- Brie Larson [Room (bedain sama THE Room, oke?)] as Carol Danvers
- Samuel L. Jackson (Pulp Fiction, Django Unchained--seriusan, lo pada pasti tau ni orang siapa, kan?) as Nick Fury
- Ben Mendelsohn (Rogue One: A Star Wars Story, Ready Player One) as Talos
- Lashana Lynch (Still Star-Crossed) as Maria Rambeau
- Jude Law (Sherlock Holmes, The Grand Budapest Hotel) as Yon-Rogg
Budget: $152 juta
Box Office (per 12 Maret 2019): $456.7 juta
Lama: 2 jam 4 menit
Rotten Tomatoes: 80%
US Release: 8 Maret 2019
Belom pernah, sepanjang gue hidup, melihat film produksi MCU (Marvel Cinematic Universe) yang sangat, SANGAT divisif.
DCEU (DC Extended Universe) sih gue udah pernah, dan judul film itu adalah Batman vs Superman: Dawn of Justice. Dan sayangnya (ato untungnya?), gue berdiri di sisi kontra film tersebut. Yep, gue gak suka tu film.
Tapi MCU? Film-film MCU biasanya berada di titik 'semua-orang-suka' ato 'semua-orang-biasa-aja'. Gak ada istilahnya kasus 'ada-yang-suka-dan-ada-yang-gak-suka-banget'.
Kasus 'semua-orang-suka' udah sangat lumrah, sebut aja film-film teranyar mereka kek Black Panther, Avengers: Infinity War, ato Thor: Ragnarok, yang mana setiap orang yang gue tanyain soal film-film tadi, semuanya suka.
Kasus 'semua-orang-biasa-aja' jatoh ke film-film Marvel yang b-aja. Thor yang pertama, Thor yang kedua, ato The Incredible Hulk. Yep, percaya gak percaya, Edward Norton sebagai Bruce Banner adalah bagian dari MCU.
Temen-temen gue bilang Captain Marvel bagus-bagus aja. Adri bilang ni film gak sebagus Wonder Woman, tapi gak jelek-jelek banget juga.
Sementara itu, warganet sangat, SANGAT terbagi pendapatnya mengenai film ini. Ada yang bilang film ini bagus-bagus aja, dan penampilan Brie Larson sebagai Carol Danvers patut diacungi jempol. Ada yang bilang ni film ampas banget (sampe kena boikot, seriusan), dan Brie Larson adalah alasan utama ni film jadi ampas. Ada yang bilang ni film fine-fine aja, gak bagus banget atopun jelek banget.
Terus ada lagi alasan di luar film ini, kek komentar feminisme ekstrim yang pernah dilontarkan oleh Brie Larson ketika promosi ni film. Sesuatu tentang doi gak pingin Captain Marvel diulas oleh pria kulit putih, kalo gak salah. A bold statement indeed. Gak seekstrim pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan oleh kaum feminazis di luar sana, tapi tetep aja sebuah pernyataan yang nekat.
Then again, memboikot film ini berdasarkan sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh aktris yang membintanginya, menurut gue, adalah tindakan tolol. Bener sih kalo Brie Larson bisa menyuarakan pendapatnya dengan kata-kata yang lebih layak, tapi bukankah lo harus menilai sebuah film berdasarkan dan HANYA berdasarkan bagus-jeleknya film itu sendiri?
Ah, sudahlah.
Trus, apa kabar ni film?
Bagus? Jelek?
Ato b-aja?
As Far As Origin Stories Go...
...ini bukan yang paling ampas.
Kalo dibandingin dengan origin stories milik MCU yang lain?
Eh... mid-tier.
High-tier adalah milik film-film origin story MCU yang dewa. Baru film pertama aja, udah bagus banget. Gelar ini dipegang oleh (menurut gue) Iron Man, Captain America, Doctor Strange, dan Guardians of the Galaxy.
Low-tier adalah milik film origin story yang gak spesial. Yang b-aja, meskipun jauh dari film ampas macam Batman vs Superman Suicide Squad ato Daredevil. Bukan serial Netflix yang gue maksud di sini, tapi film 2003 yang dibintangi Ben Affleck. Kalo di MCU, gelar ini dipegang oleh The Incredible Hulk dan Thor.
Mid-tier adalah milik sisanya.
Sejauh ini, daerah mid-tier baru dihuni oleh dua film: Captain Marvel dan Ant-Man.
Bagus, tapi gak menakjubkan ato spesial banget.
Begitulah Captain Marvel.
Seriusan, gue masuk ke bioskop dengan ekspektasi bahwa ni film bakalan ngebosenin. Kalo diliat dari trailer-nya, Carol Danvers kehilangan ingatan, dia jadi manusia bermuka datar, dia berusaha ngedapetin ingatannya kembali, membasmi kejahatan, yadda-yadda-yadda.
Dan sejujurnya, cerita dari Captain Marvel gak terlalu spesial.
Tapi ni film terselamatkan oleh penyuguhan cerita yang seru dan gak ngebosenin.
Itu, dan tokoh-tokoh asik yang ada di dalamnya. Tapi itu gue bahas buat entar.
Anyways, gaya penyuguhan cerita film ini lumayan cepet dan gak terbebani oleh plot decisions yang memperlambat jalannya cerita. Gak ada ceritanya ni film terkesan sengaja dilambat-lambatin dengan sub-plot gak jelas *uhuk!*The Last Jedi*uhuk!* ato filler yang gak ada sangkut-pautnya dengan cerita. Daripada ngebikin film tambah kusut dengan build-up plot-twist sana-sini, Captain Marvel sering menghilangkan unsur tegang nan misterius yang dia punya, terutama dengan faktor kaum alien Skrull yang bisa menyamar jadi manusia. Bisa dibilang, film ini gak terlalu banyak bacot.
