Tuesday, January 31, 2017

THIS IS A REVIEW: Hangout


Starring:

- Raditya Dika 
- Soleh Solihun
- Prilly Latuconsina 
- Gading Marten
- Surya Saputra 
- Bayu Skak
- Titi Kamal
- Dinda Kanyadewi
- Mathias Muchus 

Budget:
Box Office Jumlah Penonton: 2,6 juta orang (per 31 Januari 2017)
Runtime: 1 jam 41 menit   
Rotten Tomatoes:   
US Indo Release: 22 Desember 2016 

Bang Radit rajin ye, akhir-akhir ini. 

And by "akhir-akhir ini", maksud gue adalah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dari 2013 sampe 2016. 

I mean, seriously, dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, gak kurang dari 7 film udah dirilis dengan tagline "sebuah film karya Raditya Dika". Saking banyaknya film Bang Radit yang beredar, bisa jadi 1 dari 5 film Indonesia yang rilis pada suatu tahun adalah film karya Raditya Dika. 

Don't mind anekdot yang gue sebutin di atas, itu ngasal. 

Anyways, gue tetep gak bisa nyangkal kalo Bang Radit adalah seorang filmmaker yang produktif tingkat parah. Mungkin aja gara-gara dia punya source material yang dia bisa adaptasi kapan aja tanpa dipusingin sama copyright, yaitu novel-novel dia. Terbukti dari 7 film tersebut, 4 di antaranya adalah adaptasi dari novel dia. Tetep aja, kalo itu diilangin, 3 film dalam kurun waktu 3 tahun adalah no small feat.  

Interestingly, Hangout adalah film pertama Bang Radit yang tidak terikat pada sebuah tema sentral yang sangat kuat di film-film Bang Radit sebelumnya: cinta. 

Kata gue sih, good for him

Tengok aja Single, film non-adaptasi terakhir Bang Radit yang bertemakan cinta. Meskipun dari segi teknis sabi (soundtrack, cast, sinematografi, dan teman-temannya), dari segi story... not so much. Sori nih bang, but I gotta be honest. Mungkin salah satu kelemahan Single (menurut gue) adalah identity crisis yang menghantui satu film tersebut, di mana film itu sering kebingungan antara mau jadi film drama atau film komedi. Belom lagi drama is not exactly Bang Radit's strongest suit.  

So, kata gue, ini adalah salah satu attempt bang Radit buat balik ke genre yang telah membesarkan dia, komedi. Gak pake percintaan, perjombloan, dan kaum-kaumnya. 

Jalan gak? 

This is the End... or is It? 

Let's see here...

Sebuah film komedi buatan seorang comedian (stand-up comedian, lebih tepatnya) bercerita tentang para selebriti memerankan diri mereka sendiri, terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam nyawa mereka, yang mana mereka bertingkah kalang kabut tingkat tulen? 

Sounds familiar

Oke, mungkin gak kalang kabut tingkat tulen banget sih, tapi lumayan panik juga. 

Anyways, mirip sama film apa ya... 

Oh ya, 

This is the End. 

FYI, film tahun 2013 ini dibintangi oleh Seth Rogen, Jay Baruchel, dan James Franco, among others. Film ini mengisahkan para selebriti yang terjebak di rumah James Franco ketika hari dimana banyak orang naik ke surga (baca: kiamat), dan usaha mereka buat bertahan hidup dalam kurun waktu tersebut. 

Kesamaan dengan Hangout-nya Bang Radit? Baru aja gue sebutin di atas. 

Bahkan, bisa dibilang, Hangout adalah This is the End versi lokal. 

Is that a bad thing

Not really, actually

Cerita dimulai dari Radit yang diundang ke villa pribadi misterius di sebuah pulau misterius oleh seorang yang misterius pula. Diiming-imingi hadiah 50 juta Rupiah, Radit yang sedang nunggak sana-sini (sebuah skenario yang agak, ehm, impossible, mengingat betapa lakunya film-film dia) pun menyanggupi. Gak lama kemudian, kita pun dikenalkan oleh 8 orang lain yang diundang ke pulau tersebut: Soleh Solihun, Gading-- ah sudahlah, kan udah gue sebutin semua di atas. 

Sounds like fun, right

Nongkrong bareng para selebriti lain yang notabene temen lo di sebuah pulau sepi, tenang, dan santai tanpa gangguan dari para paparazzi rese' dan kaum haters yang lebih rese' lagi?

Sayangnya, wrong

Bagi yang udah nonton trailer film ini, pastinya udah tau apa yang salah SEBELUM lo pada nonton film ini. 

Malam pertama, para seleb sedang makan bareng di villa punyanya si tersebut, cengangas-cengenges ria, ketika tiba-tiba 

Mathias Muchus mengeluarkan busa dari mulutnya. 

Nope, dia gak kemakan sabun busa tiup, tapi dia diracun. 

Ya manusia macam apa sih yang gak panik ketika ngeliat orang di depannya mati? Lebih lagi, kalo tu orang mati kek sinetron yang beredaran di TV lokal. Lebih lebih lagi, kalo lo kenal baik, bahkan temenan sama tu orang. Lebih lebih lebih lagi, kalo tu orang Mathias Muchus. 

Walhasil, para seleb terus menjalankan "liburan" mereka di pulau tersebut, karena secara teknis mereka terjebak di pulau tersebut tanpa perahu, pesawat, helikopter, atau bahkan kayak buat bawa mereka balik ke kota. 

But, plot twist

Nampaknya bukan cuman Mathias Muchus yang jadi sasaran si pembunuh berantai seleb ini, soalmya para seleb pun mulai tewas satu per satu! 

Kurang lebih itulah premis dari film ini, yang sebenernya gak wajib dibaca kalo lo pada udah mantengin trailer-nya. Hell, trailer film ini mungkin udah ngasih jauh lebih banyak informasi daripada gue berusaha ngejelasin di blog gue sebanyak gak kurang dari 27 baris.  

So, mulai dari mana, ya? 

Sayang banget film gak terlalu memberikan banyak backstory tentang para seleb sebelum mereka ketemuan di dermaga tempat berlabuhnya perahu menuju pulau tersebut. Selain Radit, palingan tokoh yang paling dikasih sedikit unsur kedalaman adalah Soleh Solihun, kolega stand-up comedy Radit yang udah menemaninya di beberapa filmnya. Otherwise, kita gak tau apa-apa tentang seleb yang lain. 

Speaking of Soleh Solihun... 

Lucunya, ada sub-plot di sini. 

Melibatkan, you guessed it, Soleh Solihun. 

I honestly didn't see that coming, mengingat gue awalnya ngira ini film murni tentang petaka yang menimpa para seleb di sebuah pulau terpencil tanpa ada kongkalikong yang terjadi sebelum peristiwa yang menimpa para seleb di film ini. Yang mana bakal gue bahas entar. 

Which, come to think about it

itulah masalah yang sesungguhnya. 

Gue sebenernya agak ngerti sih, kenapa ada that chemistry between Soleh dan Radit sejak awal film. Biar ada semacam pengembangan karakter. Character development. Lagian, mengingat dua orang ini adalah dua dari tiga seleb dengan latar belakang komedi di film ini, kalo gue jadi Bang Radit, pasti gue nyari resep buat bikin semacam chemistry kocak antara dua orang ini. Semacam alasan yang bikin dua seleb ini punya chemistry antar comic yang tentunya bisa bikin film lebih hidup di antara banyaknya seleb FTV, sinetron, dan film yang pastinya gak bisa lucu-lucuan terus.

Jelas aja, kita gak ngebahas tujuan kan, disini. 

Kita ngebahas proses. Eksekusi. 

Sayangnya, menurut gue, chemistry yang ada antara dua comic ini agak maksa. Atau emang maksa. Maap bang, I gotta be honest. With myself, at least. 

Ini sub-plot lebih terintegrasi ke dalam cerita, lebih nyambung sama cerita dan character development yang terdapat dalam film ini dibandingan dengan film sebelumnya, jadinya gak keliatan terlalu ngejreng atau bikin para penonton agak ilfil dengan jalannya cerita. In fact, sebenernya sub-plot ini nambah kedalaman ke kedua tokoh Soleh dan Radit. 

Yang gue permasalahkan adalah keberadaan sub-plot tersebut sebagai pembenaran terhadap chemistry antara Soleh dan Radit. 

Maksud gue yang lain, 

gak pake sub-plot emangnya gak bisa? 

Daripada repot-repot masuk-masukin sub-plot ini ke dalam cerita, kata gue sih mendingan taro dua sifat yang berlawanan ke dua orang ini dari awal cerita. Radit yang sarkastis dan Soleh yang frontal, misalnya. Itu kalo mau si dua orang ini musuhan sampe akhirnya jadi baikan. Atau, bikin dua orang ini sahabatan, terus berantem, terus temenan lagi. Oke, jangan pake ide terakhir, udah dipake duluan sama This is the End. 

