Tuesday, October 30, 2018

ALL THE WAY TO BAYLISS ST (#3) - The Filler Episode

Buat yang satu ini singkat aja. 

Soalnya di hari ketiga gue di Brisbane, gue gak kemana-mana. 

Yep, gue baru aja mengecewakan lo pada dengan gak pergi kemana-mana di hari ketiga ini. Maap yak. 

Well, come to think about it, gue ADA kemana-mana, sebenernya. 

Tapi acara gue kemana-mana tersebut lumayan telat, gue baru cabut jam enam sore. 

Sisanya? 

Leyeh-leyeh di rumah Adri dkk di Bayliss Street. Main Warframe (game bagus, seriusan), nyicil tugas gue, dan bercengkerama dengan dua penghuni lain yang gak pergi kemana-mana hari itu: Zaki dan Raja. 

Dan nongkrong bareng mereka gak secanggung yang lo pada kira, meskipun gue dan mereka gak terlalu deket. 

After all, mereka temen gue juga. 

A Conversation with a Conservative 

Gue nyadar warga Bayliss punya tradisi tersendiri. 

Firstly, mereka punya teras yang terletak di samping rumah. Di teras tersebut terdapat sebuah meja persegi panjang gede. Dan tentunya, enam kursi di samping-samping meja tersebut. 

Lo pada harus tau kalo meja ini gak bisa disamain ukurannya sama meja ngopi yang ukurannya cuman muat buat ditaro tiga cangkir kopi. Nop. Buat diitung meja belajar aja ukurannya udah kegedean, apalagi meja kopi? 

Anggep aja... ukurannya lebih ke arah meja makan. Ato meja kartu. Segitu, dah. 

Secondly, setiap pagi selalu ada dupa duduk manis di atas meja tersebut. Tentunya ada barang-barang lainnya seperti asbak ato secangkir-dua cangkir kopi di atas meja tersebut, tapi dupa? Lo gak ngeliat gituan tiap hari, kan? 

Dupa tersebut terdiri dari sebatang incense stick yang ditancapkan ke dalam lilin yang udah lumer. Raja bilangnya sih incense stick yang mereka pake ada dua jenis: satu terbuat dari sandalwood alias kayu cendana, dan satunya lagi dia gak tau terbuat dari apaan. Mereknya Mother Earth, sih. 

Wadah buat dupa ini adalah sebuah toples kaca kecil dengan alas piring tatakan cangkir kopi. Toples kaca kecil dalam artian setengahnya dari kaleng Pepsi 375 ml. Eh, itu termasuk kecil, gak? 

Thirdly, musik keroncong Jawa lengkap dengan gamelan dan kolintangnya, langsung dari Spotify Raja. Mendadak, Brisbane menjelma jadi Brebes. Minus telor asin. 

[SIDE NOTE: Orang Aussie tau ada yang namanya telor asin gak, ya?] 

Setelah sarapan pagi (baca: hampir jam 11), biasanya Raja dan Zaki nongkrong, menjalankan apa yang gue sebut dengan S3 (sesi sebat-sebat sabi), dan ngomongin tentang kehidupan. Istilah 'kehidupan' di sini luas banget, bisa dari keuntungan menjalankan ideologi sosialis dalam bernegara sampe ke alasan kenapa telor yang nongol duluan sebelom ayam. 

Setelah gue sarapan, gue memutuskan buat gabung sama mereka. 

Sebelom gue gabung, mereka lagi ngomongin cocok-cocoknya ideologi Karl Marx buat dipake di Indonesia. Diskusi dalem, yang jelas-jelas otak gue gak nyampe. Tau apa gue soal Karl Marx? Tanpa bantuan Wiki, yang gue tau dari dia adalah dia penemu prinsip Marxisme. Apa itu Marxisme? Ya itu--teori temuan Karl Marx. Apa itu teori temuan Karl Marx? Ya Marxisme. 

Pas gue gabung, fokus pembicaraan beralih ke gue. Dari ngomongin efek samping penerapan ideologi sosialisme terhadap Indonesia beralih ke... gue ngapain aja di Melbourne. Agak jauh, ya. 

10 pertanyaan kemudian, Raja cabut, meninggalkan gue dan Zaki di teras rumah Bayliss. 

Sekarang, giliran gue nanyain Zaki. 

Zaki, sama halnya dengan segenap penduduk rumah Bayliss, mengambil peminatan public relations. Humas. Peminatan sih boleh sama, tapi unit alias mata kuliah yang mereka ambil bisa beda-beda. Gak harus berhubungan sama humas. 

Salah satu mata kuliah yang Zaki ambil bernama Media Identity

Bukan cuman Zaki doang yang ngambil mata kuliah ini. Setau gue, beberapa anggota Babes kek Sasa, Laras, dan Haniya juga ngambil mata kuliah ini. Menurut Laras, tambah empat orang lagi: Raja, DePe, Praya, Nisya, dan Ocha. 

[SIDE NOTE: Wait, Ocha sokap? Well, more on her later, tapi versi simpelnya, dia adalah satu dari sedikit temen gue yang gak pernah sekelas sama gue. Orangnya high-energy, low nonsense, dan demen sama Paramore.]

Sekilas, premis mata kuliah ini simpel aja. Siapa itu media? 

Wait, itu kedengarannya salah. 

Lagian, namanya media identity. Identitas media. Kalo lo ditanya identitas lo, lo pasti mikirnya yang ditanyain itu nama lo, kan? Siapa lo sebenernya, kan? 

Ehm. 

Sekilas, premis media identity gak belibet. Apa itu media? Apa peran media dalam kehidupan sehari-hari kita? 

Garisbawahi kata sekilas

Soalnya matkul ini gak sesimpel itu. 

Feminism. 

Itulah kata pertama yang gue denger ketika ngebahas matkul media identity

Wait, what? 

Lo tanya gue, feminism adalah sebuah istilah yang agak... rawan. 

Banyak orang, termasuk orang-orang di sekitar gue, mendukung gerakan feminisme dengan bangga. Emansipasi wanita, apa salahnya? Kalo bukan karena gerakan ini, gue gak bakalan punya temen kek Laras atau Sasa. Hell, kalo bukan karena gerakan ini, pertemanan antara gue dan Babes bakal cuman jadi isapan jempol belaka. Yep, gara-gara gerakan inilah, kaum hawa boleh bersekolah layaknya kaum adam. Hats off to you, ibu kita Kartini. 

Sayangnya, sama halnya dengan dunia perpolitikan di Indonesia dengan cebong dan ontanya, gerakan ini punya oknum tersendiri. Oknum yang mengatasnamakan gerakan ini dan dengan tololnya merusak image bagus yang gerakan ini punya. Mereka yang koar-koar di internet, menganggap kaum wanita selalu ditindas, diperlakukan secara gak adil, dan direndahkan, semuanya FIX BANGET SELALU gara-gara kaum pria. Dengan kata lain, wanita selalu benar dan pria selalu salah. 

Kalo lo gak sependapat dengan mereka, lo penindas wanita. Itulah kesan yang gue dapet.

Hell, gue yakin dengan gue nulis dua paragraf di atas aja pasti udah ada pembaca yang t e r p e l a t u q u e.  

Thank you for coming to my TED Talk 

Sebelom gue nanya Zaki soal matkul unik ini, gue udah dapet intel dari penghuni rumah Bayliss yang lain kalo Zaki gak terlalu suka sama matkul ini. Raja lebih tepatnya, soalnya dia ngambil matkul itu juga. 

"Gue denger lo ada matkul tentang feminism gitu-gitu yak, Ja?" tanya gue. 

"Iya bener Mo, nama matkulnya media identity," jawab Raja. 

"Zaki tuh, kayaknya dia gak suka sama dosennya," pungkas Ali nimbrung. "Balik-balik dari tu matkul, biasanya dia bilang, 'THERE ARE ONLY TWO GENDERS IN THIS WORLD!'

Berbekal intel tersebut, gue mulai nanyain Zaki, satu dari sedikit temen gue yang beraliran konservatif, tentang satu matkul yang dia gak suka. 

Dari mana gue tau kalo dia konservatif? 

Well satu, dia gak suka matkul yang (katanya) erat hubungannya dengan feminisme, sebuah istilah yang sepengamatan gue sering dikaitkan dengan golongan liberal. You know, lawannya golongan konservatif. Bukan berarti kalo dia konservatif dia wajib gak suka sama matkul tersebut, tapi emang KECENDERUNGANNYA mengarah ke sono. 

Dan dua, kita harus balik ke jaman-jaman pas gue masih mahasiwa baru Komunikasi UI. 

Salah satu tugas ospek jurusan Komunikasi adalah mewawancarai temen-temen seangkatan gue mengenai berbagai macam hal: nama mereka (you don't say), hobi mereka, dan, antara lainnya, role model alias tokoh panutan mereka. 

Waktu itu, gue lagi suka-sukanya sama Jimmy Kimmel (sekarang Conan O'Brien, sorry Jimmy), jadi dialah yang gue taro sebagai role model gue setiap kali gue ditanyain. Dari temen-temen gue ada yang suka sama Najwa Shihab, Will Smith, Rhoma Irama, bahkan nyokap mereka sendiri. 

Contoh yang gue taro sedikit, soalnya gue udah mulai lupa siapa-siapa aja yang jadi role model temen-temen gue. 

Kecuali Zaki. Hoo boy, kalo punya Zaki gue inget banget. 

Donald Trump. 

Patut dicatat, masa-masa ospek jurusan gue adalah masa sebelom Donald Trump naik jadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Iya sih bener dia udah maju sebagai calon presiden, tapi waktu itu kemenangan dia atas Hillary "Bond Villain" Clinton belom terjadi. 

Artinya, kecil kemungkinan Zaki termasuk orang yang jump into the Trump bandwagon. Gue yakin Zaki udah suka Trump sebelom orang-orang mulai ikut-ikutan suka Trump. 

Dan kalopun dia termasuk orang-orang ini, itu gak mengurangi ke-konservatif-annya. 

Dia bisa aja taro beribu-ribu orang lain sebagai role model dia. Kalopun dia mau naro orang dari golongan konservatif, masih banyak banget pilihan yang dia punya. Dari yang berkelas banget kek Clint Eastwood sampe yang receh kek Adam Sandler. 

But nope. Donald Trump for Jacky. Wajah terkini golongan konservatif. 

Fix. 

Kembali ke Bayliss, gue duduk di sebelah Zaki. 

"Oy Zak," tanya gue. 

"Gue denger lo ngambil matkul media identity juga, ya?" 

"Oh iya, Mo," jawab Zaki cepet. "Kenapa emangnya?" 

"Ya gue denger itu matkulnya ngomingin feminism and stuff," lanjut gue. "Menarik juga ya, ngebahas feminisme di kuliah." 

Gue kedengerannya kek cuman ngasih pendapat ngasal nan retorik, tapi sebenernya gue lagi berusaha narik respon dari dia. Secara gak langsung. Anyways, ngapain gue kasitau beginian, ya? 

"Emang matkulnya unik sih, Mo." 

Ah sial, dia gak langsung ngasih pendapat dia tentang matkul ini. Pendapat dalam artian pendapat dia yang sebenernya, yang sepengetahuan gue berlawanan dengan matkul tersebut. 

Yaudah sih, langsung aja. 

"Menurut lo gimana, Zak?" 

Zaki berubah posisi duduk dari yang tadinya tegap jadi bersandar. Kepalanya mendongak ke atas sedikit, matanya terpaku pada jendela rumah sebelah yang kelihatan dari tempat kita duduk. 

Dia mikir. Mikirin respon yang tepat buat pertanyaan gue. 

"Ya gue sebenernya oke-oke aja sih, kalo soal ngomongin feminism and stuff gitu," ujar Zaki menjelaskan. 

"Permasalahannya tu dosennya ngejelasin cuman dari satu sudut pandang gitu loh." 

"Kek, pas ngejelasin sejarah tentang first wave sampe third wave feminism dia cuman ngejelasin dari sudut pandang gerakan feminisme-nya doang," kata Zaki lagi. 

"Padahal kalo diliat dari sejarahnya kan, sudut pandang lain ada pentingnya juga," jelasnya. 

"I get it kalo feminisme itu penting dan gue setuju kalo feminisme itu bagus, tapi..."  

Zaki masih nyari kata buat ngejawabin pertanyaan gue. Apa jangan-jangan dia takut gue ikutan t e r p e l a t u q u e juga? 