Beda pula dengan Batman vs Superman dan Aquaman yang plot ceritanya rumit (ato berusaha rumit, entahlah) plot dari Captain Marvel simpel. Kek yang tadi gue bilang: Carol Danvers jadi manusia bermuka datar, terus jadi superhero, dsb, dst. Bener sih, emang ada plot twist di film ini, tapi percayalah sama gue, cerita film ini sangat aman. Alhasil, gak ada plot holes menohok di sini, and that's always a good thing.
Tapi sayangnya, gara-gara cerita yang sangat aman tersebut, cerita Captain Marvel jadi gak sekuat Wonder Woman.
Tentunya Captain Marvel punya pesan moral tersendiri, yang sama kuatnya dengan Wonder Woman. Wonder Woman punya pesan moral bahwa seorang superhero bisa memotivasi dunia dan orang di sekitarnya ke arah yang lebih baik. Sementara itu, Captain Marvel berpesan bahwa seorang superhero punya tekad kuat yang bisa menembus semua keraguan, kejatuhan, dan kegagalan yang bisa dia alami.
Pesan yang gak kalah kerennya, ya nggak sih?
Ya, sayangnya, Captain Marvel gak punya adegan ato momen yang bisa menyampaikan pesan tersebut secara maksimal. Bener sih kalo pesan moral itu tersampaikan (otherwise, gue gak bakal bisa nyebutin pesan moral tersebut di atas), tapi gak se-spektakuler ato se-epik, katakanlah, adegan no man's land di Wonder Woman.
Malahan yang ada di Captain Marvel adalah semacam checklist terhadap pesan moral di atas yang dicentang satu per satu sepanjang jalannya film. Carol Danvers seorang superhero? Centang. Carol Danvers sering diragukan? Centang. Carol Danvers sering gagal? Centang. Carol Danvers selalu bangkit? Centang. Semua tindakan percentangan dilakukan dengan cara yang sangat tersurat dan gamblang, seakan-akan si film lebih pingin NGASITAU daripada NUNJUKIN ke kita kalo Carol Danvers adalah seorang superhero.
Bukannya melalui sebuah adegan epik yang bisa mengantarkan semua poin di atas sekaligus (lagi-lagi, Wonder Woman) ato melalui momen-momen kecil cerdik nan berarti yang bisa menunjukkan sisi heroik dari Carol Danvers, Captain Marvel nampaknya mengambil jalan yang paling aman, paling lugas, dan paling gampang dimengerti.
Tentu saja storytelling Wonder Woman lebih terasa dan ngena.
But you know what?
This is fine.
Toh, gue sebagai penonton paham pesan heroik macam apa yang pingin disampaikan oleh film ini. Seenggaknya, ada pelajaran yang bisa gue petik.
Terlalu banyak film yang sepanjang jalan ceritanya berusaha buat terlihat pinter, dalam, dan penuh makna padahal yang ada malah bikin pusing dan bingung penontonnya. Ujung-ujungnya, si film jadi gak punya identitas yang jelas dan akhirnya gagal menyampaikan pesannya ke kalangan penonton. Case in point, Batman vs Superman
Terkadang, kita butuh yang simpel-simpel kek gini.
Terakhir, some minor plot details.
Ryan Fleck (kiri) dan Anna Boden (kanan). |
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk membahas kelemahan lain dari Captain Marvel: si duo sutradara, Ryan Fleck dan Anna Boden.
Don't get me wrong, buat film superhero pertama mereka, Captain Marvel adalah first attempt yang lumayan sukses. Belom lagi mereka berdua ikut menulis skrip dari film ini, barengan dengan penulis skrip Tomb Raider, Geneva Robertson-Dworet.
Sayangnya, dari segi kekuatan skrip, menurut gue mereka masih kalah dari dynamic duo MCU yang lain, Christopher Markus dan Stephen McFeely. Ato bahkan dari writer-director James Gunn.
Meskipun keseluruhan cerita dan penyuguhan cerita Captain Marvel enak diikutin, di momen-momen kecil inilah Captain Marvel mengalami, ironisnya, kegagalan.
Tentu saja momen kek gimana caranya Nick Fury matanya tinggal satu dijelasin secara gamblang dan gak meninggalkan pertanyaan lain, tapi... udah? Gitu aja? Kita semua ngira Nick Fury bakalan kehilangan matanya dengan cara yang lebih heroik, ato epik, kek matanya ilang kena tembak sinar laser ato kena bom, tapi di film ini, momen misterius tersebut diberikan perlakuan yang remeh-temeh nan sepele. Masih masuk akal, tapi come on, you can seriously do better than that.
Kek yang tadi gue bilang, film ini punya jalan cerita yang sangat, SANGAT aman, dan itu terlihat baik di momen besar maupun momen kecil di film ini.
Higher-Further-Faster, Baby!
Sekarang, tokoh dan penokohan.
Coba gue tebak.
Lo pada pasti pingin opini gue tentang mbak Brie Larson, kan?
Hmm, Brie Larson di sini gimana, ya?
Berlawanan dengan pendapat kebanyakan warganet,
gue rasa mbak Brie bukanlah bagian terburuk film ini.
Bukan bagian terbaik juga, tapi apakah dia alasan utama film ini gak sebagus film-film top MCU yang lain? Menurut gue, nop.
Pas gue (dan jutaan warganet lain) ngeliat penampilan Brie Larson di trailer buat Captain Marvel, seringkali dia gak terlihat ekspresif. Bermuka datar nan monoton. Langsung aja warganet menyuarakan keraguan mereka akan kemampuan mbak Brie memainkan tokoh Carol Danvers.
Tapi apakah dia kek gitu di filmnya?
Kagak. Kagak sama sekali.
Kebalikannya, malahan.
Dia sangat ekspresif dan karismatik.