It's not that it's bad

It's just that there's better ways to do it

Selebihnya, gue gak masalah dengan cara Bang Radit membawakan kisah survival kesembilan seleb di pulau terpencil tersebut. Mungkin orang bilang terkesan berantakan, atau mungkin agak kurang terstruktur, atau mungkin orang bilang pesaingnya, Cek Toko Sebelah buatan Ernest Prakasa lebih bagus dari segi cerita. 

Gue gak masalah sama begituan. 

Mau sering loncat-loncat pun, cerita Hangout masih cukup solid buat dinalar sama akal sehat. Mungkin ada plot hole di beberapa tempat, tapi toh mengingat ini sebuah film komedi, not everything has to make sense. Mantepnya lagi, terkadang para tokoh pun bisa jadi self-aware dan bahkan "menertawakan" ketidaknyambungan yang ada di dalam cerita. 

Anyways, film ini udah separo jalan, dan para seleb pun mendapatkan kecurigaan baru. 

Pembunuh seleb ini adalah salah satu dari kesembilan seleb itu! 

Again, udah dikasitau di trailer-nya. 

Anyways

BOOM. 

Plot twist. 

Ngomongin soal plot twist, gue gak bisa ngomongin per-plot-twist-an Hangout tanpa ngomongin tentang sebuah plot twist tertentu. That one plot twist

Yang mana, lo tanya? 

Why, plot twist yang ngasitau siapa pembunuh para seleb, dong.

It's not a bad plot twist, actually

Sayangnya, gue udah tau pelakunya dari awal. 

Oke, gak awal banget, tapi gue udah punya kecurigaan dari awal-awal film, dan kecurigaan itu langsung berubah jadi ke-fix-an berkat sebuah adegan ketika para seleb baru nyampe di pulau terpencil tersebut. 

Gue mesti bilang, film ini juga udah menunjukkan usaha yang bagus buat ngalihin kecurigaan terhadap satu orang ini dengan berbagai adegan plot twist lainnya-- versi simpelnya, plot twist yang pelan-pelan membangun sebuah plot twist gede, yaitu that one plot twist

Plot twist-nya juga gak geblek-geblek amat dengan banyaknya build-up dan sedikit hint di sana-sini bagi penonton yang terlalu niat buat nyari tau siapa si pembunuh seleb ini (baca: gue). I gotta give it credit, meskipun gak ngagetin gue. 

But... 

Masih inget dengan gue bilang di atas-atas kalo drama bukan genre yang dikuasain sama Bang Radit? 

Plot twist ini melibatkan unsur tersebut. 

Untung aja drama bener-bener ngejreng cuman buat bagian plot twist ini doang, but still

Udah gitu, keliatannya backstory benuansa melo buat plot twist ini juga terkesan terburu-buru, tanpa adanya penjelasan selama satu film kecuali pas plot twist-nya muncul doang. Sure, plot twist tersebut punya build up yang bagus, tapi secara tiba-tiba banyak banget backstory muncul dalam satu adegan plot twist tersebut. Dinarasi, pula. 

Seperti yang gue bilang di atas, ini adalah satu dari sedikit unsur dramatis di film ini, dan sayangnya, gak kena. Gue, seenggaknya. 

Them Stranded Ones 


Siapa aja sih, yang terdampar di pulau ini? 

Scroll ke atas aja, gak sesusah itu, kok.

Mirip juga dengan This is the End, para seleb yang diperankan oleh diri mereka sendiri juga punya sifat. 

Mirip itu gak sama, kan? 

Tru dat, soalnya penokohan di sini lebih, ehm, "gila" dibandingkan dengan penokohan This is the End yang lebih realistis. Bisa dibilang, semua tokoh di Hangout punya sebuah sifat yang mencolok mata yang bikin mereka sangat mudah diinget oleh para penonton. Beda lagi dengan film satunya yang lebih ngandelin chemistry antar tokoh dibandingkan dengan individual charm setiap tokoh yang terdapat di Hangout. 

Contoh paling gampang adalah Dinda Kanyadewi dan Bayu Skak. 

DInda Kanyadewi--sebagai Dinda tentunya--aktris sinetron 7 musim (seriusan, liat wiki-nya) punya sebuah sifat yang udah kentara dari 3 detik pertama penonton dikenalin sama dia: jorok. Nope, bukan mulut dia yang jorok gara-gara hobi ngelempar sumpah serapah, atau sifat dia yang "jorok" gara-gara licik kek di sinetron-nya (nebak aja nih, tapi kan antagonis sinetron biasanya gitu) tapi literally jorok. 

Padahal, tampang dia jauh dari jorok, kan? 

Tentu aja ini for the sake of the movie, karena kejorokan dia ini yang memberikan warna komedi tersendiri buat film ini. Itu, dan sedikit shock entertainment juga, setiap kali kejorokannya dia tunjukin dengan bangganya. 

Bayu--yang nama belakangnya gue gak tau sampe adek gue kasitau--Skak adalah newcomer ke film ini. Bisa dibilang, ini mungkin film layar lebar pertama dia. 

Ralat, dia udah pernah main di Marmut Merah Jambu, which kinda explained kenapa si Bayu yang relatif belom terkenal ini bisa ikut main di Hangout yang bertebaran bintang kawakan. 

Anyways, mau gimanapun juga, Bayu masih terbilang noob dibandingin sama seleb lainnya. Di bidang film layar lebar, at least. Mungkin gara-gara dia adalah seleb di platform yang berbeda, yaitu YouTube. Mestinya gak jadi masalah juga, mengingat YouTube lebih dari TV *BOOM!*

Gak masalah, kan? 

Sans, gak kok. 

Bayu bawa hawa seger ke film ini. Di antara para seleb yang keliatannya membawa persona mereka dengan serius, Bayu keliatannya yang paling polos. Gak ada beban, gak ada halangan, gak ada hambatan dalam pembawaan sifatnya. Malahan, gue bilang Bayu adalah tokoh yang sifatnya paling natural di film ini. Yep, Bayu seakan-akan cuma memerankan dirinya si YouTuber dari Malang yang memanfaatkan terdamparnya dia buat nge-vlog

Carefree banget lah, istilahnya. 

Jadinya, humor yang dateng dari Bayu gak terkesan maksa, gara-gara genuine-nya sifat tokoh yang dia bawain. Gue gak ngeliat tokoh lain dengan nama yang gue kenal, gue udah kayak ngeliat Bayu Skak beneran di film tersebut, being himself tanpa going out of character

A good comedy relief indeed

Sebenernya bukan cuman Bayu yang membawa sifat asli uncut mereka ke film ini. Not saying mereka membawakannya dengan jelek atau gak sebagus Bayu, tapi dikarenakan mereka ini bukan seleb bidang lucu-lucuan kek Bayu, Radit, atau Soleh. Imbasnya, sifat mereka lebih realistis.  

Bukan berarti mereka gak bisa jadi sumber lucu-lucuan juga.

Mau gitu pun, sifat mereka agak di-exaggerate meskipun gak segila Bayu dan Dinda. Mungkin mereka realistis, mungkin mereka serius, tapi mereka jelas gak bikin film ini jadi thriller beneran.  

Cases in point: Titi Kamal, Gading Marten, Mathias Muchus, dan Prilly Latuconsina. 

Perihal Om Mathias Muchus, nasib dia udah dikasitau sama trailer film ini. Yep, bener, dia emang yang mati pertama. Apa mungkin tokoh dia se-gabut itu, sampe-sampe trailer Hangout pun ngasitau segamblang-gamblangnya kalo dia fix tewas? 

Itu, ato dia sibuk, sehingga gak banyak waktu buat shooting adegan banyak-banyak. 

Mau gimanapun juga, dalam waktu dikit pun Om Muchus sukses memberikan kesan yang gak gampang ilang ke para penonton. Ke gue, at least. Dan maksud gue "gak gampang ilang" adalah gue kadang masih inget kalo dia, at one point, adalah seorang tokoh dalam film ini. Kalo gak, gue bakal kira dia gak ada di film ini sepenuhnya. 

Emang dia ngapain, sih? 

Om Muchus adalah tokoh yang paling senior. Paling berpengalaman. Paling tua. Gara-gara tiga sifat mendasar ini, mengikuti semua tradisi tokoh-tokoh dengan sifat serupa, peran dia adalah si bijak. Tau sendirilah, dia yang paling kalem, ngomongnya paling pelan tapi berwibawa, dan biasanya ngasih nasehat ke tokoh-tokoh lain. 

