Buat yang satu ini singkat aja.
Soalnya di hari ketiga gue di Brisbane, gue gak kemana-mana.
Yep, gue baru aja mengecewakan lo pada dengan gak pergi kemana-mana di hari ketiga ini. Maap yak.
Well, come to think about it, gue ADA kemana-mana, sebenernya.
Tapi acara gue kemana-mana tersebut lumayan telat, gue baru cabut jam enam sore.
Sisanya?
Leyeh-leyeh di rumah Adri dkk di Bayliss Street. Main Warframe (game bagus, seriusan), nyicil tugas gue, dan bercengkerama dengan dua penghuni lain yang gak pergi kemana-mana hari itu: Zaki dan Raja.
Dan nongkrong bareng mereka gak secanggung yang lo pada kira, meskipun gue dan mereka gak terlalu deket.
After all, mereka temen gue juga.
A Conversation with a Conservative
Gue nyadar warga Bayliss punya tradisi tersendiri.
Firstly, mereka punya teras yang terletak di samping rumah. Di teras tersebut terdapat sebuah meja persegi panjang gede. Dan tentunya, enam kursi di samping-samping meja tersebut.
Lo pada harus tau kalo meja ini gak bisa disamain ukurannya sama meja ngopi yang ukurannya cuman muat buat ditaro tiga cangkir kopi. Nop. Buat diitung meja belajar aja ukurannya udah kegedean, apalagi meja kopi?
Anggep aja... ukurannya lebih ke arah meja makan. Ato meja kartu. Segitu, dah.
Secondly, setiap pagi selalu ada dupa duduk manis di atas meja tersebut. Tentunya ada barang-barang lainnya seperti asbak ato secangkir-dua cangkir kopi di atas meja tersebut, tapi dupa? Lo gak ngeliat gituan tiap hari, kan?
Dupa tersebut terdiri dari sebatang incense stick yang ditancapkan ke dalam lilin yang udah lumer. Raja bilangnya sih incense stick yang mereka pake ada dua jenis: satu terbuat dari sandalwood alias kayu cendana, dan satunya lagi dia gak tau terbuat dari apaan. Mereknya Mother Earth, sih.
Wadah buat dupa ini adalah sebuah toples kaca kecil dengan alas piring tatakan cangkir kopi. Toples kaca kecil dalam artian setengahnya dari kaleng Pepsi 375 ml. Eh, itu termasuk kecil, gak?
Thirdly, musik keroncong Jawa lengkap dengan gamelan dan kolintangnya, langsung dari Spotify Raja. Mendadak, Brisbane menjelma jadi Brebes. Minus telor asin.
[SIDE NOTE: Orang Aussie tau ada yang namanya telor asin gak, ya?]
Setelah sarapan pagi (baca: hampir jam 11), biasanya Raja dan Zaki nongkrong, menjalankan apa yang gue sebut dengan S3 (sesi sebat-sebat sabi), dan ngomongin tentang kehidupan. Istilah 'kehidupan' di sini luas banget, bisa dari keuntungan menjalankan ideologi sosialis dalam bernegara sampe ke alasan kenapa telor yang nongol duluan sebelom ayam.
Setelah gue sarapan, gue memutuskan buat gabung sama mereka.
Sebelom gue gabung, mereka lagi ngomongin cocok-cocoknya ideologi Karl Marx buat dipake di Indonesia. Diskusi dalem, yang jelas-jelas otak gue gak nyampe. Tau apa gue soal Karl Marx? Tanpa bantuan Wiki, yang gue tau dari dia adalah dia penemu prinsip Marxisme. Apa itu Marxisme? Ya itu--teori temuan Karl Marx. Apa itu teori temuan Karl Marx? Ya Marxisme.
Pas gue gabung, fokus pembicaraan beralih ke gue. Dari ngomongin efek samping penerapan ideologi sosialisme terhadap Indonesia beralih ke... gue ngapain aja di Melbourne. Agak jauh, ya.
10 pertanyaan kemudian, Raja cabut, meninggalkan gue dan Zaki di teras rumah Bayliss.
Sekarang, giliran gue nanyain Zaki.
Zaki, sama halnya dengan segenap penduduk rumah Bayliss, mengambil peminatan public relations. Humas. Peminatan sih boleh sama, tapi unit alias mata kuliah yang mereka ambil bisa beda-beda. Gak harus berhubungan sama humas.
Salah satu mata kuliah yang Zaki ambil bernama Media Identity.
Bukan cuman Zaki doang yang ngambil mata kuliah ini. Setau gue, beberapa anggota Babes kek Sasa, Laras, dan Haniya juga ngambil mata kuliah ini. Menurut Laras, tambah empat orang lagi: Raja, DePe, Praya, Nisya, dan Ocha.
[SIDE NOTE: Wait, Ocha sokap? Well, more on her later, tapi versi simpelnya, dia adalah satu dari sedikit temen gue yang gak pernah sekelas sama gue. Orangnya high-energy, low nonsense, dan demen sama Paramore.]
Sekilas, premis mata kuliah ini simpel aja. Siapa itu media?
Wait, itu kedengarannya salah.
Lagian, namanya media identity. Identitas media. Kalo lo ditanya identitas lo, lo pasti mikirnya yang ditanyain itu nama lo, kan? Siapa lo sebenernya, kan?
Ehm.
Sekilas, premis media identity gak belibet. Apa itu media? Apa peran media dalam kehidupan sehari-hari kita?
Garisbawahi kata sekilas.
Soalnya matkul ini gak sesimpel itu.
Feminism.
Itulah kata pertama yang gue denger ketika ngebahas matkul media identity.
Wait, what?
Lo tanya gue, feminism adalah sebuah istilah yang agak... rawan.
Banyak orang, termasuk orang-orang di sekitar gue, mendukung gerakan feminisme dengan bangga. Emansipasi wanita, apa salahnya? Kalo bukan karena gerakan ini, gue gak bakalan punya temen kek Laras atau Sasa. Hell, kalo bukan karena gerakan ini, pertemanan antara gue dan Babes bakal cuman jadi isapan jempol belaka. Yep, gara-gara gerakan inilah, kaum hawa boleh bersekolah layaknya kaum adam. Hats off to you, ibu kita Kartini.
Sayangnya, sama halnya dengan dunia perpolitikan di Indonesia dengan cebong dan ontanya, gerakan ini punya oknum tersendiri. Oknum yang mengatasnamakan gerakan ini dan dengan tololnya merusak image bagus yang gerakan ini punya. Mereka yang koar-koar di internet, menganggap kaum wanita selalu ditindas, diperlakukan secara gak adil, dan direndahkan, semuanya FIX BANGET SELALU gara-gara kaum pria. Dengan kata lain, wanita selalu benar dan pria selalu salah.
Kalo lo gak sependapat dengan mereka, lo penindas wanita. Itulah kesan yang gue dapet.
Hell, gue yakin dengan gue nulis dua paragraf di atas aja pasti udah ada pembaca yang t e r p e l a t u q u e.
Thank you for coming to my TED Talk
Sebelom gue nanya Zaki soal matkul unik ini, gue udah dapet intel dari penghuni rumah Bayliss yang lain kalo Zaki gak terlalu suka sama matkul ini. Raja lebih tepatnya, soalnya dia ngambil matkul itu juga.
"Gue denger lo ada matkul tentang feminism gitu-gitu yak, Ja?" tanya gue.
"Iya bener Mo, nama matkulnya media identity," jawab Raja.
"Zaki tuh, kayaknya dia gak suka sama dosennya," pungkas Ali nimbrung. "Balik-balik dari tu matkul, biasanya dia bilang, 'THERE ARE ONLY TWO GENDERS IN THIS WORLD!'"
Berbekal intel tersebut, gue mulai nanyain Zaki, satu dari sedikit temen gue yang beraliran konservatif, tentang satu matkul yang dia gak suka.
Dari mana gue tau kalo dia konservatif?
Well satu, dia gak suka matkul yang (katanya) erat hubungannya dengan feminisme, sebuah istilah yang sepengamatan gue sering dikaitkan dengan golongan liberal. You know, lawannya golongan konservatif. Bukan berarti kalo dia konservatif dia wajib gak suka sama matkul tersebut, tapi emang KECENDERUNGANNYA mengarah ke sono.
Dan dua, kita harus balik ke jaman-jaman pas gue masih mahasiwa baru Komunikasi UI.
Salah satu tugas ospek jurusan Komunikasi adalah mewawancarai temen-temen seangkatan gue mengenai berbagai macam hal: nama mereka (you don't say), hobi mereka, dan, antara lainnya, role model alias tokoh panutan mereka.
Waktu itu, gue lagi suka-sukanya sama Jimmy Kimmel (sekarang Conan O'Brien, sorry Jimmy), jadi dialah yang gue taro sebagai role model gue setiap kali gue ditanyain. Dari temen-temen gue ada yang suka sama Najwa Shihab, Will Smith, Rhoma Irama, bahkan nyokap mereka sendiri.
Contoh yang gue taro sedikit, soalnya gue udah mulai lupa siapa-siapa aja yang jadi role model temen-temen gue.
