok tugasnya.
Intinya, Ghina itu teramat sangat baik, tapi jangan lo anggep kebaikan tersebut sebagai kelemahan dia.
Kealiman Ghina sendiri bukan dateng dari gue doang. Satu Babes pun menyadari kalo Ghina merupakan anggota Babes yang paling, katakanlah, 'normal'. Bisa dibilang, unsur weirdo (yang pernah gue bahas di section tentang Sasa) yang terdapat pada Ghina jumlahnya paling sedikit. Difa sendiri pernah bilang, di Instagramnya, kalo Ghina adalah yang "gue rasa idupnya paling bener".
Dan gue setuju sama itu.
The #RightGal . Cewek yang bener. Bukan gara-gara Ghina adalah cewek yang paling bener buat semua cowok di sana, tapi cewek yang paling bener idupnya, yang paling gak bermasalah di segenap geng Babes ini.
Kalo dari gue?
Wait, what?
Kalo dari gue sendiri sebagai seorang anggota Babes, seberapa nice kah Ghina?
Astaga, lo mesti banget nanya itu, ya?
Alright, gue ada sebuah cerita singkat melibatkan sebuah percakapan LINE antara Ghina dan gue.
But first, konteks.
Kita sebagai manusia-manusia KKI ujung-ujungnya bakal melanjutkan kuliah kita ke luar negeri. Pas udah memasuki semester 5. Itu udah pasti, otherwise 'KI' di KKI gak berarti apa-apa. Gak ada yang namanya Kelas Khusus Internasional kalo udah kek gitu, yang ada ya... kelas aja.
Buat anak-anak Komunikasi yang tergolong dalam KKI, kita bakal melanjutkan pembelajaran kita ke Australia. Pulau Kangguru. Negeri Koala. The outback. The down under. The wildest place on earth, kalo menurut internet.
Di Australia, kita bisa melanjutkan perkuliahan kita ke salah satu dari tiga universitas di tiga daerah yang berbeda: Perth, Melbourne, dan Brisbane. Tentu aja tiga universitas ini adalah tiga universitas lokal, soalnya UI obviously gak punya cabang di luar negeri.
Gue dan Ghina, simply put, bakalan berangkat ke universitas yang berbeda. Gue ke Melbourne, dia ke Brisbane. Dikarenakan oleh kenyataan tersebut, otomatis tanggal masuk kuliah kita berbeda, yang mana menyebabkan tanggal berangkatnya kita ke sono juga beda.
Apakah kita udah clear di departemen perkonteksan?
Kurang lebih sebulan sebelom sekarang (14/6), pas gue lagi jalan-jalan di Kota Kasablanka, Ghina nge-LINE gue. Sebuah fenomena langka, mengingat gue dan Ghina lumayan jarang berkomunikasi lewat LINE sebelomnya. Kek, hal penting macam apa yang bikin dia sampe nge-LINE gue?
Ehm, anyways...
"Momoooo" nyampe di gue jam 16.49.
Dan gue gara-gara lagi jalan-jalan dan jarang ngeliat hape, baru ngebales jam 17.22.
"Yo, ghin."
Kurang lebih satu jam kemudian baru dia bales lagi. 18.31.
"Lo berangkat ke aussie kapan, Mo?"
Aussie di sini artinya adalah Australia. The more you know.
"Gue sih antara tanggal 25-28 Juni, Ghin."
Lagi-lagi, ada apa dengan Ghina dan pertanyaan ini? Bukannya gue risi ato ngerasa gak nyaman ato gimana-gimana, tapi simply kenapa? Pastinya dia punya alasan yang bagus buat tiba-tiba nanya gue perihal kapan gue cabut ke aussie, kan? Dia gak pernah ngangkat percakapan ini sekalipun sebelomnya, so why now?
"Lo gak bareng agent?" tanya Ghina lagi.
Agent di sini mengacu ke, you know, agent. Agensi pendidikan internasional (demi apapun, gue gak tau istilah yang bener apa) yang biasanya bertugas membantu dan memperlancar proses kita para mahasiswa menuju ke pendidikan di luar negeri. Briefing tentang apa yang harus dipersiapkan, apa yang harus dilakuin di sono, apa yang BISA dilakuin di sono, dan ngebantuin transisi kita. You know, the usual stuff.
"Kagak kayaknya," balas gue. "Agent-nya gak nganterin, sih."
"Lo berangkatnya sama siapa, dong?"
"Ya gue kalo gak bareng Vero, ya bareng Mayang-Ucha."
Wow, tiga nama baru di sini. Vero, Mayang, dan Ucha. Simply put, mereka juga anak-anak kelas advert. Ingat, kelas advert terdiri dari anak-anak lain juga, bukan cuma geng Babes doang.
"Lo gak nawarin bareng Devina?" tanya Ghina. Devina, si #TargetGal . You know the one.
