Bienvenue la part 2!
Udah gece, cepetan kita kelarin yang satu ini, gue dikejer deadline soalnya.
Deadline deadline kek gue dapet duit aja dari ginian.
Hey, one man can hope, right?
Eh, kenapa gue ngelantur, ya?
Udeh, cepetan mulai!
Iye, iye...
Ultimate Zero to Hero
Udah gece, cepetan kita kelarin yang satu ini, gue dikejer deadline soalnya.
Deadline deadline kek gue dapet duit aja dari ginian.
Hey, one man can hope, right?
Eh, kenapa gue ngelantur, ya?
Udeh, cepetan mulai!
Iye, iye...
Ultimate Zero to Hero
Mungkin gue bisa berargumen kalo tahun lalu adalah salah satu tahun yang agak 'pahit' buat dunia sepak bola. Seperti yang gue bahas di part sebelumnya, kita kedapetan insiden pesawat Chapecoense yang menewaskan segenap tim klub tersebut, trus ada meninggalnya salah satu maestro sepak bola Johan Cruyff.
Belom lagi taon lalu lebih kelam lagi buat tim sepakbola kesayangan gue, Chelsea FC.
*kek nya gue bisa denger amarah pembaca gue yang kira gue dukung Madrid ato Barca*
Seriusan, Chelsea mengalami musim terburuk mereka dalam 10 tahun terakhir. Lebih, mungkin. 20? Anyways, Chelsea musim lalu finis di luar 4 besar. Lebih mantep lagi, mereka sebenernya finis peringkat 10. Padahal, musim sebelumnya, mereka baru juara Liga Inggris. Khilaf macam apa ini? Semua ini gara-gara si Jose Mourinho, BEGITU KHILAF, DIPECAT, LANGSUNG MEMBELOT KE MANCHESTER UNITED, DASAR BA--
Ehm.
Trus, kalo Chelsea gak dapet gelar juara Liga Inggris, siapa?
Manchester United?
Tidak.
Tetangganya?
Nggak.
Liverpool?
Nope.
Arsenal?
No.
Oh, gue tau.
Spurs?
Sayangnya, gak juga.
Leicester City.
Eng ing eng.
Leicester City, yang musim sebelumnya pontang-panting keluar dari zona degradasi?
Yep, Leicester City yang itu.
Pas gue denger Chelsea lagi terpuruk, dengan kekalahan demi kekalahan yang bahkan at one point hampir bikin Chelsea masuk zona degradasi, gue kaget pas denger siapa yang lagi bertengger di puncak klasemen Liga Inggris. Ya itu, sebuah tim kecil dari kota Leicester tadi.
Mendadak, pemain-pemain Leicester diarak bak superstar sepakbola sepanjang musim tersebut. Gak semua pemain Leicester kecipratan popularitas setinggi langit yang disanjung oleh para penggemar sepak bola, tapi sekalinya kena, dia langsung jadi inceran klub-klub besar di Eropa. Imbasnya juga nyampe ke game-game bola, di mana Leicester City dipilih kalo mau tanding lawan temen. Trust me, gue pun juga sampe milih Leicester juga, dan to be honest, Jamie Vardy lari kek setan.
Speaking of Vardy, pemain usia 30 tahun tersebut jadi top skorer musim lalu. Yep, sebelom musim lalu, 90% pemain bola gak kenal striker dari kota Sheffield tersebut. Tiba-tiba, dia mejeng di papan top skorer liga, dan imbasnya, rating FIFA dan PES dia langsung naik drastis.
Gue liat sendiri dia main, dan gue setuju kalo dia bukan kek setan. Mungkin dia emang setan. Terutama di depan gawang lawan. Gak perlu lari secepet Hector Bellerin, atau tembakan sekenceng Zlatan, atau mungkin dribble seluwes Messi. Vardy punya insting. Determination. Dia adalah predator, dan gawang lawan adalah mangsanya. Sekali dia dapet kesempatan, no way in hell dia bakal biarin itu lewat gitu aja. Emang seniat itu dia.
Gak cuman Vardy, tapi koleganya Riyad Mahrez dapet kredit buat kemenangan luar biasa Leicester musim lalu. Mirip dengan Vardy, dia mendadak dapet pujian setinggi langit di saat Leicester lagi naik-naiknya. Bedanya, kontribusi dia gak sekentara Vardy, yang golnya jauh lebih banyak. Still, Mahrez juga banyak berkontribusi untuk kemenangan Leicester lewat pergerakan mematikannya di lini tengah Leicester.
So much so, sampe dia dapet nominasi di ajang penghargaan Ballon d'Or tahun lalu.
Berdua sama Jamie Vardy sih.
Mereka berdua pun juga gak terhitung sebagai "mejeng" doang di Ballon d'Or, mengingat Mahrez mengumpulkan 20 poin, lebih banyak dari Gigi
Side note: 20 poin yang dikumpulkan Mahrez gak ada apa-apanya dibandingin si model part-time Cristiano Ronaldo dengan 745 poin, but hey, it's something.
Banyak pihak yang kecewa dengan juaranya Leicester. Ada yang bilang itu 'hoki' mengingat emang agak susah masuk akal kenyataan bahwa tim yang hampir degradasi musim sebelumnya langsung juara di musim selanjutnya. Ada yang sekadar kesel bukan timnya yang juara, misalnya Tottenham Hotspurs yang juga lagi bagus-bagusnya musim itu.
Yang seneng tentu aja pendukung Leicester, tapi itu mah udah kentara, ya.
Banyak yang seneng Leicester jadi jawara musim lalu, ada yang bilang ini adalah contoh solid sebuah tim yang hampir gak punya apa-apa bisa jadi juara melebihi tim-tim yang lebih tinggi kelasnya. Kuda item yang sesungguhnya. The underdog. The zero that became the hero.
Tapi seriusan, ini kelas 'kuda item'-nya udah jauh lebih ekstrim.
Kuda item yang wajar di liga Inggris adalah tim-tim macam, sekali lagi, Tottenham Hotspurs. Sejatinya tim ini adalah tim bagus. Zonk-nya, tim ini selalu kalah sama tim elit sekelas MU, Manchester City, Chelsea, dan kaum-kaumnya, sehingga terhalang dari gelar jawara.
