Friday, February 27, 2015

THIS IS NOT A REVIEW: The Raid 2

Starring: - Iko Uwais (Merantau) as Rama
             - Arifin Putra (Rumah Dara, Hati Merdeka) as Uco
             - Tio Pakusadewo (Habibie dan Ainun, Java Heat) as Bangun
             - Alex Abbad (Merantau (lagi), 99 Cahaya di Langit Eropa) as Bejo
             - Yayan "Mad Dog" Ruhian (Merantau (kebetulan tolol macam apa ini?)) as Prakoso
Lama: 150 menit
Budget: US$ 4,5 juta
Box Office: US$ 6,5 juta
Genre: Martial Arts Action Crime Thriller 

Setelah hampir 17 tahun berleha-leha (baca: hidup) di Indonesia, gue sampai kepada sebuah kesimpulan. Tentang dunia layar lebar Indonesia. Bahwa dua genre film yang paling marketable terhadap masyarakat penonton Indonesia adalah dua: Percintaan dan Hantu. Kadang dua-duanya digabung menjadi sebuah fusion yang lebih serem dari genre Horror itu sendiri. Yep. Hantu Bercinta. Gue baru aja bertarung dengan hasrat tubuh gue untuk langsung muntah ke layar laptop gue setelah menulis kata tersebut. Sampai akhirnya pada tahun kiamat 2012, gue menemukan genre baru yang membawa angin sejuk terhadap perfilman Indonesia: Action. Dalam bentuk The Raid: Redemption. Film action yang gak tanggung-tanggung dalam setiap adegan actionnya! Dar! Der! Dor! Jdug! Croot! Emang bener-bener sadis sih, tapi gue udah terbiasa sama adegan sadis saat masih bertualang dengan game-game gue. Lagian, jarang-jarang, toh, ada film Indonesia yang bisa menghasilkan salah satu meme paling terkenal di 1Cak? Yah, klo gak ngerti silakan ke www.1cak.co.id . Intinya, The Raid: Redemption merupakan salah satu film action terbaik yang pernah gue tonton selama gue idup. 
Dan gue tetep antusias, malahan rada kayak kesambit, waktu gue denger sekuel film greget ini diumumkan. Dengan judul The Raid 2:  Berandal. Mungkin The Raid 3 punya subtitle Gelandangan (ini lagi-lagi gue dapet dari 1cak), tapi gak tau ya. Gue bener-bener seneng dan langsung kepincut bahkan ketika baru liat trailer-nya doang. Pas waktu BARU dirilis di Indonesia, deket-deket ulang tahun gue, gue langsung nonton. Kata adek gue sih, sadis-sadis sampe orang bule yang nonton muntah di bioskop gitu. 
Apakah gue tetep muntah, seperti gue muntah ketika melihat perfilman Indonesia yang yah begitulah, atau apakah gue puas sama seperti gue puas sama The Raid: Redemption?

Now with a STORY!
Mereka bilang The Raid yang pertama memiliki sebuah kelemahan mayor, yaitu cerita yang mendingan-gak-usah-ada-sekalian. Gue bilang, cerita di The Raid memang menjadi latar belakang action yang ultra gila dari film tersebut, dibandingkan action yang waras menjadi latar belakang dari cerita yang semi-waras dari film-film action biasanya. Intinya, fokus dari The Raid bukanlah cerita, melainkan action. Tapi nampaknya sutradara Gareth Evans (kapan nih, kita bisa punya The Raid sutradara asal dalam  negeri?) mendengarkan orang-orang yang bercuap ini, sehingga di The Raid 2 kita punya cerita yang lebih dalam. 
Cerita bermulai beberapa jam setelah peristiwa pembacokan, penembakan, dan penggorokan di The Raid berakhir. Rama disarankan oleh Andi untuk menemui seorang petugas polisi bernama Bunawar, dan memberikan bukti bahwa Tama, antagonis The Raid, sedang menyuap pihak kepolisian. Bunawar setelah menerima bukti langsung mengajak Rama menjadi anggota tim rahasia kepolisian yang bertugas menyelidiki korupsi dalam kepolisian. Bunawar sendiri menjadi kepalanya. Rama awalnya menolak, tetapi setelah mengetahui Andi dibunuh (maap banget spoilernya, tapi ini spoiler udah ada di beberapa menit pertama film, jadi begitulah) karena membantunya, ia akirnya setuju, dengan alasan Bunawar memperingatkan Rama sang pelaku bakal mengincar Rama dan keluarganya. 
Dan masuklah Rama ke dunia kejahatan yang lebih greget dari Mad Dog. Sebagai petugas yang menyamar, Rama ditanam dalam organisasi Bangun, salah satu organisasi kejahatan tergege di Jakarta. Caranya? Mendekati Uco, anak Bangun. Dengan ini, ia bisa mendapatkan kepercayaan Bangun, dan diterima dalam organisasinya, sambil melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyogokan Bangun terhadap kepolisian. 
Dalem, kan? The Raid memiliki cerita yang cenderung eksplosif dan blak-blakkan, sedangkan The Raid 2 condong ke arah sembunyi-sembunyi dan subversif. Tapi jangan kira gak ada  bunuh-bunuhannya, ya...