Bahkan di momen-momen dimana dia mestinya expressionless alias komuk datar, Brie Larson masih mampu menyuntikkan nyawa dan humor ke dalam momen tersebut. Gara-gara penampilan Brie Larson di film ini, gue berpendapat kalo Captain Marvel adalah kejadian langka di mana trailer sebuah film gak sebagus film aslinya.
Belom lagi humor kering yang seringnya diucapkan oleh Danvers jadi tambah kocak gara-gara pembawaan sarkastik mbak Brie.
Kek yang tadi gue bilang soal ni film yang aman banget soal ceritanya, pembawaan Brie Larson di sini juga sangat aman dan seimbang. Karismatik, kocak, dan berjiwa, tanpa satu dari ketiga elemen tadi yang terlalu menonjol dan nutup-nutupin yang lain.
Tentu aja penampilan mbak Brie bukan tanpa cela. Tapi sejujurnya, buat yang satu ini gue gak mau nyalahin Brie, tapi nyalahin penulisan dialog film ini. Yep, balik lagi ke duo sutradara-penulis skrip film, Ryan Fleck dan Anna Boden.
Soalnya menurut gue, meskipun Brie Larson udah give it all di penampilannya, gue gak bisa menyangkal kalo dialog Carol Danvers sendiri sering kurang nendang. Kurang ngena dan gara-gara kurangnya ngena tersebut, jadinya terkesan cetek dan gak inspiratif. Apalagi di bagian-bagian klimaks film ini di mana Carol Danvers mulai menunjukkan sisi heroiknya, malahan jadi terkesan b-aja gara-gara dialog dari Danvers yang, well, b-aja.
Mungkin karakter Carol Danvers dan penampilan Brie Larson butuh dipoles lagi. Harapan gue, seiring berjalannya cerita Captain Marvel dan bertumbuhnya tokoh Carol Danvers, penampilan Brie Larson makin nyaman dan klop di kalangan fans MCU, termasuk gue. Bukan penampilan yang sempurna, tapi gue gak bisa menyangkal kalo Brie Larson niat banget meranin si Carol Danvers ini.
Other than that, Larson is great as Captain Marvel.
Lanjut ke tokoh selanjutnya, sidekick Captain Marvel di film ini, Nick Fury.
Kalo di film MCU lain Nick Fury selalu jadi tokoh sampingan (bahkan jadi plot device di The Winter Soldier, poor dude), di sini dia adalah salah satu tokoh utama.
Dan my oh my, does he steal the show.
Menurut gue, Sam Jackson as Nick Fury adalah bagian terbaik dari film ini.
Dalam hal pertokohan, tentunya.
Pertama-tama, Nick Fury adalah sumber sekunder lawakan ala MCU di film ini. Tapi gak usah pake ngelucu segala, karakter Nick Fury aja udah enak banget buat ditonton.
Semua adegan yang ada seorang Nick Fury? Terasa lebih hidup dan lebih berjiwa. Dan itu aja pas lagi gak ada Carol Danvers-nya Brie Larson. Mereka berdua dalam satu adegan? Beuh, chemistry antara mereka berdua kena banget. Kalo ni film maunya ngasitau si Nick Fury dan Carol Danvers adalah teman baik, menurut gue mereka sukses di sini.
Saking bagusnya penampilan Sam Jackson di sini, gue rasa dia berjasa ngebikin Captain Marvel lebih bagus dari yang semestinya.
Seriusan, gara-gara si Nick Fury ala Jules Winnfeld di ni film, cerita yang aslinya b-aja jadi lebih seru dan lebih enak diikutin. Belom lagi dengan karakter Nick Fury yang masih lebih 'polos', kita jadi bisa ngeliat sisi lain Fury yang gak pernah keliatan di film MCU lain. Tentu saja itu semua bisa jadi bencana karena Sam Jackson harus memerankan tokoh yang sama tapi dengan penokohan yang berbeda, tapi lo mesti inget: this is Samuel Leroy Jackson we're talking about.
Tambah lagi satu faktor bahwa Sam Jackson udah berusia 70 tahun ketika film ini tayang. Bener itu, om Sam umurnya udah 70 tahun, dan ternyata dia bisa memerankan Nick Fury muda yang notabene masih lebih semangat dan bertenaga dari Nick Fury yang lebih tua. Saking bagusnya om Sam sebagai Nick Fury muda, gue lupa kalo umur dia udah 70 tahun. Bener-bener mancay.
Nick Fury, karena dia masih muda dan bertenaga, punya adegan action tersendiri di sini. Dan di sinilah, di adegan-adegan seperti inilah, gue diingatkan kembali kalo Sam Jackson udah berusia 70 tahun.
That's right, faktor usia Sam Jackson keliatan banget di adegan action yang melibatkan Fury. Tentunya dia udah rada kaku dan gerakannya gak terlalu lincah lagi, jadi kalo ngeliat dia berantem bukannya nyorakin tapi yang ada malah jadi was-was soal kondisi kesehatan Jackson setelah adegan tersebut. Rada miris. Tetep aja, dedikasi om Sam terhadap film ini patut diacungi jempol.
Setelah om Sam dan mbak Brie, ada tiga tokoh lain yang mau gue sebutin/bahas di sini. Gak panjang-panjang amat (moga aja), soalnya mereka gak memikat gue sebanyak dua tokoh yang gue sebutin di atas.
Pertama, Ben Mendelsohn sebagai Talos, salah satu pemimpin bangsa alien Kree di film.
At this point, gue rasa dia udah jadi Danny Trejo jaman now; seringnya jadi tokoh antagonis sebuah film. Gak di Rogue One, gak di Ready Player One, dan sekarang di Captain Marvel.
Meskipun itu, gue bisa bilang peran dia di film ini lebih... simpatetik. Selain itu, gak kek di dua film tadi, di sini dia sering jadi scene stealer yang mencuri perhatian di kebanyakan adegan. Belom lagi dia juga salah satu sumber lawakan di film ini, which reminds me of Ultron dari film Avengers yang kedua, si antagonis sarkastis yang hobi ngebanyol.