Semper beredar kabar kalo Devina bakalan ngelanjutin kuliah ke Melbourne, satu kampus sama gue. Waktu itu dia masih lumayan bingung, soalnya dia sendiri tadinya ngincer ke Brisbane, tapi gara-gara satu dan lain hal, jalannya menuju kuliah di Brisbane jadi rada terhalang. Maka dari itu, dia jadi mempertimbangkan kuliah di Melbourne.
All that aside, Ghina lumayan cepet masuk ke inti permasalahan. Apakah gue ke Melbourne bakalan bareng Devina? Ato dia bakal ke sono sendirian? Dan diliat dari kata-kata yang dia pake, dia rasanya semacam MENGHARAPKAN gue ngajak berangkat bareng Devina. Ato seenggaknya, MENDUGA gue bakalan bareng Devina.
Dan gak, at that point, gue belom mempertimbangkan ngajak Devina. Tentu aja gue bakalan ngajakin Devina, tapi emangnya dia mau berangkat bareng gue? Di hari yang sama dengan gue?
"Devina berangkat kapan?" gue balas bertanya.
"Gak tau, coba aja tanya," jawab Ghina. "Lo udah harus kesana sebelom tanggal 3?"
Dari mana dia tau informasi itu? For the record, gue gak inget pernah ngasitau intel tersebut ke dia secara langsung. Then again, bisa aja dia tau dari Ali-Adri, dua orang yang sering banget nanyain gue perihal urusan aussie gue.
"Ye, kurang lebih," jawab gue. "Katanya sih mendingan berangkat dari Juni biar ada waktu buat adaptasi di sononya," lanjut gue lagi. Semacam jawaban semi-preventif, soalnya dari situ gue udah setengah mengira dia bakal ngebales gue dengan "Ah Mo, lo gak bisa diundur aja berangkatnya?" ato "Gak bisa Juli aja berangkatnya, Mo?"
Yang ada, jawaban dia adalah
"Ooooow, iya sih, harusnya emang gitu."
Hah, keknya gue emang gak tau dia secara bener-bener.
"Gue kemaren nanya sama dia belom dijawab gitu," lanjut Ghina merujuk ke Devina. "Nanyain dia berangkatnya gimana."
"Tapi you should ask her sih, gue takut dia gak ada temen bareng ke sana."
Dev, Ghina peduli sama lo. Sampe segitunya.
Ini mantep banget sih. Ghina *semacam* mengharapkan--ato seenggaknya menduga--gue nemenin dan berangkat bareng Devina ke Australia. Ghina nanyain Devina kapan dan gimana dia berangkat. Ghina secara langsung meminta gue buat nanyain ke Devina, dan secara gak langsung meminta gue buat ngajakin Devina berangkat bareng. Ghina, of all people.
Mestinya gue yang ngelakuin ginian gegara GUE yang jatoh-jatohnya bareng Devina, bukan Ghina. And yet, Ghina-lah yang memulai rangkaian tindakan tersebut. Ghina, yang gak seberapa deket sama gue, yang gue gak kira bakalan mintain begininan.
Sebuah gestur yang sederhana dan mungkin keliatannya sepele, tapi sampe ngambil waktu buat nge-LINE gue yang gak terlalu deket sama dia? Ah, keknya gak sesepele itu.
Damn, Ghin. You're so kind.
Gak cuman itu, Ghina juga sangat, bisa dibilang, bersahaja.
Mungkin ini perasaan gue doang, tapi gue selalu ngerasa kalo Ghina adalah anggota Babes yang gaya penampilannya paling simpel. Simpel bukan berarti gak ada selera sama sekali, tapi lebih ke arah gak muluk-muluk. Gak kesana-kemari nenteng tas Kate Spade (RIP) gede mentereng kemana-mana, gak ada perhiasan berlebihan, dan gak ada yang namanya make-up menor. Simpel aja.
Kek yang gue bilang, kalo lo liat Ghina untuk yang pertama kalinya, lo gak bakal nyangka kalo dia adalah anak KKI.
Bukan cuma dari penampilan dia doang. Ini udah masalah pembawaan dia, which means ini udah lebih dari sekadar tampang dia doang; ini udah nyampe ke cara dia ngomong, bahasa tubuh dia, dan ekspresi dia.
Simpel aja, gak usah terlalu lebay. Kalem, tenang, dan humble.
Ghina sendiri jarang ngomong dengan nada tinggi, gak peduli bahan pembicaraannya apa. Nada bicaranya selalu tenang dan terkendali, tapi gak necessarily monoton kek, ehm, tu hantu kembar cewek di The Shining. Dan meskipun deskripisi gue tadi mengindikasikan kalo tipe ngomong dia adalah pelan-saking-pelannya-suara-dia-gak-kedengeran, nop. Tentu aja suara dia kalah dari Babes yang lebih bacot kek Rares atau Haniya, tapi bukan berarti suara dia lebih sering kekubur dari pada keluar.