Atau tim papan tengah yang bermain solid setiap kali tanding, tapi, sekali lagi, gak bisa ngalahin tim-tim atasnya yang punya pemain lebih bagus.
Then again, Leicester gak masuk kedua kategori tersebut.
Dia ini udah masuk kategori kuda item-nya kuda item.
Get this though, Leicester bukan tim besar, tim papan tengah pun bukan, pemain-pemainnya gak ada yang terkenal apalagi ketauan bagus, ditambah lagi dengan reputasi yang gak terlalu enak diliat. Kuda item yang sempurna, seakan-akan gak punya redeeming value. Mungkin ada sikit-sikit dalam bentuk pelatih Claudio Ranieri, yang pernah menukangi Chelsea dulu. Udah. Itu doang.
But that just made the victory that much, much more sweet, didn't it?
Pendapat gue tentang situasi yang satu ini?
Bagian pendukung Chelsea gue seneng gara-gara rival-rival berat Chelsea gak jadi juara gegara gelar tersebut udah dicolong sama tim antah-berantah. Dengan kata lain, kalo misalnya gue gak juara, lo pada juga gak boleh juara. Toh ngapain gue kecewa, posisi Chelsea udah terlalu bontot buat dikecewain sama hasil-hasil pertandingan Leicester.
Bagian gue yang lainnya?
Gue seneng gara-gara Leicester berhasil memecahkan stigma sepakbola modern.
Jaman sekarang, tim dengan dompet tertebel menang.
Leicester gak punya dompet.
And yet, dia menang.
Leicester adalah contoh nyata bahwa
football is not about money.
It's about passion.
Battlefield Won
Rivalitas.
Jaman sekarang, gak ada bidang yang gak punya semacam unsur rivalitas di dalamnya.
Sebut aja satu bidang yang ada di dunia modern sekarang, pasti ada aja pihak-pihak yang saling bertempur dan bersaing agar bisa mendapatkan semacam keunggulan dibanding dengan yang lawannya.
Contoh? Simpel.
Sepak bola--> Real Madrid v FC Barcelona.
Smartphone--> Apple vs Samsung.
Social Media--> Facebook v Twitter v Instagram v Path v (taro nama sosmed yang lo tau).
Trus, apa hubungannya dengan, ehm, event yang bakal gue bahas sekarang.
Kita beralih ke bidang yang gue familier dan gue suka. Gaming.
Lebih tepatnya, kita merujuk ke sebuah genre.
Actually, ini adalah salah satu bidang yang gue pernah bahas dulu, gue pernah post tentang bidang beginian, kalo belom liat ya silakan diliat--
oke, gue malah nge-endorse diri gue sendiri.
Banyak juga sih game genre FPS yang saling bersaing, tapi belakangan ini orang lebih banyak ngebahas dua game in particular.
Pas mereka mulai terkenal sih, mereka berdua gak jauh beda.
Sama-sama game tembak-tembakan (you don't say), sama-sama membawa sudut pandang yang lebih grounded dan realistis terhadap genre tersebut (gak kek DOOM yang nyasar sampe ke Mars), dan keduanya dimulai pada awal 2000-an.
But, lama-kelamaan, keduanya mulai melenceng jauh dan makin berbeda satu dengan yang lain.
Call of Duty mulai ngayal dan setting-nya pun mulai kemana-mana. Dimulai dari tahun Call of Duty: Black Ops 2 (2012), Call of Duty udah nyasar ke latar waktu masa depan yang kita gak pernah tau dan yakin bakal terjadi. Serba futuristik dengan gimmick macam granat yang mencari dan mengincar musuh, exosuit ala-ala game Halo, dan tentu aja, robot-robot tempur.
Battlefield on the other hand jauh lebih membumi dengan setting yang lebih realistis. Dari banyaknya game Battlefield selama 7 tahun terakhir, nampaknya loncatan waktu mereka gak lebih jauh dari, ya, keadaan militer kita sekarang. Boro-boro pake robot tempur, pake drone aja gak sesering Call of Duty.
Terakhir pertempuran mereka sebelom 2016 adalah tahun sebelumnya, 2015. Battlefield punya Battlefield Hardline yang punya arah dan tema baru yaitu perang-perangan di jalanan alias polisi lawan maling. Di kubu Call of Duty adalah Call of Duty: Black Ops 3 yang semacam ngelanjutin tradisi futuristis dari Call of Duty: Black Ops 2.
Taon itu nampaknya berakhir sama kuat terhadap kedua franchise game dengan keduanya mendapatkan reaksi yang hangat namun gak panas dari penggemarnya masing-masing.
Taon ini?
2 Mei 2016, pihak Call of Duty mengumumkan game terbaru mereka,
Game tersebut, you guessed it, punya nuansa futuristis yang sama dengan Black Ops 3. Mungkin sedikitnya perbedaan terdapat pada skala Infinite Warfare yang hampir, ehm, infinite dengan latar tempat yang udah nyasar sampe ke luar angkasa. Yep, mereka perang di luar angkasa sekarang. Mengingatkan lo pada sesuatu? *ehm Halo ehm*
Gimana reaksi orang-orang?
As of now, game tersebut udah dapet 567 ribu lebih likes, likes terbanyak yang pernah didapetin oleh sebuah trailer Call of Duty sepanjang sejarah.
Eh, kenapa gue gak sebutin dislikes-nya?
3 juta.
Sebagai perbandingan, video YouTube yang paling banyak di-dislike adalah Baby-nya Justin Bieber dengan 7 juta dislikes.
Kedua terbanyak dislikes?
You guessed it.
Call of Duty: Infinite Warfare Reveal Trailer.
Yep, somehow, trailer tersebut sukses menjadi video dengan dislike terbanyak kedua di YouTube bahkan berhasil menyalip Friday-nya Rebecca Black yang notabene menurut gue merupakan salah satu lagu ter-ngehe sepanjang sejagat.
Fun fact: gue tau pertama kali tentang keberadaan game ini 12 jam setelah trailer tersebut dirilis ke YouTube. Ketika gue buka videonya, hal pertama yang nangkep perhatian gue adalah kenyataan bahwa likes dan dislikes dari video tersebut udah balepan dengan rasio 17 ribu likes dan 16 ribu dislikes. Yep, belom ada sehari video tersebut keluar, video tersebut udah kebanjiran dislike. Ah well, at least gak lebih cepet dari video-video yang di-upload YoungLex.