Kedua, Lashana Lynch sebagai MariaRambo Rambeau, partner terbang Carol Danvers di angkatan udara.
Solid performance, dan ini hal yang bagus mengingat minimnya pengalaman si aktris di layar lebar. Seriusan, dia baru main di tiga film (yang mana gue gak tau apa-apa tentang mereka), terus film keempat dia? Captain Marvel, dan peran lumayan gede pula. Not bad at all.
Satu hal negatif tentang Rambeau adalah satu dialog dia di film yang rada mengarah ke haluan feminazi, yang mana dialog tersebut bersifat gak perlu dan/atau bisa diganti ke kata-kata yang lebih pas. Agak esktrim dah gak enak didenger, menurut gue. Mirip dengan pendapat Brie Larson tentang white male di atas tadi, dah.
Terlepas dari poin negatif tadi, karakter Rambeau tegar dan karismatik, mirip dengan Danvers, dan pembawaan Lashana Lynch yang gak lebay tapi ekspresif menambah kesan no bullshit kuat yang dimiliki oleh Rambeau. It's all good, really.
gue rasa mbak Brie bukanlah bagian terburuk film ini.
Bukan bagian terbaik juga, tapi apakah dia alasan utama film ini gak sebagus film-film top MCU yang lain? Menurut gue, nop.
Pas gue (dan jutaan warganet lain) ngeliat penampilan Brie Larson di trailer buat Captain Marvel, seringkali dia gak terlihat ekspresif. Bermuka datar nan monoton. Langsung aja warganet menyuarakan keraguan mereka akan kemampuan mbak Brie memainkan tokoh Carol Danvers.
Tapi apakah dia kek gitu di filmnya?
Kagak. Kagak sama sekali.
Kebalikannya, malahan.
Dia sangat ekspresif dan karismatik.
Bahkan di momen-momen dimana dia mestinya expressionless alias komuk datar, Brie Larson masih mampu menyuntikkan nyawa dan humor ke dalam momen tersebut. Gara-gara penampilan Brie Larson di film ini, gue berpendapat kalo Captain Marvel adalah kejadian langka di mana trailer sebuah film gak sebagus film aslinya.
Belom lagi humor kering yang seringnya diucapkan oleh Danvers jadi tambah kocak gara-gara pembawaan sarkastik mbak Brie.
Kek yang tadi gue bilang soal ni film yang aman banget soal ceritanya, pembawaan Brie Larson di sini juga sangat aman dan seimbang. Karismatik, kocak, dan berjiwa, tanpa satu dari ketiga elemen tadi yang terlalu menonjol dan nutup-nutupin yang lain.
Tentu aja penampilan mbak Brie bukan tanpa cela. Tapi sejujurnya, buat yang satu ini gue gak mau nyalahin Brie, tapi nyalahin penulisan dialog film ini. Yep, balik lagi ke duo sutradara-penulis skrip film, Ryan Fleck dan Anna Boden.
Soalnya menurut gue, meskipun Brie Larson udah give it all di penampilannya, gue gak bisa menyangkal kalo dialog Carol Danvers sendiri sering kurang nendang. Kurang ngena dan gara-gara kurangnya ngena tersebut, jadinya terkesan cetek dan gak inspiratif. Apalagi di bagian-bagian klimaks film ini di mana Carol Danvers mulai menunjukkan sisi heroiknya, malahan jadi terkesan b-aja gara-gara dialog dari Danvers yang, well, b-aja.
Mungkin karakter Carol Danvers dan penampilan Brie Larson butuh dipoles lagi. Harapan gue, seiring berjalannya cerita Captain Marvel dan bertumbuhnya tokoh Carol Danvers, penampilan Brie Larson makin nyaman dan klop di kalangan fans MCU, termasuk gue. Bukan penampilan yang sempurna, tapi gue gak bisa menyangkal kalo Brie Larson niat banget meranin si Carol Danvers ini.
Other than that, Larson is great as Captain Marvel.
Lanjut ke tokoh selanjutnya, sidekick Captain Marvel di film ini, Nick Fury.
Gak mirip Jules Winnfeld, tapi okedeh. |
Dan my oh my, does he steal the show.
Menurut gue, Sam Jackson as Nick Fury adalah bagian terbaik dari film ini.
Dalam hal pertokohan, tentunya.
Pertama-tama, Nick Fury adalah sumber sekunder lawakan ala MCU di film ini. Tapi gak usah pake ngelucu segala, karakter Nick Fury aja udah enak banget buat ditonton.
Semua adegan yang ada seorang Nick Fury? Terasa lebih hidup dan lebih berjiwa. Dan itu aja pas lagi gak ada Carol Danvers-nya Brie Larson. Mereka berdua dalam satu adegan? Beuh, chemistry antara mereka berdua kena banget. Kalo ni film maunya ngasitau si Nick Fury dan Carol Danvers adalah teman baik, menurut gue mereka sukses di sini.
Saking bagusnya penampilan Sam Jackson di sini, gue rasa dia berjasa ngebikin Captain Marvel lebih bagus dari yang semestinya.
Seriusan, gara-gara si Nick Fury ala Jules Winnfeld di ni film, cerita yang aslinya b-aja jadi lebih seru dan lebih enak diikutin. Belom lagi dengan karakter Nick Fury yang masih lebih 'polos', kita jadi bisa ngeliat sisi lain Fury yang gak pernah keliatan di film MCU lain. Tentu saja itu semua bisa jadi bencana karena Sam Jackson harus memerankan tokoh yang sama tapi dengan penokohan yang berbeda, tapi lo mesti inget: this is Samuel Leroy Jackson we're talking about.