Overall, Ghina mungkin adalah orang pertama yang lo bisa approach kalo lo mau tau lebih mendalam tentang Babes. Gara-gara dua kualitas yang gue jelasin di atas, Ghina jadi orang yang sangat approachable. Lumayan mirip dengan Sandra, first impression gue terhadap Ghina juga bagus, which is more than I can say about beberapa anggota Babes yang lain, kek--ya, lo pada tau sendiri, lah.
Dan... yep, keknya gue udah kehabisan bahan omongan.
It's not that gue dan Ghina gak deket. Oke, mungkin gak seberapa deket dibandingin anggota Babes yang lain, tapi bukan berarti gue dan Ghina bener-bener total complete strangers. Kesusahan ini dateng dari kenyataan bahwa Ghina dan gue cuman pernah sekelas bener-bener sekali doang, yaitu pas semester satu.
Intinya, Ghina adalah anggota Babes yang paling alim.
Dan pesen gue buat lo, Ghin,
don't change.
#WhatAGal: Laras
Saving the best for the last, eh?
Well,
you're not wrong.
Classic one kek Ghina dan Nisya? Gak juga. Gue kenal Laras setelah gue kenal--dan deket--sama Ali-Adri.
However, gue udah TAU Laras sebelom gue kenal Ali-Adri. Melalui sebuah peristiwa pas ospek fakultas gue.
For some reason, ospek fakultas gue melibatkan MC. Bener, MC dalam artian Master of Ceremony. MC, mereka-mereka yang jadi host beribu macam acara, dari nikahan sampe lahiran, dari makrab angkatan SMA sampe award show yang masuk TV sedunia. Entah kenapa, mereka ada di ospek fakultas gue. Not that mereka gaje ato garing ato lebih bikin kita pingin cepet-cepet pulang dari kating yang marahin kita, sih. Honestly? Mereka kocak. Seriusan. Kocak dan teramat sangat mampu bikin kita lupa dengan kenyataan kalo lagi diospekin.
Dan for some reason lagi, gue dipanggil maju ke depan.
Tentu aja gue maju ke depan. Keuntungan apa yang gue dapet kalo gue nolak? Gue berusaha ngindar, yang ada tu MC bakal tambah semangat buat nyeret gue ke depan. Lom lagi gue bakalan lebih malu-maluin diri gue sendiri kalo gue ngeyel. Apa ruginya? Toh ini 1) gak bakal ngaruh soal nilai kuliah gue, dan 2) gue dapet public exposure dikit. Jadi terkenal sementara, hehe.
Pas gue udah di depan, otak gue kebanjiran sejuta pikiran. Bakal disuruh ngapain gue? Joget? Nge-dab 100 kali berturut-turut? Salto? Nge-rap bagian supersonic speed yang ada di lagu Rap God? Gue yang tadinya pede aja, sekarang jadi nervous. Meskipun gak keder sampe gemeteran, sih.
But surprise surprise, mereka manggil satu orang lagi ke depan.
"Ah! Iya, kamu! Siapa namamu?" tanya si MC sambil berusaha mengintip nametag yang dipake oleh tu orang.
"Laras?" tanya si MC.
"Oke Laras, kamu juga maju ke depan!" katanya bersemangat. Tenang aja, gak ada maksud ancaman sama sekali di kalimat tersebut. Para MC emang beneran semangat, kok.
Dan naiklah Laras ke atas panggung. Back then, gue gak tau apa-apa tentang Laras. Gue gak tau dia anak KKI. Gue gak tau dia anak Komunikasi. Gue bahkan gak tau ada anak FISIP yang namanya Laras.
"Oke, Mo!" seru si MC sambil menunjuk ke arah gue. "Lo sama Laras pimpin temen-temen lo salam FISIP!"
Gue langsung mengehela napas lega.
Dari semua kemungkinan tolol nan memalukan yang bisa si MC suruh gue lakuin, dia suruh gue salam FISIP. Ini bisa aja jadi mimpi buruk bagi gue kalo waktu itu adalah hari pertama banget gue ikut kegiatan ospek fakultas tersebut. Dengan kata lain, gue gak bakal tau apa itu 'salam FISIP' kalo gue gak ngikutin pernah ngikutin kegiatan ini sebelomnya.
Tapi tenang aja, gue udah ngikutin ospek ini dari hari pertama. Dan gue tau banget apa itu 'salam FISIP' yang dimaksud oleh si MC.
"Oke, ehm," deham gue sambil menoleh ke Laras. Laras pun juga menoleh ke arah gue sambil ngasih aba-aba. "Barengan, yak," kata Laras pelan tapi terdengar. "Satu, dua, tiga!"