4 hari kemudian, Battlefield pun mengeluarkan senjata termutakhir mereka.
Jangan ketipu sama judulnya, ini bukan semacam reboot atau mereka langsung mengulang lagi franchise mereka dari awal. Nope, bukan itu.
Instead, Battlefield 1 punya latar tempat dan waktu yang bener-bener gak terduga.
Perang Dunia I.
Ketika trailer tersebut keluar, dunia internet pun langsung meledak.
Gue harus mulai dari mana, ya?
Ketika trailer tersebut keluar, bertebaran komentar di video tersebut berbunyi semacam 'RIP Call of Duty' dan pernyataan senada semacam 'Battlefield >>> Call of Duty'. Netizen seluruh dunia udah semacam merayakan kemenangan Battlefield yang terlihat mutlak atas Call of Duty.
Gak berhenti di situ, beredaran pula meme video trailer Battlefield 1 dibandingkan dengan Call of Duty. Ada yang-- ah sudahlah, gue gak bisa ngejelasin, jauh lebih gampang kalo diliat sendiri. Bukan cuman dibandingin dengan Call of Duty, trailer berlatar lagu Seven Nation Army tersebut juga di mash up dengan banyak banget video lainnya.
Gimana dengan trailer itu sendiri?
2 juta likes.
(gue salah satunya)
Dengan likes sebanyak itu, trailer tersebut sukses menjadi trailer game dengan likes terbanyak sepanjang sejarah.
What can I say?
Mengutip dua komentator WWE tentang Randy Orton,
Sebelom bom berupa trailer tersebut dijatuhkan, gak ada yang namanya pihak DICE selaku pembuat game tersebut mengonfirmasi kalo Battlefield selanjutnya bakal berlatar di Perang Dunia I. Hell, gak ada orang yang ngira mereka bakal terjun ke dunia Perang Dunia I. Gue aja mikir sejauh-jauhnya mereka, mereka bakal ke Perang Dunia II. Ato Perang Vietnam. TAPI GAK PERANG DUNIA I.
Ini kek salah satu peristiwa tersebut dimana
you were given something you never knew you wanted.
Padahal, sebenernya pihak Activision (pembuat serial Call of Duty) lah yang lebih sering diminta oleh fanbase-nya buat balik lagi ke masa-masa lalu seperti Perang Dunia I, bukan DICE. Fanbase yang lebih hardcore terhadap franchise tersebut udah mewanti-wanti Activision untuk rehat sejenak dari ke-ngayalan mereka tentang dunia masa depan, tema futuristik, dan latar yang surrealistis.
Nampaknya DICE menjadi pendengar keluhan yang baik, meskipun keluhan tersebut bukan ditujukan kepada mereka.
Sekarang, semenjak kedua game tersebut keluar, gimana nasib mereka berdua?
Call of Duty: Infinite Warfare mengalami penurunan sales sebesar 50% dari game sebelumnya, Call of Duty: Black Ops 3.
Perihal penjualan, belom dikeluarin pernyataan resmi mengenai selaku gimana Battlefield 1 ini sesungguhnya, tapi ada sebuah fakta yang bisa dijadiin ukuran.
Minggu pertama game itu keluar, penjualan Battlefield 1 sendirian udah melampaui gabungan penjualan dari Battlefield 4 dan Battlefield Hardline.
Well?
Setiap tahun, 2 franchise ini selalu saling bersaing.
Keduanya selalu seimbang. Gak ada yang laku jauh melampaui lawannya, dikarenakan kelemahan pada masing-masing game yang menghalangi keduanya untuk mengatasi game yang lain.
Buat tahun ini however,
we all knew who won.
For the First Time in Forever
NGAPAIN GUE NGEBAHAS FROZEN DI SINI?
Bukan, bukan Frozen yang gue maksud di sini, melainkan-- ah sudahlah, langsung aja.
Kek perlakuan gue terhadap dunia sepakbola tadi, mungkin tahun lalu bukan tahun yang bagus juga terhadap dunia perfilman. Partly gegara meninggalnya lebih dari sekadar satu-dua bintang film yang berbakat tahun ini. Carrie Fisher, Alan Rickman, dan Anton Yelchin adalah sedikit dari banyaknya orang yang meninggalkan kita tahun lalu.
Tentu aja kita punya beberapa film bagus tahun lalu untuk menghilangkan kesedihan kita-- tengok aja Rogue One: A Star Wars Story sebagai salah satu tribut untuk Fisher, atau Star Trek: Beyond sebagai salah satu peninggalan Yelchin.
Tapi, kita di sini bukan buat itu.
We're here for the Oscars.
Selain film-film berkualitas tinggi, Academy Awards juga mengapresiasi orang-orang yang terlibat dalam film-film gege tersebut. Sutradara, sinematografer, musisi, dan
aktor/aktris.
Selama berdekade-dekade Academy Awards diadakan, banyak banget aktor berbakat yang dapet penghargaan berprestisi tinggi. Bahkan ada aktor yang langganan dapet penghargaan ini. Sebut aja aktris Meryl Streep, atau Al "Tony Montana" Pacino. Dua orang ini, anggep aja, udah keseringan dapet piala Oscar mungkin mereka udah bosen kali sekarang.
Sayangnya (dan untungnya juga), hanya segelintir pelakon seni peran yang cukup beruntung untuk mendapatkan penghargaan ini. Jadi aktor yang luar biasa berbakat pun belom tentu jadi kunci mutlak untuk mendapatkan penghargaan ini. Jika diliat lagi, terkadang mengagetkan juga kenyataan bahwa orang-orang ini belom dapet Oscar mengingat dedikasi mereka di layar lebar.
Dari aktor yang kita tau bagus seperti Tom Cruise (Top Gun, Mission Impossible) sampe yang legendaris sekelas Charlie Chaplin pun sebenernya belom dapet penghargaan film nomer satu di dunia tersebut.
Then again, rasanya gak ada yang senyesek satu orang ini.
Mungkin dia bisa disandingkan dengan orang-orang yang belom dapet piala Oscar tadi, tapi kisah DiCaprio mungkin yang paling nyesek. See, orang-orang yang belom dapet penghargaan tadi mungkin cuman sekali-hajar doang kedapetan nominasi atau dapet film bagus. But no.