Kecuali Zaki. Hoo boy, kalo punya Zaki gue inget banget.
Donald Trump.
Patut dicatat, masa-masa ospek jurusan gue adalah masa sebelom Donald Trump naik jadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Iya sih bener dia udah maju sebagai calon presiden, tapi waktu itu kemenangan dia atas Hillary "Bond Villain" Clinton belom terjadi.
Artinya, kecil kemungkinan Zaki termasuk orang yang jump into the Trump bandwagon. Gue yakin Zaki udah suka Trump sebelom orang-orang mulai ikut-ikutan suka Trump.
Dan kalopun dia termasuk orang-orang ini, itu gak mengurangi ke-konservatif-annya.
Dia bisa aja taro beribu-ribu orang lain sebagai role model dia. Kalopun dia mau naro orang dari golongan konservatif, masih banyak banget pilihan yang dia punya. Dari yang berkelas banget kek Clint Eastwood sampe yang receh kek Adam Sandler.
But nope. Donald Trump for Jacky. Wajah terkini golongan konservatif.
Fix.
Kembali ke Bayliss, gue duduk di sebelah Zaki.
"Oy Zak," tanya gue.
"Gue denger lo ngambil matkul media identity juga, ya?"
"Oh iya, Mo," jawab Zaki cepet. "Kenapa emangnya?"
"Ya gue denger itu matkulnya ngomingin feminism and stuff," lanjut gue. "Menarik juga ya, ngebahas feminisme di kuliah."
Gue kedengerannya kek cuman ngasih pendapat ngasal nan retorik, tapi sebenernya gue lagi berusaha narik respon dari dia. Secara gak langsung. Anyways, ngapain gue kasitau beginian, ya?
"Emang matkulnya unik sih, Mo."
Ah sial, dia gak langsung ngasih pendapat dia tentang matkul ini. Pendapat dalam artian pendapat dia yang sebenernya, yang sepengetahuan gue berlawanan dengan matkul tersebut.
Yaudah sih, langsung aja.
"Menurut lo gimana, Zak?"
Zaki berubah posisi duduk dari yang tadinya tegap jadi bersandar. Kepalanya mendongak ke atas sedikit, matanya terpaku pada jendela rumah sebelah yang kelihatan dari tempat kita duduk.
Dia mikir. Mikirin respon yang tepat buat pertanyaan gue.
"Ya gue sebenernya oke-oke aja sih, kalo soal ngomongin feminism and stuff gitu," ujar Zaki menjelaskan.
"Permasalahannya tu dosennya ngejelasin cuman dari satu sudut pandang gitu loh."
"Kek, pas ngejelasin sejarah tentang first wave sampe third wave feminism dia cuman ngejelasin dari sudut pandang gerakan feminisme-nya doang," kata Zaki lagi.
"Padahal kalo diliat dari sejarahnya kan, sudut pandang lain ada pentingnya juga," jelasnya.
"I get it kalo feminisme itu penting dan gue setuju kalo feminisme itu bagus, tapi..."
Zaki masih nyari kata buat ngejawabin pertanyaan gue. Apa jangan-jangan dia takut gue ikutan t e r p e l a t u q u e juga?
"...kalo menurut gue, kesannya kek kelasnya tuh bias banget gitu, loh."
Tenang aja Zak, gue bukan tipe-tipe orang gampang tersulut kalo udah ngomongin feminisme. Kalo lo ngincer orang yang lebih gampang ke-trigger soal beginian, gue saranin lo ngincer Haniya. Gue? Lo bilang aja main game itu buang-buang waktu dan gak ada gunanya, nah itu dia yang bisa mancing gue.
"Lo ngerasa kalo dosennya semacam mendorong ke satu sisi, gitu?" tanya gue.
"Kadang-kadang iya, cuman gak selalu kek gitu sih."
Dan gue menjawab dengan sebuah "ooh" panjang.
Mau gimanapun juga, apa yang Zaki bilang ada benernya.
Mikirin tentang beginian, gue jadi inget game Call of Duty: WWII keluaran 2017.
Premis game tersebut simpel aja: tembak-tembakan berlatar waktu Perang Dunia II. Tapi bukan itu fokus kita sekarang.
Gue, sama seperti kebanyakan orang, agak keganggu sama single-player campaign game tersebut. Tau sendirilah, mode permainan dimana lo ngikutin cerita dari si game. Mode permainan dimana lo main sendiri. Mode permainan yang mana lo gak bunuh-bunuhan sama orang lain secara online.
Permasalahannya adalah, sudut pandang cerita game tersebut sangat terbatas.
Firstly, latar tempat cerita cuman dan CUMAN di Eropa. Udah.
Gak ada bagian cerita yang berlatar tempat selain di Eropa kek Asia-Pasifik ato Afrika. Pertempuran di Guadacanal? Gak ada. Pertempuran di Iwojima? Nop. Serangan Jepang ke Pearl Harbor? Gak nemu. Jerman dan Rusia hajar-hajaran di Stalingrad? *poof* Ilang.
Belom lagi, sudut pandang cerita, kek yang tadi gue bilang, cuman ada dua. Satu bahkan, soalnya perspektif kedua dari cerita game tersebut cuman muncul di satu misi.
Mayoritas game mengambil sudut pandang Prajurit "Red" Daniels, seorang tentara Amerika yang lagi ikutan serangan Sekutu ke daerah Eropa yang waktu itu masih diduduki Nazi Jerman.
Ceritanya sih bagus-bagus aja.
Tapi subtitle game tersebut WWII, kan? World War II, kan?
Dalam artian Perang DUNIA II, kan? Bukan Perang Dunia II CABANG EROPA, kan?
Mesti diingat kalo banyak banget daerah yang sialnya jadi tempat tembak-tembakan dan bom-boman di Perang Dunia II. Bukan cuma di Eropa, tapi di, kek yang tadi gue bilang, Asia-Pasifik dan Afrika juga. Mau lo taro Indonesia juga masih sah-sah aja, toh Indonesia juga kena dikit dampak Perang Dunia II.
Kalo latar cerita cuman di Eropa doang, kenapa judulnya Call of Duty: WORLD War II?
Oya, dan sudut pandang cerita.
Amerika dan Jerman bukan dua-duanya pihak yang beradu jotos di Perang Dunia II. Di Sekutu selain Amerika ada Rusia (waktu itu Uni Soviet), Inggris, Prancis, Korea, Belanda, dan lebih dari 10 negara lainnya. Sedangkan di samping Jerman pihak negara Poros meliputi Itali, Jepang, dan tujuh negara lain.
Intinya, potensi buat cerita Perang Dunia II dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai negara ada dan kentara banget. Cerita-cerita yang gak kalah seru ato menarik dengan protagonis dari negara yang berbeda-beda. Gak harus dari pihak Sekutu. Bayangin aja cerita mengenai prajurit Jepang yang bawa-bawa prinsip Samurai ke medan Perang Dunia II, ato prajurit Jerman yang sebenernya gak suka sama fasisme Nazi, ato bahkan kebalikannya: prajurit Jerman yang setia banget sama Nazi, dan di akhir cerita mati memegang erat prinsipnya tersebut.
Mantep, kan?
Tapi ya itu.
Gak kepake.
Jatoh-jatohnya, cerita di game Call of Duty: WWII jadi gak terlalu fresh. Kek kebanyakan Call of Duty sebelomnya, Amerika ditempatkan sebagai negara jagoan. Berani lawan Amerika? Langsung aja, lo jadi negara antagonis.
Emangnya negara Sekutu cuman Amerika doang? Doi aja aslinya gak ikutan.
Kek yang Zaki bilang, sudut pandang.
Penting ngeliat dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun sudut pandang itu berbeda bahkan berlawanan dari punya lo.
Jangan salah, sudut pandang seberang gak kalah pentingnya dari sudut pandang lo.
Going South
Sekitaran jam 3-4 sore, Laras mampir ke rumah Bayliss.
Gue kira dia cuman mau mampir doang, nongki bentar sama kita-kita, catch up dst, apalagi mumpung gue lagi di Brisbane. Gue sendiri udah ketemu dia sih, pas hari pertama gue di Brisbane. Sayangnya, di hari pertama tersebut, dia lagi kurang enak badan. Bisa dibilang, dia hari itu beda sama dia hari ini.
Ajaibnya, di hari itu, dengan kondisinya yang kurang baik tersebut, dia masih semangat menyambut gue... dan langsung drop secara instan setelahnya. Mungkin semua tenaga yang dia punya abis buat nyambut gue kali, ya.
Anyways, ehm.
Ternyata, Laras bawa makanan buat kita selaku warga Bayliss.
Sekotak Tupperware kroket kentang keju. Homemade buatan dia sendiri.
What a pleasant surprise.
Kroketnya, maksud gue.
Kedatangan Laras sih gak dadakan banget, dia udah bilang dua jam sebelomnya kalo dia mau dateng ke Bayliss.
Tapi dia gak bilang kalo dia bawa kroket keju buatan dia.