[Side note: Salam FISIP-nya berjalan lancar aja. What, lo meng-expect sesuatu yang sangat memalukan dan bikin tengsin terjadi di momen krusial gue ketemu sama Laras, gitu? Sorry mates, tapi just because gue nyeritain sesuatu bukan berarti ketololan pasti terjadi dalam sesuatu itu, ya nggak sih? Tenang aja, masih banyak ketololan buat di lain hari. Oke?]
Fast forward 2 minggu kemudian. Gue udah ketemu Ali-Adri. Gue udah memasuki hari pertama kuliah gue. Gue udah masuk kelas dan lagi ngikutin pelajaran. Only this time hampir gak ada yang namanya 'pelajaran' beneran hari itu, yang ada cuman sesi perkenalan doang. You know, yang biasa dilakuin kurang lebih semua jenis guru dan dosen di semua jenis sekolah di minggu pertama masuk sekolah/kuliah ?
Anyways, perkenalan ini sistemnya bergilir, dan sampailah giliran perkenalan ini ke seorang cewek yang duduk lumayan jauh dari kita.
"Hello, my name is Laras."
Lagi-lagi ada seorang cewek yang gue tau yang bernama Laras. Another Laras, it would seem. Dalam kurun waktu dua minggu, gue udah kenal dua Laras di dua kesempatan yang berbeda. Wow.
Pas gue ngeliat ke arah Laras, dia menatap gue balik. Kek dia kenal gue. Melambaikan tangannya kek, you know, gue udah pernah ketemu dia sebelomnya.
Tentu aja gue bales melambaikan tangan gue ke dia, gue gak mau langsung dicap anak songong di hari pertama banget gue masuk kuliah, but do I really know her? Itulah pertanyaan yang terlewat di benak gue.
Answer is: yes, I DO know her.
Itu Laras yang sama!
Dari yang ketemu gue di ospek fakultas!
Tapi kenapa gue gak ngenalin dia pada awalnya?
Yep, dia ganti model rambut. Buseng, Ras.
Setelah dipikir-pikir lagi pas sekarang gue nulis section ini (19/6), gonta-ganti model rambut adalah semacam ciri khas tersendiri dari Laras. Dimana ada temen gue yang lain yang hobinya gonta-ganti WARNA rambut (more on her later), Laras ini seringnya gonta-ganti MODEL rambut. The more you know, eh?
Anyways, Laras adalah personil Babes yang paling unik hubungannya dengan gue. Can I say that? I can? Good.
See, Laras gak termasuk ke kategori the classic ones, kek yang gue bilang di atas. Gue gak temenan sama dia sebelom gue temenan sama Ali-Adri.
However, gue udah TAU dia sebelom gue bahkan tau Ali-Adri.
Tambah lagi, ehm,
Laras adalah satu-satunya anggota Babes yang deket sama Ali-Adri.
Malahan, Laras sebenernya adalah anggota dari Babes DAN peer group mini gue & Ali-Adri. Yep, at one point, Laras adalah bagian dari peer group gue, Ali, dan Adri. Kita sempet bukan cuma bertiga, tapi ada berempat dengan Laras. Sampe sekarang masih sih, sebenernya. Intinya Laras adalah bagian dari dua peer group yang ada gue-nya. Satu-satunya anggota Babes yang punya pangkat tersebut. Sial, susah banget yak, ngejelasin ini?
Which brings up another point: Laras dan gue udah temenan lama sebelom gue tau ada yang namanya Babes. Dan ini melibatkan Ali-Adri, beda kasusnya dengan Nisya ataupun Ghina.
So, gimana si Laras ini?
Well, sesuai judulnya. #WhatAGal. What a girl.
Gue harus mulai dari mana, ya?
Firstly, Laras aslinya adalah seorang selebriti di masa kecilnya. Oke, gak nyampe seleb juga, tapi let's just say dia lumayan terkenal.
Dia adalah mantan host Koki Cilik. Yep, Koki Cilik-nya Trans 7.
Mungkin lo pada lebih kenal Prilly aka Prilly Latuconsina yang namanya udah beredar dimana-mana sekarang, ato Rachquel yang (menurut artikel referensi gue) sekarang udah membintangi FTV dimana-mana , ato bahkan Hanggi yang sekarang udah jadi YouTuber. Mungkin lo pada inget mereka-mereka yang lebih tenar dibandingkan Laras.
[Side note: bagi yang kepo, Laras ini adalah si Laras yang pernah liputan ke Korea Selatan. Yep, Laras yang itu. Dialah yang lagi gue bahas di sini.]
Then again, gila juga.