That is, sampe dia kejang-kejang keluar busa. 

Untungnya dia gak gabut menjelang akhir hayatnya. 

Titi DJ Kamal jebolan AADC ada juga di film ini. Dan nggak, sebelum ada yang nanya, peran dia bukan sebagai si-cantik-menor-panikan-yang-takut-kotor-dan-akhirnya-jadi-beban-satu-rombongan. Nggak. Untungnya Bang Radit gak bikin dia jatoh ke cliche itu. Mau dia produk AADC juga. 

Speaking of AADC, tu film nempel terus sama Titi Kamal selama film ini. Gak terus-terusan, tapi lumayan erat juga to the point Titi udah identik sama AADC menurut tokoh lain di film ini. Padahal, seinget gue di film itu Titi bukan yang ditaksir sama Nicholas Saputra, kan? 

Anyways, meskipun dua film tersebut bener-bener dramatis dan mellow, Titi gak. Justru lawannya. Dari tiga cewek di film ini, sifat Titi adalah yang paling kalem. Paling collected. Paling make otak di saat seleb lain kalap setelah Om Muchus koid. Then again, dia emang tokoh cewek yang paling tua di film ini, jadi kalo dia yang paling bocah juga gak enak diliat, ya nggak sih? 

Sayangnya, gara-gara personality dia yang paling tenang, dia jadi rada kekubur sama DInda yang masa' bodo dan Prilly yang centil. Keliatannya gak mencolok gara-gara dua tokoh perempuan lain lebih berwarna dan lebih memorable.  

Di sisi lain, dia bukan tokoh yang datar banget dan terkadang ada momennya dia bener-bener stand out terutama saat para seleb berusaha bertahan hidup setelah sadar mereka terjebak di pulau tersebut. 

A great contrary against other loud personalities

Gading Marten bokapnya Gempita terdampar juga di pulau tersebut pas Gisel sedang nemenin Ernest Prakarsa di film komedi lain. You know the one

Honestly, gue gak tau banyak tentang Gading Marten. Gue cuman tau kalo dia: 

- Suami Gisel,

- Ayah Gempita, dan 

- Anak Roy Marten.

Udah. 

Guess what?

Nampaknya film juga tau tiga pernyataan itu. 

Mirip juga dengan Titi Kamal, 3 pernyataan di atas nampaknya nempel terus sama si Gading ini. Bedanya, 3 fakta ini dijadiin comedic effect dibandingkan dengan hubungan AADC-Titi yang disebutin doang. Lebih tepatnya, tu 3 fakta dijadiin bahan lucu-lucuan. Kapan? Pas si Gading ************ ********* ******* *********** *********** **************. Btw, bintang tidak mewakili huruf. 

Gading agak bingung perannya di sini. 

Dia bukan aktor berbakat macam Surya Saputra atau Mathias Muchus, tapi dia bukan juga orang-orang lucu macam Soleh, Bayu, atau Radit. Mungkin bukan aktor murahan juga, tapi let's be honest here, bukan sekelas tu dua orang juga. 

Maka dari itu, keliatannya dia lebih ke memerankan dirinya sendiri dibandingkan dengan memerankan sebuah sifat fiktif tertentu. 

Mungkin gak se-koplak Bayu Skak, soalnya Bayu punya charm tersendiri yaitu logat medoknya dan gaya bopungnya yang straight outta Malang yang punya kelucuan tersendiri. Yang ada dari si Gading adalah sifat dia yang agak macho dan lebih manly dibandingkan tokoh-tokoh pria di sini. Kesannya, kalo ada yang bisa ngelawan dan ngalahin si pembunuh, ya si Gading ini. 

Itulah image yang mau disuguhkan ke penonton. 

Then again, dengan segala ke-over-the-top-an sifat para tokoh, Gading gak bikin film ini jadi tambah serius. Dia malah bikin film ini tambah kocak. Belom lagi dengan nada tinggi dan cempreng Gading kalo dia ngomong rada ngotot. Tambah lucu lagi.  

Bagus atau jelek? 

I'm fine with it

Dengan sifat-sifat serius yang ada di Gading, gue udah kira dia bakal bikin film ini lebih berat ke arah thriller. Mungkin ada saatnya juga sifat dia ini bikin film ke arah thriller yang menegangkan, tapi gue seneng dengan Bang Radit yang bisa bikin sifatnya ini punya sisi lucu juga. Itu, dan 3 fakta di atas yang dijadiin bahan lelucon di film ini. Sangat meme-able, kata gue. 


Keempat terakhir, Prilly Latunconsina. 

Lagi-lagi-lagi, seperti dua tokoh di atasnya, Prilly pun juga punya semacam julukan yang jadi alat buat para tokoh untuk nge-refer ke dia. Dijadiin bahan lelucon pula. That is, hubungan dia sama Aliando. Penting banget, ya? 

Coba, apa image Prilly di depan para penggemarnya? 

Gue sendiri gak tau Prilly ini dikenal sebagai seleb tipe apa di depan para netizen dan para pengikut dunia entertainment Indonesia. Walhasil, gue pun cuman ngandelin pembawaan dia di film ini, sebagai, ehm, referensi. 

Prilly di film ini... 

being Prilly, I guess

Di film ini, mengingat dia adalah tokoh termuda (lebih muda dari Bayu Skak, inget), jelas dia punya vibe kekinian, kentara banget kalo dia ngomong sama tokoh yang lebih tua, Titi DJ Kamal misalnya. Basically, dia adalah bocah di film ini. 

Gue juga suka dengan Prilly di sini yang self-aware dengan masa lalunya sebagai bintang di sinteron Anak Jalanan Ganteng Ganteng Swag Serigala, sampe dia bisa jadiin masa lalunya tersebut buat jadi lelucon di film ini. Gue kira lawakan begituan gak dianggep sama subyeknya. 

Not too shabby, I think

Tinggal tiga orang lagi, nih. 

Mereka ini sengaja gue taro terakhir, sebenernya. 

Bukan karena gue punya prinsip semacam save the best for the last

Ya satu adalah tokoh yang paling shocking, lebih shocking dari Dinda, dan dua lainnya adalah tokoh utama, jadinya di atas itu gak salah juga. 

Oke, selain alasan di atas, mereka bertiga ini terakhir gara-gara gak kayak para tokoh di atas yang personality dan sifatnya adalah cuplikan dari personality mereka di dunia nyata, ni tiga... gue gak yakin orangnya beneran kayak gitu. 

Kecuali emang bener, tapi kan gak tau juga. 

That is, Surya Saputra, Raditya Dika, dan Soleh Solihun. 

Mulai dari yang paling kentara dulu dah, Mas Surya. 

Masih inget dengan pernyataan kalo Titi Kamal bukan tokoh cliche wanita-panikan-yang-akhirnya-jadi-beban-buat rombongan? 

Gelar itu ternyata dipegang oleh Mas Surya. 

Apa ini gara-gara peran dia sebagai orang homo di film Arisan, gue juga gak tau. Kalopun gara-gara itu, tokoh dia di film itu juga bukan masuk orang 'ncong juga. Dari mana ini asalnya, gue juga masih gak tau. 

I guess, peran itu wajib dipegang minimal oleh satu tokoh dalam sebuah film thriller/horror, dan Mas Surya membawakan peran itu dengan, well, meyakinkan. Entah kenapa dia gak jadi tokoh yang mati paling pertama, gue gak bisa jelasin. 

Gue sendiri juga geleng-geleng kepala ketika mengetahui kalo Mas Surya yang--tau sendiri sifatnya-- berperan banyak dalam unsur thriller film ini. Gimana? Well, let's just say dia gak selalu bersifat panikan. 

All in all, unorthodox character

Sisa dua lagi, dan ini enaknya gue langsung sekali-hajar-berdua aja, soalnya nampaknya plot film ini menyatakan bahwa story arc dua tokoh ini sambung-menyambung menjadi satu. 

Bang Radit dan Bang Soleh. 

Terlepas dari masalah sub-plot yang melibatkan dua comic ini, mereka punya sifat yang sangat mirip. Realistis, yang paling 'normal', tapi jadi sumber utama tawa dari film ini. Awalnya mungkin dua tokoh ini terlihat bertolak belakang (again, sub-plot), tapi makin sering kita liat mereka berinteraksi, baik antara satu dengan yang lain atau dengan tokoh lain, mereka sebenernya punya sifat yang sama. 

Mungkin gue harus point out Bang Soleh sedikit lebih loud dan frontal dibandingkan dengan Bang Radit yang lebih kalem. 

Trus, apa lagi ya? 

Udah, keknya. 

BOOM. 