Tambah lagi satu faktor bahwa Sam Jackson udah berusia 70 tahun ketika film ini tayang. Bener itu, om Sam umurnya udah 70 tahun, dan ternyata dia bisa memerankan Nick Fury muda yang notabene masih lebih semangat dan bertenaga dari Nick Fury yang lebih tua. Saking bagusnya om Sam sebagai Nick Fury muda, gue lupa kalo umur dia udah 70 tahun. Bener-bener mancay.
Nick Fury, karena dia masih muda dan bertenaga, punya adegan action tersendiri di sini. Dan di sinilah, di adegan-adegan seperti inilah, gue diingatkan kembali kalo Sam Jackson udah berusia 70 tahun.
That's right, faktor usia Sam Jackson keliatan banget di adegan action yang melibatkan Fury. Tentunya dia udah rada kaku dan gerakannya gak terlalu lincah lagi, jadi kalo ngeliat dia berantem bukannya nyorakin tapi yang ada malah jadi was-was soal kondisi kesehatan Jackson setelah adegan tersebut. Rada miris. Tetep aja, dedikasi om Sam terhadap film ini patut diacungi jempol.
Setelah om Sam dan mbak Brie, ada tiga tokoh lain yang mau gue sebutin/bahas di sini. Gak panjang-panjang amat (moga aja), soalnya mereka gak memikat gue sebanyak dua tokoh yang gue sebutin di atas.
Pertama, Ben Mendelsohn sebagai Talos, salah satu pemimpin bangsa alien Kree di film.
At this point, gue rasa dia udah jadi Danny Trejo jaman now; seringnya jadi tokoh antagonis sebuah film. Gak di Rogue One, gak di Ready Player One, dan sekarang di Captain Marvel.
Meskipun itu, gue bisa bilang peran dia di film ini lebih... simpatetik. Selain itu, gak kek di dua film tadi, di sini dia sering jadi scene stealer yang mencuri perhatian di kebanyakan adegan. Belom lagi dia juga salah satu sumber lawakan di film ini, which reminds me of Ultron dari film Avengers yang kedua, si antagonis sarkastis yang hobi ngebanyol.
Kedua, Lashana Lynch sebagai Maria
Solid performance, dan ini hal yang bagus mengingat minimnya pengalaman si aktris di layar lebar. Seriusan, dia baru main di tiga film (yang mana gue gak tau apa-apa tentang mereka), terus film keempat dia? Captain Marvel, dan peran lumayan gede pula. Not bad at all.
Satu hal negatif tentang Rambeau adalah satu dialog dia di film yang rada mengarah ke haluan feminazi, yang mana dialog tersebut bersifat gak perlu dan/atau bisa diganti ke kata-kata yang lebih pas. Agak esktrim dah gak enak didenger, menurut gue. Mirip dengan pendapat Brie Larson tentang white male di atas tadi, dah.
Terlepas dari poin negatif tadi, karakter Rambeau tegar dan karismatik, mirip dengan Danvers, dan pembawaan Lashana Lynch yang gak lebay tapi ekspresif menambah kesan no bullshit kuat yang dimiliki oleh Rambeau. It's all good, really.
Ketiga dan terakhir, kucing-kucing bernama Reggie, Archie, Rizzo, dan Gonzo sebagai Goose.
Wait, what? Kucing?
Oh, jangan salah, Goose adalah salah satu tokoh terpenting di film ini. Seriusan.
Gak percaya?
Tonton aja sendiri filmnya.
Demi apapun, Goose is da real MVP here.
Wait, what? Kucing?
Oh, jangan salah, Goose adalah salah satu tokoh terpenting di film ini. Seriusan.
Gak percaya?
Tonton aja sendiri filmnya.
Demi apapun, Goose is da real MVP here.
I Guess They Never Miss, Huh?
Lagi-lagi ngebahas duo Fleck-Boden lagi.
Emangnya gue punya dendam kesumat macam apa sih, ke mereka?
Kagak juga, sih.
Tapi emang gak bisa dipungkiri kalo banyaknya kelebihan dan kekurangan dari Captain Marvel bukan berasal dari para aktor-aktris yang berperan dalam film tersebut, tapi dari pengarahan duo sutradara ini.
Gue udah sebut beberapa detil di atas: cerita yang solid, pembawaan cerita yang terlalu aman, dan dialog yang terkadang bagus-terkadang receh. Gara-gara mereka berdua punya andil dalam menulis skrip buat film ini, gue ngerasa bagus-jeleknya cerita dan pengarahan film patut dihubungkan ke mereka berdua.
Dan tenang aja, gak semua buah pengarahan mereka memiliki hasil negatif.
Selain cerita yang simpel, gampang diikutin, dan gak terlalu bertele-tele, ada juga perihal atmosfir tahun 1990-an yang disuguhkan oleh film ini, yang mana gue bilang mereka sukses.
Sekali lagi, elemen ini gak terlalu dipajang di trailer buat film ini, tapi rasa 90's dari film ini kental dan kuat. Mulai dari toko rental film Blockbuster, sampe mainan Pinball jaman baheula yang ukurannya segede kasur, sampe ke jukebox yang masih pake koin, sampe ke pakaian para tokoh termasuk Carol Danvers sendiri, sampe ke teknologi komputer yang belom secanggih sekarang, bahkan sampe ke cameo Stan Lee di dalam film. Yep, tenang aja, ada Stan Lee di dalam film Captain Marvel.
Sama halnya dengan Captain America: The First Avenger yang sukses mengantarkan nuansa Perang Dunia II yang kental, Captain Marvel sukses mengantarkan rasa era-nya tersendiri: tahun 1990-an.
Dan mengingat skala intergalaktik yang dimiliki film ini yang jauh melebihi skala internasional (tapi cakupannya masih dalam bumi) Captain America, kenyataan bahwa aura 1990-an masih terasa di film ini adalah sebuah pencapaian yang positif.