Maksudnya, setelah dipikir-pikir, Laras ini, temen gue ini, kemungkinan pernah gue tonton indi TV pas gue masih kecil. Gue nontonin dia, ngagumin gimana caranya anak-anak bisa masak sejago itu, sepede itu di depan kamera...dan entah kenapa, salah satu dari anak-anak tersebut adalah temen gue. Salah satu temen terdeket gue, as a matter of fact. Kinda crazy, you know? Ngagumin mereka-mereka yang udah mencapai banyak banget pas lo masih kecil, tanpa sadar lo seumuran sama mereka, dan tiba-tiba mereka adalah temen kelas lo sendiri? Kek, temen lo, I repeat, TEMEN LO pernah masuk di TV, dan dia gak cuman lewat doang; dia jadi host.
Ah, terkadang gue masih susah percaya sama fakta kalo Laras adalah mantan koki cilik.
Dan bener aja, Laras punya karisma yang tinggi. Pembawaan Laras pas ngomong kalem, tenang, dan anggun. Ramah dan friendly banget, itulah perlakuannya ke kurang lebih setiap orang yang dia temuin. Belom lagi nada bicaranya yang cenderung tenang tanpa ada indikasi nyolot sedikitpun, gak kek--ya lo pada tau sendiri lah. Semua itu ditambah dengan pemilihan kata yang selalu on point ngebikin Laras jadi anggota Babes yang paling populer. Temennya banyak banget lah, bisa dibilang.
Kek pengalaman ospek fakultas gue dengan Laras. Sebenernya waktu itu gue udah dapet indikasi akan kepedean Laras, meskipun waktu itu gue lom menyadari tingginya karisma Laras. Yep, pas kita pertama ketemu, Laras gak menunjukan tanda-tanda nervous sama sekali. Sure, dia kaget pas tiba-tiba disuruh maju ke depan, tapi pas udah nyampe saatnya kita memimpin kurang lebih 500-an orang buat yel-yel, Laras gak keder. Suara dia gak pecah. Gak sampe membentak, tapi cukup lantang dan sangat jelas sampe ke pelafalannya.
Kata gue, itu tadi adalah produk dari pengalamannya sebagai seorang koki cilik.
A-elah, ngapain gue kaitin semua hal mengenai Laras ke koki cilik, yak?
I mean, gue rasa dia emang dari sononya adalah cewek yang teramat sangat baik sikapnya. Deskripsi dia sebagai orang yang ramah dan friendly, gue rasa itu udah dari sononya. Tapi karisma dia yang tinggi? Gue rasa itu adalah hasil dari--you guessed it--pengalaman dia di Koki Cilik.
Dan seriusan, Laras ini jago ngomong. Bukan tipe-tipe jago ngomong kek ketua BEM yang bisa orasi di depan seribu-an orang dengan suara lantang nan membara, tapi lebih jago ngomong kek calon-calon Putri Indonesia dengan suara yang tenang, teratur, dan diksi yang rapi. Yep, kek gitulah Laras.
Mungkin ada yang kepo, apa yang dilakukan Laras, kurang lebih 6 tahun setelah masa-masa-nya sebagai seorang koki cilik?
Actually tadi itu cuman formalitas sih, gue bakalan tetep ngasitau apa-apa aja yang lagi dilakuin Laras sekarang, mau lo kepo beneran ato gak peduli sama sekali. Lagian, kalo lo gak peduli, ngapain lo di sini?
Ehm.
Laras?
Like I said, what a girl.
Bisa dibilang, dia adalah anggota geng Babes yang paling aktif. Aktif organisasi, kegiatan, kepanitiaan, dan teman-temannya itulah.
Wait, pangkat tersebut sebenernya lebih cocok dipegang oleh Praya. You know, Praya dengan kurang lebih 10-15 kegiatan kepanitiaan dalam satu semester?
Oke, gimana dengan anggota geng Babes yang paling terkenal?
Mungkin kegiatan Laras gak sebanyak Praya. Tapi gue bisa bilang Laras punya popularitas yang sangat tinggi. Bukan cuma di lingkaran KKI doang, bukan cuma di kalangan Komunikasi UI angkatan 2016, tapi se-FISIP UI 2016. Yep, dia se-terkenal itu.
Let's start with art.
Laras adalah manusia teater. Dan dansa. Dan puisi. Come to think about it, dia adalah #ArtsyGal ketiga di dalam Babes.
Dan nope, dia bukan tata rias. Ato backing vocal. Ato backup dancer.
She's the actress. Dia adalah salah satu pemeran utama dari pementasan tersebut. Center of the stage. Center of attention.
Di pentas teater tersebut, Laras memerankan seorang aktris (actress-ception, I know) bernama Labin. Menurut pementasan tersebut (dari pengamatan gue), Labin dikisahkan sebagai seorang pemeran wanita yang pendiam, pendendam, dan pemendam. Karakter yang mungkin di permukaannya keliatan pemalu, tapi diam-diam punya masa lalu yang kelam dan gak enak diinget. Masa lalu yang semacam membentuk sifat dia yang sekarang.