"...kalo menurut gue, kesannya kek kelasnya tuh bias banget gitu, loh." 

Tenang aja Zak, gue bukan tipe-tipe orang gampang tersulut kalo udah ngomongin feminisme. Kalo lo ngincer orang yang lebih gampang ke-trigger soal beginian, gue saranin lo ngincer Haniya. Gue? Lo bilang aja main game itu buang-buang waktu dan gak ada gunanya, nah itu dia yang bisa mancing gue. 

"Lo ngerasa kalo dosennya semacam mendorong ke satu sisi, gitu?" tanya gue. 

"Kadang-kadang iya, cuman gak selalu kek gitu sih."

Dan gue menjawab dengan sebuah "ooh" panjang. 

Mau gimanapun juga, apa yang Zaki bilang ada benernya. 

Mikirin tentang beginian, gue jadi inget game Call of Duty: WWII keluaran 2017. 

Premis game tersebut simpel aja: tembak-tembakan berlatar waktu Perang Dunia II. Tapi bukan itu fokus kita sekarang. 

Gue, sama seperti kebanyakan orang, agak keganggu sama single-player campaign game tersebut. Tau sendirilah, mode permainan dimana lo ngikutin cerita dari si game. Mode permainan dimana lo main sendiri. Mode permainan yang mana lo gak bunuh-bunuhan sama orang lain secara online

Permasalahannya adalah, sudut pandang cerita game tersebut sangat terbatas. 

Firstly, latar tempat cerita cuman dan CUMAN di Eropa. Udah. 

Gak ada bagian cerita yang berlatar tempat selain di Eropa kek Asia-Pasifik ato Afrika. Pertempuran di Guadacanal? Gak ada. Pertempuran di Iwojima? Nop. Serangan Jepang ke Pearl Harbor? Gak nemu. Jerman dan Rusia hajar-hajaran di Stalingrad? *poof* Ilang. 

Belom lagi, sudut pandang cerita, kek yang tadi gue bilang, cuman ada dua. Satu bahkan, soalnya perspektif kedua dari cerita game tersebut cuman muncul di satu misi. 

Mayoritas game mengambil sudut pandang Prajurit "Red" Daniels, seorang tentara Amerika yang lagi ikutan serangan Sekutu ke daerah Eropa yang waktu itu masih diduduki Nazi Jerman.  

Ceritanya sih bagus-bagus aja. 

Tapi subtitle game tersebut WWII, kan? World War II, kan?

Dalam artian Perang DUNIA II, kan? Bukan Perang Dunia II CABANG EROPA, kan? 

Mesti diingat kalo banyak banget daerah yang sialnya jadi tempat tembak-tembakan dan bom-boman di Perang Dunia II. Bukan cuma di Eropa, tapi di, kek yang tadi gue bilang, Asia-Pasifik dan Afrika juga. Mau lo taro Indonesia juga masih sah-sah aja, toh Indonesia juga kena dikit dampak Perang Dunia II. 

Kalo latar cerita cuman di Eropa doang, kenapa judulnya Call of Duty: WORLD War II? 

Oya, dan sudut pandang cerita. 

Amerika dan Jerman bukan dua-duanya pihak yang beradu jotos di Perang Dunia II. Di Sekutu selain Amerika ada Rusia (waktu itu Uni Soviet), Inggris, Prancis, Korea, Belanda, dan lebih dari 10 negara lainnya. Sedangkan di samping Jerman pihak negara Poros meliputi Itali, Jepang, dan tujuh negara lain. 

Intinya, potensi buat cerita Perang Dunia II dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai negara ada dan kentara banget. Cerita-cerita yang gak kalah seru ato menarik dengan protagonis dari negara yang berbeda-beda. Gak harus dari pihak Sekutu. Bayangin aja cerita mengenai prajurit Jepang yang bawa-bawa prinsip Samurai ke medan Perang Dunia II, ato prajurit Jerman yang sebenernya gak suka sama fasisme Nazi, ato bahkan kebalikannya: prajurit Jerman yang setia banget sama Nazi, dan di akhir cerita mati memegang erat prinsipnya tersebut. 

Mantep, kan? 

Tapi ya itu. 

Gak kepake. 

Jatoh-jatohnya, cerita di game Call of Duty: WWII jadi gak terlalu fresh. Kek kebanyakan Call of Duty sebelomnya, Amerika ditempatkan sebagai negara jagoan. Berani lawan Amerika? Langsung aja, lo jadi negara antagonis. 

Emangnya negara Sekutu cuman Amerika doang? Doi aja aslinya gak ikutan. 

Kek yang Zaki bilang, sudut pandang. 

Penting ngeliat dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun sudut pandang itu berbeda bahkan berlawanan dari punya lo. 

Jangan salah, sudut pandang seberang gak kalah pentingnya dari sudut pandang lo. 

Going South  

Sekitaran jam 3-4 sore, Laras mampir ke rumah Bayliss. 

Gue kira dia cuman mau mampir doang, nongki bentar sama kita-kita, catch up dst, apalagi mumpung gue lagi di Brisbane. Gue sendiri udah ketemu dia sih, pas hari pertama gue di Brisbane. Sayangnya, di hari pertama tersebut, dia lagi kurang enak badan. Bisa dibilang, dia hari itu beda sama dia hari ini.

Ajaibnya, di hari itu, dengan kondisinya yang kurang baik tersebut, dia masih semangat menyambut gue... dan langsung drop secara instan setelahnya. Mungkin semua tenaga yang dia punya abis buat nyambut gue kali, ya. 

Anyways, ehm. 

Ternyata, Laras bawa makanan buat kita selaku warga Bayliss. 

Sekotak Tupperware kroket kentang keju. Homemade buatan dia sendiri. 

What a pleasant surprise. 

Kroketnya, maksud gue. 

Kedatangan Laras sih gak dadakan banget, dia udah bilang dua jam sebelomnya kalo dia mau dateng ke Bayliss. 

Tapi dia gak bilang kalo dia bawa kroket keju buatan dia. 

"Wew, ini semua buatan lo, Ras?" tanya gue. 

"Iya Mo," jawabnya riang. Riang pertanda dia udah sembuh. Baguslah. 

Gue pegang, masih panas. Gak panas sampe-sampe lo gak bisa genggam secara utuh dengan jari lo, tapi panas. Seenggaknya, lo tau kalo isi kroket tersebut masih panas, jauh lebih panas dari luarnya. 

Berarti ini kroket baru jadi. Yang membawa gue ke pertanyaan lain. 

"Lo udah nyobain lom, Ras?" 

"Udah Mo," balas Laras. "Justru gue bawain ini buat lo pada soalnya kebanyakan buat gue, hehehe." 

"Hoho, okedeh Ras," jawab gue sembari menggigit kroket yang gue pegang di tangan gue. 

Apa tadi kata gue? Panas? Kroketnya masih panas? Dan isinya lebih panas lagi? 

Yep, itulah yang terjadi di dalam mulut gue. 

Panas. 

Kek erupsi Gunung Merapi, cuman yang ini kejadiannya di dalam mulut gue. Darimana gue tau erupsi Gunung Merapi panas padahal gue gak pernah ngerasain secara langsung? Ya gimana ya, lo gak harus motong jari lo sendiri biar lo tau kalo rasanya sakit, kan? 

Apalagi pas gigi gue secara gak sengaja merobek kroket yang ada di dalam mulut gue dan melepaskan semua panas yang udah mengepul di dalam kroket tersebut keluar--sialan, rasanya kek gerbang neraka kebuka di dalam mulut gue. 

Otomatis gue mengap-mengap, berusaha ngeluarin semua panas tersebut, tapi dengan gue mengap-mengap tersebut, si kroket ini malah mendarat di bagian paling sensitif di dalam mulut gue: lidah gue. 

Normalnya sih, tu meteor langsung gue keluarin dari mulut gue saat itu juga.

Tapi gue sadar, Laras masih berdiri di depan gue. 

Masa' gue muntahin makanan yang baru dia buat pas di depan dia? 

Lagian, ini bukan kroket kentang keju biasa. 

Ini kroket kentang keju buatan mantan Koki Cilik.

Kalo gue beneran muntahin kroket Laras, gue bakalan masuk ke jajaran manusia-manusia yang pernah menista masakan Laras si mantan Koki Cilik. That is, kalo emang ada yang pernah melakukan penistaan tersebut. Kalo gak ada, gue bakalan jadi manusia PERTAMA yang menista makanan Laras si mantan Koki Cilik. 

Siapa gue main asal muntahin makanan seorang mantan Koki Cilik? Jangankan masak kroket kentang keju, masak telor aja masih belom becus. 

Alhasil, jadilah gue berdiri di depan Laras, tambah mengap-mengap gak karuan dengan kroket sepanas roket di dalam mulut gue. 

"Panas ya, Mo?" tanya Laras cekikikan ngeliat gue kepanasan internal. "Ditiup Mo, ditiup." 

At this point, muncullah Zaki dan Raja. 

"Wiih, apa nih Ras?" tanya Zaki setelah melihat kroket roket yang dibawa Laras. 

"Kroket kentang keju buatan gue Zak," jawab Laras. 

"Eh, makasih ya Ras," ujar Raja. 

Lima menit kemudian, kotak Tupperware milik Laras kosong. 

Sejam kemudian, sampailah Ali dan Adri di Bayliss. Dari UQ. 

"Eh, Laras!" sapa Adri dengan gaya ke-Adri-annya. 

"Maap, anda siapa, ya?" canda Ali dengan candaan ke-Ali-annya. 

Satu jam berikutnya, Laras nanyain gue tentang kejurnalisme-an gue di Melbourne. Apa-apa aja yang gue pelajarin dan ngapain aja gue di mata kuliah tersebut. 

"Wih gila Ras, lo mesti tau kalo gue ada matkul yang isinya ngebahas game!" kata gue semangat. 

"Oh ya? Wow, cocok banget sama lo!" balas Laras lebih semangat lagi. "Di situ lo ngapain aja?" 

"Ya, nama matkulnya Writing in Games sih, jadi kita diajarin cara nulis cerita sama karakter di game gitu," jawab gue santai. 

"Hmm, asik juga ya," tukas Laras, suaranya meredup selagi dia berpikir. 

"Eh Mo," kata Laras lagi. "Gue ada tugas soal game juga, entar bantuin gue ya?" pinta Laras. 

"Ebuseng, lo ada juga?" tanya gue rada kaget. "Matkul apaan?" 

"Media identity." 

Oh, matkul yang itu. 

Gak masalah sih, cuman gue mikir: si media identity ini bisa merambah ke per-game-an juga, ya? 

But in any case, gue mengiyakan permintaan Laras dengan senang hati. Gue bisa ngebantu Laras dengan bidang yang gue suka setengah idup, gimana gue bisa nolak? 

"Mo, lo mau ke Southbank, gak?" tanya Ali. "Daripada lo hari ini gak keluar sama sekali." 

Tru dat, Li. Gue sampe titik itu belom keluar sama sekali. Bahkan buat ke minimarket pun enggak. 

Tentu aja gue mengiyakan ajakan Ali. Daripada gue gak keluar sama sekali, kek yang dia bilang. Gue udah jauh-jauh ke Brisbane buat jalan-jalan, silaturahmi, dan kabur dari kedinginan Melbourne, masa' gue ujung-ujungnya cuman lontang-lantung di rumah? 

Lagian, emangnya Southbank bakalan se-gak-seru itu? Ali ngerekomendasiin gue, yang gak pernah ke Brisbane sebelomnya, buat ke sono. What's the worst that can happen? 

"Lo ikut gak, Ras?" tanya Ali. 

"Ikut!" jawab Laras antusias. 

Jam menunjukkan pukul enam sore ketika kita bertiga berangkat ke Southbank. 

Hari udah mulai gelap. Bukan 'mulai', ding. Emang hari waktu itu udah gelap. 

"Kita naik apa ke sono?" tanya gue. 

"Naik feri Mo," jawab Ali. 

Ah, feri. Moda kendaraan umum yang gak ada di Melbourne. Okay then. 

20 menit kemudian, kita bertiga udah berada di dek feri yang menuju ke Southbank.

Dipikir-pikir, keren juga ya. 