"Wew, ini semua buatan lo, Ras?" tanya gue.
"Iya Mo," jawabnya riang. Riang pertanda dia udah sembuh. Baguslah.
Gue pegang, masih panas. Gak panas sampe-sampe lo gak bisa genggam secara utuh dengan jari lo, tapi panas. Seenggaknya, lo tau kalo isi kroket tersebut masih panas, jauh lebih panas dari luarnya.
Berarti ini kroket baru jadi. Yang membawa gue ke pertanyaan lain.
"Lo udah nyobain lom, Ras?"
"Udah Mo," balas Laras. "Justru gue bawain ini buat lo pada soalnya kebanyakan buat gue, hehehe."
"Hoho, okedeh Ras," jawab gue sembari menggigit kroket yang gue pegang di tangan gue.
Apa tadi kata gue? Panas? Kroketnya masih panas? Dan isinya lebih panas lagi?
Yep, itulah yang terjadi di dalam mulut gue.
Panas.
Kek erupsi Gunung Merapi, cuman yang ini kejadiannya di dalam mulut gue. Darimana gue tau erupsi Gunung Merapi panas padahal gue gak pernah ngerasain secara langsung? Ya gimana ya, lo gak harus motong jari lo sendiri biar lo tau kalo rasanya sakit, kan?
Apalagi pas gigi gue secara gak sengaja merobek kroket yang ada di dalam mulut gue dan melepaskan semua panas yang udah mengepul di dalam kroket tersebut keluar--sialan, rasanya kek gerbang neraka kebuka di dalam mulut gue.
Otomatis gue mengap-mengap, berusaha ngeluarin semua panas tersebut, tapi dengan gue mengap-mengap tersebut, si kroket ini malah mendarat di bagian paling sensitif di dalam mulut gue: lidah gue.
Normalnya sih, tu meteor langsung gue keluarin dari mulut gue saat itu juga.
Tapi gue sadar, Laras masih berdiri di depan gue.
Masa' gue muntahin makanan yang baru dia buat pas di depan dia?
Lagian, ini bukan kroket kentang keju biasa.
Ini kroket kentang keju buatan mantan Koki Cilik.
Kalo gue beneran muntahin kroket Laras, gue bakalan masuk ke jajaran manusia-manusia yang pernah menista masakan Laras si mantan Koki Cilik. That is, kalo emang ada yang pernah melakukan penistaan tersebut. Kalo gak ada, gue bakalan jadi manusia PERTAMA yang menista makanan Laras si mantan Koki Cilik.
Siapa gue main asal muntahin makanan seorang mantan Koki Cilik? Jangankan masak kroket kentang keju, masak telor aja masih belom becus.
Alhasil, jadilah gue berdiri di depan Laras, tambah mengap-mengap gak karuan dengan kroket sepanas roket di dalam mulut gue.
"Panas ya, Mo?" tanya Laras cekikikan ngeliat gue kepanasan internal. "Ditiup Mo, ditiup."
At this point, muncullah Zaki dan Raja.
"Wiih, apa nih Ras?" tanya Zaki setelah melihat kroket roket yang dibawa Laras.
"Kroket kentang keju buatan gue Zak," jawab Laras.
"Eh, makasih ya Ras," ujar Raja.
Lima menit kemudian, kotak Tupperware milik Laras kosong.
Sejam kemudian, sampailah Ali dan Adri di Bayliss. Dari UQ.
"Eh, Laras!" sapa Adri dengan gaya ke-Adri-annya.
"Maap, anda siapa, ya?" canda Ali dengan candaan ke-Ali-annya.
Satu jam berikutnya, Laras nanyain gue tentang kejurnalisme-an gue di Melbourne. Apa-apa aja yang gue pelajarin dan ngapain aja gue di mata kuliah tersebut.
"Wih gila Ras, lo mesti tau kalo gue ada matkul yang isinya ngebahas game!" kata gue semangat.
"Oh ya? Wow, cocok banget sama lo!" balas Laras lebih semangat lagi. "Di situ lo ngapain aja?"
"Ya, nama matkulnya Writing in Games sih, jadi kita diajarin cara nulis cerita sama karakter di game gitu," jawab gue santai.
"Hmm, asik juga ya," tukas Laras, suaranya meredup selagi dia berpikir.
"Eh Mo," kata Laras lagi. "Gue ada tugas soal game juga, entar bantuin gue ya?" pinta Laras.
"Ebuseng, lo ada juga?" tanya gue rada kaget. "Matkul apaan?"
"Media identity."
Oh, matkul yang itu.
Gak masalah sih, cuman gue mikir: si media identity ini bisa merambah ke per-game-an juga, ya?
But in any case, gue mengiyakan permintaan Laras dengan senang hati. Gue bisa ngebantu Laras dengan bidang yang gue suka setengah idup, gimana gue bisa nolak?
"Mo, lo mau ke Southbank, gak?" tanya Ali. "Daripada lo hari ini gak keluar sama sekali."
Tru dat, Li. Gue sampe titik itu belom keluar sama sekali. Bahkan buat ke minimarket pun enggak.
Tentu aja gue mengiyakan ajakan Ali. Daripada gue gak keluar sama sekali, kek yang dia bilang. Gue udah jauh-jauh ke Brisbane buat jalan-jalan, silaturahmi, dan kabur dari kedinginan Melbourne, masa' gue ujung-ujungnya cuman lontang-lantung di rumah?
Lagian, emangnya Southbank bakalan se-gak-seru itu? Ali ngerekomendasiin gue, yang gak pernah ke Brisbane sebelomnya, buat ke sono. What's the worst that can happen?
"Lo ikut gak, Ras?" tanya Ali.
"Ikut!" jawab Laras antusias.
Jam menunjukkan pukul enam sore ketika kita bertiga berangkat ke Southbank.
Hari udah mulai gelap. Bukan 'mulai', ding. Emang hari waktu itu udah gelap.
"Kita naik apa ke sono?" tanya gue.
"Naik feri Mo," jawab Ali.
Ah, feri. Moda kendaraan umum yang gak ada di Melbourne. Okay then.
20 menit kemudian, kita bertiga udah berada di dek feri yang menuju ke Southbank.
Dipikir-pikir, keren juga ya.
Di Indonesia, naik feri udah termasuk sebuah kemewahan. Apalagi kalo dipake buat menyusuri sungai di tengah-tengah kota. Mana ada kapal seukuran feri dipake buat nyebrang sungai Ciliwung, yang ada juga perahu getek. Then again, kalo bule-bule Australia diajak naik perahu getek, mungkin mereka bakal sama terpesonanya dengan kita kalo diajak naik feri. Jangan salah, emangnya lo bisa naikin motor ke feri?
Sama prinsipnya dengan kendaraan umum lainnya, kita wajib nge-tap kartu public transport milik kita ketika menaiki feri tersebut.
Udara malem itu dingin. Sejuk sih, bukan dingin. Kek satu Brisbane berada dibawah naungan sebuah AC raksasa yang disetel ke suhu 20 derajat.
Brisbane berada di sebelah kiri dan kanan gue. Diliat dari sungai tersebut, gue dapet sudut pandang gemerlap Brisbane yang gak pernah gue alamin sebelomnya. Dari satu sisi sih udah lumayan familier, tapi sudut pemandangan dari tengah sungai yang membelah Brisbane? Lom.
Snapgram sabi, nih.
Gue gak peduli dengan kenyataan kalo feri bergerak tersebut gak termasuk kategori sebuah lokasi yang sah di Instagram. Ato kemungkinan sinyal jelek di tengah sungai tersebut. Ato mungkin suara mesin feri ribut yang mungkin bikin Snapgram gue jadi kedengeran soak.
No way in hell I'm letting this one slip by.
Sesampainya di Southbank, Laras dan Ali bertanya ke gue.
"Mau kemana, Mo?"
"Ya gue-nya lom pernah ke sini, gimana gue tau gue mau kemana?" balas gue. "Gue ikut lo pada aja."
Perhentian pertama kita adalah... sebuah lapangan.
Di satu sisi lapangan tersebut ada sebuah panggung kecil, tingginya gak seberapa, palingan cuman sekali pijakan tangga rumah. Tingginya sedikit di bawah lutut gue lah, kira-kira.
"Di sini nih, Mo," jelas Ali. "Adri pernah solat di sini."
"Berjamaah, gitu?" tanya gue.
"Kagak, solat aja," jawabnya. "Waktu itu ada beberapa orang gitu kan, solat di atas panggung, ya si Adri-nya ikut-ikutan gitu."
"Gak ada yang ngeliatin mereka, gitu?"
"Ya siapa juga yang mau ngeganggu mereka?" balas Ali. "Yang penting kan niat," pungkas Ali sambil menoleh ke Laras. "Ya nggak, Ras?"
"Betul!"
Selanjutnya kita merapat ke arah kanan, ke arah Victoria Bridge.
Kita ngelewatin kantor ABC alias kantor perusahaan berita terbesar di Australia, sebuahperis wil bianglala, dan seorang asing yang rada... ramah.
Yep, that actually happened.