Gara-gara pengalaman pahit tersebut, Labin cenderung bersifat tertutup dan jatoh-jatohnya keliatan seperti cewek yang lemah. Ya gimana gak, 'pengalaman pahit' Labin melibatkan jatoh cinta, dihamilin, dan ditinggalin gitu aja sama pasangannya. Holy shit, itu parah banget.
Pengalaman
Dengan banyaknya dan detail-nya deskripsi gue tentang karakter Labin, datanglah sebuah pertanyaan dasar.
Did Laras nail it?
Jawaban gue, mengutip Okoye (Danai Gurira) dari film Black Panther (2018):
Without question.
Deskripsi, definisi, dan detail segitu mendalamnya tentang si karakter Labin ini, gimana bisa Laras gak berhasil memerankan tokoh itu dengan baik?
Acting Laras sangat believable. Dia berhasil menangkap dan memerankan sifat Labin yang pemalu dan borderline tragis. Belom lagi interaksi Labin dengan neneknya yang mengingatkan dirinya buat gak sembarangan pilih cowok (oh, the irony!), yang menambah unsur miris dari karakternya. Gara-gara adegan dengan neneknya ini, dimensi karakter Labin bertambah, dan gue bisa bilang makin keliatan-lah kepiawaian Laras memerankan karakter rumit tersebut.
Apalagi ini adalah teater, bukan TV ataupun film, gak ada yang namanya re-take ataupun reshoot. Mau seberapa banyak mereka latian, sekalinya mereka salah di hari-H, mampus. Beda dengan TV ataupun silver-screen yang seringnya terselamatkan oleh post-production. Here? Nah bro, it's all raw acting, raw footage, and raw action.
Laras juga jago dansa.
Wait, tadi udah gue singgung, kan? Ini bukan sesuatu yang gue keluarin tiba-tiba, kan? Bukan sesuatu yang mendadak turun dari langit ketujuh, kan?
Ini lumayan baru, tapi Laras sebenernya adalah bagian dari KTF (Komunitas Tari FISIP).
Gak banyak yang gue bisa bilang mengenai keterlibatan Laras dalam KTF selain dari dia adalah...well, dia nari di sono. Mungkin sedikit intel mengenai Laras adalah dia pernah pentas bareng temen-temen KTF-nya di Taman Ismail Marzuki, dan--menurut anggota Babes yang hadir di pentasnya--Laras emang jago nari. Contohnya adalah Haniya selaku salah satu penonton yang kabarnya lumayan t e r k e d j o e t ngeliat Laras "melakukan gerakan yang gue (Haniya) gak tau bisa dia lakuin". Entahlah, gue gak hadir soalnya. Maap ya, Ras.
[Side note: Lucunya, tu dua orang gak hadir juga dalam pementasan tari Laras. Gue udah bener-bener ngira Ali-Adri dateng, nonton, ngasih dukungan ke Laras, foto sama dia, ngirim foto tersebut ke gue buat nyinyirin gue, only for me to find out...mereka gak dateng juga. Bah.]
Dan puisi. Hooo boy, puisi.
Mungkin Laras bukan tipe-tipe yang hobi ngumpulin puisi karangannya ke majalah, art display, ato ke kanal media sosial, tapi...hah, come to think about it, dia emang ngumpulin puisinya ke social media dia.
Kurang 80% dari postingan di Instagram Laras memiliki caption berupa puisi.
Bukan rangkaian kata-kata indah dan enak didenger ala-ala Catatan Najwa doang, tapi ini beneran puisi. Dengan diksi, bait, rima, dan majas-majasnya. Puisi beneran.
Kalopun bukan puisi, caption dari postingan foto Laras tetep aja punya pemilihan kata yang mancay. Frasa dan istilah kek 'sudah berapa purnama', ato 'kamu masih hangat seperti dulu', ato bahkan 'seneng banget semalem bisa melepas rindu' kerap menghiasi caption Instagram Laras. Spoiler alert: semua contoh tadi berasal dari satu postingan yang sama. But you get the idea.
Like I said, #ArtsyGal yang ketiga.
And then, we move on to journalism.
Abis Koki Cilik, lo mau jadi apa lagi, Ras?
Host TV UI?
No seriously though, dia bener-bener ngelakuin itu.
Sepengamatan gue, Laras adalah host sebuah acara di TV UI berjudul Fun Day. Simpel aja isi acara tersebut, arahnya lebih ke soft news kek takjil di Pasar Benhil, atau liputan di JakCloth Lebaran 2018. You know, simple stuff. Gak sampe masuk ke tema-tema berat kek politik atau ekonomi ato temen-temennya.
You should know that Laras di TV UI gak beda jauh dengan Laras di Koki Cilik. Karismatik, energetic, dan interaktif. Kepedeannya dari jaman-jaman dia sebagai seorang koki cilik masih terlihat, meskipun dia udah 8 tahun lebih tua. Bisa dibilang, dia udah terlatih sebagai seorang host TV UI dari 8 tahun sebelomnya, pas dia jadi host di Koki Cilik.