Di Indonesia, naik feri udah termasuk sebuah kemewahan. Apalagi kalo dipake buat menyusuri sungai di tengah-tengah kota. Mana ada kapal seukuran feri dipake buat nyebrang sungai Ciliwung, yang ada juga perahu getek. Then again, kalo bule-bule Australia diajak naik perahu getek, mungkin mereka bakal sama terpesonanya dengan kita kalo diajak naik feri. Jangan salah, emangnya lo bisa naikin motor ke feri? 

Sama prinsipnya dengan kendaraan umum lainnya, kita wajib nge-tap kartu public transport milik kita ketika menaiki feri tersebut. 

Udara malem itu dingin. Sejuk sih, bukan dingin. Kek satu Brisbane berada dibawah naungan sebuah AC raksasa yang disetel ke suhu 20 derajat. 

Brisbane berada di sebelah kiri dan kanan gue. Diliat dari sungai tersebut, gue dapet sudut pandang gemerlap Brisbane yang gak pernah gue alamin sebelomnya. Dari satu sisi sih udah lumayan familier, tapi sudut pemandangan dari tengah sungai yang membelah Brisbane? Lom.

Snapgram sabi, nih. 

Gue gak peduli dengan kenyataan kalo feri bergerak tersebut gak termasuk kategori sebuah lokasi yang sah di Instagram. Ato kemungkinan sinyal jelek di tengah sungai tersebut. Ato mungkin suara mesin feri ribut yang mungkin bikin Snapgram gue jadi kedengeran soak. 

No way in hell I'm letting this one slip by

Sesampainya di Southbank, Laras dan Ali bertanya ke gue. 

"Mau kemana, Mo?" 

"Ya gue-nya lom pernah ke sini, gimana gue tau gue mau kemana?" balas gue. "Gue ikut lo pada aja." 

Perhentian pertama kita adalah... sebuah lapangan. 

Di satu sisi lapangan tersebut ada sebuah panggung kecil, tingginya gak seberapa, palingan cuman sekali pijakan tangga rumah. Tingginya sedikit di bawah lutut gue lah, kira-kira. 

"Di sini nih, Mo," jelas Ali. "Adri pernah solat di sini." 

"Berjamaah, gitu?" tanya gue. 

"Kagak, solat aja," jawabnya. "Waktu itu ada beberapa orang gitu kan, solat di atas panggung, ya si Adri-nya ikut-ikutan gitu." 

"Gak ada yang ngeliatin mereka, gitu?" 

"Ya siapa juga yang mau ngeganggu mereka?" balas Ali. "Yang penting kan niat," pungkas Ali sambil menoleh ke Laras. "Ya nggak, Ras?" 

 "Betul!" 

Selanjutnya kita merapat ke arah kanan, ke arah Victoria Bridge. 

Kita ngelewatin kantor ABC alias kantor perusahaan berita terbesar di Australia, sebuah peris wil bianglala, dan seorang asing yang rada... ramah. 

Yep, that actually happened

Setelah kita ngelewatin kantor ABC, tiba-tiba seorang cowok bule bertampang umur 20-an kurus mengangkat tangan kanannya, seakan mau ngasih tos ke Ali yang lagi di depan. 

"Ey, what's up, man?" 

Tanpa ragu nan canggung sedikit pun, Ali menyambut tangan si bule tersebut. 

"Yo, what's good, man?" 

Dan si cowok bule itu berlalu, ngelewatin gue dan Laras seakan kita gak ada. 

Gue dan Laras terbelalak. Well, Laras lebih dari gue. 

Lagian, gak ada momen canggung sama sekali antara Ali dan si bule ini. Si bule ngangkat tangan, Ali balas mengangkat tangannya sepersekian detik kemudian. Gak ada that one second dimana Ali kebingungan berusaha memproses apa yang si bule tersebut lakukan. Seakan-akan Ali kenal sama si bule ini. Kolega basket? Temen sekelas? Tetangga? 

"Tu siapa, Li?" tanya Laras cemas-cemas-curiga. 

"Li, sokap?" tanya gue. 

"Gak tau, gak kenal," jawab Ali singkat. 

"Lah terus, kok dia...?" tanya Laras lagi. 

"Lo pada gak tau?" tanya Ali balik. "That dude's high, man." 

High? As in teler? As in halu? As in efek samping gara-gara kebanyakan nyebat marijuana? 

Really? 

"Ih, jadi takut gue..." kata Laras pelan. 

"Ah masa, Li?" tanya gue setengah gak percaya. "Gak keliatan kek orang teler, tuh." 

"Teler itu Mo," balas Ali. "Liat aja jalannya miring-miring gitu." 

Gue menoleh ke belakang buat ngeliat apakah si dude ini jalan mencong-mencong kek orang teler. Masalahnya, gue udah 90% lupa tampang dia kek gimana. Dari depan aja gue udah lupa, apalagi kalo gue liat dari belakang. Alhasil, gue gagal memastikan kalo si high dude ini beneran teler menurut kriteria teler gue. 

Tampang si high dude ini kek gimana, gue udah lupa. Seinget gue, dia pake topi yang depannya dihadapkan ke belakang kepala dia. Gambaran yang nyangkut di otak gue pas nulis bagian ini (30/10) ? Avicii. 

[SIDE NOTE: Rest in Peace, mate.]

Kita di South Bank ada dua jam kali. Intinya, lumayan lama. 

Tentu aja dua jam itu bakalan lama kalo kita gak ada bahan omongan. Which was not the case

Band Indonesia kesukaan kita bertiga pas masih kecil? Ali dan Laras punya selera bagus dengan Peter Pan dan Dewa 19. Gue? Project Pop. Tenang aja, bukan cuman kalian yang ketawa sama selera gue. Ali dan Laras juga, kok.

Tapi jangan salah cuy, Project Pop tu bagus

Seberapa relate-kah Laras dengan serial film High School Musical? Well, dia kadang-kadang ngerasa kalo dia sama banget dengan Gabriella Montez. Kek apa yang Gabriella alamin, kadang-kadang dia alamin juga. Gue dan Ali berargumen kalo udah kek gitu, dia malah lebih mirip Sharpay Evans. Because you know, seringnya cewek yang ngerasa kalo mereka Gabriella... jatoh-jatohnya lebih mirip Sharpay di dunia nyata. 

Gimana masa depan kita bertiga entar? Laras dengan sisi Jurnalisme superkuatnya pingin, for obvious reasons, ke Metro TV. Ali lebih memilih buat stick to perhumasan, meskipun dia terbuka buat opsi-opsi lain yang dia punya. Jangan salah, sebelom gue ke Brisbane, Ali udah pernah nulis artikel buat CNN Indonesia. Sekali doang sih (sejauh ini), but still

Ali nanya gue soal impian gue buat bikin podcast yang pernah gue utarain ke dia sebelom gue berangkat. Gue sih waktu itu berkelit dengan bilang kalo podcast tu lebih gampang kalo gak dibawa sendirian, but let's face it: gue ngatur satu blog dan satu channel YouTube aja udah kelabakan, gimana gue bisa bikin podcast?

Tau sendiri gue dan kemageran gue dalam mengejar deadline

Setelah hampir tiga jam di South Bank, kita memutuskan buat pulang. 

Gue-Ali dan Laras pisah sih, meskipun itu hampir gak kejadian. 

"Li, maksud gue tuh pulang beneran..." ujar Laras setengah memelas. 

"Iya, pulang..." kata Ali sambil mengambil ancang-ancang buat kata-kata selanjutnya, "... ke Bayliss, kan? Itu maksud lo, kan?" 

"Kagak, maksud gue pulang ke rumah gue--" 

"Rumah lo kan bukannya di Indonesia ya, Ras?" 

"--di Brisbane, Li..."

"Lah, bukannya rumah lo di Brisbane itu Bayliss, yak?" 

"Iiih!" Laras pun menoleh ke gue. "Mo, gimana nih?" 

"Ya menurut intel-intel yang bisa dipercaya, lo emang lumayan sering ke Bayliss sih, Ras." 

"Ah, lo pake acara ikut-ikutan, lagi!" 

But nah.  

Malem itu Laras gak ke Bayliss. Udah kita tawarin buat nganter dia ke pusat kota tempat dia tinggal (seriusan ini, gak pake belok ke Bayliss), dia tetep menolak. Okay then

Seturunnya kita dari feri, Ali memulai sebuah pembicaraan dengan gue. 

Not that kita gak ngomong sama sekali di feri tadi, tapi buat kali ini, dia mengalihkan perbincangan kita sebelomnya ke sebuah topik yang... menarik. 

Dan gak, ini gak tentang feminisme. 

Pasalnya, sebelom dia memulai perbincangan tersebut, dia memberikan gue sebuah peringatan. Sebuah peringatan yang gue langgar sekarang. DENGAN SEIJIN DIA, mon maap. 

"Mo, jangan kasitau siapa-siapa yak. Bahkan ke Adri juga, lo jangan kasitau dia." 

Gue mengiyakan. "Wew, kenapa lagi nih, Li?" 

Ali keliatan malu banget buat ngasitau rahasianya ini ke gue. Gue pun mulai mikir aneh-aneh. Rahasia apaan, nih? Dia nyolong makanan dari Sevel terdekat? Dia diem-diem ngabisin snack bersama rumah Bayliss? Dia naksir cewek cakep yang satu kelas sama dia? Dia... gay? 

I mean, tanda-tandanya lumayan kentara. 

"Lo tau sendiri kan, gue sama Laras keliatannya deket, tapi sebenernya dari kita berdua gak ada yang baper?" 

Oh, tentang Laras. 

Truth be told, gue punya kecurigaan tersendiri terhadap mereka berdua. Gue dan Adri. 

Laras adalah bagian dari peer group beranggotakan gue, Ali, dan Adri. Hal itu udah gak jadi pertanyaan. 

Tapi sepengamatan gue dan Adri, Laras terlihat lebih, LEBIH deket ke Ali. Melebihi kedekatan Laras ke kita berdua. 

Gue gak tau pasti ini mulainya dari kapan, tapi gue setuju kalo Laras emang lebih cocok sama Ali. Mereka berdua satu panggung pas acara pentas seni FISIP. Yep, pentas seni sama yang gue sebutin di salah satu postingan gue sebelomya. Dan yep, Ali pun jadi aktor juga di pentas seni tersebut. Belom lagi, Ali bisa mengakomodasi unsur 'nyeni' Laras yang tinggi. Unsur artsy yang Laras punya, Ali lebih ngerti dibandingkan gue dan Adri. 

Laras dan Ali pernah  sering jalan bareng. Ke Museum Macan, ke Taman Ismail Marzuki buat nonton sebuah pentas teater, ke bioskop buat nonton film. Bilangnya sih sebagai teman dan bukan sebagai lebih-dari-sekadar-teman, tapi tetep aja itu jadi sasaran kecurigaan gue dan Adri. 

Mau seberapa serius keliatannya mereka berdua, mereka gak ada rasa satu dengan yang lain. Jalan cuman sebagai temen deket aja. Dan dari mereka berdua gak ada yang merasa ter-friendzone-kan dengan status sahabat tersebut. 

Ali dan Laras gak saling baper, meskipun semua tanda menunjuk ke sana. 

Itulah pengetahuan yang gue pegang dan informasi yang gue percaya. 

Sampe malem itu, seenggaknya. 

"Gue baper sama Laras, Mo!" 

Itulah kata Ali bermuka tengsin berat, seakan abis mengaku kalo dia gay

"Well, shit." jawab gue singkat. 

Laras adalah cewek yang luar biasa. #WhatAGal , itulah sebutan gue saat mendeskripsikan dia di antara cewek-cewek Babes. Ali pacaran sama Laras? Boy oh boy, jadiannya mereka berdua bakal ngebikin mereka jadi sebuah power couple termantep di angkatan gue. 

Sayangnya, Laras punya masalah dengan komitmen, begitulah kata Ali. 

Bukannya Laras gak setia ato rawan selingkuh, oh tidak. 

Ini menyangkut hubungannya di masa lalu yang berakhir dengan rada pahit buat Laras.

Gara-gara kepahitan masa lalunya tersebut, Laras jadi lebih susah buat mencintai orang lain setelah hubungan tersebut. 

Laras susah baper, gara-gara dia takut terjangkit patah hati. 

Sama kek apa yang terjadi dengan hubungannya di masa lalu. 

"Li, lo udah kasitau siapa aja?" tanya gue. 

Gak banyak. 

"Gila, Mo!" kata Ali sembari kita berjalan dari terminal feri ke Bayliss. "Gue tuh udah takut banget malah baper, udah ngeyakinin diri gue kalo gue gak bakalan baper, eh jatoh-jatohnya malah baper!" 