Not Leo.
Entah kenapa, gue jarang nemu film jelek yang ada dia di dalamnya.
Entah kenapa, Leo sangat magnetik dalam setiap peran yang dia dalamin. Setiap film yang mengandung unsur Leonardo DiCaprio biasanya menjadi film yang hitz keras, atau enak diliat. Semua pertunjukan yang dia pajang di film-film tersebut sangat meyakinkan.
Tentu aja, sebenernya itu belom terlalu nyesek, seandainya film tersebut adalah film-film yang somehow luput dari mata publik dan kritikus. Film-film indie yang mungkin tempatnya bukan di bioskop, tapi di festival film macam Cannes Film Festival.
Thing is, film-film yang ada Leo-nya, kek yang tadi gue bilang, selalu jadi terkenal.
Imbasnya, gak sedikit nominasi berbagai penghargaan dia dapat.
Salah satunya, ya Academy Awards.
Berapa kali sih, dia dapet nominasi sampe dia udah tergolong nyesek?
Gimana kalo 5 kali?
Tren ini dimulai dari tahun 1994, ketika Leo mendapatkan nominasi Oscar pertamanya untuk perannya sebagai anak penderita penyakit mental Arnie Grape di film drama What's Eating Gilbert Grape. Mungkin, orang-orang saat itu belom terlalu mikirin gimana nasib nyesek Leo untuk selanjutnya, mengingat ini adalah nominasi pertamanya. Mungkin orang pas itu mikir, "Wew, ini baru umur 19 tahun aja udah bisa dapet nominasi, pasti dia bakal subur kedepannya."
Loncat ke tahun 2005, Leo pun dapet nominasi lagi untuk perannya sebagai milyuner nyentrik Howard Hughes di film The Aviator. Bedanya, dia gak 'miskin' nominasi buat film ini, soalnya dia pun dinominasikan untuk penghargaan yang lain, seperti MTV Movie Awards, yang dia menangkan. Begitupun dengan nominasi ketiganya untuk film Blood Diamond tahun 2007.
Tahun 2014, ketika Leo mendapatkan nominasi Academy Awards for Best Actor yang keempat kalinya untuk perannya sebagai Jordan Belfort di Wolf of Wall Street, pastinya orang-orang udah gerah.
Give this guy an Oscar already! kata mereka.
Pasalnya, at this point, Leo mungkin udah sukses memenangkan semua penghargaan aktor terbaik kelas elit selain piala Oscar. Semua... kecuali satu. Padahal bukan cuma sekali pula dia dapet nominasi penghargaan kelas tinggi tersebut.
Sampai tibalah tanggal 16 Desember 2015.
Hari dimana film dengan nama Leo di dalamnya ditayangkan untuk pertama kalinya.
Secara gak mengagetkan, film tersebut dapet pujian dari mana-mana, dengan pujian kebanyakkan diarahkan ke sinematografi yang sangat memikat mata, pengarahan yang dianggep brilian, dan atmosfer film yang sangat tebel dan menggugah.
Oh ya, dan tentu saja, penampilan para bintang dalam film tersebut.
Pemeran pendukung Tom Hardy mendapatkan pujian, tapi kita gak bakal ngebahas itu.
Orang ngebahas penampilan yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio.
Seakan-akan mendadak semua orang tau betapa gege performa yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio, betapa gila dedikasi yang dia berikan untuk membawakan tokoh Hugh Glass, pemburu yang, dalam ke-zonk-annya, diserang oleh beruang ketika sedang berburu.
Dari situ, orang langsung beralih ke topik yang udah menghantui mereka selama bertahun-tahun.
Dapet Oscar gak, dia?
Gak terlalu lama kemudian, acara Academy Awards pun diadakan, dan, seperti yang kebanyakan orang duga, Leo pun dapet nominasi atas perannya di film tersebut.
Lalu datanglah tanggal 28 Februari 2016.
Gue sedang bersantai-santai bersama Sanji dan Gumuk, yang kebetulan tau tentang situasi yang dialami oleh Leo selama bertahun-tahun. Believe it or not, gue deg-degan juga nungguin hasil yang didapetin sama si Leo ini.
Gumuk pun orang pertama yang mengetahui hasil pengumuman Oscars tersebut, langsung bilang ke gue,
"Mo!
Leo menang!"
BOOM.
Gue langsung teriak-teriak kek orang kesurupan.
Tolol juga sih, dia yang menang tapi gue keliatannya lebih seneng dari dia.
Keep in mind bahwa kemenangan Leo semacam "dihantui" oleh kekhilafan yang dilakukan oleh Steve Harvey selaku announcer Miss Universe, dimana dia salah mengumumkan pemenang Miss Universe 2015 di tahun yang sama (dan menyebabkan korban menangis di atas panggung).
Nampaknya bukan cuman gue doang, soalnya nampaknya netizen di seluruh dunia berteriak-teriak kesenengan atas kemenangan yang didapatkan Leo tahun lalu.
Ketika Leo naik ke atas panggung, diapun mengantarkan pidatonya, yang orang bilang (dan cibir, sebenernya) udah dia siapin dari 10 tahun yang lalu, hence kenapa kedengerannya speech tersebut sangat terstruktur dan terorganisir.
Gue denger sih versi penuhnya kepanjangan, tapi ada kata-kata yang kena banget:
"Film The Revenant mengisahkan hubungan antara manusia dengan dunia alam...
...perubahan iklim sangat nyata, terbukti dari kita yang harus berjalan sampai ke ujung selatan bumi agar bisa mengambil gambar film ini...
...kita harus mendukung pemimipin dunia yang tidak berbicara untuk para pencemar, tapi untuk keseluruhan dari umat manusia...
...janganlah kita menyia-nyiakan planet ini.
Saya tidak menyia-nyiakan malam ini. Terima kasih banyak."
Worth the 13 years wait, yeah?
Well Leo,
congratulations on your first-time-in-forever Oscar award.
And here's for more to come.
Rivalitas.
Jaman sekarang, gak ada bidang yang gak punya semacam unsur rivalitas di dalamnya.
Sebut aja satu bidang yang ada di dunia modern sekarang, pasti ada aja pihak-pihak yang saling bertempur dan bersaing agar bisa mendapatkan semacam keunggulan dibanding dengan yang lawannya.