Setelah kita ngelewatin kantor ABC, tiba-tiba seorang cowok bule bertampang umur 20-an kurus mengangkat tangan kanannya, seakan mau ngasih tos ke Ali yang lagi di depan.
"Ey, what's up, man?"
Tanpa ragu nan canggung sedikit pun, Ali menyambut tangan si bule tersebut.
"Yo, what's good, man?"
Dan si cowok bule itu berlalu, ngelewatin gue dan Laras seakan kita gak ada.
Gue dan Laras terbelalak. Well, Laras lebih dari gue.
Lagian, gak ada momen canggung sama sekali antara Ali dan si bule ini. Si bule ngangkat tangan, Ali balas mengangkat tangannya sepersekian detik kemudian. Gak ada that one second dimana Ali kebingungan berusaha memproses apa yang si bule tersebut lakukan. Seakan-akan Ali kenal sama si bule ini. Kolega basket? Temen sekelas? Tetangga?
"Tu siapa, Li?" tanya Laras cemas-cemas-curiga.
"Li, sokap?" tanya gue.
"Gak tau, gak kenal," jawab Ali singkat.
"Lah terus, kok dia...?" tanya Laras lagi.
"Lo pada gak tau?" tanya Ali balik. "That dude's high, man."
High? As in teler? As in halu? As in efek samping gara-gara kebanyakan nyebat marijuana?
Really?
"Ih, jadi takut gue..." kata Laras pelan.
"Ah masa, Li?" tanya gue setengah gak percaya. "Gak keliatan kek orang teler, tuh."
"Teler itu Mo," balas Ali. "Liat aja jalannya miring-miring gitu."
Gue menoleh ke belakang buat ngeliat apakah si dude ini jalan mencong-mencong kek orang teler. Masalahnya, gue udah 90% lupa tampang dia kek gimana. Dari depan aja gue udah lupa, apalagi kalo gue liat dari belakang. Alhasil, gue gagal memastikan kalo si high dude ini beneran teler menurut kriteria teler gue.
Tampang si high dude ini kek gimana, gue udah lupa. Seinget gue, dia pake topi yang depannya dihadapkan ke belakang kepala dia. Gambaran yang nyangkut di otak gue pas nulis bagian ini (30/10) ? Avicii.
[SIDE NOTE: Rest in Peace, mate.]
Kita di South Bank ada dua jam kali. Intinya, lumayan lama.
Tentu aja dua jam itu bakalan lama kalo kita gak ada bahan omongan. Which was not the case.
Band Indonesia kesukaan kita bertiga pas masih kecil? Ali dan Laras punya selera bagus dengan Peter Pan dan Dewa 19. Gue? Project Pop. Tenang aja, bukan cuman kalian yang ketawa sama selera gue. Ali dan Laras juga, kok.
Tapi jangan salah cuy, Project Pop tu bagus
Seberapa relate-kah Laras dengan serial film High School Musical? Well, dia kadang-kadang ngerasa kalo dia sama banget dengan Gabriella Montez. Kek apa yang Gabriella alamin, kadang-kadang dia alamin juga. Gue dan Ali berargumen kalo udah kek gitu, dia malah lebih mirip Sharpay Evans. Because you know, seringnya cewek yang ngerasa kalo mereka Gabriella... jatoh-jatohnya lebih mirip Sharpay di dunia nyata.
Gimana masa depan kita bertiga entar? Laras dengan sisi Jurnalisme superkuatnya pingin, for obvious reasons, ke Metro TV. Ali lebih memilih buat stick to perhumasan, meskipun dia terbuka buat opsi-opsi lain yang dia punya. Jangan salah, sebelom gue ke Brisbane, Ali udah pernah nulis artikel buat CNN Indonesia. Sekali doang sih (sejauh ini), but still.
Ali nanya gue soal impian gue buat bikin podcast yang pernah gue utarain ke dia sebelom gue berangkat. Gue sih waktu itu berkelit dengan bilang kalo podcast tu lebih gampang kalo gak dibawa sendirian, but let's face it: gue ngatur satu blog dan satu channel YouTube aja udah kelabakan, gimana gue bisa bikin podcast?
Tau sendiri gue dan kemageran gue dalam mengejar deadline.
Setelah hampir tiga jam di South Bank, kita memutuskan buat pulang.
Gue-Ali dan Laras pisah sih, meskipun itu hampir gak kejadian.
"Li, maksud gue tuh pulang beneran..." ujar Laras setengah memelas.
"Iya, pulang..." kata Ali sambil mengambil ancang-ancang buat kata-kata selanjutnya, "... ke Bayliss, kan? Itu maksud lo, kan?"
"Kagak, maksud gue pulang ke rumah gue--"
"Rumah lo kan bukannya di Indonesia ya, Ras?"
"--di Brisbane, Li..."
"Lah, bukannya rumah lo di Brisbane itu Bayliss, yak?"
"Iiih!" Laras pun menoleh ke gue. "Mo, gimana nih?"
"Ya menurut intel-intel yang bisa dipercaya, lo emang lumayan sering ke Bayliss sih, Ras."
"Ah, lo pake acara ikut-ikutan, lagi!"
But nah.
Malem itu Laras gak ke Bayliss. Udah kita tawarin buat nganter dia ke pusat kota tempat dia tinggal (seriusan ini, gak pake belok ke Bayliss), dia tetep menolak. Okay then.
Seturunnya kita dari feri, Ali memulai sebuah pembicaraan dengan gue.
Not that kita gak ngomong sama sekali di feri tadi, tapi buat kali ini, dia mengalihkan perbincangan kita sebelomnya ke sebuah topik yang... menarik.
Dan gak, ini gak tentang feminisme.
Pasalnya, sebelom dia memulai perbincangan tersebut, dia memberikan gue sebuah peringatan. Sebuah peringatan yang gue langgar sekarang. DENGAN SEIJIN DIA, mon maap.
"Mo, jangan kasitau siapa-siapa yak. Bahkan ke Adri juga, lo jangan kasitau dia."
Gue mengiyakan. "Wew, kenapa lagi nih, Li?"
Ali keliatan malu banget buat ngasitau rahasianya ini ke gue. Gue pun mulai mikir aneh-aneh. Rahasia apaan, nih? Dia nyolong makanan dari Sevel terdekat? Dia diem-diem ngabisin snack bersama rumah Bayliss? Dia naksir cewek cakep yang satu kelas sama dia? Dia... gay?
I mean, tanda-tandanya lumayan kentara.
"Lo tau sendiri kan, gue sama Laras keliatannya deket, tapi sebenernya dari kita berdua gak ada yang baper?"
Oh, tentang Laras.
Truth be told, gue punya kecurigaan tersendiri terhadap mereka berdua. Gue dan Adri.
Laras adalah bagian dari peer group beranggotakan gue, Ali, dan Adri. Hal itu udah gak jadi pertanyaan.
Tapi sepengamatan gue dan Adri, Laras terlihat lebih, LEBIH deket ke Ali. Melebihi kedekatan Laras ke kita berdua.
Gue gak tau pasti ini mulainya dari kapan, tapi gue setuju kalo Laras emang lebih cocok sama Ali. Mereka berdua satu panggung pas acara pentas seni FISIP. Yep, pentas seni sama yang gue sebutin di salah satu postingan gue sebelomya. Dan yep, Ali pun jadi aktor juga di pentas seni tersebut. Belom lagi, Ali bisa mengakomodasi unsur 'nyeni' Laras yang tinggi. Unsur artsy yang Laras punya, Ali lebih ngerti dibandingkan gue dan Adri.
Laras dan Alipernah sering jalan bareng. Ke Museum Macan, ke Taman Ismail Marzuki buat nonton sebuah pentas teater, ke bioskop buat nonton film. Bilangnya sih sebagai teman dan bukan sebagai lebih-dari-sekadar-teman, tapi tetep aja itu jadi sasaran kecurigaan gue dan Adri.
Mau seberapa serius keliatannya mereka berdua, mereka gak ada rasa satu dengan yang lain. Jalan cuman sebagai temen deket aja. Dan dari mereka berdua gak ada yang merasa ter-friendzone-kan dengan status sahabat tersebut.
Ali dan Laras gak saling baper, meskipun semua tanda menunjuk ke sana.
Itulah pengetahuan yang gue pegang dan informasi yang gue percaya.
Sampe malem itu, seenggaknya.
"Gue baper sama Laras, Mo!"
Itulah kata Ali bermuka tengsin berat, seakan abis mengaku kalo dia gay.
"Well, shit." jawab gue singkat.
Laras adalah cewek yang luar biasa. #WhatAGal , itulah sebutan gue saat mendeskripsikan dia di antara cewek-cewek Babes. Ali pacaran sama Laras? Boy oh boy, jadiannya mereka berdua bakal ngebikin mereka jadi sebuah power couple termantep di angkatan gue.
Sayangnya, Laras punya masalah dengan komitmen, begitulah kata Ali.
Bukannya Laras gak setia ato rawan selingkuh, oh tidak.
Ini menyangkut hubungannya di masa lalu yang berakhir dengan rada pahit buat Laras.