"Itu rasanya tai banget, lo tau gak?" 

Li, no offense, tapi gue rasa lo bertanya ke orang yang salah. 

"Duhh, gue harus gimana nih, Mo?" 

Kek yang tadi gue bilang, Li--ah, screw it

"Lo gak bisa simpen itu selamanya, Li," jawab gue. "Mendem perasaan itu gak baik, you know that, right?" 

"Gue tau kalo gue harus ngasitau dia, Mo," ujar Ali. "Dan gue suatu hari bakal bilang ke dia." 

"Tapi rasanya pas gue sadar itu loh, Mo. I feel like shit, you know that?"

Pas kita udah deket ke Bayliss, Ali ngingetin gue sekali lagi. 

"Inget ya Mo, not a word." 

"Men, you know you can count on me." 

Ali menghela napas panjang. "Makasih ya, Mo." 

Dan kita pun memasuki rumah Bayliss. 

Loncat ke dua bulan-an kemudian. 

Gue rasa Ali menepati kata-katanya. Dia gak mendem ke-baper-an tersebut lama-lama.

Gue juga ngerasa Laras berhasil menghadapi ketakutannya jatuh cinta lagi. 

Soalnya gue denger dari Ali sendiri, dia dan Laras udah jadian. 

***

Fiuh, ternyata hari ter-gak penting selama gue di Brisbane lumayan panjang juga, ya? 

Itu, ato emang hari ini emang sengaja gue panjang-panjangin. Demi konten, toh? 

Apa agenda kita besok? 

EKKA. 

Itu, dan sebuah tindak penyelundupan di siang harinya. 

But until then

until the next post, bois! :D 







  






  





























Sunday, October 7, 2018

ALL THE WAY TO BAYLISS ST (#2) - A Slip Away from Making the News

Gue kebangun

Bukan gara-gara alarm bunyi ato gara-gara gue kena mimpi buruk. 

Gue kedinginan. 

Ya gimana mau gak kedinginan, gue tidur di lantai cuman beralaskan sajadah yang biasa dipake Adri buat solat. Yep, lo boleh aja tinggal di negara yang beda, tapi ibadah lo tetep harus jalan. Dan untungnya buat gue, ibadah Adri di negara orang tetep jalan. Otherwise, gue tidur gak pake alas apa-apa. Cuman gue, selimut Adri, bantal dan lantai. Lantai yang ditutupi karpet sepenuhnya, tapi tetep aja lantai. 

Dan gue juga lumayan kaget kalo Brisbane malem-malem tetep dingin. Ya gue gak mengharapkan sepanas Jakarta juga, tapi at least lo malem tidur gak harus pake selimut, gitu? No? Alright then

Dipikir, untung aja gue udah bangun, soalnya Adri bilang kita harus bangun pagi buat acara hiking hari ini. 

Dan bangunlah gue. 

Pas gue ke dapur di rumah Bayliss Street tersebut, gue ngeliat Ali lagi masak sarapan. Sarapan dan satu porsi makanan lain yang dia taro di sebuah wadah ala Tupperware. 

Ngapain dia masak bekal? Emangnya dia ikut hiking juga? 

Turns out, iya. Diajak sih, seenggaknya. Pada malam sebelomnya. Dan dia mau ikut. 

Diajak, iya. 

Mau ikut, iya. 

Tapi dia nya jadi ikut, gak? 

"Oy Li, gue punya kabar buruk nih," ujar Adri sembari keluar dari kamar memegang hapenya. 

"Oh? Kenapa, Dri?" 

"Kan gue semalem udah LINE si Louis (PIC acara hiking kita), bilang lo ikut kan," jelas Adri.

"Terus?"

"Tapi dia nya bilang kalo mobilnya udah full, dan pas dia bilang itu di LINE, gue nya udah keburu tidur," katanya dengan nada (rada) kecewa. "Gue nya baru baca pagi ini nih, pas baru bangun," katanya lagi. 

"Oh," ujar Ali seakan-akan dia baru denger kalo LeBron James gagal dapet gelar MVP. "Yaudah, mau gimana lagi." 

"Maap banget yak, Li," balas Adri. "Gue nya juga baru tau tadi pagi banget," lanjut Adri. "Lo nya gak papa, gak nih?" 

"Ya gimana," balas Ali. "Kalo misalnya jadinya gitu yaudah, mau digimanain lagi," jawab Ali. 

"Aslinya--gue kasitau lo ini gara-gara lo temen gue yak--gue masalah sih. Gue nya gak gak apa-apa," lanjut Ali pelan. "Tapi mau digimanain lagi?" 

"Sori banget nih, Li," ujar Adri lagi. 

Sebenernya percakapan itu masih lanjut lagi, tapi intinya masih sama dengan kata-kata pertama tadi: Ali bilang ke Adri kalo dia sebenernya kecewa, dan Adri berulang-ulang kali meminta maaf ke Ali, padahal Adri gak ada salah dalam bentuk apapun ke Ali. Okelah kalo dia gak ngebaca pesan LINE Louis yang bilang kalo mobil hiking udah keburu penuh kemaren malem, tapi seenggaknya dia gak nunda sampe pagi buat ngomong soal Ali ke Louis-nya, kan? Toh Adri punya alasan bagus buat tidur lebih cepet malemnya: biar besoknya bisa bangun pagi. 

Eh? Emang Adri gak ada salah ke Ali, kan? 

Gue sih nangkepnya gitu. 

Sesampenya Adri di kamarnya, dia pun mulai berusaha, ehm, bernegosiasi dengan situasi. 

Dia telpon Louis buat konfirmasi kalo mobilnya beneran udah full, dan dia juga mulai mempertimbangkan nyewa mobil kedua biar Ali jatoh-jatohnya bisa ikut. Opsi inipun dia tanyain ke Ali juga, yang mana Ali menyarankan Adri buat ENGGAK nyewa mobil kedua, gara-gara duit. Bottom line, Ali gak ngotot buat ikut. Gak sengotot Adri berusaha biar Ali ikut, seenggaknya. 

"Jadi menurut lo gimana, Mo?" tanya Adri ke gue sekeluarnya dia dari kamar Ali. "Kita patungan buat nyewa mobil kedua, gitu?" 

"Gue terserah aja, sih." 

"Yauda, lo ke Ali gih, bilang kalo kita bersedia patungan buat nyewa mobil lagi." 

"Lah, kok gue?" 

"Lo, lah! Kan gue udah ke Ali tadi." 

"Ya tapi kan ini bukan ide gu--" 

"Ude~eh Dri, lo gak usah sampe segitunya biar gue ikut," timpal Ali dari belakang pintu kamarnya. Obviously setelah gak sengaja nguping percakapan gue dan Adri. Kita berdua ngomong emangnya sekenceng itu, ya? 

"Lo pergi aja sama Momo, gak papa. Cuman gue kasitau lo aja sebagai temen, gue nya sih masalah," lanjut Ali, pintu kamarnya masih tertutup. "Kalo misalnya Louis ngajak temen lagi sampe mobilnya full, ya mau gimana lagi?" 

"Beneran gak papa nih, Li?" balas Adri. "Gue nya gak enak, nih." 

"Iya, gak papa, lo pergi aja sama Momo, gak usah sampe nambah mobil segala," jawab Ali. "Gue ngasitau aja nih, lo kan temen gue--lo ngerti, kan?" 

"Iya iya, ngerti gue," ujar Adri. "Sori, yak." 

Setelah kita berdua kelar packing, termasuk gue mengepak sekotak Indomie goreng telor ke tas gue, kita berdua pun berangkat ke apartemen Louis. 

Dan mulailah salah satu hari tergreget gue di Brisbane. 

The Oil Fiasco

Kurang lebih 500 meter kemudian, sampailah kita di apartemen Louis. 

Apartemennya gak segede itu. 'Itu' dalam artian segede Sudirman Tower Condominium di daerah Semanggi yang tingginya bisa nyampe 40 lantai lebih. Then again, di daerah Toowong dan sekitarnya, nemuin apartemen berlantai 40 udah kek nemuin gunung salju di pulau Jawa. Impossible. Lantai 20 aja udah tinggi banget dalam standar Toowong, apalagi lantai 40? 

Anyways, apartemen Louis dkk ini berlantai delapan. Kek nya. Intinya, lebih dari dua lantai. 

Langsung ke parkiran, gue pun bertemu dengan personil ekspedisi kita hari ini. 

Ada Louis, yang ngajak Adri yang ngajak gue yang setengah menyesali keputusannya buat ikut. 

Ada Risyad, yang mobilnya kita tumpangin. Jazz modelan 2002 berwarna biru pudar yang gue tumpangin kemaren. Gue udah ngerasain firsthand gimana rasanya naik mobil tersebut dengan dua penumpang lain di belakang, so I think I should do just fine.

Dan ada orang ketiga. Teknisnya sih kelima, tapi dia orang ketiga yang gue kenalin ke lo pada, so ketiga. Eja namanya. Menurut Instagram sih nama dia Reza, tapi entah kenapa 'R' yang ada di nama Eja ini ngilang. Mungkin biar jatoh-jatohnya dipanggil 'Eza' biar jadi kek Eza Gionino, tapi bisa diliat dari cara gue nulis namanya di atas, kemungkinan besar tujuannya gak tercapai. Mon maap nih, Ja. 

Semuanya udah kenalan sama gue kemaren, pas gue dan Adri nemenin Risyad mampir ke apartemen Louis kemaren. Yang gak gue ceritain di postingan kemaren, soalnya tu postingan udah panjang banget, I might as well nulis novel. 

"Asiiik, lo ikut juga, Mo?" tanya Eja ke gue. 

Kagak Ja, gue cuman mau nemenin Adri ke sini biar bisa dadah-dadahan pas dia cabut kek bokap nganterin anaknya ke hari pertama sekolah. 

Menurut Louis, bukan cuma kita yang bakal mendaki gunung hari ini. Well, obviously, mengingat Mount Beerwah adalah salah satu gunung objek wisata di daerah Queensland--ya pastilah bukan cuman kita yang ngedaki tu gunung, Mo! 

Elah, gak usah ngegas, dong. 

Louis bilang bakalan ada temennya dari Amerika yang ikut rombongan kita. Kalo gue gak salah inget, dia dosen Sastra Jepang di University of Queensland. Dia dan istrinya bakalan ketemuan sama kita sebelom akhirnya kita naikin tu gunung bareng. 

Mount Beerwah namanya. In case lo pada skip namanya yang udah gue sebutin tadi.

"Lo tau arahnya kan, Ouis?" tanya Risyad pas kita masuk mobil.   

"Iya, ntar gue arahin."   

15 menit kemudian, kita berhenti di sebuah pom bensin. For obvious reasons, soalnya jarak dari apartemen Louis dkk ke Mount Beerwah ada 80 kilometer lebih. 1,5 jam-an. Tanpa ngitungin macet, soalnya ini Brisbane, bukan Jakarta. 

Selain ngisi bensin, Risyad juga ngeganti oli mobilnya. Ini gue sebutin sekarang, soalnya tindakan Risyad ini bakalan penting entar. 

15 menit (lagi) setelah kita beranjak dari pom bensin, gue tidur. 

Entah berapa lama kemudian, di tengah-tengah tidur-tak-bermimpi gue, gue nyadar kalo kita berhenti. Mungkin Risyad kebelet kencing, ato dia mau beli Hungry Jack's dulu, ato dia mau ngopi Starbucks dulu, entahlah. 

Tapi ini berhentinya lama, jauh lebih lama dari durasi pemberhentian normal dari opsi-opsi yang gue sebutin di atas. Lagian, 1) Hungry Jack's lo gak bakal berhenti, soalnya ada drive-thru, dan 2) demi apapun, Starbucks di sini sama langkanya dengan nasi pecel. Dengan kata lain, hampir gak ada. 

Jadi akhirnya gue kebangun. Gue noleh kiri, ada Adri. Gue noleh kanan, ada Eja. Yep, gue duduk di belakang. Kenapa kita bertiga masih di dalem sini, di dalem mobil yang mesinnya udah mati dan supir serta kernetnya udah di luar, gue juga gak tau. 

"Eh? Ni ada apaan?" 

"Tau nih, si Risyad ada masalah sama mobilnya," jawab Adri. 

Rupanya, Risyad dan Louis lagi di luar, di daerah kap depan.

Gak lama setelah gue bangun, Risyad nyamperin kita. 