I've said it once and I'll say it again.
Keknya kepedeannya di TV UI berasal dari Koki Cilik.
Loh, apa salahnya? Toh dua-duanya rada berhubungan. Kedua acara melibatkan Laras berbicara langsung ke depan kamera, berinteraksi dengan penonton. Kedua acara menaro Laras sebagai host. Terpenting lagi, kedua acara pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan makanan seenggaknya sekali. Dengan Laras sebagai host bahasan tersebut.
Ah, ge-er aja gue ini. Emang sebenernya gak ada salahnya, sih.
Lastly, bagian terpenting.
Perihal hubungan Laras, gue, Ali, dan Adri. Yang udah gue singgung nun jauh di atas sana.
Tu mulainya kek gimana, sih?
Iseng-iseng sih, kalo gue harus jujur.
Menurut Ali? Semuanya itu berasal dari Adri.
See, waktu itu adalah jaman-jamannya persiapan menuju pensi FISIP. Tau sendirilah, yang tadi udah gue singgung. Yang melibatkan Laras berperan sebagai Labin. Yang itu.
Sebuah malam Selasa, kalo gak salah.
Gimana caranya gue inget kalo itu malam Selasa?
Soalnya besoknya ada quiz mata kuliah Sosiologi. Dan gue inget kalo mata kuliah Sosiologi itu (rasanya) diadakan pada hari Rabu.
Waktu itu, bukan cuma Laras doang yang lagi latian buat penampilan teater pensi FISIP tersebut. Ada kita bertiga juga. Yep, the full package meliputi gue, Ali, dan Adri.
Rencananya sih setelah latian tersebut adalah langsung ke tempat tinggal gue buat ngafalin bahan quiz besoknya tersebut. Tadinya, acara belajar bareng ini cuman melibatkan kita bertiga doang tanpa adanya personil tambahan.
Tadinya.
"Eh, ajak Laras sabi kali, ya?" ujar Adri.
Hal pertama yang terlintas di benak gue adalah "What in the what in the hell, Dri?" Tapi, beberapa detik setelah pikiran tersebut lewat, apa yang gue pikirin adalah "Ah, no problem." Toh kita selama keseluruhan proses penghafalan selama 15 menit tersebut lagi buntu. Ato istilah Adri-nya, penat. Gak terlalu banyak materi pelajaran yang masuk ke otak kita. Bisa dibilang, kalo kita langsung quiz dengan apa yang otak kita punya waktu itu, rasanya dapet 5/10 aja udah bagus banget.
Dan kehadiran Laras bisa, I don't know, ngebantu kita? I mean like, why not? Sejauh itu, Laras di kelas terkenal sebagai anak yang rajin dan bisa diandelin kalo udah menyangkut pelajaran. Mungkin bukan anak yang paling pinter di kelas, tapi definitely above average. Ya gimana gak, belakangan kita tau kalo Laras sebenernya adalah anak akselerasi. Yep, dia mestinya satu angkatan di bawah kita.
"Yaudah Dri, lo aja yang nga--"
"Oy Li, lo yang ajak dah," saran Adri ke Ali, memotong gue.
Awalnya gue ngira Ali bakalan punya pendapat yang berbeda dengan Adri, but turns out dia pun gak masalah dengan wacana Laras belajar bareng kita. Prinsipnya sama dengan apa yang gue pikirin tadi, why not?
Toh (lagi) ini juga bisa jadi ajang yang bagus banget buat nambah relasi ke temen-temen kelas kita yang lain. Dapet temen baru, dan jika memungkinkan, dapet temen baru lagi dari temen baru yang tadi. Dan seterusnya. Temenan lebih dari bertiga doang lah, kurang lebih. Meskipun ini lebih berlaku ke gue dibandingkan ke tu dua orang, sih.
Maka disamperlah Laras oleh Ali. Ali doang yang bener-bener ngomong ke Laras, kita berdua cuman tinggal nungguin hasil tawaran tersebut. Kenapa bukan Adri--manusia yang punya ide buat ngajakin Laras belajar bareng kita--yang nyamper Laras, gue masih gak tau. Kenapa bukan gue? Well, 1) ini bukan ide gue, dan 2) bukan gue yang disuruh Adri.
Lima menit kemudian, kembalilah Ali ke kita berdua, dengan Laras di sebelahnya.
"Mau noh, Larasnya," lapor Ali.
"Ayok!" sanggah Laras meyakinkan.
And the rest?
History.
[Side note: Perihal tentang Laras ini, gue dapet banyak bantuan dari Ali. Yep, Ali yang itu. Dia sih gak bantu di bagian nulisnya, tapi lebih ke...mengingat. Mengingat kejadian-kejadian yang berhubungan dengan Laras, apalagi yang ada hubungannya dengan hubungan Laras dengan kita bertiga. Semacam sumber intel gue mengenai subjek Laras ini. So yeah, credits to Ali's photographic memory.]