Yep, sorry to say, dua tokoh utama sebenernya gak punya banyak atribut yang menarik, yang ada mereka adalah semacam kendaraan bagi plot film ini untuk terus melaju. Lucu sih iya, tapi mereka gak punya standout trait kek tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Bahkan Titi Kamal yang terkesan datar aja mungkin punya lebih banyak karakter. 

Run-of-the-mill protagonists, so to speak. 

Here for Them Thrills

Mungkin yang paling mencolok dan membedakan film ini dari film-film Radit yang lainnya adalah genre yang diusung, thriller

Lagi-lagi, genre yang mirip dengan film yang dibintangi oleh Seth-- ah, sudahlah. 

Gimana jalannya? 

Eh... 

Hit and miss. Mostly hit. 

*gue bisa denger fans berat Bang Radit menurunkan bedil yang diarahkan ke gue* 

But seriously though, for a first-timer in thriller genre, film ini punya momen-momen thriller  yang genuinely bikin gue berada di ujung tempat duduk gue. 

Ada kurang lebih dua (mungkin lebih) adegan yang bener-bener straight outta film-film bertemakan survival kek Lost. Maap, Lost bukan film melainkan serial TV, tapi tau sendirilah maksud gue. 

Uniknya, adegan-adegan menegangkan nan mencekam ini dibuat bukan oleh unsur diluar kesembilan seleb tersebut, tapi oleh interaksi antar seleb itu sendiri. Dengan kata lain, adegan tersebut bisa jadi intens gara-gara pembawaan karakter yang baik oleh para seleb. 

Lucunya, ada beberapa adegan yang mestinya thriller yang malah berubah jadi bahan tawaan. Meskipun situasi bener-bener sedang mencekam atau sedang menegangkan tingkat parah, entah kenapa, reaksi para seleb terhadap situasi tersebut membuat adegan tersebut jadi terkesan lucu buat para penonton. Buat mereka mungkin gak, sih. 

Personally, gue gak punya masalah dengan film yang self-aware dan gak terlalu ngotot bikin ini jadi film thriller tingkat tulen. Kalo skenario yang gue paparin tadi terjadi, biasanya bisa nyasar ke satu dari dua arah: epic win atau epic fail. Then again, kita harus inget-inget lagi Pak Sut dari fim ini adalah Bang Radit, yang resume-nya gak mengandung unsur thriller, sehingga gue gak bisa expect thriller yang bener-bener hardcore dalam film ini. 

Instead, Bang Radit semacam play it safe dengan unsur-unsur komedi yang diselipkan dalam adegan-adegan yang mestinya mengundang bulu kuduk dalam film tersebut. No problem, I say. 

Lagian, kalo lo mau yang bener-bener thriller, mungkin lo bisa pake sutradara kek Joko Anwar bukan Raditya Dika. Pemain kek Rio Dewanto bukan, I don't know, Bayu Skak. Dari cast-nya film ini aja, kita udah lebih ngarah ke film komedi dengan unsur thriller, bukan film thriller dengan unsur komedi. 

Not bad for a novice. 

(+) - Thriller yang sekalinya kena, kena bet. 
     - Komedi yang tetep ngundang tawa. 
      - Cast yang memberikan performance yang mancay. 
(-) - Plot yang real predictable, bruh. 
    - Sub-plot yang terkesan terburu-buru dan maksa.  
    - Drama yang semacam disumpelin ke dalam film. 

VERDICT: 

[ LIT!!! / SHIT!!! ]

First attempt Bang Radit terhadap thriller berbuah manis-manis-asem dibantu dengan performa mantep dari para seleb, meskipun dari segi cerita dan eksekusi gak terlalu mulus. 

Until the next post, bungs! :D






   
  






THIS IS A REVIEW: 2k16 pt.2

Bienvenue la part 2! 


Udah gece, cepetan kita kelarin yang satu ini, gue dikejer deadline soalnya. 

Deadline deadline kek gue dapet duit aja dari ginian. 

Hey, one man can hope, right? 

Eh, kenapa gue ngelantur, ya? 

Udeh, cepetan mulai! 

Iye, iye... 

Ultimate Zero to Hero 

Mungkin gue bisa berargumen kalo tahun lalu adalah salah satu tahun yang agak 'pahit' buat dunia sepak bola. Seperti yang gue bahas di part sebelumnya, kita kedapetan insiden pesawat Chapecoense yang menewaskan segenap tim klub tersebut, trus ada meninggalnya salah satu maestro sepak bola Johan Cruyff

Belom lagi taon lalu lebih kelam lagi buat tim sepakbola kesayangan gue, Chelsea FC.

*kek nya gue bisa denger amarah pembaca gue yang kira gue dukung Madrid ato Barca* 

Seriusan, Chelsea mengalami musim terburuk mereka dalam 10 tahun terakhir. Lebih, mungkin. 20? Anyways, Chelsea musim lalu finis di luar 4 besar. Lebih mantep lagi, mereka sebenernya finis peringkat 10. Padahal, musim sebelumnya, mereka baru juara Liga Inggris. Khilaf macam apa ini? Semua ini gara-gara si Jose Mourinho, BEGITU KHILAF, DIPECAT, LANGSUNG MEMBELOT KE MANCHESTER UNITED, DASAR BA-- 

Ehm.  

Trus, kalo Chelsea gak dapet gelar juara Liga Inggris, siapa?

Manchester United? 

Tidak. 

Tetangganya? 

Nggak. 

Liverpool? 

Nope

Arsenal? 

No. 

Oh, gue tau. 

Spurs?

Sayangnya, gak juga. 


Leicester City. 


Eng ing eng. 

Leicester City, yang musim sebelumnya pontang-panting keluar dari zona degradasi? 

Yep, Leicester City yang itu. 

Pas gue denger Chelsea lagi terpuruk, dengan kekalahan demi kekalahan yang bahkan at one point hampir bikin Chelsea masuk zona degradasi, gue kaget pas denger siapa yang lagi bertengger di puncak klasemen Liga Inggris. Ya itu, sebuah tim kecil dari kota Leicester tadi.  

Mendadak, pemain-pemain Leicester diarak bak superstar sepakbola sepanjang musim tersebut. Gak semua pemain Leicester kecipratan popularitas setinggi langit yang disanjung oleh para penggemar sepak bola, tapi sekalinya kena, dia langsung jadi inceran klub-klub besar di Eropa. Imbasnya juga nyampe ke game-game bola, di mana Leicester City dipilih kalo mau tanding lawan temen. Trust me, gue pun juga sampe milih Leicester juga, dan to be honest, Jamie Vardy lari kek setan. 

Speaking of Vardy, pemain usia 30 tahun tersebut jadi top skorer musim lalu. Yep, sebelom musim lalu, 90% pemain bola gak kenal striker dari kota Sheffield tersebut. Tiba-tiba, dia mejeng di papan top skorer liga, dan imbasnya, rating FIFA dan PES dia langsung naik drastis. 

Gue liat sendiri dia main, dan gue setuju kalo dia bukan kek setan. Mungkin dia emang setan. Terutama di depan gawang lawan. Gak perlu lari secepet Hector Bellerin, atau tembakan sekenceng Zlatan, atau mungkin dribble seluwes Messi. Vardy punya insting. Determination. Dia adalah predator, dan gawang lawan adalah mangsanya. Sekali dia dapet kesempatan, no way in hell dia bakal biarin itu lewat gitu aja. Emang seniat itu dia.  

Gak cuman Vardy, tapi koleganya Riyad Mahrez dapet kredit buat kemenangan luar biasa Leicester musim lalu. Mirip dengan Vardy, dia mendadak dapet pujian setinggi langit di saat Leicester lagi naik-naiknya. Bedanya, kontribusi dia gak sekentara Vardy, yang golnya jauh lebih banyak. Still, Mahrez juga banyak berkontribusi untuk kemenangan Leicester lewat pergerakan mematikannya di lini tengah Leicester. 

So much so, sampe dia dapet nominasi di ajang penghargaan Ballon d'Or tahun lalu. 

Berdua sama Jamie Vardy sih. 

Mereka berdua pun juga gak terhitung sebagai "mejeng" doang di Ballon d'Or, mengingat Mahrez mengumpulkan 20 poin, lebih banyak dari Gigi Hadid Buffon (8), Pierre Aubameyang (7), Zlatan Ibrahimovic (5), dan bejibun pemain top lainnya. Vardy sih ngumpulinnya lebih dikit (11), tapi masih lebih banyak dari 3 pemain contoh tadi. 