"Eh, lo pada keluar dulu, gue mau ngedongkrak soalnya," ujar Risyad.

Oh? Bannya ada yang bocor? Kempes? 

Keluarlah kita bertiga. 

"Kenapa nih, Ouis?" tanya Adri. 

"Risyad naro olinya kebanyakan." 

Yep, ini dia permasalahannya. Alasan kita berhenti seenggak-enggaknya setengah jam di daerah antah-berantah antara Toowong dan Beerwah. Gak se-antah-berantah itu juga, soalnya kita berhenti pas di depan sebuah service shop. Di seberang ada supermarket Woolsworth. Pas di sebelahnya ada Mekdi. Gak se-terpencil itu, but that doesn't change the fact gue gak tau dimana kita, blas. 

"Emangnya kenapa kalo olinya kebanyakan?" tanya Eja. 

Exactly my question, Ja. 

Why oh why? 

"Soalnya kalo olinya kebanyakan, terus mobilnya lo pake terus, takutnya entar mesinnya rusak," jawab Risyad.

Gue gak mau bilang ini salah ato bener, soalnya gue bukan anak otomotif. Yang demen mobil, anyone? Gue yakin partner-in-crime gue Tjipto tau jawabannya. 

"Jadi, lo sekarang mau ngeluarin olinya?" tanya Eja lagi. 

"He-eh." jawab Risyad. 

"Gimana caranya?" tanya Eja lagi lagi. 

Supposedly, oli mobil Risyad bisa diambil dari sebuah kap yang terletak di bawah mobil Jazz-nya. Ngebuka kap ini simpel aja, lepasin aja baut-bautnya pake kunci Inggris. Buat kaum otomotif yang ngebaca ini gue minta maap kalo gue gak bisa nyebutin istilah-istilahnya, tau sendiri gue bukan anak mobil. 

Simpel gak berarti gampang, sayangnya. 

Baut-baut kap tersebut yang mestinya berbentuk segi delapan udah gak berbentuk segi delapan lagi. Dengan kata lain, kunci Inggris gak ngelepas baut-baut tersebut. Yang berarti kap ajaib di bawah mobil tersebut gak bisa dibuka. 

Risyad sendiri udah bolak-balik masuk-keluar service shop tersebut dengan berbagai alat: kunci Inggris lah, suntikan injeksi oli lah, selang plastik kecil lah, dia udah nyoba berbagai cara. Dan bisa diliat dari kita yang belom beranjak dari parkiran service shop tersebut, Risyad lom berhasil. 

"Gimana caranya lo tau kalo olinya kelebihan?" tanya Eja lagi lagi lagi. 

"Nih," kata Louis sembari nunjukin 'alat pengukur kadar oli'-nya ke Eja. Tu alat punya ujung logam yang tipis nan datar, bisa dibengkokin alias elastis, dipegang kek obeng, dan punya dua lubang kecil berukuran titik (.) di sepanjang sisi ujungnya tersebut secara vertikal. 

"Lo masukin alatnya ke dalem situ Ja," kata Louis lagi sambil memasukkan ujung alat tersebut ke sebuah pipa di dalam kap mobil Risyad. 

Pas tu alat di keluarin, ujung alat tersebut terlihat berlumuran oli, ngelewatin dua lobang berukuran titik di ujung alat tersebut. 

"Kalo olinya nyampe ngelewatin titik kedua," ujar Louis sambil nunjukin titik yang paling deket dengan genggamannya, "berarti olinya kelebihan, Ja. Gitu." 

"Ooooohh...." ujar gue dan Eja bersamaan. 

Pause

"Kalo gitu," kata Eja, keknya ngide. "Kan Risyad lagi berusaha ngurangin olinya nih," jelasnya. 

"Kita bisa ngurangin olinya pake alat pengukur itu, kan?" 

Ya kalo mau dibilang salah juga kagak sih, Ja. Pas lo masukin tu alat ke dalam pipa, ada oli yang ikut kebawa sama alat tersebut, jadi olinya EMANG BERKURANG. Sayangnya, itu sama aja dengan bilang kalo lo mau menangin sebuah pertandingan sepak bola, lo harus ngebikin tim lawan kena kartu merah semua. You technically can do that, but do you really have the time? 

Belom lagi, kita di sini udah lumayan lama. Louis udah ditelpon dua kali sama temen mendaki bulenya, dan dia udah dua kali juga bilang kalo kita lagi ada masalah dan pertemuan kita dengan dia bakalan ketunda. Sebagai orang Indonesia, kita semacam punya kewajiban buat gak enak sama si bule, dan pada kenyataannya, gue denger situasinya aja udah gak enak sendiri. Padahal gue baru kenal Louis literally kemaren. 

"Oh, gue tau!" kata Eja lagi. 

"Gimana kalo kita bungkus kertas di ujung alatnya? Kan kertas nyerep oli tuh," saran Eja. 

"Mantep juga ide lo Ja," ujar gue. 

Gak beda jauh dengan menangin pertandingan sepak bola dengan ngebikin semua kiper lawan kena kartu merah. Kelebihnnya, itu lebih gampang dari ngebikin semua pemain tim lawan kena kartu merah. Kekurangannya? Again, ain't nobody got time for that. 

Tapi yasudahlah. Terkadang, dalam hidup, ngide itu dibutuhkan. 

Dan kita pake beneran tuh ide dia. Kertas, diiket pake karet gelang ke ujung alat pengukur oli, dimasukin kedalam pipa di dalam kap mobil. 

Pas dikeluarin, emang beneran ada oli 'membasahi' kertas tersebut. Sayangnya, kalo kita beneran pake teknik ini, kita bisa terjebak di service station tersebut sampe malem. 

Akhirnya kita menggunakan teknik yang gue kasih nama reverse-injection

Nampaknya kalo dicari di gugel, yang keluar adalah sebuah komponen komputer. 

Premis istilah temuan gue ini simpel aja: pake suntikan injeksi oli buat ngeluarin oli dari dalem mobil Risyad. Biasanya tu benda dipake buat injeksi oli ke DALAM mobil, sekarang kita ngelakuin KEBALIKAN dari fungsi benda tersebut, yaitu ngisep oli ke LUAR mobil. Hence, reverse-injection. Kek nyuntik ngambil darah aja.

Kita ngelakuin teknik ini selama 10-15 menitan. Selang dimasukin ke dalam pipa tempat ngukur tadi, disambungin ke suntikan injeksi oli, trus oli ditarik ke dalam suntikan tersebut. Setelah olinya menuhin suntikan tersebut, kita tuangin olinya ke sebuah baskom berwarna item. Rinse and repeat selama 10-15 menit. 

"Mantep boii," kata Eja ngeliatin oli mengalir di dalam selang plastik. 

Setelah melakukan teknik reverse-injection sebanyak tiga kali, Adri bertanya. 

"Eh, cek dulu tuh olinya pake tu alat, berkurang gak olinya?" 

Maka kita celupin tu alat. 

Masih ngelebihin dua titik. Lebih *dikiiit* banget, sih. 

"Dikit lagi cuy," kata Risyad. 

Dan kita pun ngelakuin reverse-injection ini 3-4 kali lagi setelah itu. 

Cek kadar oli lagi, dan... 

Di atas dua titik. 

"Keknya olinya kadar ngurang dikit, sih," kata Eja.  

"Gue baru cek internet cuy," kata Adri sambil megang hapenya. "Mestinya kalo oli kelebihan gak kenapa-kenapa, sih." 

"Ya kan jaga-jaga, Dri," jawab Risyad. 

"Udeh, kan kita udah ngebuang oli nih dari tadi," saran Eja. "Mestinya udah berkurang, kan? Kelebihan *dikit* aja mestinya gak papa lah, Syad," kata Eja. 

Pause satu-dua menit sembari menunggu Risyad ngambil keputusan mengenai oli kelebihannya. Lagian, kan dia yang punya mobil. 

"Yaudah, jalan aja nih?" tanya Risyad, kurang yakin. 

"Ayok dah Syad, kan kalo kelebihan bukannya mestinya bagus, yak?" tanya Eja lagi lagi lagi lagi. 

Risyad mempertimbangkan keputusannya lagi selama satu-dua menit. Akhirnya, dia pun membuat keputusan. 

"Yaudah," katanya. "Jalan, yok." 

Beres-beres, buang-buangin tu oli, bersih-bersih bekas kerjaan kita, dan kita pun meninggalkan service station tersebut. 

Mau dipikir lagi, satu section ini rada...unik. 

Mobil Risyad gak rusak. Gak ada yang rusak, semuanya utuh. Bahkan ban yang tadinya gue kira ada masalah, ternyata fine-fine aja. 

Kita berhenti bukan gara-gara ada yang rusak.

Kita berhenti bukan gara-gara TAKUTNYA ada yang rusak pula. 

Kita berhenti gara-gara TAKUTNYA ada yang BAKAL rusak. 

Camkan itu, bois. 

One Little Slip

Satu jam kemudian, Mount Beerwah. 

Sepanjang jalan menuju Mount Beerwah, pemandangan berubah dari perkotaan jadi perhutanan. Pohon-pohon setinggi gedung dua-tiga lantai berjejer di pinggir jalan. Pohon jati? Pohon pinus? Gak tau juga gue, yang pasti ini tipe-tipe pohon yang tingginya terdiri dari 90% dahan dan 10% daun. 

Sampe di sono, parkir mobil, dan kita pun beranjak ke kaki gunung Mount Beerwah. 

Sepanjang di jalan, Louis memberikan kita intel-intel berharga. 

"Ini medannya lumayan berbahaya loh," katanya. 

"Gak ada tali ato pager ato pengaman macam apapun," katanya. 

"Manjatnya lumayan terjal," katanya. 

"Kita manjat dari sini sampe ke puncak bolak-balik bisa tiga sampe empat jam," katanya. 

"Awas ada batu jatoh," katanya. 

"Bapa, sumber air su' dékat!" kata Eja pas kita nyampe di sebuah tempat persinggahan. 

Sumber air ini berbentuk sebuah tangki air gede berwarna coklat yang ada keran di bagian bawahnya. Sekilas keliatan kek dispenser air super gede. 

"Eh, itu bisa diminum, gak?" tanya Adri. 

Di saat itulah kita liat tulisan yang terpampang di tangki tersebut. 

Rain water only, katanya. Not for drinking, katanya. 

"Bangke ni," kata gue. 

Tempat persinggahan tersebut terdiri dari tangki air raksasa tadi, bangku ala camping site yang dipayungi oleh pondok yang terbuat dari kayu di sebelah si tangki, dan sebuah toilet umum di sebelah kanan jauh dari pondok tersebut. Di kiri jauh kombo pondok + tangki adalah jalan setapak menuju kaki Mount Beerwah. 

Mount Beerwah sendiri keliatan dari tempat persinggahan tersebut--berdiri tegak kokoh menjulang di antara pepohonan tebel. Gak ada pegunungan di sini, yang ada cuman satu gunung yang menonjol, si Mount Beerwah itu. Gara-gara dia gak ada saingan, Mount Beerwah dari persinggahan tersebut jadi objek Snapgram yang mantep. 

Setelah sesi foto/masukin ke Snapgram, Louis ngajakin kita naik. 

"Naik nih, kita?" 

"Let's go!" ujar Eja semangat. 

Belom 20 langkah, kita disambut dengan sebuah papan peringatan. 

Rockfall alias longsor batu emang jadi isu gede di sini. Batu-batu dengan berbagai ukuran bisa jatoh dari dan ke mana aja. Ketiup angin kek, ketendang orang manjat kek, kesenggol kek, ada aja batu jatoh dari bagian atas gunung. Batu yang jatoh pun bukan cuma ukuran kelas teri kek kerikil, tapi bisa yang gede-gede banget kek seukuran laptop, koper Samsonite, ato bahkan, ehm, mobil. 

Itulah yang papan peringatannya bilang. Beware of rockfalls

Jalan lagi selama 10 menit, Adri nanya ke gue. 

"Gimana, Mo? Capek?" 

Capek? 

Kaki gue udah kek digoreng, Dri. 

Demi apapun, jalan setapak menuju ke kaki Mount Beerwah bikin kaki gue serasa kek mie goreng. Udah letoy, digoreng pula. Setiap langkah di jalan setapak tersebut keliatan (dan serasa) kek tangga buat orang dengan tinggi badan dua meter lebih. Naik satu langkah oke, dua langkah lumayan, tiga langkah udah mulai capek, 10 langkah mampus. 