Fast forward satu setengah tahun lebih dari pertemuan tersebut, Laras gak banyak berubah dari pertama kali kita kenal sama dia. Ramah, bersahabat, dan berperan sebagai suara paling rasional dari antara kita berempat. No Ali, lo bukan orang yang paling rasional/gak receh dari kita berempat. Kalo bertiga minus Laras? Bisa jadi. Tapi kalo udah melibatkan Laras? Nope.
Meskipun begitu, sesempurna-sempurnanya Laras, nampaknya dia gak sesempurna itu.
See, Laras sangat populer. Itu sih udah pasti.
Tapi, kepopuleran dan keaktifannya di berbagai bidang bisa menyebabkan dia rada...susah dijangkau.
Ibaratnya, dari 5 kesempatan kita ngumpul/nongki/makan/nonton bareng, Laras cuman bisa hadir di 2, gue ulangi DUA dari LIMA kesempatan tersebut.
Selebihnya?
Let's just say dia sibuk.
Sibuk jadi presenter, sibuk liputan, sibuk jadi calon Putri Indonesia, sibuk latian dansa, sibuk jadi delegasi AIESEC ke Hungaria, sibuk jadi aktivis pendidikan di NTT, dan masih banyak lagi kesibukan yang dimiliki oleh Laras ini. Btw, satu dari enam 'fakta' yang gue kasih di atas adalah hoax. You've been warned.
Not like it's a bad thing though. Well, it is to us sometimes, tapi ini semua adalah pengalaman yang bagus dan berguna buat Laras. Sibuk sih sibuk, tapi gue bisa bilang semua kegiatan yang bikin dia sibuk bersifat positif dan produktif. Gak kek gue yang nulis postingan begini bisa molor sampe berbulan-bulan.
Emang bener sih, semua kesibukan ini bikin dia jadi susah buat ngumpul bareng gue-Ali-Adri, tapi emang apa salahnya? Toh alasan dia gak ngumpul sangat kuat dan bisa diterima.
Kita bisa liat dari sisi positifnya, kalo mau agak dipaksa: gara-gara kesibukan yang bikin ketemuan dengan Laras jadi rada 'langka', kita bertiga jadi lebih menghargai dan mensyukuri kehadiran Laras kalo kita beneran jadi nongkrong bareng. Kita jadi lebih pingin memanfaatkan waktu kita dengan Laras lebih baik dari sebelomnya, soalnya lebih besar kemungkinan kita gak bisa ketemuan di kesempatan berikutnya. Ya 'kan, Ras?
So that's that.
Itulah kesibukan Laras sekarang, 6 tahun setelah dia jadi seorang koki cilik.
Masih aktif, ceria, dan karismatik, gak jauh beda dari dirinya 6 tahun sebelumnya.
Like I said,
what a girl indeed.
Oya Ras, one last thing.
Mengingat tujuan kuliah Australia gue dan Ali-Adri-Laras bakalan beda (I know, tragic), gue punya sebuah pesan buat Laras. You know, kek 'pesan-pesan' yang udah gue sampein secara tersirat maupun tersurat ke anggota Babes lainnya.
Buat lo Ras, satu aja.
Take care of them two dudes for me.
A'ight?
***
Ah, kelar juga.
Ini udah panjang banget, jadi gue rasa gue bakal kelarin di sini aja. Kek yang tadi gue bilang nun jauh di atas sana, 3 section di postingan gue aja bisa panjang banget, lah ini ada 5 SECTION. Kurang panjang apa, coba?
All in all, ten's a handful.
Emang rada susah dan rada menantang menghadapi kurang lebih 10 cewek sekaligus dalam satu peer group lo. Oke, mungkin gak sekaligus, tapi gue juga jarang-jarang cuman ngadepin 1-2 personil Babes doang dalam satu kesempatan. Hampir kesemuanya dari geng Babes ini punya sifat dan sikap yang jauh berbeda satu dengan yang lain. Mungkin bukan 'hampir'. Emang semuanya se-berbeda itu.
Then again, gue seneng punya lo pada sebagai temen gue.
Well of course Ali dan Adri adalah the OG ones, my real homies, temen gue yang setia sama gue dari awal.
Tapi lo pada? Para personil Babes? Yang udah barengan gue dari semester 3?
Eh, you guys are alright. Scratch that, lo pada bener-bener mantep.
Let's just say I'm honored to have been your one guy friend.
So, uh,
here's for the long friendship to come.
Cheers, girls.
Until the next post, bungs! :D
So, uh,
here's for the long friendship to come.
Cheers, girls.
Until the next post, bungs! :D
No comments:
Post a Comment