Side note: 20 poin yang dikumpulkan Mahrez gak ada apa-apanya dibandingin si model part-time Cristiano Ronaldo dengan 745 poin, but hey, it's something

Banyak pihak yang kecewa dengan juaranya Leicester. Ada yang bilang itu 'hoki' mengingat emang agak susah masuk akal kenyataan bahwa tim yang hampir degradasi musim sebelumnya langsung juara di musim selanjutnya. Ada yang sekadar kesel bukan timnya yang juara, misalnya Tottenham Hotspurs yang juga lagi bagus-bagusnya musim itu. 

Yang seneng tentu aja pendukung Leicester, tapi itu mah udah kentara, ya. 

Banyak yang seneng Leicester jadi jawara musim lalu, ada yang bilang ini adalah contoh solid sebuah tim yang hampir gak punya apa-apa bisa jadi juara melebihi tim-tim yang lebih tinggi kelasnya. Kuda item yang sesungguhnya. The underdog. The zero that became the hero.

Tapi seriusan, ini kelas 'kuda item'-nya udah jauh lebih ekstrim.

Kuda item yang wajar di liga Inggris adalah tim-tim macam, sekali lagi, Tottenham Hotspurs. Sejatinya tim ini adalah tim bagus. Zonk-nya, tim ini selalu kalah sama tim elit sekelas MU, Manchester City, Chelsea, dan kaum-kaumnya, sehingga terhalang dari gelar jawara. 

Atau tim papan tengah yang bermain solid setiap kali tanding, tapi, sekali lagi, gak bisa ngalahin tim-tim atasnya yang punya pemain lebih bagus.  

Then again, Leicester gak masuk kedua kategori tersebut. 

Dia ini udah masuk kategori kuda item-nya kuda item.  

Get this though, Leicester bukan tim besar, tim papan tengah pun bukan, pemain-pemainnya gak ada yang terkenal apalagi ketauan bagus, ditambah lagi dengan reputasi yang gak terlalu enak diliat. Kuda item yang sempurna, seakan-akan gak punya redeeming value. Mungkin ada sikit-sikit dalam bentuk pelatih Claudio Ranieri, yang pernah menukangi Chelsea dulu. Udah. Itu doang.  



But that just made the victory that much, much more sweet, didn't it?    

Pendapat gue tentang situasi yang satu ini? 

Bagian pendukung Chelsea gue seneng gara-gara rival-rival berat Chelsea gak jadi juara gegara gelar tersebut udah dicolong sama tim antah-berantah. Dengan kata lain, kalo misalnya gue gak juara, lo pada juga gak boleh juara. Toh ngapain gue kecewa, posisi Chelsea udah terlalu bontot buat dikecewain sama hasil-hasil pertandingan Leicester.

Bagian gue yang lainnya? 

Gue seneng gara-gara Leicester berhasil memecahkan stigma sepakbola modern. 

Jaman sekarang, tim dengan dompet tertebel menang. 

Leicester gak punya dompet. 

And yet, dia menang.

Leicester adalah contoh nyata bahwa 

football is not about money

It's about passion

  
Battlefield Won 

Rivalitas. 

Jaman sekarang, gak ada bidang yang gak punya semacam unsur rivalitas di dalamnya. 

Sebut aja satu bidang yang ada di dunia modern sekarang, pasti ada aja pihak-pihak yang saling bertempur dan bersaing agar bisa mendapatkan semacam keunggulan dibanding dengan yang lawannya. 
Lionel Messi vs Cristiano Ronaldo,
contoh rivalitas yang lain. 

Contoh? Simpel. 

Sepak bola--> Real Madrid v FC Barcelona. 

Smartphone--> Apple vs Samsung. 

Social Media--> Facebook v Twitter v Instagram v Path v (taro nama sosmed yang lo tau).

Trus, apa hubungannya dengan, ehm, event yang bakal gue bahas sekarang. 

Kita beralih ke bidang yang gue familier dan gue suka. Gaming

Lebih tepatnya, kita merujuk ke sebuah genre




First Person Shooter. 


Actually, ini adalah salah satu bidang yang gue pernah bahas dulu, gue pernah post tentang bidang beginian, kalo belom liat ya silakan diliat--

oke, gue malah nge-endorse diri gue sendiri. 

Banyak juga sih game genre FPS yang saling bersaing, tapi belakangan ini orang lebih banyak ngebahas dua game in particular




Call of Duty v Battlefield. 



Pas mereka mulai terkenal sih, mereka berdua gak jauh beda. 

Sama-sama game tembak-tembakan (you don't say), sama-sama membawa sudut pandang yang lebih grounded dan realistis terhadap genre tersebut (gak kek DOOM yang nyasar sampe ke Mars), dan keduanya dimulai pada awal 2000-an. 

But, lama-kelamaan, keduanya mulai melenceng jauh dan makin berbeda satu dengan yang lain. 

Call of Duty mulai ngayal dan setting-nya pun mulai kemana-mana. Dimulai dari tahun Call of Duty: Black Ops 2 (2012), Call of Duty udah nyasar ke latar waktu masa depan yang kita gak pernah tau dan yakin bakal terjadi. Serba futuristik dengan gimmick macam granat yang mencari dan mengincar musuh, exosuit ala-ala game Halo, dan tentu aja, robot-robot tempur. 

Battlefield on the other hand jauh lebih membumi dengan setting yang lebih realistis. Dari banyaknya game Battlefield selama 7 tahun terakhir, nampaknya loncatan waktu mereka gak lebih jauh dari, ya, keadaan militer kita sekarang. Boro-boro pake robot tempur, pake drone aja gak sesering Call of Duty. 

Terakhir pertempuran mereka sebelom 2016 adalah tahun sebelumnya, 2015. Battlefield punya Battlefield Hardline yang punya arah dan tema baru yaitu perang-perangan di jalanan alias polisi lawan maling. Di kubu Call of Duty adalah Call of Duty: Black Ops 3 yang semacam ngelanjutin tradisi futuristis dari Call of Duty: Black Ops 2. 

Taon itu nampaknya berakhir sama kuat terhadap kedua franchise game dengan keduanya mendapatkan reaksi yang hangat namun gak panas dari penggemarnya masing-masing. 

Taon ini? 

2 Mei 2016, pihak Call of Duty mengumumkan game terbaru mereka, 




Call of Duty: Infinite Warfare


Game tersebut, you guessed it, punya nuansa futuristis yang sama dengan Black Ops 3. Mungkin sedikitnya perbedaan terdapat pada skala Infinite Warfare yang hampir, ehm, infinite dengan latar tempat yang udah nyasar sampe ke luar angkasa. Yep, mereka perang di luar angkasa sekarang. Mengingatkan lo pada sesuatu? *ehm Halo ehm* 

Gimana reaksi orang-orang? 

As of now, game tersebut udah dapet 567 ribu lebih likes, likes terbanyak yang pernah didapetin oleh sebuah trailer Call of Duty sepanjang sejarah. 

Eh, kenapa gue gak sebutin dislikes-nya? 

3 juta.

Sebagai perbandingan, video YouTube yang paling banyak di-dislike adalah Baby-nya Justin Bieber dengan 7 juta dislikes.  

Kedua terbanyak dislikes

You guessed it

Call of Duty: Infinite Warfare Reveal Trailer

Yep, somehow, trailer tersebut sukses menjadi video dengan dislike terbanyak kedua di YouTube bahkan berhasil menyalip Friday-nya Rebecca Black yang notabene menurut gue merupakan salah satu lagu ter-ngehe sepanjang sejagat. 

Fun fact: gue tau pertama kali tentang keberadaan game ini 12 jam setelah trailer tersebut dirilis ke YouTube. Ketika gue buka videonya, hal pertama yang nangkep perhatian gue adalah kenyataan bahwa likes dan dislikes dari video tersebut udah balepan dengan rasio 17 ribu likes dan 16 ribu dislikes. Yep, belom ada sehari video tersebut keluar, video tersebut udah kebanjiran dislike. Ah well, at least gak lebih cepet dari video-video yang di-upload YoungLex. 

4 hari kemudian, Battlefield pun mengeluarkan senjata termutakhir mereka. 




Battlefield 1


Jangan ketipu sama judulnya, ini bukan semacam reboot atau mereka langsung mengulang lagi franchise mereka dari awal. Nope, bukan itu. 

Instead, Battlefield 1 punya latar tempat dan waktu yang bener-bener gak terduga. 

Perang Dunia I. 

Ketika trailer tersebut keluar, dunia internet pun langsung meledak. 

Gue harus mulai dari mana, ya? 

Ketika trailer tersebut keluar, bertebaran komentar di video tersebut berbunyi semacam 'RIP Call of Duty' dan pernyataan senada semacam 'Battlefield >>> Call of Duty'. Netizen seluruh dunia udah semacam merayakan kemenangan Battlefield yang terlihat mutlak atas Call of Duty. 