Oh, dan tentu saja, action.
Karena apalah sebuah film superhero tanpa action? Itu sama aja dengan sebuah film dari serial Fifty Shades tanpa adegan seks. Ato film Quentin Tarantino tanpa bahasa vulgar. Ato--lo pada ngerti lah, ya.
Nah, di sinilah gue rada bingung.
Karena menurut gue, adegan action di Captain Marvel adalah sebuah hit and miss.
Terkadang mantap dan terkadang... kagak.
Harus gue akuin, selama sepertiga pertama dan kedua film, gue ngerasa kalo action di Captain Marvel menarik. Jauh dari John Wick: Chapter 2 ato The Raid 2 (seriusan, gak ada yang nyaingin mereka berdua), tapi memenuhi standar MCU, lah.
Belom lagi katanya si Brie Larson pake acara latihan judo, gulat, dan tinju buat film ini, gimana lo gak tertarik, coba? Dan latihan intensif mbak Brie terlihat di film ini, di mana dia di setiap adegan action yang melibatkan Carol Danvers terlihat energik dan lincah. Gak segila-mampus Gal Gadot di Wonder Woman sih, tapi lo mesti tau kalo Gal Gadot dulunya adalah seorang instuktur tempur di angkatan bersenjata Israel, sedangkan Brie Larson... well, Brie Larson bukan tentara, itu yang pasti.
Selama paruh pertama film, gue ngerasa adegan action di Captain Marvel seru. Sebuah hit.
Sampe akhirnya kita sampai di klimaks film.
Rasanya, alasan gue menganggap action di paruh pertama film seryu adalah karena kesannya film baru mulai. Film-nya baru pemanasan buat adegan bombastis nan spektakuler di klimaks film. Wajar aja kalo pertarungan di bagian awal film gak terlalu 'wah', gitu.
Sampe akhirnya kita sampai di penghujung film.
Ternyata, standar adegan action di Captain Marvel gak pernah bener-bener naik. Meskipun panggung adegan lebih gede dan lebih megah, tapi kualitas adegan gak menanjak secara signifikan.
Segitu-gitu aja, gak lebih seru dari adegan di awal film.
Bandingkan dengan Avengers: Infinity War.
Salah satu adegan action pertama di New York aja udah seru dan menegangkan. Di pertempuran tersebut, 'cuman' ada empat superhero yang terlibat--Iron Man, Spider-Man, Doctor Strange, dan Wong. Mengingat GUEDE-nya skala film tersebut, pertarungan pertama ini bisa dibilang cukup kecil.
Menjelang akhir film, seiring dengan bertambah gedenya skala pertarungan, bertambah pula kualitas, intensitas, dan keseruan di film tersebut. Dari yang tadinya rada mirip dengan pertarungan antar superhero-penjahat biasa jadi sebuah PERANG. Perang besar-besaran. Dari yang tadinya melibatkan 'cuman' empat superhero jadi melibatkan gak kurang dari delapan superhero + bejibun demi bejibun pasukan pertahanan Wakanda.
Di Captain Marvel?
Entahlah, menurut gue, adegan action di klimaks film gak bisa mewakili kekuatan Captain Marvel yang luar biasa. Bisa dibilang, selama klimaks film, reaksi gue adalah "... udah, segitu aja?"
Mulai dari koreografi yang gak terlalu rapi (gak serapi awal film, anehnya) sampe ke penggunaan SFX yang rada nanggung, sampe ke inkonsistensi dari kekuatan Captain Marvel, gue rasa klimaks dari film ini kurang nendang. Terkesan lemah dan kurang greget.
Ketika satu adegan membuat gue setengah kagum dengan kekuatan si Carol Danvers... tu adegan berakhir. Ato langsung dipotong dengan adegan lain yang berbeda. Seakan-akan potensi Captain Marvel sebagai superhero yang akan menggilas Thanos gak dimanfaatkan sepenuhnya di sini. Saking main amannya pengarahan film ini, gak ada adegan yang ngagetin gue ato bikin gue berdecak kagum akan seberapa kuatnya si Captain Marvel.
Yang gue kira bakalan punya klimaks yang 'BOOM!!' malah serasa kek 'bum'.
In other words, a miss.
Argumen orang mengenai lemahnya klimaks film ini adalah "Oh, Captain Marvel kan udah terlalu kuat alias overpowered dari sononya, pastilah klimaksnya gak seberapa seru."
Ijinkan gue untuk memberi sebuah argumen balasan: One Punch Man.
Lebih tepatnya, Saitama dari One Punch Man.
Do you have ANY idea seberapa kuatnya Saitama?
Saitama bisa menghancurkan (bukan mengalahkan, menghancurkan) lawannya dengan satu pukulan. SATU. BOGEM. Kekuatannya jauh melebihi Captain Marvel sendiri, ato mungkin tokoh MCU terkuat yang manapun, baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang.
And yet, anime One Punch Man adalah salah satu anime terseru yang pernah gue tonton.
Saitama gak bisa dikalahkan, gak ada satupun dari lawannya yang bisa menyentuh bahkan BERHARAP bisa menyentuh dia, tapi klimaks dari season 1 anime-nya seru bukan main. Seru, padahal lawan Saitama di klimaks tersebut gak ada apa-apanya dibanding dia.
Gimana bisa?
Dari segi teknis, eksekusi adegan klimaks One Punch Man mantap luar biasa: animasi, lighting, musik latar, sampe ke penampilan para voice actors sukses menjual adegan klimaks tersebut. Ditambah lagi dengan panggung yang megah, stakes alias resiko yang tinggi, dan SFX yang gendeng, pertarungan klimaks One Punch Man bener-bener menakjubkan, meskipun Saitama sendiri adalah tokoh yang overpowered alias terlalu kuat.
Secara keseluruhan, One Punch Man berhasil menjual ke-terlalu-kuat-an dari protagonisnya, sedangkan Captain Marvel... gak terlalu.