Gara-gara kepahitan masa lalunya tersebut, Laras jadi lebih susah buat mencintai orang lain setelah hubungan tersebut.
Laras susah baper, gara-gara dia takut terjangkit patah hati.
Sama kek apa yang terjadi dengan hubungannya di masa lalu.
"Li, lo udah kasitau siapa aja?" tanya gue.
Gak banyak.
"Gila, Mo!" kata Ali sembari kita berjalan dari terminal feri ke Bayliss. "Gue tuh udah takut banget malah baper, udah ngeyakinin diri gue kalo gue gak bakalan baper, eh jatoh-jatohnya malah baper!"
"Itu rasanya tai banget, lo tau gak?"
Li, no offense, tapi gue rasa lo bertanya ke orang yang salah.
"Duhh, gue harus gimana nih, Mo?"
Kek yang tadi gue bilang, Li--ah, screw it.
"Lo gak bisa simpen itu selamanya, Li," jawab gue. "Mendem perasaan itu gak baik, you know that, right?"
"Gue tau kalo gue harus ngasitau dia, Mo," ujar Ali. "Dan gue suatu hari bakal bilang ke dia."
"Tapi rasanya pas gue sadar itu loh, Mo. I feel like shit, you know that?"
Pas kita udah deket ke Bayliss, Ali ngingetin gue sekali lagi.
"Inget ya Mo, not a word."
"Men, you know you can count on me."
Ali menghela napas panjang. "Makasih ya, Mo."
Dan kita pun memasuki rumah Bayliss.
Loncat ke dua bulan-an kemudian.
Gue rasa Ali menepati kata-katanya. Dia gak mendem ke-baper-an tersebut lama-lama.
Gue juga ngerasa Laras berhasil menghadapi ketakutannya jatuh cinta lagi.
Soalnya gue denger dari Ali sendiri, dia dan Laras udah jadian.
Sebelom gue gabung, mereka lagi ngomongin cocok-cocoknya ideologi Karl Marx buat dipake di Indonesia. Diskusi dalem, yang jelas-jelas otak gue gak nyampe. Tau apa gue soal Karl Marx? Tanpa bantuan Wiki, yang gue tau dari dia adalah dia penemu prinsip Marxisme. Apa itu Marxisme? Ya itu--teori temuan Karl Marx. Apa itu teori temuan Karl Marx? Ya Marxisme.
Pas gue gabung, fokus pembicaraan beralih ke gue. Dari ngomongin efek samping penerapan ideologi sosialisme terhadap Indonesia beralih ke... gue ngapain aja di Melbourne. Agak jauh, ya.
10 pertanyaan kemudian, Raja cabut, meninggalkan gue dan Zaki di teras rumah Bayliss.
Sekarang, giliran gue nanyain Zaki.
Zaki, sama halnya dengan segenap penduduk rumah Bayliss, mengambil peminatan public relations. Humas. Peminatan sih boleh sama, tapi unit alias mata kuliah yang mereka ambil bisa beda-beda. Gak harus berhubungan sama humas.
Salah satu mata kuliah yang Zaki ambil bernama Media Identity.
Bukan cuman Zaki doang yang ngambil mata kuliah ini. Setau gue, beberapa anggota Babes kek Sasa, Laras, dan Haniya juga ngambil mata kuliah ini. Menurut Laras, tambah empat orang lagi: Raja, DePe, Praya, Nisya, dan Ocha.
[SIDE NOTE: Wait, Ocha sokap? Well, more on her later, tapi versi simpelnya, dia adalah satu dari sedikit temen gue yang gak pernah sekelas sama gue. Orangnya high-energy, low nonsense, dan demen sama Paramore.]
Sekilas, premis mata kuliah ini simpel aja. Siapa itu media?
Wait, itu kedengarannya salah.
Lagian, namanya media identity. Identitas media. Kalo lo ditanya identitas lo, lo pasti mikirnya yang ditanyain itu nama lo, kan? Siapa lo sebenernya, kan?
Ehm.
Sekilas, premis media identity gak belibet. Apa itu media? Apa peran media dalam kehidupan sehari-hari kita?
Garisbawahi kata sekilas.
Soalnya matkul ini gak sesimpel itu.
Feminism.
Itulah kata pertama yang gue denger ketika ngebahas matkul media identity.
Wait, what?
Lo tanya gue, feminism adalah sebuah istilah yang agak... rawan.
Banyak orang, termasuk orang-orang di sekitar gue, mendukung gerakan feminisme dengan bangga. Emansipasi wanita, apa salahnya? Kalo bukan karena gerakan ini, gue gak bakalan punya temen kek Laras atau Sasa. Hell, kalo bukan karena gerakan ini, pertemanan antara gue dan Babes bakal cuman jadi isapan jempol belaka. Yep, gara-gara gerakan inilah, kaum hawa boleh bersekolah layaknya kaum adam. Hats off to you, ibu kita Kartini.
Sayangnya, sama halnya dengan dunia perpolitikan di Indonesia dengan cebong dan ontanya, gerakan ini punya oknum tersendiri. Oknum yang mengatasnamakan gerakan ini dan dengan tololnya merusak image bagus yang gerakan ini punya. Mereka yang koar-koar di internet, menganggap kaum wanita selalu ditindas, diperlakukan secara gak adil, dan direndahkan, semuanya FIX BANGET SELALU gara-gara kaum pria. Dengan kata lain, wanita selalu benar dan pria selalu salah.
Kalo lo gak sependapat dengan mereka, lo penindas wanita. Itulah kesan yang gue dapet.
Hell, gue yakin dengan gue nulis dua paragraf di atas aja pasti udah ada pembaca yang t e r p e l a t u q u e.
Sebelom gue nanya Zaki soal matkul unik ini, gue udah dapet intel dari penghuni rumah Bayliss yang lain kalo Zaki gak terlalu suka sama matkul ini. Raja lebih tepatnya, soalnya dia ngambil matkul itu juga.
"Gue denger lo ada matkul tentang feminism gitu-gitu yak, Ja?" tanya gue.
"Iya bener Mo, nama matkulnya media identity," jawab Raja.
"Zaki tuh, kayaknya dia gak suka sama dosennya," pungkas Ali nimbrung. "Balik-balik dari tu matkul, biasanya dia bilang, 'THERE ARE ONLY TWO GENDERS IN THIS WORLD!'"
Berbekal intel tersebut, gue mulai nanyain Zaki, satu dari sedikit temen gue yang beraliran konservatif, tentang satu matkul yang dia gak suka.
Dari mana gue tau kalo dia konservatif?
Well satu, dia gak suka matkul yang (katanya) erat hubungannya dengan feminisme, sebuah istilah yang sepengamatan gue sering dikaitkan dengan golongan liberal. You know, lawannya golongan konservatif. Bukan berarti kalo dia konservatif dia wajib gak suka sama matkul tersebut, tapi emang KECENDERUNGANNYA mengarah ke sono.
Dan dua, kita harus balik ke jaman-jaman pas gue masih mahasiwa baru Komunikasi UI.
Salah satu tugas ospek jurusan Komunikasi adalah mewawancarai temen-temen seangkatan gue mengenai berbagai macam hal: nama mereka (you don't say), hobi mereka, dan, antara lainnya, role model alias tokoh panutan mereka.
Waktu itu, gue lagi suka-sukanya sama Jimmy Kimmel (sekarang Conan O'Brien, sorry Jimmy), jadi dialah yang gue taro sebagai role model gue setiap kali gue ditanyain. Dari temen-temen gue ada yang suka sama Najwa Shihab, Will Smith, Rhoma Irama, bahkan nyokap mereka sendiri.
Contoh yang gue taro sedikit, soalnya gue udah mulai lupa siapa-siapa aja yang jadi role model temen-temen gue.
Kecuali Zaki. Hoo boy, kalo punya Zaki gue inget banget.
Donald Trump.
Patut dicatat, masa-masa ospek jurusan gue adalah masa sebelom Donald Trump naik jadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Iya sih bener dia udah maju sebagai calon presiden, tapi waktu itu kemenangan dia atas Hillary "Bond Villain" Clinton belom terjadi.
Artinya, kecil kemungkinan Zaki termasuk orang yang jump into the Trump bandwagon. Gue yakin Zaki udah suka Trump sebelom orang-orang mulai ikut-ikutan suka Trump.
Dan kalopun dia termasuk orang-orang ini, itu gak mengurangi ke-konservatif-annya.
Dia bisa aja taro beribu-ribu orang lain sebagai role model dia. Kalopun dia mau naro orang dari golongan konservatif, masih banyak banget pilihan yang dia punya. Dari yang berkelas banget kek Clint Eastwood sampe yang receh kek Adam Sandler.
But nope. Donald Trump for Jacky. Wajah terkini golongan konservatif.
Fix.
Kembali ke Bayliss, gue duduk di sebelah Zaki.
"Oy Zak," tanya gue.
"Gue denger lo ngambil matkul media identity juga, ya?"
"Oh iya, Mo," jawab Zaki cepet. "Kenapa emangnya?"