Lionel Messi vs Cristiano Ronaldo, contoh rivalitas yang lain. |
Contoh? Simpel.
Sepak bola--> Real Madrid v FC Barcelona.
Smartphone--> Apple vs Samsung.
Social Media--> Facebook v Twitter v Instagram v Path v (taro nama sosmed yang lo tau).
Trus, apa hubungannya dengan, ehm, event yang bakal gue bahas sekarang.
Kita beralih ke bidang yang gue familier dan gue suka. Gaming.
Lebih tepatnya, kita merujuk ke sebuah genre.
First Person Shooter.
Actually, ini adalah salah satu bidang yang gue pernah bahas dulu, gue pernah post tentang bidang beginian, kalo belom liat ya silakan diliat--
oke, gue malah nge-endorse diri gue sendiri.
Banyak juga sih game genre FPS yang saling bersaing, tapi belakangan ini orang lebih banyak ngebahas dua game in particular.
Call of Duty v Battlefield.
Sama-sama game tembak-tembakan (you don't say), sama-sama membawa sudut pandang yang lebih grounded dan realistis terhadap genre tersebut (gak kek DOOM yang nyasar sampe ke Mars), dan keduanya dimulai pada awal 2000-an.
But, lama-kelamaan, keduanya mulai melenceng jauh dan makin berbeda satu dengan yang lain.
Call of Duty mulai ngayal dan setting-nya pun mulai kemana-mana. Dimulai dari tahun Call of Duty: Black Ops 2 (2012), Call of Duty udah nyasar ke latar waktu masa depan yang kita gak pernah tau dan yakin bakal terjadi. Serba futuristik dengan gimmick macam granat yang mencari dan mengincar musuh, exosuit ala-ala game Halo, dan tentu aja, robot-robot tempur.
Battlefield on the other hand jauh lebih membumi dengan setting yang lebih realistis. Dari banyaknya game Battlefield selama 7 tahun terakhir, nampaknya loncatan waktu mereka gak lebih jauh dari, ya, keadaan militer kita sekarang. Boro-boro pake robot tempur, pake drone aja gak sesering Call of Duty.
Taon itu nampaknya berakhir sama kuat terhadap kedua franchise game dengan keduanya mendapatkan reaksi yang hangat namun gak panas dari penggemarnya masing-masing.
Taon ini?
2 Mei 2016, pihak Call of Duty mengumumkan game terbaru mereka,
Call of Duty: Infinite Warfare.
Game tersebut, you guessed it, punya nuansa futuristis yang sama dengan Black Ops 3. Mungkin sedikitnya perbedaan terdapat pada skala Infinite Warfare yang hampir, ehm, infinite dengan latar tempat yang udah nyasar sampe ke luar angkasa. Yep, mereka perang di luar angkasa sekarang. Mengingatkan lo pada sesuatu? *ehm Halo ehm*
Gimana reaksi orang-orang?
As of now, game tersebut udah dapet 567 ribu lebih likes, likes terbanyak yang pernah didapetin oleh sebuah trailer Call of Duty sepanjang sejarah.
Eh, kenapa gue gak sebutin dislikes-nya?
3 juta.
Sebagai perbandingan, video YouTube yang paling banyak di-dislike adalah Baby-nya Justin Bieber dengan 7 juta dislikes.
Kedua terbanyak dislikes?
You guessed it.
Call of Duty: Infinite Warfare Reveal Trailer.
Yep, somehow, trailer tersebut sukses menjadi video dengan dislike terbanyak kedua di YouTube bahkan berhasil menyalip Friday-nya Rebecca Black yang notabene menurut gue merupakan salah satu lagu ter-ngehe sepanjang sejagat.
Fun fact: gue tau pertama kali tentang keberadaan game ini 12 jam setelah trailer tersebut dirilis ke YouTube. Ketika gue buka videonya, hal pertama yang nangkep perhatian gue adalah kenyataan bahwa likes dan dislikes dari video tersebut udah balepan dengan rasio 17 ribu likes dan 16 ribu dislikes. Yep, belom ada sehari video tersebut keluar, video tersebut udah kebanjiran dislike. Ah well, at least gak lebih cepet dari video-video yang di-upload YoungLex.
4 hari kemudian, Battlefield pun mengeluarkan senjata termutakhir mereka.
Battlefield 1.
Jangan ketipu sama judulnya, ini bukan semacam reboot atau mereka langsung mengulang lagi franchise mereka dari awal. Nope, bukan itu.
Instead, Battlefield 1 punya latar tempat dan waktu yang bener-bener gak terduga.
Perang Dunia I.
Ketika trailer tersebut keluar, dunia internet pun langsung meledak.
Gue harus mulai dari mana, ya?
Ketika trailer tersebut keluar, bertebaran komentar di video tersebut berbunyi semacam 'RIP Call of Duty' dan pernyataan senada semacam 'Battlefield >>> Call of Duty'. Netizen seluruh dunia udah semacam merayakan kemenangan Battlefield yang terlihat mutlak atas Call of Duty.
Gak berhenti di situ, beredaran pula meme video trailer Battlefield 1 dibandingkan dengan Call of Duty. Ada yang-- ah sudahlah, gue gak bisa ngejelasin, jauh lebih gampang kalo diliat sendiri. Bukan cuman dibandingin dengan Call of Duty, trailer berlatar lagu Seven Nation Army tersebut juga di mash up dengan banyak banget video lainnya.
Gimana dengan trailer itu sendiri?
2 juta likes.
(gue salah satunya)
Dengan likes sebanyak itu, trailer tersebut sukses menjadi trailer game dengan likes terbanyak sepanjang sejarah.
What can I say?
Mengutip dua komentator WWE tentang Randy Orton,
Outta nowhere!
Sebelom bom berupa trailer tersebut dijatuhkan, gak ada yang namanya pihak DICE selaku pembuat game tersebut mengonfirmasi kalo Battlefield selanjutnya bakal berlatar di Perang Dunia I. Hell, gak ada orang yang ngira mereka bakal terjun ke dunia Perang Dunia I. Gue aja mikir sejauh-jauhnya mereka, mereka bakal ke Perang Dunia II. Ato Perang Vietnam. TAPI GAK PERANG DUNIA I.
Ini kek salah satu peristiwa tersebut dimana
you were given something you never knew you wanted.