Ketika One Punch Man sukses membuat gue kaget dan kagum dengan kekuatan yang dimiliki Saitama, Captain Marvel dengan main-aman-nya hanya sebatas mendorong kekuatan Carol Danvers sedikit di atas kekuatan yang sudah dia miliki sebelomnya, yang udah pernah kita liat sepanjang jalannya film.
Belom lagi dengan masalah teknis yang gue bilang di atas, kek sinematografi dan SFX. Masalah-masalah teknis yang gak ada, ato seenggaknya gak terlihat, di eksekusi klimaks One Punch Man. Tentu aja mereka beda genre dan media, tapi tetep aja ada kemungkinan eksekusi di One Punch Man punya masalah teknis, kan? Bisa aja animasi kurang halus, ato pemilihan warna yang kurang nge-jreng, ato adegan-nya sendiri bisa terlihat kurang nendang.
Bottom line, ke-overpowered-an dari Captain Marvel bukanlah masalah utama dari lemahnya klimaks film tersebut, tapi dari berbagai masalah teknis yang dialami adegan action klimaks itu sendiri.
Kek yang tadi gue bilang.
Ketika ngeliat Saitama beraksi, gue hampir teriak, "Wow!"
Ketika ngeliat Carol Danvers beraksi, gue malah mikir,
"... udah, segitu aja?"
Until the next post, bois! :D
Lagi-lagi ngebahas duo Fleck-Boden lagi.
Emangnya gue punya dendam kesumat macam apa sih, ke mereka?
Kagak juga, sih.
Tapi emang gak bisa dipungkiri kalo banyaknya kelebihan dan kekurangan dari Captain Marvel bukan berasal dari para aktor-aktris yang berperan dalam film tersebut, tapi dari pengarahan duo sutradara ini.
Gue udah sebut beberapa detil di atas: cerita yang solid, pembawaan cerita yang terlalu aman, dan dialog yang terkadang bagus-terkadang receh. Gara-gara mereka berdua punya andil dalam menulis skrip buat film ini, gue ngerasa bagus-jeleknya cerita dan pengarahan film patut dihubungkan ke mereka berdua.
Dan tenang aja, gak semua buah pengarahan mereka memiliki hasil negatif.
Selain cerita yang simpel, gampang diikutin, dan gak terlalu bertele-tele, ada juga perihal atmosfir tahun 1990-an yang disuguhkan oleh film ini, yang mana gue bilang mereka sukses.
Sekali lagi, elemen ini gak terlalu dipajang di trailer buat film ini, tapi rasa 90's dari film ini kental dan kuat. Mulai dari toko rental film Blockbuster, sampe mainan Pinball jaman baheula yang ukurannya segede kasur, sampe ke jukebox yang masih pake koin, sampe ke pakaian para tokoh termasuk Carol Danvers sendiri, sampe ke teknologi komputer yang belom secanggih sekarang, bahkan sampe ke cameo Stan Lee di dalam film. Yep, tenang aja, ada Stan Lee di dalam film Captain Marvel.
Sama halnya dengan Captain America: The First Avenger yang sukses mengantarkan nuansa Perang Dunia II yang kental, Captain Marvel sukses mengantarkan rasa era-nya tersendiri: tahun 1990-an.
Dan mengingat skala intergalaktik yang dimiliki film ini yang jauh melebihi skala internasional (tapi cakupannya masih dalam bumi) Captain America, kenyataan bahwa aura 1990-an masih terasa di film ini adalah sebuah pencapaian yang positif.
Oh, dan tentu saja, action.
Karena apalah sebuah film superhero tanpa action? Itu sama aja dengan sebuah film dari serial Fifty Shades tanpa adegan seks. Ato film Quentin Tarantino tanpa bahasa vulgar. Ato--lo pada ngerti lah, ya.
Nah, di sinilah gue rada bingung.
Karena menurut gue, adegan action di Captain Marvel adalah sebuah hit and miss.
Terkadang mantap dan terkadang... kagak.
Harus gue akuin, selama sepertiga pertama dan kedua film, gue ngerasa kalo action di Captain Marvel menarik. Jauh dari John Wick: Chapter 2 ato The Raid 2 (seriusan, gak ada yang nyaingin mereka berdua), tapi memenuhi standar MCU, lah.
Belom lagi katanya si Brie Larson pake acara latihan judo, gulat, dan tinju buat film ini, gimana lo gak tertarik, coba? Dan latihan intensif mbak Brie terlihat di film ini, di mana dia di setiap adegan action yang melibatkan Carol Danvers terlihat energik dan lincah. Gak segila-mampus Gal Gadot di Wonder Woman sih, tapi lo mesti tau kalo Gal Gadot dulunya adalah seorang instuktur tempur di angkatan bersenjata Israel, sedangkan Brie Larson... well, Brie Larson bukan tentara, itu yang pasti.
Selama paruh pertama film, gue ngerasa adegan action di Captain Marvel seru. Sebuah hit.
Sampe akhirnya kita sampai di klimaks film.
Rasanya, alasan gue menganggap action di paruh pertama film seryu adalah karena kesannya film baru mulai. Film-nya baru pemanasan buat adegan bombastis nan spektakuler di klimaks film. Wajar aja kalo pertarungan di bagian awal film gak terlalu 'wah', gitu.
Sampe akhirnya kita sampai di penghujung film.
Ternyata, standar adegan action di Captain Marvel gak pernah bener-bener naik. Meskipun panggung adegan lebih gede dan lebih megah, tapi kualitas adegan gak menanjak secara signifikan.
Segitu-gitu aja, gak lebih seru dari adegan di awal film.
Bandingkan dengan Avengers: Infinity War.