"Ya gue denger itu matkulnya ngomingin feminism and stuff," lanjut gue. "Menarik juga ya, ngebahas feminisme di kuliah."
Gue kedengerannya kek cuman ngasih pendapat ngasal nan retorik, tapi sebenernya gue lagi berusaha narik respon dari dia. Secara gak langsung. Anyways, ngapain gue kasitau beginian, ya?
"Emang matkulnya unik sih, Mo."
Ah sial, dia gak langsung ngasih pendapat dia tentang matkul ini. Pendapat dalam artian pendapat dia yang sebenernya, yang sepengetahuan gue berlawanan dengan matkul tersebut.
Yaudah sih, langsung aja.
"Menurut lo gimana, Zak?"
Zaki berubah posisi duduk dari yang tadinya tegap jadi bersandar. Kepalanya mendongak ke atas sedikit, matanya terpaku pada jendela rumah sebelah yang kelihatan dari tempat kita duduk.
Dia mikir. Mikirin respon yang tepat buat pertanyaan gue.
"Ya gue sebenernya oke-oke aja sih, kalo soal ngomongin feminism and stuff gitu," ujar Zaki menjelaskan.
"Permasalahannya tu dosennya ngejelasin cuman dari satu sudut pandang gitu loh."
"Kek, pas ngejelasin sejarah tentang first wave sampe third wave feminism dia cuman ngejelasin dari sudut pandang gerakan feminisme-nya doang," kata Zaki lagi.
"Padahal kalo diliat dari sejarahnya kan, sudut pandang lain ada pentingnya juga," jelasnya.
"I get it kalo feminisme itu penting dan gue setuju kalo feminisme itu bagus, tapi..."
Zaki masih nyari kata buat ngejawabin pertanyaan gue. Apa jangan-jangan dia takut gue ikutan t e r p e l a t u q u e juga?
"...kalo menurut gue, kesannya kek kelasnya tuh bias banget gitu, loh."
Tenang aja Zak, gue bukan tipe-tipe orang gampang tersulut kalo udah ngomongin feminisme. Kalo lo ngincer orang yang lebih gampang ke-trigger soal beginian, gue saranin lo ngincer Haniya. Gue? Lo bilang aja main game itu buang-buang waktu dan gak ada gunanya, nah itu dia yang bisa mancing gue.
"Lo ngerasa kalo dosennya semacam mendorong ke satu sisi, gitu?" tanya gue.
"Kadang-kadang iya, cuman gak selalu kek gitu sih."
Dan gue menjawab dengan sebuah "ooh" panjang.
Mau gimanapun juga, apa yang Zaki bilang ada benernya.
Mikirin tentang beginian, gue jadi inget game Call of Duty: WWII keluaran 2017.
Premis game tersebut simpel aja: tembak-tembakan berlatar waktu Perang Dunia II. Tapi bukan itu fokus kita sekarang.
Gue, sama seperti kebanyakan orang, agak keganggu sama single-player campaign game tersebut. Tau sendirilah, mode permainan dimana lo ngikutin cerita dari si game. Mode permainan dimana lo main sendiri. Mode permainan yang mana lo gak bunuh-bunuhan sama orang lain secara online.
Permasalahannya adalah, sudut pandang cerita game tersebut sangat terbatas.
Firstly, latar tempat cerita cuman dan CUMAN di Eropa. Udah.
Gak ada bagian cerita yang berlatar tempat selain di Eropa kek Asia-Pasifik ato Afrika. Pertempuran di Guadacanal? Gak ada. Pertempuran di Iwojima? Nop. Serangan Jepang ke Pearl Harbor? Gak nemu. Jerman dan Rusia hajar-hajaran di Stalingrad? *poof* Ilang.
Belom lagi, sudut pandang cerita, kek yang tadi gue bilang, cuman ada dua. Satu bahkan, soalnya perspektif kedua dari cerita game tersebut cuman muncul di satu misi.
Mayoritas game mengambil sudut pandang Prajurit "Red" Daniels, seorang tentara Amerika yang lagi ikutan serangan Sekutu ke daerah Eropa yang waktu itu masih diduduki Nazi Jerman.
Ceritanya sih bagus-bagus aja.
Tapi subtitle game tersebut WWII, kan? World War II, kan?
Dalam artian Perang DUNIA II, kan? Bukan Perang Dunia II CABANG EROPA, kan?
Mesti diingat kalo banyak banget daerah yang sialnya jadi tempat tembak-tembakan dan bom-boman di Perang Dunia II. Bukan cuma di Eropa, tapi di, kek yang tadi gue bilang, Asia-Pasifik dan Afrika juga. Mau lo taro Indonesia juga masih sah-sah aja, toh Indonesia juga kena dikit dampak Perang Dunia II.
Kalo latar cerita cuman di Eropa doang, kenapa judulnya Call of Duty: WORLD War II?
Oya, dan sudut pandang cerita.
Amerika dan Jerman bukan dua-duanya pihak yang beradu jotos di Perang Dunia II. Di Sekutu selain Amerika ada Rusia (waktu itu Uni Soviet), Inggris, Prancis, Korea, Belanda, dan lebih dari 10 negara lainnya. Sedangkan di samping Jerman pihak negara Poros meliputi Itali, Jepang, dan tujuh negara lain.
Intinya, potensi buat cerita Perang Dunia II dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai negara ada dan kentara banget. Cerita-cerita yang gak kalah seru ato menarik dengan protagonis dari negara yang berbeda-beda. Gak harus dari pihak Sekutu. Bayangin aja cerita mengenai prajurit Jepang yang bawa-bawa prinsip Samurai ke medan Perang Dunia II, ato prajurit Jerman yang sebenernya gak suka sama fasisme Nazi, ato bahkan kebalikannya: prajurit Jerman yang setia banget sama Nazi, dan di akhir cerita mati memegang erat prinsipnya tersebut.
Mantep, kan?
Tapi ya itu.
Gak kepake.
Jatoh-jatohnya, cerita di game Call of Duty: WWII jadi gak terlalu fresh. Kek kebanyakan Call of Duty sebelomnya, Amerika ditempatkan sebagai negara jagoan. Berani lawan Amerika? Langsung aja, lo jadi negara antagonis.
Emangnya negara Sekutu cuman Amerika doang? Doi aja aslinya gak ikutan.
Kek yang Zaki bilang, sudut pandang.
Penting ngeliat dari sudut pandang yang berbeda. Meskipun sudut pandang itu berbeda bahkan berlawanan dari punya lo.
Jangan salah, sudut pandang seberang gak kalah pentingnya dari sudut pandang lo.
Going South
Sekitaran jam 3-4 sore, Laras mampir ke rumah Bayliss.
Gue kira dia cuman mau mampir doang, nongki bentar sama kita-kita, catch up dst, apalagi mumpung gue lagi di Brisbane. Gue sendiri udah ketemu dia sih, pas hari pertama gue di Brisbane. Sayangnya, di hari pertama tersebut, dia lagi kurang enak badan. Bisa dibilang, dia hari itu beda sama dia hari ini.
Ajaibnya, di hari itu, dengan kondisinya yang kurang baik tersebut, dia masih semangat menyambut gue... dan langsung drop secara instan setelahnya. Mungkin semua tenaga yang dia punya abis buat nyambut gue kali, ya.
Anyways, ehm.
Ternyata, Laras bawa makanan buat kita selaku warga Bayliss.
Sekotak Tupperware kroket kentang keju. Homemade buatan dia sendiri.
What a pleasant surprise.
Kroketnya, maksud gue.
Kedatangan Laras sih gak dadakan banget, dia udah bilang dua jam sebelomnya kalo dia mau dateng ke Bayliss.
Tapi dia gak bilang kalo dia bawa kroket keju buatan dia.
"Wew, ini semua buatan lo, Ras?" tanya gue.
"Iya Mo," jawabnya riang. Riang pertanda dia udah sembuh. Baguslah.
Gue pegang, masih panas. Gak panas sampe-sampe lo gak bisa genggam secara utuh dengan jari lo, tapi panas. Seenggaknya, lo tau kalo isi kroket tersebut masih panas, jauh lebih panas dari luarnya.
Berarti ini kroket baru jadi. Yang membawa gue ke pertanyaan lain.
"Lo udah nyobain lom, Ras?"
"Udah Mo," balas Laras. "Justru gue bawain ini buat lo pada soalnya kebanyakan buat gue, hehehe."
"Hoho, okedeh Ras," jawab gue sembari menggigit kroket yang gue pegang di tangan gue.
Apa tadi kata gue? Panas? Kroketnya masih panas? Dan isinya lebih panas lagi?
Yep, itulah yang terjadi di dalam mulut gue.
Panas.
Kek erupsi Gunung Merapi, cuman yang ini kejadiannya di dalam mulut gue. Darimana gue tau erupsi Gunung Merapi panas padahal gue gak pernah ngerasain secara langsung? Ya gimana ya, lo gak harus motong jari lo sendiri biar lo tau kalo rasanya sakit, kan?