Gak berhenti di situ, beredaran pula meme video trailer Battlefield 1 dibandingkan dengan Call of Duty. Ada yang-- ah sudahlah, gue gak bisa ngejelasin, jauh lebih gampang kalo diliat sendiri. Bukan cuman dibandingin dengan Call of Duty, trailer berlatar lagu Seven Nation Army tersebut juga di mash up dengan banyak banget video lainnya. 

Gimana dengan trailer itu sendiri? 

2 juta likes

(gue salah satunya) 

Dengan likes sebanyak itu, trailer tersebut sukses menjadi trailer game dengan likes terbanyak sepanjang sejarah. 

What can I say?

Mengutip dua komentator WWE tentang Randy Orton, 




Outta nowhere! 


Sebelom bom berupa trailer tersebut dijatuhkan, gak ada yang namanya pihak DICE selaku pembuat game tersebut mengonfirmasi kalo Battlefield selanjutnya bakal berlatar di Perang Dunia I. Hell, gak ada orang yang ngira mereka bakal terjun ke dunia Perang Dunia I. Gue aja mikir sejauh-jauhnya mereka, mereka bakal ke Perang Dunia II. Ato Perang Vietnam. TAPI GAK PERANG DUNIA I. 

Ini kek salah satu peristiwa tersebut dimana 

you were given something you never knew you wanted

Padahal, sebenernya pihak Activision (pembuat serial Call of Duty) lah yang lebih sering diminta oleh fanbase-nya buat balik lagi ke masa-masa lalu seperti Perang Dunia I, bukan DICE. Fanbase yang lebih hardcore terhadap franchise tersebut udah mewanti-wanti Activision untuk rehat sejenak dari ke-ngayalan mereka tentang dunia masa depan, tema futuristik, dan latar yang surrealistis.  

Nampaknya DICE menjadi pendengar keluhan yang baik, meskipun keluhan tersebut bukan ditujukan kepada mereka. 

Sekarang, semenjak kedua game tersebut keluar, gimana nasib mereka berdua? 

Call of Duty: Infinite Warfare mengalami penurunan sales sebesar 50% dari game sebelumnya, Call of Duty: Black Ops 3. 

Perihal penjualan, belom dikeluarin pernyataan resmi mengenai selaku gimana Battlefield 1 ini sesungguhnya, tapi ada sebuah fakta yang bisa dijadiin ukuran. 

Minggu pertama game itu keluar, penjualan Battlefield 1 sendirian udah melampaui gabungan penjualan dari Battlefield 4 dan Battlefield Hardline.

Well? 

Setiap tahun, 2 franchise ini selalu saling bersaing. 

Keduanya selalu seimbang. Gak ada yang laku jauh melampaui lawannya, dikarenakan kelemahan pada masing-masing game yang menghalangi keduanya untuk mengatasi game yang lain. 

Buat tahun ini however

we all knew who won.   


For the First Time in Forever 

NGAPAIN GUE NGEBAHAS FROZEN DI SINI?

Bukan, bukan Frozen yang gue maksud di sini, melainkan-- ah sudahlah, langsung aja. 
Anton. 

Kek perlakuan gue terhadap dunia sepakbola tadi, mungkin tahun lalu bukan tahun yang bagus juga terhadap dunia perfilman. Partly gegara meninggalnya lebih dari sekadar satu-dua bintang film yang berbakat tahun ini. Carrie Fisher, Alan Rickman, dan Anton Yelchin adalah sedikit dari banyaknya orang yang meninggalkan kita tahun lalu.

Tentu aja kita punya beberapa film bagus tahun lalu untuk menghilangkan kesedihan kita-- tengok aja Rogue One: A Star Wars Story sebagai salah satu tribut untuk Fisher, atau Star Trek: Beyond sebagai salah satu peninggalan Yelchin. 

Tapi, kita di sini bukan buat itu. 

We're here for the Oscars. 

Selain film-film berkualitas tinggi, Academy Awards juga mengapresiasi orang-orang yang terlibat dalam film-film gege tersebut. Sutradara, sinematografer, musisi, dan 

aktor/aktris. 

Selama berdekade-dekade Academy Awards diadakan, banyak banget aktor berbakat yang dapet penghargaan berprestisi tinggi. Bahkan ada aktor yang langganan dapet penghargaan ini. Sebut aja aktris Meryl Streep, atau Al "Tony Montana" Pacino. Dua orang ini, anggep aja, udah keseringan dapet piala Oscar mungkin mereka udah bosen kali sekarang. 

Sayangnya (dan untungnya juga), hanya segelintir pelakon seni peran yang cukup beruntung untuk mendapatkan penghargaan ini. Jadi aktor yang luar biasa berbakat pun belom tentu jadi kunci mutlak untuk mendapatkan penghargaan ini. Jika diliat lagi, terkadang mengagetkan juga kenyataan bahwa orang-orang ini belom dapet Oscar mengingat dedikasi mereka di layar lebar. 


Dari aktor yang kita tau bagus seperti Tom Cruise (Top Gun, Mission Impossible) sampe yang legendaris sekelas Charlie Chaplin pun sebenernya belom dapet penghargaan film nomer satu di dunia tersebut. 

Then again, rasanya gak ada yang senyesek satu orang ini. 




Leonardo DiCaprio. 


Mungkin dia bisa disandingkan dengan orang-orang yang belom dapet piala Oscar tadi, tapi kisah DiCaprio mungkin yang paling nyesek. See, orang-orang yang belom dapet penghargaan tadi mungkin cuman sekali-hajar doang kedapetan nominasi atau dapet film bagus. But no

Not Leo

Entah kenapa, gue jarang nemu film jelek yang ada dia di dalamnya. 

Entah kenapa, Leo sangat magnetik dalam setiap peran yang dia dalamin. Setiap film yang mengandung unsur Leonardo DiCaprio biasanya menjadi film yang hitz keras, atau enak diliat. Semua pertunjukan yang dia pajang di film-film tersebut sangat meyakinkan. 

Tentu aja, sebenernya itu belom terlalu nyesek, seandainya film tersebut adalah film-film yang somehow luput dari mata publik dan kritikus. Film-film indie yang mungkin tempatnya bukan di bioskop, tapi di festival film macam Cannes Film Festival. 

Thing is, film-film yang ada Leo-nya, kek yang tadi gue bilang, selalu jadi terkenal. 

Imbasnya, gak sedikit nominasi berbagai penghargaan dia dapat. 

Salah satunya, ya Academy Awards. 

Berapa kali sih, dia dapet nominasi sampe dia udah tergolong nyesek? 

Gimana kalo 5 kali? 

Tren ini dimulai dari tahun 1994, ketika Leo mendapatkan nominasi Oscar pertamanya untuk perannya sebagai anak penderita penyakit mental Arnie Grape di film drama What's Eating Gilbert Grape. Mungkin, orang-orang saat itu belom terlalu mikirin gimana nasib nyesek Leo untuk selanjutnya, mengingat ini adalah nominasi pertamanya. Mungkin orang pas itu mikir, "Wew, ini baru umur 19 tahun aja udah bisa dapet nominasi, pasti dia bakal subur kedepannya." 

Loncat ke tahun 2005, Leo pun dapet nominasi lagi untuk perannya sebagai milyuner nyentrik Howard Hughes di film The Aviator. Bedanya, dia gak 'miskin' nominasi buat film ini, soalnya dia pun dinominasikan untuk penghargaan yang lain, seperti MTV Movie Awards, yang dia menangkan. Begitupun dengan nominasi ketiganya untuk film Blood Diamond tahun 2007.  
Chasing an Oscarbe like...

Tahun 2014, ketika Leo mendapatkan nominasi Academy Awards for Best Actor yang keempat kalinya untuk perannya sebagai Jordan Belfort di Wolf of Wall Street, pastinya orang-orang udah gerah. 

Give this guy an Oscar already! kata mereka. 

Pasalnya, at this point, Leo mungkin udah sukses memenangkan semua penghargaan aktor terbaik kelas elit selain piala Oscar. Semua... kecuali satu. Padahal bukan cuma sekali pula dia dapet nominasi penghargaan kelas tinggi tersebut. 

Sampai tibalah tanggal 16 Desember 2015. 

Hari dimana film dengan nama Leo di dalamnya ditayangkan untuk pertama kalinya. 




The Revenant. 


Secara gak mengagetkan, film tersebut dapet pujian dari mana-mana, dengan pujian kebanyakkan diarahkan ke sinematografi yang sangat memikat mata, pengarahan yang dianggep brilian, dan atmosfer film yang sangat tebel dan menggugah. 

Oh ya, dan tentu saja, penampilan para bintang dalam film tersebut. 

Pemeran pendukung Tom Hardy mendapatkan pujian, tapi kita gak bakal ngebahas itu. 