Padahal, sebenernya pihak Activision (pembuat serial Call of Duty) lah yang lebih sering diminta oleh fanbase-nya buat balik lagi ke masa-masa lalu seperti Perang Dunia I, bukan DICE. Fanbase yang lebih hardcore terhadap franchise tersebut udah mewanti-wanti Activision untuk rehat sejenak dari ke-ngayalan mereka tentang dunia masa depan, tema futuristik, dan latar yang surrealistis.
Nampaknya DICE menjadi pendengar keluhan yang baik, meskipun keluhan tersebut bukan ditujukan kepada mereka.
Sekarang, semenjak kedua game tersebut keluar, gimana nasib mereka berdua?
Call of Duty: Infinite Warfare mengalami penurunan sales sebesar 50% dari game sebelumnya, Call of Duty: Black Ops 3.
Perihal penjualan, belom dikeluarin pernyataan resmi mengenai selaku gimana Battlefield 1 ini sesungguhnya, tapi ada sebuah fakta yang bisa dijadiin ukuran.
Minggu pertama game itu keluar, penjualan Battlefield 1 sendirian udah melampaui gabungan penjualan dari Battlefield 4 dan Battlefield Hardline.
Well?
Setiap tahun, 2 franchise ini selalu saling bersaing.
Keduanya selalu seimbang. Gak ada yang laku jauh melampaui lawannya, dikarenakan kelemahan pada masing-masing game yang menghalangi keduanya untuk mengatasi game yang lain.
Buat tahun ini however,
we all knew who won.
For the First Time in Forever
NGAPAIN GUE NGEBAHAS FROZEN DI SINI?
Bukan, bukan Frozen yang gue maksud di sini, melainkan-- ah sudahlah, langsung aja.
Anton. |
Kek perlakuan gue terhadap dunia sepakbola tadi, mungkin tahun lalu bukan tahun yang bagus juga terhadap dunia perfilman. Partly gegara meninggalnya lebih dari sekadar satu-dua bintang film yang berbakat tahun ini. Carrie Fisher, Alan Rickman, dan Anton Yelchin adalah sedikit dari banyaknya orang yang meninggalkan kita tahun lalu.
Tentu aja kita punya beberapa film bagus tahun lalu untuk menghilangkan kesedihan kita-- tengok aja Rogue One: A Star Wars Story sebagai salah satu tribut untuk Fisher, atau Star Trek: Beyond sebagai salah satu peninggalan Yelchin.
Tapi, kita di sini bukan buat itu.
We're here for the Oscars.
Selain film-film berkualitas tinggi, Academy Awards juga mengapresiasi orang-orang yang terlibat dalam film-film gege tersebut. Sutradara, sinematografer, musisi, dan
aktor/aktris.
Selama berdekade-dekade Academy Awards diadakan, banyak banget aktor berbakat yang dapet penghargaan berprestisi tinggi. Bahkan ada aktor yang langganan dapet penghargaan ini. Sebut aja aktris Meryl Streep, atau Al "Tony Montana" Pacino. Dua orang ini, anggep aja, udah keseringan dapet piala Oscar mungkin mereka udah bosen kali sekarang.
Sayangnya (dan untungnya juga), hanya segelintir pelakon seni peran yang cukup beruntung untuk mendapatkan penghargaan ini. Jadi aktor yang luar biasa berbakat pun belom tentu jadi kunci mutlak untuk mendapatkan penghargaan ini. Jika diliat lagi, terkadang mengagetkan juga kenyataan bahwa orang-orang ini belom dapet Oscar mengingat dedikasi mereka di layar lebar.
Dari aktor yang kita tau bagus seperti Tom Cruise (Top Gun, Mission Impossible) sampe yang legendaris sekelas Charlie Chaplin pun sebenernya belom dapet penghargaan film nomer satu di dunia tersebut.
Then again, rasanya gak ada yang senyesek satu orang ini.
Leonardo DiCaprio.
Mungkin dia bisa disandingkan dengan orang-orang yang belom dapet piala Oscar tadi, tapi kisah DiCaprio mungkin yang paling nyesek. See, orang-orang yang belom dapet penghargaan tadi mungkin cuman sekali-hajar doang kedapetan nominasi atau dapet film bagus. But no.
Not Leo.
Entah kenapa, gue jarang nemu film jelek yang ada dia di dalamnya.
Entah kenapa, Leo sangat magnetik dalam setiap peran yang dia dalamin. Setiap film yang mengandung unsur Leonardo DiCaprio biasanya menjadi film yang hitz keras, atau enak diliat. Semua pertunjukan yang dia pajang di film-film tersebut sangat meyakinkan.
Tentu aja, sebenernya itu belom terlalu nyesek, seandainya film tersebut adalah film-film yang somehow luput dari mata publik dan kritikus. Film-film indie yang mungkin tempatnya bukan di bioskop, tapi di festival film macam Cannes Film Festival.
Thing is, film-film yang ada Leo-nya, kek yang tadi gue bilang, selalu jadi terkenal.
Imbasnya, gak sedikit nominasi berbagai penghargaan dia dapat.
Salah satunya, ya Academy Awards.
Berapa kali sih, dia dapet nominasi sampe dia udah tergolong nyesek?
Gimana kalo 5 kali?
Tren ini dimulai dari tahun 1994, ketika Leo mendapatkan nominasi Oscar pertamanya untuk perannya sebagai anak penderita penyakit mental Arnie Grape di film drama What's Eating Gilbert Grape. Mungkin, orang-orang saat itu belom terlalu mikirin gimana nasib nyesek Leo untuk selanjutnya, mengingat ini adalah nominasi pertamanya. Mungkin orang pas itu mikir, "Wew, ini baru umur 19 tahun aja udah bisa dapet nominasi, pasti dia bakal subur kedepannya."
Loncat ke tahun 2005, Leo pun dapet nominasi lagi untuk perannya sebagai milyuner nyentrik Howard Hughes di film The Aviator. Bedanya, dia gak 'miskin' nominasi buat film ini, soalnya dia pun dinominasikan untuk penghargaan yang lain, seperti MTV Movie Awards, yang dia menangkan. Begitupun dengan nominasi ketiganya untuk film Blood Diamond tahun 2007.