Dan jalan setapak tersebut terdiri lebih darI 10 langkah. 

"Dri, kek nya gue nyesel dateng ke sini," kata gue. 

"Ye lo nya sih, udah gue bilang ini hiking beneran coy, bukan cuma jalan-jalan kek di Gunung Bromo," katanya. 

Oh bloody hell, kenapa gue bilang iya pas diajak, ya? 

Pas kita udah nyampe di kaki Mount Beerwah, kaki gue kebakar. Sepanas itu. 

Knees weak. 

Arms are heavy. 

He's vomited on his sweater already. Mom's spaghetti

Di saat Louis dan Eja mendiskusikan gimana game plan manjat mereka, termasuk sepatu futsal Eja mau ditaro dimana, Adri menoleh ke gue. 

"Gimana, Mo?" tanyanya. "Lo naik gak, boi?" 

"Dri," jawab gue. "Kaki gue lagi kebakaran, nih." 

"Lo pada duluan aja," kata gue lagi. 

"Seriusan, lo?" tanya Adri. "Lo gak ikut naik?" 

"Kaki gue masih sakit Dri, demi apapun," jawab gue. "Gue istirahat dulu di sini, dah." 

"Yaudah kalo gitu, lo lurusin kaki dulu aja," kata Adri, yang kemudian noleh ke Eja dan Louis. "Eh, si Momo gak ikutan naik, nih." 

"Gak ikutan lo, Mo?" tanya Eja, yang kemudian noleh ke Risyad."Syad, lo ikutan naik, gak?" 

"Gue di sini dulu, dah," jawab Risyad. 

Ah well, at least gue ada temen gak-ikutan-manjat-sampe-ke-puncak. 

"Tiati ye," ujar gue ke Adri-Louis-Eja pas mereka mulai mendaki. 

"Lo seriusan gak mau ikut, Mo?" tanya Adri lagi. "Yang susah bagian awalnya aja, abis itu gak seberapa susah kok manjatnya, sumpah." 

Dia bener soal itu. 

Keliatan dari tempat gue berdiri di kaki Mount Beerwah, bagian awal banget, medan yang paling pertama lo hadepin, kebetulan merangkap sebagai medan yang paling susah dari gunung tersebut. 

1) Tekstur sisi gunung di bagian awal ini licin, mulus, dan terjal. Lo gak bisa megang apa-apa di bagian mulus ini, dan sepatu lo juga gak bisa berpijak di bagian ini. Jangankan sepatu kets, sepatu hiking aja gak bisa. Selicin itu. Kalo lo gak punya pegangan yang kuat di bagian ini, lo bakalan merosot. Ngomong-ngomong soal pegangan... 

2) Gak banyak pegangan di daerah awal ini. Kalo pun ada, mereka pun berukuran kecil. Udah gitu, jarak mereka juga gak deket-deket amat. Tambah lagi, keterjalan bagian ini bikin setiap panjatan lo buat naik jadi berat. Sekali lo dapet pegangan yang lumayan, lo harus naikin kaki dan sekalian badan lo ke sono, soalnya gak ada pijakan kaki lagi di sekitaran pegangan tersebut. 

3) Panas. Itu semua, ditambah kita lagi manjat di siang bolong, dan kek nya hari itu matahari lagi lumayan bersemangat. Pegangan jarang, kecil, jauh... dan bikin tangan lo panas. Otomatis, lo gak bisa pegangan lama-lama. 

Seenggaknya, itulah observasi gue dan Risyad pas kita masih di bawah, ngeliatin orang-orang berusaha mendaki dan gagal. Gak semua gagal mind you, tapi lumayan banyak yang akhirnya terperosok ke bawah. 

Setelah 10 menit ngeliatin dan ngamatin jatoh-naiknya pendaki lain, Risyad memutuskan buat ikutan mendaki. Gak sampe ke puncak, tapi seenggaknya ngelewatin bagian susah si Mount Beerwah ini. Kalopun lo gak nyampe ke atas, setidaknya lo ngerasain bagian paling greget dari gunung ini, a.k.a. bagian paling susah. 

"Jagain tas gue ya, Mo," kata Risyad sembari mulai mendaki. 

Lima langkah kemudian, dia ngelepas sepatunya. 

"Lebih gampang nyeker deh, keknya," katanya. 

Dia ngelempar kedua sepatunya ke bawah, ke arah gue. 

Sepengamatan gue, Risyad lumayan... ngagetin. 

See, badan Risyad gak seberapa tinggi, gak beda jauh sama gue. 

Tapi dia manjat jauh lebih jago dibandingkan mereka-mereka yang terperosok tadi.  

Keliatan dia manjat kek gak ada beban. Gak takut kepeleset ato jatoh. Begitu dia megang sebuah pegangan, dia langsung nemu pegangan lain dan langsung berpindah ke pegangan lain tersebut. Gak se-kambing-gunung Nathan Drake sih, tapi dia lebih jago dibandingin bule-bule yang bahkan gak bisa ngelewatin empat pijakan pertama. Dia lebih pewe dengan kegiatan manjat-memanjat ini dibandingkan dengan mereka-mereka yang badannya lebih tinggi dan gede dari dia.  

Lincah, cepet, dan efektif. Gak ada 10 menit kemudian, dia udah ngelewatin bagian susah tersebut. Lima menit setelahnya, dia ngilang dari pandangan. Keknya dia lanjut. Though gue yakin gak lanjut sampe ke atas-tas-tas, soalnya tas dia masih duduk manis di sebelah gue. 

Ngeliatin Risyad, gue mikir. 

Kalo dia bisa, gue bisa. 

Kalo dia bisa ngelewatin bule-bule yang keliatan lebih siap dari kita, gue juga bisa. 

That's it, I'm climbing

Gue udah jauh-jauh ke sini, jauh dari tempat gue di Melbourne, jauh dari Melbourne itu sendiri, jauh dari Bayliss Street tempat gue nginep, jauh dari kota Brisbane, masa' akhirnya gue gak manjat? 

Kalo gue sukses ngelewatin bagian ini, bagus. Kalo gue kagak, at least gue udah nyoba. 

Kalo gue kepeleset... well, seenggaknya gue mati pas nyoba, bukan mati sebelom nyoba. Itu, dan gue jadi masuk berita, cita-cita gue sejak kecil. 

Masalahnya satu. 

Gue gak bisa ninggalin tas Risyad gitu aja. 

Jadi gue nunggu sampe Risyad turun, kurang lebih 15 menit kemudian. 

"Syad, gue mau nyoba," kata gue. "Jagain tas gue, yak." 

"Siap, Mo," jawab Risyad. 

Dan gue pun beranjak. 

Oya, dan gue nyeker. 

Dua pijakan pertama gak terlalu susah, soalnya medannya lom terlalu terjal. 

Memasuki pijakan keempat, barulah gue ngerasain kegreget-an bagian ini. 

But first things first

Perihal masalah panas yang gue sebutin tadi.

Ternyata, gak sepanas itu. 

Hanget sih iya, tapi gak panas kek yang gue dan Risyad kira. 

"Gak panas nih, Syad!" teriak gue ke Risyad yang nungguin di bawah. 

With that out of the way, let's get to the climbing part

Keempat dan kelima jaraknya lumayan jauh. Medannya pun udah mulai terjal. Tapi gue gak terlalu mikirin. Pokoknya, gue harus ngelewatin bagian ini. 

Setiap kali gue dapet pegangan, gue langsung buru-buru naikin kaki gue ke pegangan tersebut. Cepet-cepet, sebelom gue mulai capek dan gak bisa ngangkat badan gue. Jaga momentum. 

Kelima dan keenam dan seterusnya, gue rasa inilah bagian paling susah dari bagian susah ini. 

Gak cuman jaraknya jauh dan pijakannya kecil, tapi keterjalan bagian ini udah mendekati 90 derajat. Hampir tegak lurus. Manjatnya pun lebih susah. So pasti. 

And then there are those moments

Momen dimana jantung gue nge-deg kenceng. Momen dimana gue sadar kalo satu gerakan yang salah bisa menyebabkan gue kehilangan pijakan. Momen dimana otot kaki gue mengirim sinyal ke otak gue, ngomong ke gue kalo gue harus hati-hati banget. Momen dimana kaki dan tangan gue tersentak, *hampir* aja kehilangan keseimbangan. 

Momen dimana gue sadar satu senggolan bisa bikin gue terpelanting ke bawah. 

Satu senggolan yang bisa bikin gue masuk berita. 

Those moments

Gue taro tangan gue di pegangan atas gue, ngecek itu pegangan mantep ato gak. Gak ada pegangan lagi di deket pegangan tersebut, berarti gue harus langsung naikin kaki gue. 

Pegangan selanjutnya lebih gampang, soalnya doi berukuran lebih gede dan lebih dalam dibandingkan pegangan gue sekarang. Sayangnya, ya itu. Gue harus naikin kaki gue ke pegangan mini ini. Muat sih muat, tapi tentu aja gue gak bisa naro kaki dan tangan gue di situ secara bersamaan. 

Tanpa aba-aba dari otak gue, gue langsung menaikkan kaki gue, sementara tangan kanan gue menggapai pegangan yang lebih gede tadi. 

Dapet. 

But wait. 

Pegangannya gak mantap. 

Reflek, gue melepas tangan kanan gue dan langsung menggapai lebih dalam. 

Kaki kanan gue bergeser, berputar sedikit biar gue bisa dapet pegangan yang lebih dalem tadi. 

Deg

Di saat itulah gue sadar, kaki kanan gue yang napak kurang dari setengahnya. 

Geser sedikit lagi, kaki gue pasti udah lepas, dan gue gak ada pijakan di kaki.

Dan saat itu, tangan kanan gue belom megang, masih terlepas meraba-raba pegangan yang lebih kuat dari yang gue dapet tadi. 

Itu kaki lepas, gue gak ada pijakan sama sekali. 

Dengan kata lain, jatoh. 

Krek.

Kaki kanan gue langsung berhenti di tempat. 

Deg

Tep. 

Tangan kanan gue dapet pegangan yang bagus. 

Kaki kanan gue naik, menyusul tangan kanan gue. Nampaknya, pegangan yang ini bentuknya kek curug yang ukurannya cukup buat satu orang dewasa. 

Aman. 

"Oh, ho ho ho!" singgah gue, lega setelah ngerasain literal near-death experience

Like I said, those moments

Pas di depan gue adalah seorang cewek filipino yang nampaknya kesusahan. Pacarnya udah lumayan jauh di atas kita. Kesusahan keknya cukup tepat untuk mendeskripsikan situasi si filipino ini, soalnya dia udah setengah jalan pas gue mulai mendaki. Beberapa menit kemudian, gue udah pas di belakang dia. Dan dia keliatannya udah kecapekan, ngos-ngosan dan mulai menyerah, sementara cowok dia gak henti-hentinya nyemangatin dari atas, sampe-sampe dia ngasih instruksi manjat buat si cewek ini. 

Dia pun noleh ke gue yang berada di bawah dia. 

"You wanna go up first?" 

"No, that's fine, take your time," jawab gue.  

Gak banyak pendaki lain yang pas berada di belakang gue, jadi jalur manjat gak kehambat. If anything, yang kehambat di sini adalah gue. 

Lagian, gue juga butuh istirahat. Ambil nafas. Gak terlalu lama, tapi gue juga gak bisa terus-terusan ngedaki kek Ezio Auditore manjat menara loncat di Assassin's Creed 2. Apalagi setelah near-death experience tadi. 

Lima menit kemudian, dia pun bergeser ke samping. 

"If you wanna go ahead, that's fine, really." 

"You don't wanna go up?" 

"Nah, I think I'm done here." 

Lanjut buat gue. 

Masih terjal, tapi gue lebih pede sekarang. Itu, dan gak ada momen-momen mendekati ajal kek tadi. 

One step at a time

One grip at a time

One climb at a time. 

Tanpa gue sadarin, gue udah ngelewatin 20 menit tersusah di Mount Beerwah. 

Pas gue udah mencapai titik di atas bagian susah tadi, gue ngeliat ke belakang, ke pemandangan dari ketinggian tersebut. 

Dan gila, pemandangannya bagus banget. 