Orang ngebahas penampilan yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio. 

Seakan-akan mendadak semua orang tau betapa gege performa yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio, betapa gila dedikasi yang dia berikan untuk membawakan tokoh Hugh Glass, pemburu yang, dalam ke-zonk-annya, diserang oleh beruang ketika sedang berburu. 

Dari situ, orang langsung beralih ke topik yang udah menghantui mereka selama bertahun-tahun.
Dapet Oscar gak, dia? 

Gak terlalu lama kemudian, acara Academy Awards pun diadakan, dan, seperti yang kebanyakan orang duga, Leo pun dapet nominasi atas perannya di film tersebut. 

Lalu datanglah tanggal 28 Februari 2016. 

Gue sedang bersantai-santai bersama Sanji dan Gumuk, yang kebetulan tau tentang situasi yang dialami oleh Leo selama bertahun-tahun. Believe it or not, gue deg-degan juga nungguin hasil yang didapetin sama si Leo ini. 

Gumuk pun orang pertama yang mengetahui hasil pengumuman Oscars tersebut, langsung bilang ke gue, 

"Mo! 

Leo menang!"

BOOM. 

Gue langsung teriak-teriak kek orang kesurupan. 

Tolol juga sih, dia yang menang tapi gue keliatannya lebih seneng dari dia.

Keep in mind bahwa kemenangan Leo semacam "dihantui" oleh kekhilafan yang dilakukan oleh Steve Harvey selaku announcer Miss Universe, dimana dia salah mengumumkan pemenang Miss Universe 2015 di tahun yang sama (dan menyebabkan korban menangis di atas panggung). 

Nampaknya bukan cuman gue doang, soalnya nampaknya netizen di seluruh dunia berteriak-teriak kesenengan atas kemenangan yang didapatkan Leo tahun lalu. 

Ketika Leo naik ke atas panggung, diapun mengantarkan pidatonya, yang orang bilang (dan cibir, sebenernya) udah dia siapin dari 10 tahun yang lalu, hence kenapa kedengerannya speech tersebut sangat terstruktur dan terorganisir. 

Gue denger sih versi penuhnya kepanjangan, tapi ada kata-kata yang kena banget: 

"Film The Revenant mengisahkan hubungan antara manusia dengan dunia alam...

...perubahan iklim sangat nyata, terbukti dari kita yang harus berjalan sampai ke ujung selatan bumi agar bisa mengambil gambar film ini...

...kita harus mendukung pemimipin dunia yang tidak berbicara untuk para pencemar, tapi untuk keseluruhan dari umat manusia...

...janganlah kita menyia-nyiakan planet ini. 

Saya tidak menyia-nyiakan malam ini. Terima kasih banyak." 

Worth the 13 years wait, yeah? 

Well Leo, 

congratulations on your first-time-in-forever Oscar award. 

And here's for more to come.  
   

Marvel-ously Good, DC-eptively Bad 

Ow syit, gue kelewatan. 

Gue kelewatan satu lagi contoh rivalitas. 

Actually, gue sengaja lupa *alesan* taro di atas tadi, biar bisa taro di bawah sini. 

Marvel v DC. 

Dua raksasa komik ini udah bertempur di dunia perkomikan sejak jauh sebelom bokap- nyokap gue lahir. Saking serunya, jaman sekarang udah susah nemuin orang yang gak tau seminimal-minimalnya tokoh fiksi bernama Superman atau Spider-man. Superman lah, seminimal-minimalnya. 

Sebenernya, dimulai dari 20 tahun lalu, mereka udah bawa peperangan mereka ini ke field yang baru. 

Perfilman. 

Sebenernya DC yang mulai sih, dengan naro Superman di bioskop tahun 1978. Sejak tahun itu, publik dikenalkan dengan sebuah genre film baru. Genre yang masih subur sampe sekarang. 

Superhero film

Gak banyak yang tau kalo sebenernya Marvel ngebalas DC pada tahun-tahun tersebut dengan beberapa film, meskipun hampir gak ada orang yang tau kalo mereka sebenernya ngerilis film juga. Kecuali serial TV The Incredible Hulk yang mana si buto ijo bule diperankan oleh Lou Ferrigno, ada alasan bagus kenapa gak ada yang tau Marvel bikin film juga. Yep, mereka semacam... ampas. 

Loncat ke hampir 30 tahun kemudian, mereka masih sibuk-sibuknya perang di bioskop kesayangan anda. 

Tak terkecuali adalah tahun lalu, 2016. 

Taon lalu, masing-masing kubu merilis 2 film. 

Dari sisi Marvel ada 

Captain America: Civil War dan Doctor Strange

Sementara itu, DC punya 


Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad

Interesting side-note: Apa gara-gara kebetulan atau mungkin ada semacam kongkalikong tersembunyi, kedua kubu punya satu film yang sama-sama bertemakan superhero melawan sesama superhero. Soal yang mana film yang gue maksud, mendingan gue biarin lo tebak sendiri. 

Anyways, keempat film punya hype yang luar biasa gede menuju ke tanggal rilis mereka. Mau itu penggemar komik tulen atau penggemar film biasa berbau casual

Peperangan dimulai, sekali lagi, oleh DC. 

Batman v Superman dirilis di bioskop pada tanggal 19 Maret 2016. 

Piye? 

Pas gue liat rating mereka segala macem, gue kaget karena rating film tersebut adalah 

27%. 

Eng ing eng. 

To be honest, gue syok bener soalnya gue gak bisa ngeliat gimana film dengan formula sesempurna itu bisa dapet rating serendah itu. Ayolah, siapa yang gak mau liat Batman adu jotos sama Superman? Scratch that actually, mungkin ada yang udah pernah liat mereka berdua saling bogem di film animasi Batman: The Dark Knight Returns. 

I mean, 

how can they screw up a perfect movie? 

Hampir sebulan kemudian, Marvel pun ngebales dengan film yang udah ditunggu-tunggu sejagat penggemar komik. Bukan cuman oleh Marvel, tapi oleh fans DC juga, terutama fans hardcore butthurt yang semacam berharap film Marvel tersebut jeblok juga, yekali jadi ada temennya, kan. 

12 April 2016, Captain America: Civil War diputar perdana di Dolby Theatre. 

Rating? Ah semua orang selalu ngincer rating. 

Tapi gue kasitau, film tersebut mendapatkan rating 

90%. 

BOOM. 

Pencukuran, begitu kata fans Marvel hardcore yang benci sama fans tetangganya. 

Again, perfect formula. Meskipun ending buat kedua studio bener-bener bertolak belakang. 

Although I must say that langkah buat taro superhero dari masing-masing kubu buat mengadakan adu jotos agak sedikit prematur. Agak kecepetan. 
Ini Civil War asli...

Marvel masih agak mending mengingat superhero yang saling berseteru (Captain America dan Iron Man) udah punya cerita dan perkembangan karakter yang terlihat dari lebih dari satu film yang melibatkan mereka, mau dari standalone film kek Captain America: The Winter Soldier dan Iron Man 3, ataupun dari collaboration kek The Avengers. Actually, mereka udah berkembang dari sisi karakter. 

Kekurangannya adalah kurang rame. 


...ini Civil War di film. 
Sebagus apapun adegan bogem-membogem di bandar dalam film tersebut, adegan itu terasa kurang epik gegara cuman ada total 12 superhero dari masing-masing kubu. Jumlah itu masih setengah dari komik asalnya, di mana satu kubu aja udah bawa 12 superhero. Udah gitu, temen-temen Captain America dan Iron Man juga semacam gak punya character development sedalem pentolan mereka masing-masing. Hampir kek semut berantem di atas ring WWE beneran. Yep, arena berantem mereka kegedean.

Still, dengan kekurangan parah tokoh-tokoh partisipan Civil War tersebut, adegan bandara tersebut masih seru tanpa mengundang cringe mengingat masalah arena kegedean tadi.   

DC ini yang kena zonk. 

Superman baru dapet satu (yep, the one and only) film sebagai bahan buat character development dia, yaitu Man  of Steel. Lawannya, Batman, malahan belom punya. Hell, character development yang ada di Batman menuju dia ngelawan si jubah mirah ada di dalam Batman vs Superman. Mirip dengan counterpart Marvel-nya, sepanjang film udah ditaro semacam animosity yang berujung ke klimaks tersebut, berantemnya Batman vs Superman. Lumayan bagus pula, adu jotos benerannya. 

Problem is, unsur 'Batman vs Superman' sesungguhnya dalam film tersebut cuman sepanjang 15 menit lebih dikit.