Chasing an Oscarbe like... |
Tahun 2014, ketika Leo mendapatkan nominasi Academy Awards for Best Actor yang keempat kalinya untuk perannya sebagai Jordan Belfort di Wolf of Wall Street, pastinya orang-orang udah gerah.
Give this guy an Oscar already! kata mereka.
Pasalnya, at this point, Leo mungkin udah sukses memenangkan semua penghargaan aktor terbaik kelas elit selain piala Oscar. Semua... kecuali satu. Padahal bukan cuma sekali pula dia dapet nominasi penghargaan kelas tinggi tersebut.
Sampai tibalah tanggal 16 Desember 2015.
Hari dimana film dengan nama Leo di dalamnya ditayangkan untuk pertama kalinya.
The Revenant.
Secara gak mengagetkan, film tersebut dapet pujian dari mana-mana, dengan pujian kebanyakkan diarahkan ke sinematografi yang sangat memikat mata, pengarahan yang dianggep brilian, dan atmosfer film yang sangat tebel dan menggugah.
Oh ya, dan tentu saja, penampilan para bintang dalam film tersebut.
Pemeran pendukung Tom Hardy mendapatkan pujian, tapi kita gak bakal ngebahas itu.
Orang ngebahas penampilan yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio.
Seakan-akan mendadak semua orang tau betapa gege performa yang dibawakan oleh Leonardo DiCaprio, betapa gila dedikasi yang dia berikan untuk membawakan tokoh Hugh Glass, pemburu yang, dalam ke-zonk-annya, diserang oleh beruang ketika sedang berburu.
Dari situ, orang langsung beralih ke topik yang udah menghantui mereka selama bertahun-tahun.
Dapet Oscar gak, dia?
Gak terlalu lama kemudian, acara Academy Awards pun diadakan, dan, seperti yang kebanyakan orang duga, Leo pun dapet nominasi atas perannya di film tersebut.
Lalu datanglah tanggal 28 Februari 2016.
Gue sedang bersantai-santai bersama Sanji dan Gumuk, yang kebetulan tau tentang situasi yang dialami oleh Leo selama bertahun-tahun. Believe it or not, gue deg-degan juga nungguin hasil yang didapetin sama si Leo ini.
Gumuk pun orang pertama yang mengetahui hasil pengumuman Oscars tersebut, langsung bilang ke gue,
"Mo!
Leo menang!"
BOOM.
Gue langsung teriak-teriak kek orang kesurupan.
Tolol juga sih, dia yang menang tapi gue keliatannya lebih seneng dari dia.
Keep in mind bahwa kemenangan Leo semacam "dihantui" oleh kekhilafan yang dilakukan oleh Steve Harvey selaku announcer Miss Universe, dimana dia salah mengumumkan pemenang Miss Universe 2015 di tahun yang sama (dan menyebabkan korban menangis di atas panggung).
Nampaknya bukan cuman gue doang, soalnya nampaknya netizen di seluruh dunia berteriak-teriak kesenengan atas kemenangan yang didapatkan Leo tahun lalu.
Ketika Leo naik ke atas panggung, diapun mengantarkan pidatonya, yang orang bilang (dan cibir, sebenernya) udah dia siapin dari 10 tahun yang lalu, hence kenapa kedengerannya speech tersebut sangat terstruktur dan terorganisir.
Gue denger sih versi penuhnya kepanjangan, tapi ada kata-kata yang kena banget:
"Film The Revenant mengisahkan hubungan antara manusia dengan dunia alam...
...perubahan iklim sangat nyata, terbukti dari kita yang harus berjalan sampai ke ujung selatan bumi agar bisa mengambil gambar film ini...
...kita harus mendukung pemimipin dunia yang tidak berbicara untuk para pencemar, tapi untuk keseluruhan dari umat manusia...
...janganlah kita menyia-nyiakan planet ini.
Saya tidak menyia-nyiakan malam ini. Terima kasih banyak."
Worth the 13 years wait, yeah?
Well Leo,
congratulations on your first-time-in-forever Oscar award.
And here's for more to come.
Marvel-ously Good, DC-eptively Bad
Ow syit, gue kelewatan.
Gue kelewatan satu lagi contoh rivalitas.
Actually, gue sengaja lupa *alesan* taro di atas tadi, biar bisa taro di bawah sini.
Marvel v DC.
Dua raksasa komik ini udah bertempur di dunia perkomikan sejak jauh sebelom bokap- nyokap gue lahir. Saking serunya, jaman sekarang udah susah nemuin orang yang gak tau seminimal-minimalnya tokoh fiksi bernama Superman atau Spider-man. Superman lah, seminimal-minimalnya.
Sebenernya, dimulai dari 20 tahun lalu, mereka udah bawa peperangan mereka ini ke field yang baru.
Perfilman.
Sebenernya DC yang mulai sih, dengan naro Superman di bioskop tahun 1978. Sejak tahun itu, publik dikenalkan dengan sebuah genre film baru. Genre yang masih subur sampe sekarang.
Superhero film.
Gak banyak yang tau kalo sebenernya Marvel ngebalas DC pada tahun-tahun tersebut dengan beberapa film, meskipun hampir gak ada orang yang tau kalo mereka sebenernya ngerilis film juga. Kecuali serial TV The Incredible Hulk yang mana si buto ijo bule diperankan oleh Lou Ferrigno, ada alasan bagus kenapa gak ada yang tau Marvel bikin film juga. Yep, mereka semacam... ampas.
Loncat ke hampir 30 tahun kemudian, mereka masih sibuk-sibuknya perang di bioskop kesayangan anda.
Tak terkecuali adalah tahun lalu, 2016.
Taon lalu, masing-masing kubu merilis 2 film.
Dari sisi Marvel ada
Captain America: Civil War dan Doctor Strange.
Sementara itu, DC punya
Batman v Superman: Dawn of Justice dan Suicide Squad.
Interesting side-note: Apa gara-gara kebetulan atau mungkin ada semacam kongkalikong tersembunyi, kedua kubu punya satu film yang sama-sama bertemakan superhero melawan sesama superhero. Soal yang mana film yang gue maksud, mendingan gue biarin lo tebak sendiri.
Anyways, keempat film punya hype yang luar biasa gede menuju ke tanggal rilis mereka. Mau itu penggemar komik tulen atau penggemar film biasa berbau casual.
Peperangan dimulai, sekali lagi, oleh DC.