Sejauh mata memandang, warnanya ijo. Pepohonan yang kita lewatin tadi ternyata mencakupi wilayah yang luas banget. Kiri hutan, tengah hutan, kanan juga hutan. Ada beberapa daerah lapang yang gak ditutupi pohon, dan mereka pun warnanya juga nyaru, gabung sama warna ijo yang dimiliki oleh pepohonan tadi. Bahkan ada deretan pepohonan yang membentuk pola melingkar berlapis, mirip kek lambang sinyal Wi-Fi. 

Nyampe sini aja pemandangannya udah mantep bener, apalagi kalo lo nyampe puncak? 

Pas gue nengok ke bawah, gue ngeliat Risyad lagi manjat, nyusul gue. 

"Syad, lo udah liat pemandangannya, kan?" tanya gue ketika Risyad udah mencapai tempat gue. 

"Udah, Mo," jawabnya. 

"Eh, fotoin gue dong," ujar gue. "Ntar gue fotoin lo." 


Yang foto ini Risyad.

Moment of victory, right there


Gue gak nyampe atas. Gue gak nyampe puncak. Gue gak ngerasain Mount Beerwah dengan sepenuhnya. 

Tapi gue berhasil ngelewatin bagian tersusah dari gunung tersebut. Bagian paling seru. Bagian paling menantang. Bagian paling greget. 

And you know what? 

Pemandangan dari sono bagus banget. Gue gak harus nyampe ke puncak Mount Beerwah, dan gue udah dapet pemandangan mantep. 

It's the little victories, you know? 

"Sekarang ini turunnya gimana, Syad?" 

Risyad udah naik sekali, pastilah dia tau. Kalo gak, gimana dia bisa turun? 

"Lewat situ Mo," ujar dia sambil menunjuk ke sisi kanan. "Lebih jauh sih, tapi lebih gampang buat turun di sono." 

"Ayok dah, gue ikutin lo." 

Sekarang perannya diputer: kaki gue lebih sering kepake. Buat nyari pijakan, buat mastiin kalo pijakannya mantep, dan buat mastiin kalo gue gak jatoh. Hal-hal simpel. 

Risyad di depan gue, menuruni kaki gunung dengan lincah sambil ngedengerin lagu Indo slow sendu dari tahun 60-an yang diputer dari hapenya. Pengalaman yang menyejukkan kalo kata gue, terlepas dari kenyataan kalo gue kepleset, gue... gak bakalan bisa denger lagu kek gitu lagi. Gitu dah. 

Tololnya, kawan-kawan, turunnya gak kalah susah dibandingin naiknya. 

Rute yang dipilih Risyad, meskipun gak seberapa terjal, gak kalah menantang dari segi medan. Pijakan jaraknya lumayan jauh satu dengan yang lain, dan ukuran mereka gak gede-gede amat pula. Belom lagi satu faktor penentu: kerikil. Kalo lo pake sepatu gak masalah, tapi sayangnya kita berdua nyeker senyeker-nyekernya. Alhasil, rasanya kurang lebih kek nginjek bagian Lego. You know how it feels. 

10 menit kemudian, sampailah kita di bawah, lumayan jauh dari tempat kita start tadi. 

Tas gue berserta sepatu gue masih duduk manis di kaki gunung, masih di tempat yang sama. 

"Yok ke tempat duduk di bawah, Syad," kata gue. 

Risyad setuju. 

Pas kita turun, ada beberapa remaja bule (yang tentunya berbadan lebih gede dari kita berdua) berlarian ngelewatin kita, kesenengan. Saking kesenengannya, salah satu dari mereka menyenggol sebuah batu berukuran laptop (yang gue pake buat ngetik postingan ini sekarang) sampai batu tersebut mengelinding jatuh di deket gue. Gak sedeket itu, tapi ada 30 senti dari gue, lah. 

Gue udah pernah liat bule-bule ini sebelomnya: mereka gak jadi naik gara-gara gak dibolehin sama orang tua mereka. Gak ada peralatan, katanya. 

"Belom ngerasain panas dunia mereka, Mo," pungkas Risyad santai sambil ngeliatin remaja-remaja bule tersebut berlarian menuruni jalan setapak dengan sembrono. 

"Lom tau aje mereka, gregetnya si Mount Beerwah ini," balas gue. 

Lima menit kemudian, kita sampe di tempat persinggahan tadi. Tentu aja, Adri-Louis-Eja lom nyampe. 

Sembari menunggu, gue dan Risyad ngomongin banyak hal: situasi KKI Fasilkom tempat dia belajar, seberapa banyak anak Fasilkom yang ke luar negeri, sejak kapan dia kenal sama personil Babes, ketertarikannya terhadap mobil yang berasal dari housemate-nya yang berasal dari Rusia, dan asal-usul mobil Jazz 2002 biru pudar-nya. 

Itu semua sambil kita makan siang dari bekal yang kita bawa. Dia bawa pasta penne, gue bawa... Indomie goreng telor. 

Satu jam kemudian, muncullah Louis-Eja-Adri. 

"Nyampe puncak?" tanya Risyad. 

"Nyampe dong," jawab Eja semangat. 

"Oi Mo," panggil Adri. "Lo liat celananya Eja, dah," kata dia sembari menunjuk celana Eja. 

Hancur. Sobek. Rusak. Mungkin itulah kata yang gue gue pake. 

Di bagian belakang celana Eja, terdapat, empat sampai lima lobang sobekan gede banget. Gak gede sampe tinggal sempaknya doang yang keliatan, tapi cukup gede buat bikin lo mikir, "Ada tukang jahit yang mau benerin itu gak, ya?" 

Gak cuman itu, sepatu futsal Eja juga jadi korban. Sebelah kiri solnya lepas, sedangkan sebelah kanan mangap kek buaya. Mau gimanapun juga, nasib dua-duanya udah gak ketolong. Kecuali lo kasih lem super. 

"Eh, Louis," kata gue. "Mana dua temen bule lo?" 

"Mereka gak nyampe puncak," katanya. "Mestinya mereka udah lewat sini sih, sebelom kita." 

Aneh. Gue gak merhatiin dari tadi. Lebih tepatnya, gue gak ngeliat ada pasangan bule asal Amerika lewat. Orang Aussie banyak, orang India ada, orang Jepang juga ada, tapi gue gak ngeliat yang dari Amerika. 

Oh well. 

Sesampainya kita di mobil, Eja menyarankan Risyad buat ke 7-Eleven terdekat. 

15 menit kemudian, sampailah kita di, well, 7-Eleven terdekat. 

Di sono adalah pertama kalinya gue nyobain sebuah minuman bernama Solo Lemonade. 

Dan demi apapun, minuman itu enak banget. 

Sebuah penutup yang menyegarkan buat hari yang melelahkan. 

Or is it? 

Jacky and the Flip-flop Sprint 

Belom lima menit nyampe Bayliss, Adri nanya lagi. 

"Eh Mo, lo ikut gak entar malem?" 

Ikut hiking lagi? Lo gak liat kaki gue udah lecet gini? 

"Ikut apaan, dri?" 

"Surprise-in Zaki, kan dia ultah besok." 

Mungkin ada yang bertanya: kalo dia ulang tahun-nya besok, kenapa lo ngajaknya buat hari ini? Ya kalo ngajak buat surprise-in-nya besok sih wajar aja, tapi hari ini? Dia ulang tahun-nya BESOK, bukan hari ini, lebih tepatnya MALEM INI, kan? 

Maka jawaban dari pertanyaan itu adalah: dia, si calon korban t e r k e d j o e t, bakalan berulang tahun malem ini DAN besok. 

Malem ini dalam artian jam 12 malem. Masih keitung malem, kan? Then again, jam 12 malem sendiri udah kehitung besok juga, kan? 

Anyways, gitulah tradisi surprise jaman sekarang. Seenggaknya di kalangan temen-temen gue. Detik pertama hari ulang tahun doi, langsung di-surprise-in. Bisa dibilang, kita jadi manusia-manusia paling pertama yang ngucapin ulang tahun ke si subjek. 

"Ayok, dah." 

Kita cabut dari Bayliss sekitaran jam 11 kurang. Gue sih santai-santai aja, keluar-keluar pake kaos, celana panjang gue (yang kantong belakangnya udah sobek gara-gara hiking tadi), rompi denim kesukaan gue, dan... sendal jepit Joger gue. Dan gak, ini bukan paid promote dalam bentuk apapun. 

But hoo boy. Si sendal jepit ini. 

Pas kita udah keluar, gue mulai menyesali pilihan berpakaian gue. 

1) Dingin. Tentunya gak sedingin Melbourne, tapi gak sepanas Jakarta (apalagi Bekasi) juga. Se-Malang lah, kira-kira. Mentang-mentang Brisbane panasnya bisa nyaingin Jakarta pas siang, bukan berarti dia panas pas malem juga. Lesson learned

2) Kaki gue masih lecet. Dan kita jalan lumayan jauh. Jarak dari rumah Bayliss street Adri and co. sampai ke bus stop terdekat hampir mencapai satu kilometer. Satu kilometer sebenernya gak masalah buat gue, tapi faktor kaki gue yang babak belur bikin perjalanan ke sono terasa dua kali lebih lama. 

3) Kita cabut hampir jam 11 malem. Bus terakhir dateng jam 11:04 malem. 

Yep, bus terakhir berangkat dari bus stop yang jaraknya hampir satu kilo dari rumah kita jam 11 malem. Dan kita berangkat dari rumah jam 11 kurang lima menit. Dengan kondisi kaki gue yang jalan cepet aja udah susah, apalagi lari. 

"Buruan cuy, bus-nya bentar lagi nyampe," kata Adri sembari mengecek hape-nya.  

Dengan kondisi yang rada genting kek gitu, masih aja gue ngarep. "Tenang aja Dri, it's not like dia bakalan ngelewatin kita, kan?" balas gue ringan. Konteks: pas gue ngomentarin, posisi kita udah satu jalan sama bus stop yang kita tuju. 

Mo, be careful of what you wish for. 

'Cause you might just get it. 

"Eh Dri, itu bus-nya bukan?" tanya Ali sembari menoleh ke belakang. 

Adri pun menoleh ke belakang, ke arah datengnya si bus. 

"Iya, cuy!" 

Bangke. 

Sendal jepit. Kaki lecet nan bonyok. Jalan aja susah, apalagi lari. 

Dan kita masih berjarak 300 meter dari bus stop tujuan kita. 

"Lari, Mo!" teriak Adri dari depan gue. 

Screw it

Udah lama banget sejak gue lari beneran. Jogging sih pernah beberapa kali, tapi LARI? Lari as in sprint? Lari as in kalo lo pencet tombol Shift di GTA V ato Call of Duty? Lari yang kek gitu? 

Dengan jarak sejauh itu? Alas kaki kek gitu? Dan dengan kaki selecet itu? 

Belom pernah kali, seumuran idup gue. 

Aslinya napas gue udah abis setelah sepuluh langkah pertama. Ali masih melaju kencang di depan gue, sedangkan Adri di belakang gue. Entah kenapa urutannya bisa kek gitu, tapi yang pasti itu bukan gara-gara gue bisa secara ajaib lari lebih cepet dari dia. Ali atlet basket, Adri atlet bulutangkis, dan gue atlet... keyboard komputer. Bisa ditebak siapa yang capek duluan. 

hosh...

hosh...

hosh...

Langkah kaki gue mulai memelan. Telapak kaki gue yang tadinya sakit, sekarang kek udah mau copot. Gue udah mulai nyerah. 

*TELOLEEEEET*

*NGEEEEEEENGG*

Gue liat bus-nya ngelewatin kita bertiga. 

Oh tidak. 

Besar kemungkinan kita bakalan ketinggalan bus. Kita masih ada jarak 100 meter dari bus stop, sedangkan si bus sekarang udah ada di depan kita, melipir ke bus stop di depan kita.

Tapi ada satu pikiran di benak gue. Benak yang membakar semangat gue.

Gue. 

Ogah. 

Naik. 

Uber. 

Di luar gue ngos-ngosan, tapi di dalem, gue teriak sekenceng-kencengnya. 

Sekenceng Goku pas dia mau ngeluarin jurus Super Saiyan-nya. Kek Kenshiro sebelom dia ngeluarin jurus totokan maut miliknya ke tubuh lawan-lawannya. Kek Bruce Lee sebelom dia ngeluarin tendangan mautnya ke dagu lawannya. 

You know, kek 

"RRRRRRRAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!" 

"GUE GAK MAU NAIK UBER!!" 

Dan seketika, lecet di telapak kaki gue ilang. 