Apalagi pas gigi gue secara gak sengaja merobek kroket yang ada di dalam mulut gue dan melepaskan semua panas yang udah mengepul di dalam kroket tersebut keluar--sialan, rasanya kek gerbang neraka kebuka di dalam mulut gue.
Otomatis gue mengap-mengap, berusaha ngeluarin semua panas tersebut, tapi dengan gue mengap-mengap tersebut, si kroket ini malah mendarat di bagian paling sensitif di dalam mulut gue: lidah gue.
Normalnya sih, tu meteor langsung gue keluarin dari mulut gue saat itu juga.
Tapi gue sadar, Laras masih berdiri di depan gue.
Masa' gue muntahin makanan yang baru dia buat pas di depan dia?
Lagian, ini bukan kroket kentang keju biasa.
Ini kroket kentang keju buatan mantan Koki Cilik.
Kalo gue beneran muntahin kroket Laras, gue bakalan masuk ke jajaran manusia-manusia yang pernah menista masakan Laras si mantan Koki Cilik. That is, kalo emang ada yang pernah melakukan penistaan tersebut. Kalo gak ada, gue bakalan jadi manusia PERTAMA yang menista makanan Laras si mantan Koki Cilik.
Siapa gue main asal muntahin makanan seorang mantan Koki Cilik? Jangankan masak kroket kentang keju, masak telor aja masih belom becus.
Alhasil, jadilah gue berdiri di depan Laras, tambah mengap-mengap gak karuan dengan kroket sepanas roket di dalam mulut gue.
"Panas ya, Mo?" tanya Laras cekikikan ngeliat gue kepanasan internal. "Ditiup Mo, ditiup."
At this point, muncullah Zaki dan Raja.
"Wiih, apa nih Ras?" tanya Zaki setelah melihat kroket roket yang dibawa Laras.
"Kroket kentang keju buatan gue Zak," jawab Laras.
"Eh, makasih ya Ras," ujar Raja.
Lima menit kemudian, kotak Tupperware milik Laras kosong.
Sejam kemudian, sampailah Ali dan Adri di Bayliss. Dari UQ.
"Eh, Laras!" sapa Adri dengan gaya ke-Adri-annya.
"Maap, anda siapa, ya?" canda Ali dengan candaan ke-Ali-annya.
Satu jam berikutnya, Laras nanyain gue tentang kejurnalisme-an gue di Melbourne. Apa-apa aja yang gue pelajarin dan ngapain aja gue di mata kuliah tersebut.
"Wih gila Ras, lo mesti tau kalo gue ada matkul yang isinya ngebahas game!" kata gue semangat.
"Oh ya? Wow, cocok banget sama lo!" balas Laras lebih semangat lagi. "Di situ lo ngapain aja?"
"Ya, nama matkulnya Writing in Games sih, jadi kita diajarin cara nulis cerita sama karakter di game gitu," jawab gue santai.
"Hmm, asik juga ya," tukas Laras, suaranya meredup selagi dia berpikir.
"Eh Mo," kata Laras lagi. "Gue ada tugas soal game juga, entar bantuin gue ya?" pinta Laras.
"Ebuseng, lo ada juga?" tanya gue rada kaget. "Matkul apaan?"
"Media identity."
Oh, matkul yang itu.
Gak masalah sih, cuman gue mikir: si media identity ini bisa merambah ke per-game-an juga, ya?
But in any case, gue mengiyakan permintaan Laras dengan senang hati. Gue bisa ngebantu Laras dengan bidang yang gue suka setengah idup, gimana gue bisa nolak?
"Mo, lo mau ke Southbank, gak?" tanya Ali. "Daripada lo hari ini gak keluar sama sekali."
Tru dat, Li. Gue sampe titik itu belom keluar sama sekali. Bahkan buat ke minimarket pun enggak.
Tentu aja gue mengiyakan ajakan Ali. Daripada gue gak keluar sama sekali, kek yang dia bilang. Gue udah jauh-jauh ke Brisbane buat jalan-jalan, silaturahmi, dan kabur dari kedinginan Melbourne, masa' gue ujung-ujungnya cuman lontang-lantung di rumah?
Lagian, emangnya Southbank bakalan se-gak-seru itu? Ali ngerekomendasiin gue, yang gak pernah ke Brisbane sebelomnya, buat ke sono. What's the worst that can happen?
"Lo ikut gak, Ras?" tanya Ali.
"Ikut!" jawab Laras antusias.
Jam menunjukkan pukul enam sore ketika kita bertiga berangkat ke Southbank.
Hari udah mulai gelap. Bukan 'mulai', ding. Emang hari waktu itu udah gelap.
"Kita naik apa ke sono?" tanya gue.
"Naik feri Mo," jawab Ali.
Ah, feri. Moda kendaraan umum yang gak ada di Melbourne. Okay then.
20 menit kemudian, kita bertiga udah berada di dek feri yang menuju ke Southbank.
Dipikir-pikir, keren juga ya.
Di Indonesia, naik feri udah termasuk sebuah kemewahan. Apalagi kalo dipake buat menyusuri sungai di tengah-tengah kota. Mana ada kapal seukuran feri dipake buat nyebrang sungai Ciliwung, yang ada juga perahu getek. Then again, kalo bule-bule Australia diajak naik perahu getek, mungkin mereka bakal sama terpesonanya dengan kita kalo diajak naik feri. Jangan salah, emangnya lo bisa naikin motor ke feri?
Sama prinsipnya dengan kendaraan umum lainnya, kita wajib nge-tap kartu public transport milik kita ketika menaiki feri tersebut.
Udara malem itu dingin. Sejuk sih, bukan dingin. Kek satu Brisbane berada dibawah naungan sebuah AC raksasa yang disetel ke suhu 20 derajat.
Brisbane berada di sebelah kiri dan kanan gue. Diliat dari sungai tersebut, gue dapet sudut pandang gemerlap Brisbane yang gak pernah gue alamin sebelomnya. Dari satu sisi sih udah lumayan familier, tapi sudut pemandangan dari tengah sungai yang membelah Brisbane? Lom.
Snapgram sabi, nih.
Gue gak peduli dengan kenyataan kalo feri bergerak tersebut gak termasuk kategori sebuah lokasi yang sah di Instagram. Ato kemungkinan sinyal jelek di tengah sungai tersebut. Ato mungkin suara mesin feri ribut yang mungkin bikin Snapgram gue jadi kedengeran soak.
No way in hell I'm letting this one slip by.
Sesampainya di Southbank, Laras dan Ali bertanya ke gue.
"Mau kemana, Mo?"
"Ya gue-nya lom pernah ke sini, gimana gue tau gue mau kemana?" balas gue. "Gue ikut lo pada aja."
Perhentian pertama kita adalah... sebuah lapangan.
Di satu sisi lapangan tersebut ada sebuah panggung kecil, tingginya gak seberapa, palingan cuman sekali pijakan tangga rumah. Tingginya sedikit di bawah lutut gue lah, kira-kira.
"Di sini nih, Mo," jelas Ali. "Adri pernah solat di sini."
"Berjamaah, gitu?" tanya gue.
"Kagak, solat aja," jawabnya. "Waktu itu ada beberapa orang gitu kan, solat di atas panggung, ya si Adri-nya ikut-ikutan gitu."
"Gak ada yang ngeliatin mereka, gitu?"
"Ya siapa juga yang mau ngeganggu mereka?" balas Ali. "Yang penting kan niat," pungkas Ali sambil menoleh ke Laras. "Ya nggak, Ras?"
"Betul!"
Selanjutnya kita merapat ke arah kanan, ke arah Victoria Bridge.
Kita ngelewatin kantor ABC alias kantor perusahaan berita terbesar di Australia, sebuah
Yep, that actually happened.
Setelah kita ngelewatin kantor ABC, tiba-tiba seorang cowok bule bertampang umur 20-an kurus mengangkat tangan kanannya, seakan mau ngasih tos ke Ali yang lagi di depan.
"Ey, what's up, man?"
Tanpa ragu nan canggung sedikit pun, Ali menyambut tangan si bule tersebut.
"Yo, what's good, man?"
Dan si cowok bule itu berlalu, ngelewatin gue dan Laras seakan kita gak ada.
Gue dan Laras terbelalak. Well, Laras lebih dari gue.
Lagian, gak ada momen canggung sama sekali antara Ali dan si bule ini. Si bule ngangkat tangan, Ali balas mengangkat tangannya sepersekian detik kemudian. Gak ada that one second dimana Ali kebingungan berusaha memproses apa yang si bule tersebut lakukan. Seakan-akan Ali kenal sama si bule ini. Kolega basket? Temen sekelas? Tetangga?
"Tu siapa, Li?" tanya Laras cemas-cemas-curiga.
"Li, sokap?" tanya gue.
"Gak tau, gak kenal," jawab Ali singkat.
"Lah terus, kok dia...?" tanya Laras lagi.
"Lo pada gak tau?" tanya Ali balik. "That dude's high, man."
High? As in teler? As in halu? As in efek samping gara-gara kebanyakan nyebat marijuana?
Really?
"Ih, jadi takut gue..." kata Laras pelan.