Yep, beda dengan sepanjang film Civil War yang mana tema perpecahan dalam tim Avengers berlangsung dimulai dari seperempat awal film sampe abis, di Batman vs Superman cuman ada di... ya 15 menit itu. Selebihnya? Build-up, backstory, sub-plot, dan set-up menuju Justice League yang dirilis tahun ini. Hampir seakan-akan judul 'Batman vs Superman' adalah, sorry to say, clickbait biar orang bela-belain beli tiket bioskop biar bisa nonton Superman adu jotos sama Batman. 

Then again, dengan kedua kelemahan pada film tersebut, Marvel berhasil lolos gegara cerita yang lebih nyambung, jauh dari ke-bertele-tele-an, dan tentu aja, satu dua humor yang menjauhkan penontonnya dari kebosanan. 

Ronde selanjutnya adalah Suicide Squad vs Doctor Strange. 

Scratch that, dua film ini gak bisa dibandingin soalnya mereka bawa dua tema yang beda. 

Kita mulai dengan Suicide Squad yang dirilis duluan, tanggal 1 Agustus.

Sebelom kita masuk ke rating film ini (spoilers: gak enak diliat), gue mau bilang satu hal. 

Jared Leto adalah Joker ketiga terbaik dari semua Joker yang gue pernah tonton. 

Peringkat ke-3 dari 3 Joker. 

Oops. 

Pas pertama gue denger tentang keterlibatan Jared Leto sebagai Joker, gue lumayan kena hype, soalnya gue tau Jared Leto adalah seorang aktor berbakat yang bisa memainkan berbagai karakter. Nambah lagi pas gue denger dia bener-bener berdedikasi terhadap perannya tersebut, atau apa yang disebut dengan method acting

Pas gue liat dia... 

Gak, gue gak bilang dia jelek sebagai Joker. 

Let's just say dia ada khilaf sana-sini sebagai Joker. 

Meskipun itu, Joker yang dia bawakan adalah Joker yang kita tau, yaitu Joker yang menebar teror ke dalam jantung lawan-lawannya dan Joker yang tidak terduga. At least dia dapet bagian itu. 

Sayangnya, terkadang dalam penampilannya Jared Leto bisa mengundang cringe. Ngeliat dia sebagai Joker, gue kadang-kadang bisa kebingungan dia ini mau menakut-nakuti lawannya di balik perangai badutnya atau dia mau nge-homoin lawannya. Another thing is that Joker yang dibawakan Jared Leto kurang eksplosif. Kurang meriah. Simpelnya, kurang punya selera humor alias kurang banyak ketawa. Pas ketawa pun dia, ehm, bunyinya kek kuda kelaperan. 

Now with that out from the way

rating Suicide Squad adalah 

26%. 

Sekarang, ke pendapat gue. 

1% di bawah Batman vs Superman sih iya, tapi menurut gue, 

gue lebih nikmatin Suicide Squad daripada Batman vs Superman. 

Begonya, Suicide Squad punya kekhilafan yang bahkan Batman vs Superman gak punya. 

Editing

Beuh, editing dari film satu ini bener-bener choppy dan berantakan. Kalo udah masuk adegan action, biasanya kamera film ini bisa gonta-ganti lebih dari 10 kali. Udah gitu, terkadang sudut kamera dan lighting jadi kendala tulen buat ngedapetin view yang bagus terhadap adegan tersebut. Bisa jadi, sekali satu tokoh melayangkan tinjunya, kamera langsung ganti. Atau mungkin ganti dua kali dalam satu adegan tersebut. 

Begonya (lagi), di saat cerita Batman vs Superman udah amburadul, ternyata si ini lebih amburadul lagi. 

Bedanya, yang ini lebih enak diliat dan gak ngebosenin. Meskipun imbasnya film ini jadi punya kualitas yang terkesan dank tingkat parah. 

Terdapat lebih dari satu poin cerita yang dipertanyakan keberadaannya, kek perlakuan Amanda Waller terhadap sesama koleganya, atau kenapa Waller ngirim 8 orang semi-luar biasa buat ngatasin antagonis film ini kalo dia bisa langsung suruh, I don't know, SUPERMAN buat ngatasin dia? Atau misalnya-- ah sudahlah, Cinema Sins bisa ngasih tau lebih jelas.

That said, tokoh-tokoh dalam film punya jauh lebih banyak warna dari film tetangganya. Penampilan yang ditampilkan oleh para pemeran juga gak kalah kece, yang bisa lebih kece lagi seandainya writing film ini lebih mateng. Kita semua udah tau Margot Robbie dan Harley Quinn-nya yang lebih enak diliat dari Joker, atau Deadshot-nya Will Smith yang punya pesona khas... ya Will Smith.

All in all, mungkin rating dia gak bisa bagus, tapi gak sejelek itu juga. 

Butuh waktu 2 bulan lebih buat Marvel buat ngebales. Well, mereka bisa ngebales lebih cepet, tapi save the best for the last, kan? 

Doctor Strange diputar perdana pada tanggal 13 Oktober di Hong Kong. 

Nah ini. 

Civil War sih gue udah menduga bakal bagus, tapi Doctor Strange... gue gak punya ekspektasi yang tinggi. 

Sampe akhirnya gue tonton, tentu aja. 

Right off the bat gue bakal bilang film ini bener-bener ngagetin gue, in a good way
Ini Inception...

Mulai dari visual film yang dinominasi Academy Awards sampe action set pieces yang suguhan enak bagi mata hingga ke klimaks yang bener-bener unorthodox, film ini seakan-akan ngeluarin sesuatu yang baru ketika kita kira dia gak bakal kasih apa-apa lagi. 
...ini Doctor Strange.

Soal visual, film ini seakan terisnpirasi dari Inception. Tau kan, film yang ceritanya adalah mimpi dalam mimpi dalam mimpi? Bedanya, Doctor Strange bisa 10 kali lebih teler dari film tersebut kalo diukur dari sudut visual. Selama di bioskop gue nonton ni film, gue biasanya ngelongo sambil nggeleng-nggeleng kepala, bilang "Weh, teler ni film." Visuals tersebut nyampur secara mulus dengan action dalam film tersebut yang, kek yang tadi gue bilang, enak diliat pula.  

Gak lupa adalah formula Marvel yang paling khas ada dan sangat sehat walafiat dalam film ini. Yep, humor. Meskipun disuguhkan lebih sedikit dari kebanyakan film Marvel lainnya, kekocakan yang datang dalam dosis kecil tetep bisa bikin ketawa. Ditambah lagi Benedict Cumberbatch yang anehnya, dibalik ketamvanannya, bisa ngelawak juga. Si Sherlock masih bisa menggelitik, mau itu secara sengaja maupun secara gak disengaja, terutama di klimaks film tersebut (yang akhirnya menjadi meme).       

Lucunya, gue gak sebut cerita. Yep, sayang sekali, cerita Doctor Strange, meskipun dibawakan dengan baik, bukan cerita yang bener-bener bagus. Cliche, malahan. Belom lagi ditambah tokoh antagonis yang, untuk kesekian kalinya, ngebosenin. Then again, eksekusi cerita ini semacam menutupi ke-biasa-banget-an dari cerita tersebut. 

Oh ya, lupa. 

Rating. 

90% juga. 

Tentu aja gue gak bakal nyandingin rating masing-masing film sebelah-sebelahan, ntar keliatan mirisnya. 

Entahlah apa para kritikus film emang bersekongkol buat ngebenci DC dan ngasih rating jelek buat film-film mereka, atau emang film mereka gak bagus-bagus amat. Batman vs Superman emang, ehm, semacam ampas, tapi Suicide Squad juga gak pantes dapet rating serendah itu. 

Di sisi lain, Marvel sebagai pemenang kentara dari perang taon lalu mungkin emang keliatannya jadi bagian persekongkolan para kritikus buat ngasih nilai bagus (I mean, skornya sama persis!), atau film mereka emang bagus juga. Civil War mungkin nilanya agak ketinggian, tapi Doctor Strange... yah, leh uga. 

Marvel, yang bagi mereka tahun ini mungkin sama seperti tahun-tahun sukses sebelumnya dan yang akan datang, berhasil melewati tahun ini dengan    

marvelously good. 

DC, yang entah kenapa belom berhasil menghasilkan film yang bagus (namun gak sejelek pendapat kritikus), tergopoh-gopoh melewati tahun 2016 dengan keadaan 

deceptively bad.  

...

...

...

Yah, begitulah tahun lalu. 

Gue udah capek nulis. 

Sekarang gue nanya, 

gimana 2016 lo? 

Until the next post, bungs! :D 

SEE YA LATER SPACE COWBOY: Sebuah Update (lagi).

Hey, you. You're finally awake! You're trying to find a new post on this blog, right? Then found nothing, just like the rest of us ...