Rasanya tubuh kemasukan adrenalin banyak banget. Saking banyaknya, otak gue sendiri lupa kalo kaki gue masih lecet. Lupa kalo gue lagi make sendal jepit yang teramat sangat gak cocok buat lari. Lupa kalo stamina gue gak cukup buat lari sejauh 300 meter sekali hajar. 

Itu gak bikin lari gue tambah cepet, tapi seenggaknya bisa ngebikin gue lari satu menit lebih lama.  

Lagi-lagi, ini semua gak bakalan berarti kalo si bus ujung-ujungnya tetep ninggalin kita bertiga. 

Masalahnya, dia udah nangkring di bus stop sejak 15 detik yang lalu. Dan gue liat satu-satunya penumpang di bus stop tersebut udah naik. Gak ada calon penumpang lagi. 

Gue udah bisa ngebayangin pintu otomatis bus tersebut nutup. 

Ali lima langkah di depan gue. Adri gue gak tau, kan gue gak sempet noleh buat ngeliatin seberapa jauh Adri di belakang gue. Gimana gue bisa? 

Gue liat kaki Ali menaiki bus tersebut. Pintunya masih kebuka. Baguslah. Seenggaknya, satu dari tiga personil surprise-an Zaki gak ketinggalan bus. 

Sampailah gue ke mulut pintu otomatis bus tersebut. Pintu masih terbuka. 

Gue pun naik. 

Selamat. 

Pas gue nge-tap kartu public transport ke bus tersebut, gue ngeliat Ali terlibat sebuah percakapan kecil sama si sopir bus, yang gue inget waktu itu, seorang wanita bule berusia 30-an. 

"I saw you guys running here!" 

Wagela sih. 

Si sopir nungguin kita. 

Minus tiga penumpang yang dia gak kenal mestinya gak terlalu ngaruh buat dia; itu bus lumayan berisi pas kita naik. 

Tapi dia ngeliat kita lari-lari kek dikejer anjing, dan memutuskan buat nungguin kita. 

Gue mau berterima kasih banyak ke dia, tapi gue kehabisan napas. Alhasil, yang keluar cuman "Thanks, thanks a lot!" 

Pas gue berterima kasih/kehabisan napas, Adri pun menaiki bus. 

Aman. Kita bertiga. Aman terkendali. 

20 menit kemudian, sampailah kita di pusat kota Brisbane. 

So, what's the game plan? 

Setiap rencana surprise yang bagus melibatkan seorang inside man. Alias, orang yang lagi barengan si korban yang sebenernya ikut bersekongkol sama kita. Rencana kita surprise-in Zaki pun juga gak jauh beda. 

Dalam kasus kita, inside man kita adalah Raja, yang ceritanya lagi nugas sama Zaki. 

Sementara Raja bareng Zaki dan ngasih kita intel, kita bertiga ngumpul bareng peserta surprise lainnya: Angel, DePe, Didi, Dinda (sumpah, Didi dan Dinda bukan orang yang sama), Caca, Dhea, dan Shanel.  

Kita segenap partisipan surprise-an Zaki (kecuali Shanel) beranjak ke Pancake Manor, sebuah restoran spesialis pancake yang jaraknya kurang lebih 400 meter dari tempat kita ngumpul tadi. Mirip-mirip Pancious lah, bisa dibilang. Ke situ, pesen tempat, dudukin tu tempat, dan nungguin Zaki dateng. 

Shanel? Shanel ngapain? Kalo dia bagian dari surprise-annya Zaki, kenapa dia gak ikut? 

Sabar, pak. 

Shanel bakalan ngejemput Raja dan Zaki dan ngebawa mereka berdua ke Pancake Manor. Aneh gak sih, kalo tiba-tiba Raja ngajak Zaki ke sebuah restoran sekelas Pancake Manor tengah-tengah malem? Raja, yang sama halnya dengan penduduk rumah Bayliss, terkenal sangat hemat dan ekonomis? Saking hematnya, mereka terkenal sebagai pelopor aliran The Economists di kalangan anak-anak Brisbane? Raja yang itu? Ngajak Zaki ke restoran kek Pancake Manor? 

"Eh, Zak, makan kuy." 

"Makan? Malem-malem gini? Di mana?" 

Curigation level: 40%. 

"Ada deh, tempatnya." 

Curigation level: 60%

*Lalu mereka jalan ke Pancake Manor*

"Sini, Zak." 

"Tumben lo bawa gue ke tempat beginian, biasanya lo kan ekonomis, hemat gitu." 

Curigation level: 80%. 

"Ya gue lagi pengin aja." 

"Makan banget nih? Jam segini? Kita biasanya jam seginian ngopi, kan?" 

"Iya sih, tapi gue lagi laper banget nih, hehe." 

Curigation level: 100%. 

"Nih pasti ada sesuatu, yak?" 

Busted.

So, Shanel. Ngejemput mereka berdua dan nganter mereka ke Pancake Manor dengan kedok Shanel mau ketemu temennya di sana. Gak salah juga sih, Shanel juga bakalan ketemu temennya di Pancake House. Yep, KITALAH temen yang dia maksud. 

Entah hoki ato gimana, kebetulan ada tempat duduk buat 12 orang. 12 orang sekaligus, tanpa harus ngegabungin meja ato nyolong kursi dari meja lain. 

Selagi kita nunggu, kita pesen makanan. Harganya lumayan mahal, but then again, kalo semua makanan di sini di-Rupiahin, jatoh-jatohnya tetep mahal juga. Kalo gak di-Rupiahin, harganya normal aja sebenernya. $11-15. Ada yang harganya lebih mahal dari segitu, but never mind that, yang gue incer harganya $12. Sebuah pancake berisi Macadamia nuts

Kita juga mesen pancake ulang tahun. You know the drill: itu pancake dikeluarin pas yang berulang tahun dateng. Lengkap dengan lilin-lilinnya. 

"Eh guys, Zaki udah di depan, pancake-nya udah siap belom?" tanya Shanel. 

Angel-lah yang bertanya ke waitress yang lalu lalang. 

Belom. 

"Tahan dia di depan, Nel!" kata Angel. "Pancake-nya lom jadi!" 

*lima menit kemudian* 

"Ni kalo lebih lama lagi, gagal jadinya!" kata Shanel panik lewat LINE. "Udah mulai curiga dia soalnya!" 

"Shit! Lama banget dah, pancake-nya!" ujar Angel kesel. Gak masalah sih dia ngomong begituan keras-keras, orang selain kita gak ada yang ngerti ini. "Yaudah guys, plan B!" 

"Donlot .gif lilin di hape kalian, terus angkat hape-nya pas Zaki masuk!" 

If it works, it ain't stupid. 

Yang penting 'lilin ulang tahun'-nya ada, kan? Kalo itu pancake ulang tahun gagal menyampaikan pesen 'selamat ulang tahun' ke Zaki, masih ada lilin dari hape kita, kan? Angkat hape-nya kek pas konser, simpel aja. 

Pintu depan terbuka. 

Shanel. 

Raja. 

Dan last but not least, Zaki. 

"Happy birthday, Zaki!" 

Muka Zaki adalah gabungan dari kaget dan seneng. Anehnya, kagetnya Zaki gak keliatan sekaget itu. Gak sampe t e r k e d j o e t lah, bisa dibilang. Tapi ada 40% unsur kaget diliat dari muka dia pas ngeliat deretan lilin-lilin digital di depan dia. Mungkin dia udah setengah ngira bakal di-surprise-in, tapi gak sampe pake .gif lilin juga. 

Duduklah Zaki, Raja, dan Shanel. Makanan gue dateng. 

"Oya guys, punya lo semua gue aja yang bayarin," kata Zaki. 

 What in the what? 

Gue udah nyiapin mental batin rohani gue buat kehilangan $12 gara-gara makan-makan di tengah malem. Gue udah menerima kenyataan kalo $12 bakalan ilang dari dompet gue malem itu. 

Terus tiba-tiba Zaki yang kita surprise-in pada dasarnya bilang kalo gue gak usah bayar apa-apa? 

Zak, you don't know how grateful I am

"Makasih ya, Zak!" kata kita serempak. Awalnya sih basa-basi dulu kek "Seriusan lo, Zak?" ato "Gak usah repot-repot Zak," ato "Kita yang surprise-in masa' lo yang jadinya bayar, Zak?" tapi kita semua sadar kalo we need this. Makanan gratis di Indonesia is good and all, but makanan gratis di Aussie? Dimana living cost sebulan di sini bisa nyampe living cost setahun di Indonesia? 

Gak mungkin kita sia-siain kesempatan berlian ini. 

Makan. Enak sih enak, tapi... gak ada tapi, sih. Macadamia nuts-nya emang enak. 

Gue lagi ngecek hape ketika tiba-tiba suara percakapan di meja kita meredup. 

Ada apa, nih? 

Gue noleh. 

Dinda tidur. 

Tidur dengan kepala lo telungkup di meja sih wajar, gue ngelakuin itu hampir tiap hari pas SMA dulu. 

Lah ini? 

Tidur berpangku tangan. 

Siku di meja, kepala ditopang telapak tangan, dan postur duduk tegak lurus. Duduk dengan berpangku tangan, tapi matanya ketutup. Alias tidur. 

Dan kita sebagai teman-teman yang baik masa' ngeganggu tidurnya dia? 

Maka berswafotolah kita dengan Dinda. Tanpa ngebangunin doi. Di hasil selfie-selfie tersebut, semua personil nyengir lebar. Ketawa bahkan. Semua kecuali Dinda. Yang gak sadar sama sekali kalo dia dijadiin objek foto. 

"Eh, kita sembunyi, yuk!" 

The idea is that kita nyumput di belakang Dinda, pas di blind spot-nya. Pas dia bangun, dia bakalan kaget kita semua ngilang, dan bakalan ngira kalo kita semua udah cabut dari Pancake Manor, ninggalin dia. Padahal kita di belakang dia, di luar peripheral vision-nya. 

Maka beranjaklah kita dari tempat duduk kita. Kegiatan beranjak-nya kita aja udah bikin lumayan banyak suara, and yet... dia masih tidur. 

Gue ngikut Angel, mengendap-endap, mengitari meja tempat Dinda duduk tidur dan ke bagian belakang restoran. Pas di belakang meja kita ada bar berbentuk lingkaran, dan rencananya kita semua bakalan sembunyi di sisi lain dari bar tersebut. 

Rencananya. 

"Hey guys, can you please get back to your seats?" ujar salah satu waitress cewek menegor gue dan Angel. 

Yha, gagal deh. 

Mungkin kedengerannya kek si pelayan gak asik banget, tapi gue mikir alasan dia negor kita: bisa aja ini udah pernah kejadian sebelomnya. Tengah malem, anak kuliahan rame-rame, makan bareng, beranjak dari tempat duduk, dan... rusuh. Lempar makanan kek, lempar kursi kek, lempar gelas kek, entahlah. Mungkin pihak restoran cuman mencegah ketololan kek gitu terjadi lagi. Kalo kagak, si pelayan gak bakalan negor gue dan Angel, kan?

Ah well, plan B it is

Keluar restoran aja. Sesimpel itu. Efeknya bakalan sama: Dinda bangun, kita udah ngilang, dia bakalan ngira dia ditinggal sendirian di restoran tersebut.

"Gak usah bayarin Dinda, Zak!" ngide Ali. "Pas udah bangun Dinda palingan disuruh cuci piring," kata Ali. 

Gue udah di luar pas Angel ngomong "Astaga, itu dia masih tidur? Bangunin oi, kasian." 

Beberapa menit kemudian, keluarlah Dinda, mukanya setara muka bantal. 

Malem itu udah sepi. Jalanan udah kosong. Trotoar pun juga. Tinggal kita aja, 12 remaja di tengah-tengah pusat kota Brisbane, teriak-teriak pake bahasa Indonesia, bodo amat karena gak ada yang paham kita ngomong apaan. 

Semuanya balik ke rumah masing-masing. Angel Dinda dkk ke tempat kita ngumpul tadi (yang notabene adalah apartemen buat pelajar), gue-Zaki-Ali-Adri-Raja balik ke Bayliss. 

Bis udah abis, jadi kita naik Uber. 

Sekali lagi, Zak, 

makasih buat traktirannya. 


***

Besoknya gak banyak kejadian sih. 

Oh, gue ada sih, sesi jalan-jalan di penghujung hari tersebut. 

But until then, 

until the next post, bois! :D 








































  














SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...