The Return of the Mad Dog
Bahasa Indonesianya: Kembalinya si Asu Edan. Ooh, maap, itu bukan bahasa Indonesia beneran, sih. Apa yang gue bahas disini? Kita semua yang udah nonton The Raid yang pertama pasti inget tokoh Mad Dog yang diperankan oleh Yayan Ruhian. Mad Dog, seperti namanya, adalah serba anjing gila. Berantem ya kaya anjing gila, ngomong ya kaya anjing gila (meskipun gak sepenuhnya gila), dan aktingnya ya lebih gila lagi. Hanya Mad Dog yang mampu menyaingi tokoh utama Rama dalam bertarung, bahkan kalo bukan karena lampu neon nyasar mungkin Rama udah dipotekin lehernya sama ni orang (nonton dulu!)
Kenapa orang kaget akan keberadaan Mad Dog di The Raid 2?
Dia udah mati.
Emang bener, lampu neon nyasar memang telah menyelamatkan Rama-- dan mengakhiri hidup Mad Dog yang gue gak peduli sebenernya lahir dari dewa tarung macam apa. Intinya, Mad Dog tewas, jadi gak mungkin dia ada di The Raid 2, kan?
Siapa yang bilang itu si Mad Dog yang diperanin Yayan Ruhian di The Raid 2?
Yayan Ruhian memerankan Prakoso, ahli bunuh yang bekerja di bawah komando Bangun. Yang gue suka dari Prakoso adalah  betapa berbedanya dia dengan Mad Dog yang ada di The Raid. Mad Dog, seperti yang lu tau, saking gregetnya dia sampe dia punya meme sendiri. Prakoso, mungkin kalo berantem memang seganas Mad Dog. Tapi, karakterisasinya, seriusan, bener-bener beda. Mad Dog mungkin kalo dia dibolehin sama sutradaranya abis bunuh orang pasti dicabik-cabik trus dihidangkan dengan saus lemon trus dimakan sama dia. Intinya, sadis bener.
Prakoso, di sisi lain, kalem. Aneh kenapa dia bisa sekalem itu, padahal diperankan oleh orang yang sama dalam serial film yang sama. Prakoso terlihat lebih cool dan terkesan tenang dalam setiap adegan yang melibatkan dirinya. Terutama adegan dia ngomong-ngomong sama istrinya (edan, cantik banget! Emang bener istrinya ya?) dan juga adegan dia ngomong sama Uco. Nada bicara dia jarang banget naik, tapi dalam akting Yayan Ruhian terdapat juga Prakoso sebagai pembunuh bayaran yang, err, baik. Ya, emang Prakoso tidak berperan dalam sisi antagonis cerita, tapi baik dalam arti disini adalah baik yang gak mungkin lu lihat dalam seorang pembunuh profesional. Lemah lembut, lah. Akting Yayan Ruhian dengan baik memberikan kesan bahwa si Prakoso itu sebenarnya juga punya sisi halus juga.
Salut gue sama si Mad Dog ini, pekerjaannya bukan aktor tapi dia bisa ngebuat karakterisasi seorang tukang bunuh-bunuhan punya sisi yang tidak terlalu suka bunuh-bunuhan. Mantabh.

Nothing but the Kills
Dan ini adalah fitur yang paling gue suka dari film ini! Betapa semua unsur yang terdapat dalam The Raid di-upgrade! Unsur yang orang suka, seperti koreografi joget adu gebuk yang lebih indah dan lebih rapi, darah yang mencrat-mencrot dan terlihat seperti darah betulan, dan tipe adegan action yang lebih penuh variasi! Mengenai darah betulan, gue pernah bahas masalah darah yang kayak Fanta abis dikocok (The Man with the Iron Fists), atau yang belum pernah gue bahas, darah kayak saus tomat (The Raid: Redemption). Sekarang efek darah, ya kayak darah gitu. Encer dan bener-bener merah, dan keluar seperlunya dan serealistis mungkin.
Unsur yang orang kurang suka, seperti cerita yang terlalu transparan, semacam bersih bening kayak gak ada cerita (yep, nyolong dari Cling). Soal cerita, gue bahas di atas.
Yang gue perhatiin dari blockbuster Indonesia ini adalah fokus yang bener-bener sama yang namanya cerita, dan apa yang terjadi dalam cerita tersebut. Mikir aja sih, kalo misalnya semua unsur diperhatiin, penonton bingung entar. Latar kebanyakan, tokoh kebanyakan, konflik kebanyakan, orang bakal bingung sebenernya ini nonton The Raid ato film konspirasi macam The Departed. Jadi, detail-detail yang tidak terlalu penting ditinggalkan dalam film ini. Latar kota tempat semua kejadian The Raid 2 tidak dikasitau. Meskipun semua orang tau jelas ini adalah Jakarta. Bagaimanapun pada menit ke 81 akan dipertanyakan dengan sungguh-sungguh sebenarnya settingnya di mana.
Intinya, sepertinya Pak Sut Gareth Evans menebalkan, menggarisbawahi, memiringkan, dan mengcapslock action di sini. Gak. Banyak. Bacot. Gue suka.

(+) - Action yang lebih kreatif dan lebih rapi (meskipun lebih banyak darah).
     - Yayan Ruhian yang minim pengalaman akting membawakan Prakoso dengan baik.
     - Cerita yang lebih nyambung dan lebih solid.
(-) - MENIT. DELAPAN. PULUH. SATU.
    - Lagi-lagi ending nggantung.

NILAI: 93/100

Conclusion: Peningkatan di kurang lebih semua unsur terdapat dalam sekuel The Raid ini. Jarang gue temuin sekuel yang lebih bagus dan asik dibandingin film pertamanya, dan bagusnya, ini adalah salah satu dari sekuel-sekuel itu. Ending yang ngegantung bikin dongkol, emang, tapi itu adalah pemicu gue untuk mantengin The Raid 3, kapanpun ia akan datang.

Until the next post, bungs! :D


No comments:

Post a Comment

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...