"Ah masa, Li?" tanya gue setengah gak percaya. "Gak keliatan kek orang teler, tuh."
"Teler itu Mo," balas Ali. "Liat aja jalannya miring-miring gitu."
Gue menoleh ke belakang buat ngeliat apakah si dude ini jalan mencong-mencong kek orang teler. Masalahnya, gue udah 90% lupa tampang dia kek gimana. Dari depan aja gue udah lupa, apalagi kalo gue liat dari belakang. Alhasil, gue gagal memastikan kalo si high dude ini beneran teler menurut kriteria teler gue.
Tampang si high dude ini kek gimana, gue udah lupa. Seinget gue, dia pake topi yang depannya dihadapkan ke belakang kepala dia. Gambaran yang nyangkut di otak gue pas nulis bagian ini (30/10) ? Avicii.
[SIDE NOTE: Rest in Peace, mate.]
Kita di South Bank ada dua jam kali. Intinya, lumayan lama.
Tentu aja dua jam itu bakalan lama kalo kita gak ada bahan omongan. Which was not the case.
Band Indonesia kesukaan kita bertiga pas masih kecil? Ali dan Laras punya selera bagus dengan Peter Pan dan Dewa 19. Gue? Project Pop. Tenang aja, bukan cuman kalian yang ketawa sama selera gue. Ali dan Laras juga, kok.
Gimana masa depan kita bertiga entar? Laras dengan sisi Jurnalisme superkuatnya pingin, for obvious reasons, ke Metro TV. Ali lebih memilih buat stick to perhumasan, meskipun dia terbuka buat opsi-opsi lain yang dia punya. Jangan salah, sebelom gue ke Brisbane, Ali udah pernah nulis artikel buat CNN Indonesia. Sekali doang sih (sejauh ini), but still.
Ali nanya gue soal impian gue buat bikin podcast yang pernah gue utarain ke dia sebelom gue berangkat. Gue sih waktu itu berkelit dengan bilang kalo podcast tu lebih gampang kalo gak dibawa sendirian, but let's face it: gue ngatur satu blog dan satu channel YouTube aja udah kelabakan, gimana gue bisa bikin podcast?
Tau sendiri gue dan kemageran gue dalam mengejar deadline.
Setelah hampir tiga jam di South Bank, kita memutuskan buat pulang.
Gue-Ali dan Laras pisah sih, meskipun itu hampir gak kejadian.
"Li, maksud gue tuh pulang beneran..." ujar Laras setengah memelas.
"Iya, pulang..." kata Ali sambil mengambil ancang-ancang buat kata-kata selanjutnya, "... ke Bayliss, kan? Itu maksud lo, kan?"
"Kagak, maksud gue pulang ke rumah gue--"
"Rumah lo kan bukannya di Indonesia ya, Ras?"
"--di Brisbane, Li..."
"Lah, bukannya rumah lo di Brisbane itu Bayliss, yak?"
"Iiih!" Laras pun menoleh ke gue. "Mo, gimana nih?"
"Ya menurut intel-intel yang bisa dipercaya, lo emang lumayan sering ke Bayliss sih, Ras."
"Ah, lo pake acara ikut-ikutan, lagi!"
But nah.
Malem itu Laras gak ke Bayliss. Udah kita tawarin buat nganter dia ke pusat kota tempat dia tinggal (seriusan ini, gak pake belok ke Bayliss), dia tetep menolak. Okay then.
Seturunnya kita dari feri, Ali memulai sebuah pembicaraan dengan gue.
Not that kita gak ngomong sama sekali di feri tadi, tapi buat kali ini, dia mengalihkan perbincangan kita sebelomnya ke sebuah topik yang... menarik.
Dan gak, ini gak tentang feminisme.
Pasalnya, sebelom dia memulai perbincangan tersebut, dia memberikan gue sebuah peringatan. Sebuah peringatan yang gue langgar sekarang. DENGAN SEIJIN DIA, mon maap.
"Mo, jangan kasitau siapa-siapa yak. Bahkan ke Adri juga, lo jangan kasitau dia."
Gue mengiyakan. "Wew, kenapa lagi nih, Li?"
Ali keliatan malu banget buat ngasitau rahasianya ini ke gue. Gue pun mulai mikir aneh-aneh. Rahasia apaan, nih? Dia nyolong makanan dari Sevel terdekat? Dia diem-diem ngabisin snack bersama rumah Bayliss? Dia naksir cewek cakep yang satu kelas sama dia? Dia... gay?
I mean, tanda-tandanya lumayan kentara.
"Lo tau sendiri kan, gue sama Laras keliatannya deket, tapi sebenernya dari kita berdua gak ada yang baper?"
Oh, tentang Laras.
Truth be told, gue punya kecurigaan tersendiri terhadap mereka berdua. Gue dan Adri.
Laras adalah bagian dari peer group beranggotakan gue, Ali, dan Adri. Hal itu udah gak jadi pertanyaan.
Tapi sepengamatan gue dan Adri, Laras terlihat lebih, LEBIH deket ke Ali. Melebihi kedekatan Laras ke kita berdua.
Gue gak tau pasti ini mulainya dari kapan, tapi gue setuju kalo Laras emang lebih cocok sama Ali. Mereka berdua satu panggung pas acara pentas seni FISIP. Yep, pentas seni sama yang gue sebutin di salah satu postingan gue sebelomya. Dan yep, Ali pun jadi aktor juga di pentas seni tersebut. Belom lagi, Ali bisa mengakomodasi unsur 'nyeni' Laras yang tinggi. Unsur artsy yang Laras punya, Ali lebih ngerti dibandingkan gue dan Adri.
Laras dan Ali
Mau seberapa serius keliatannya mereka berdua, mereka gak ada rasa satu dengan yang lain. Jalan cuman sebagai temen deket aja. Dan dari mereka berdua gak ada yang merasa ter-friendzone-kan dengan status sahabat tersebut.
Ali dan Laras gak saling baper, meskipun semua tanda menunjuk ke sana.
Itulah pengetahuan yang gue pegang dan informasi yang gue percaya.
Sampe malem itu, seenggaknya.
"Gue baper sama Laras, Mo!"
Itulah kata Ali bermuka tengsin berat, seakan abis mengaku kalo dia gay.
"Well, shit." jawab gue singkat.
Laras adalah cewek yang luar biasa. #WhatAGal , itulah sebutan gue saat mendeskripsikan dia di antara cewek-cewek Babes. Ali pacaran sama Laras? Boy oh boy, jadiannya mereka berdua bakal ngebikin mereka jadi sebuah power couple termantep di angkatan gue.
Sayangnya, Laras punya masalah dengan komitmen, begitulah kata Ali.
Bukannya Laras gak setia ato rawan selingkuh, oh tidak.
Ini menyangkut hubungannya di masa lalu yang berakhir dengan rada pahit buat Laras.
Gara-gara kepahitan masa lalunya tersebut, Laras jadi lebih susah buat mencintai orang lain setelah hubungan tersebut.
Laras susah baper, gara-gara dia takut terjangkit patah hati.
Sama kek apa yang terjadi dengan hubungannya di masa lalu.
"Li, lo udah kasitau siapa aja?" tanya gue.
Gak banyak.
"Gila, Mo!" kata Ali sembari kita berjalan dari terminal feri ke Bayliss. "Gue tuh udah takut banget malah baper, udah ngeyakinin diri gue kalo gue gak bakalan baper, eh jatoh-jatohnya malah baper!"
"Itu rasanya tai banget, lo tau gak?"
Li, no offense, tapi gue rasa lo bertanya ke orang yang salah.
"Duhh, gue harus gimana nih, Mo?"
Kek yang tadi gue bilang, Li--ah, screw it.
"Lo gak bisa simpen itu selamanya, Li," jawab gue. "Mendem perasaan itu gak baik, you know that, right?"
"Gue tau kalo gue harus ngasitau dia, Mo," ujar Ali. "Dan gue suatu hari bakal bilang ke dia."
"Tapi rasanya pas gue sadar itu loh, Mo. I feel like shit, you know that?"
Pas kita udah deket ke Bayliss, Ali ngingetin gue sekali lagi.
"Inget ya Mo, not a word."
"Men, you know you can count on me."
Ali menghela napas panjang. "Makasih ya, Mo."
Dan kita pun memasuki rumah Bayliss.
Loncat ke dua bulan-an kemudian.
Gue rasa Ali menepati kata-katanya. Dia gak mendem ke-baper-an tersebut lama-lama.
Gue juga ngerasa Laras berhasil menghadapi ketakutannya jatuh cinta lagi.
Soalnya gue denger dari Ali sendiri, dia dan Laras udah jadian.
***
Fiuh, ternyata hari ter-gak penting selama gue di Brisbane lumayan panjang juga, ya?
Itu, ato emang hari ini emang sengaja gue panjang-panjangin. Demi konten, toh?
Apa agenda kita besok?
EKKA.
Itu, dan sebuah tindak penyelundupan di siang harinya.
But until then,
until the next post, bois! :D
No comments:
Post a Comment