Salah satu adegan action pertama di New York aja udah seru dan menegangkan. Di pertempuran tersebut, 'cuman' ada empat superhero yang terlibat--Iron Man, Spider-Man, Doctor Strange, dan Wong. Mengingat GUEDE-nya skala film tersebut, pertarungan pertama ini bisa dibilang cukup kecil.
Battle of Wakanda. |
Di Captain Marvel?
Entahlah, menurut gue, adegan action di klimaks film gak bisa mewakili kekuatan Captain Marvel yang luar biasa. Bisa dibilang, selama klimaks film, reaksi gue adalah "... udah, segitu aja?"
Mulai dari koreografi yang gak terlalu rapi (gak serapi awal film, anehnya) sampe ke penggunaan SFX yang rada nanggung, sampe ke inkonsistensi dari kekuatan Captain Marvel, gue rasa klimaks dari film ini kurang nendang. Terkesan lemah dan kurang greget.
Ketika satu adegan membuat gue setengah kagum dengan kekuatan si Carol Danvers... tu adegan berakhir. Ato langsung dipotong dengan adegan lain yang berbeda. Seakan-akan potensi Captain Marvel sebagai superhero yang akan menggilas Thanos gak dimanfaatkan sepenuhnya di sini. Saking main amannya pengarahan film ini, gak ada adegan yang ngagetin gue ato bikin gue berdecak kagum akan seberapa kuatnya si Captain Marvel.
Yang gue kira bakalan punya klimaks yang 'BOOM!!' malah serasa kek 'bum'.
In other words, a miss.
Argumen orang mengenai lemahnya klimaks film ini adalah "Oh, Captain Marvel kan udah terlalu kuat alias overpowered dari sononya, pastilah klimaksnya gak seberapa seru."
Ijinkan gue untuk memberi sebuah argumen balasan: One Punch Man.
Lebih tepatnya, Saitama dari One Punch Man.
Do you have ANY idea seberapa kuatnya Saitama?
Saitama bisa menghancurkan (bukan mengalahkan, menghancurkan) lawannya dengan satu pukulan. SATU. BOGEM. Kekuatannya jauh melebihi Captain Marvel sendiri, ato mungkin tokoh MCU terkuat yang manapun, baik dulu, sekarang, maupun yang akan datang.
And yet, anime One Punch Man adalah salah satu anime terseru yang pernah gue tonton.
Saitama gak bisa dikalahkan, gak ada satupun dari lawannya yang bisa menyentuh bahkan BERHARAP bisa menyentuh dia, tapi klimaks dari season 1 anime-nya seru bukan main. Seru, padahal lawan Saitama di klimaks tersebut gak ada apa-apanya dibanding dia.
Gimana bisa?
Seperti yang kita bisa liat di sini, Saitama ditendang sampe terpental ke bulan. |
Dari segi teknis, eksekusi adegan klimaks One Punch Man mantap luar biasa: animasi, lighting, musik latar, sampe ke penampilan para voice actors sukses menjual adegan klimaks tersebut. Ditambah lagi dengan panggung yang megah, stakes alias resiko yang tinggi, dan SFX yang gendeng, pertarungan klimaks One Punch Man bener-bener menakjubkan, meskipun Saitama sendiri adalah tokoh yang overpowered alias terlalu kuat.
Secara keseluruhan, One Punch Man berhasil menjual ke-terlalu-kuat-an dari protagonisnya, sedangkan Captain Marvel... gak terlalu.
Ketika One Punch Man sukses membuat gue kaget dan kagum dengan kekuatan yang dimiliki Saitama, Captain Marvel dengan main-aman-nya hanya sebatas mendorong kekuatan Carol Danvers sedikit di atas kekuatan yang sudah dia miliki sebelomnya, yang udah pernah kita liat sepanjang jalannya film.
Belom lagi dengan masalah teknis yang gue bilang di atas, kek sinematografi dan SFX. Masalah-masalah teknis yang gak ada, ato seenggaknya gak terlihat, di eksekusi klimaks One Punch Man. Tentu aja mereka beda genre dan media, tapi tetep aja ada kemungkinan eksekusi di One Punch Man punya masalah teknis, kan? Bisa aja animasi kurang halus, ato pemilihan warna yang kurang nge-jreng, ato adegan-nya sendiri bisa terlihat kurang nendang.
Bottom line, ke-overpowered-an dari Captain Marvel bukanlah masalah utama dari lemahnya klimaks film tersebut, tapi dari berbagai masalah teknis yang dialami adegan action klimaks itu sendiri.
Kek yang tadi gue bilang.
Ketika ngeliat Saitama beraksi, gue hampir teriak, "Wow!"
Ketika ngeliat Carol Danvers beraksi, gue malah mikir,
"... udah, segitu aja?"
***
(+) - Penokohan yang asik dibarengi dengan penampilan yang solid
- Cerita yang simpel dan gak bertele-tele
- Sukses menangkap nuansa 90's dari latar cerita
(-) - Cerita yang TERLALU aman sehingga gak ada momen spesial seperti yang dimiliki oleh film 'saingan'-nya, Wonder Woman
- Pengarahan yang relatif lemah jika dibandingkan dengan film MCU yang lain
- Adegan klimaks film yang kurang nendang
VERDICT:
[ 77/100 ]
Conclusion:
Sebuah film origin story yang solid dari deretan film MCU, meskipun terbebani oleh pengarahan yang kurang optimal. Masih di bawah film origin story jempolan macam Iron Man dan Captain America, tapi masih di atas film origin story MCU yang lebih ngebosenin kek Thor dan The Incredible Hulk.
Recommended or nah?
Sabi sih buat ditonton kalo mau tau tentang kaum alien Skrull ato si Captain Marvel sendiri, tapi di-skip juga gak papa. Toh ujung-ujungnya kita juga bakal ngeliat tokoh Captain Marvel di Avengers: Endgame.
Until the next post, bois! :D
No comments:
Post a Comment