Batman v Superman dirilis di bioskop pada tanggal 19 Maret 2016.
Piye?
Pas gue liat rating mereka segala macem, gue kaget karena rating film tersebut adalah
27%.
Eng ing eng.
To be honest, gue syok bener soalnya gue gak bisa ngeliat gimana film dengan formula sesempurna itu bisa dapet rating serendah itu. Ayolah, siapa yang gak mau liat Batman adu jotos sama Superman? Scratch that actually, mungkin ada yang udah pernah liat mereka berdua saling bogem di film animasi Batman: The Dark Knight Returns.
I mean,
how can they screw up a perfect movie?
Hampir sebulan kemudian, Marvel pun ngebales dengan film yang udah ditunggu-tunggu sejagat penggemar komik. Bukan cuman oleh Marvel, tapi oleh fans DC juga, terutama fans hardcore butthurt yang semacam berharap film Marvel tersebut jeblok juga, yekali jadi ada temennya, kan.
12 April 2016, Captain America: Civil War diputar perdana di Dolby Theatre.
Rating? Ah semua orang selalu ngincer rating.
Tapi gue kasitau, film tersebut mendapatkan rating
90%.
BOOM.
Pencukuran, begitu kata fans Marvel hardcore yang benci sama fans tetangganya.
Again, perfect formula. Meskipun ending buat kedua studio bener-bener bertolak belakang.
Although I must say that langkah buat taro superhero dari masing-masing kubu buat mengadakan adu jotos agak sedikit prematur. Agak kecepetan.
Ini Civil War asli... |
Marvel masih agak mending mengingat superhero yang saling berseteru (Captain America dan Iron Man) udah punya cerita dan perkembangan karakter yang terlihat dari lebih dari satu film yang melibatkan mereka, mau dari standalone film kek Captain America: The Winter Soldier dan Iron Man 3, ataupun dari collaboration kek The Avengers. Actually, mereka udah berkembang dari sisi karakter.
Kekurangannya adalah kurang rame.
...ini Civil War di film. |
Sebagus apapun adegan bogem-membogem di bandar dalam film tersebut, adegan itu terasa kurang epik gegara cuman ada total 12 superhero dari masing-masing kubu. Jumlah itu masih setengah dari komik asalnya, di mana satu kubu aja udah bawa 12 superhero. Udah gitu, temen-temen Captain America dan Iron Man juga semacam gak punya character development sedalem pentolan mereka masing-masing. Hampir kek semut berantem di atas ring WWE beneran. Yep, arena berantem mereka kegedean.
Still, dengan kekurangan parah tokoh-tokoh partisipan Civil War tersebut, adegan bandara tersebut masih seru tanpa mengundang cringe mengingat masalah arena kegedean tadi.
DC ini yang kena zonk.
Superman baru dapet satu (yep, the one and only) film sebagai bahan buat character development dia, yaitu Man of Steel. Lawannya, Batman, malahan belom punya. Hell, character development yang ada di Batman menuju dia ngelawan si jubah mirah ada di dalam Batman vs Superman. Mirip dengan counterpart Marvel-nya, sepanjang film udah ditaro semacam animosity yang berujung ke klimaks tersebut, berantemnya Batman vs Superman. Lumayan bagus pula, adu jotos benerannya.
Problem is, unsur 'Batman vs Superman' sesungguhnya dalam film tersebut cuman sepanjang 15 menit lebih dikit.
Yep, beda dengan sepanjang film Civil War yang mana tema perpecahan dalam tim Avengers berlangsung dimulai dari seperempat awal film sampe abis, di Batman vs Superman cuman ada di... ya 15 menit itu. Selebihnya? Build-up, backstory, sub-plot, dan set-up menuju Justice League yang dirilis tahun ini. Hampir seakan-akan judul 'Batman vs Superman' adalah, sorry to say, clickbait biar orang bela-belain beli tiket bioskop biar bisa nonton Superman adu jotos sama Batman.
Then again, dengan kedua kelemahan pada film tersebut, Marvel berhasil lolos gegara cerita yang lebih nyambung, jauh dari ke-bertele-tele-an, dan tentu aja, satu dua humor yang menjauhkan penontonnya dari kebosanan.
Ronde selanjutnya adalah Suicide Squad vs Doctor Strange.
Scratch that, dua film ini gak bisa dibandingin soalnya mereka bawa dua tema yang beda.
Kita mulai dengan Suicide Squad yang dirilis duluan, tanggal 1 Agustus.
Sebelom kita masuk ke rating film ini (spoilers: gak enak diliat), gue mau bilang satu hal.
Jared Leto adalah Joker ketiga terbaik dari semua Joker yang gue pernah tonton.
Oops.
Pas pertama gue denger tentang keterlibatan Jared Leto sebagai Joker, gue lumayan kena hype, soalnya gue tau Jared Leto adalah seorang aktor berbakat yang bisa memainkan berbagai karakter. Nambah lagi pas gue denger dia bener-bener berdedikasi terhadap perannya tersebut, atau apa yang disebut dengan method acting.
Pas gue liat dia...
Gak, gue gak bilang dia jelek sebagai Joker.
Let's just say dia ada khilaf sana-sini sebagai Joker.
Meskipun itu, Joker yang dia bawakan adalah Joker yang kita tau, yaitu Joker yang menebar teror ke dalam jantung lawan-lawannya dan Joker yang tidak terduga. At least dia dapet bagian itu.
Sayangnya, terkadang dalam penampilannya Jared Leto bisa mengundang cringe. Ngeliat dia sebagai Joker, gue kadang-kadang bisa kebingungan dia ini mau menakut-nakuti lawannya di balik perangai badutnya atau dia mau nge-homoin lawannya. Another thing is that Joker yang dibawakan Jared Leto kurang eksplosif. Kurang meriah. Simpelnya, kurang punya selera humor alias kurang banyak ketawa. Pas ketawa pun dia, ehm, bunyinya kek kuda kelaperan.
Now with that out from the way,
rating Suicide Squad adalah
26%.
Sekarang, ke pendapat gue.
1% di bawah Batman vs Superman sih iya, tapi menurut gue,
gue lebih nikmatin Suicide Squad daripada Batman vs Superman.
Begonya, Suicide Squad punya kekhilafan yang bahkan Batman vs Superman gak punya.
Editing.
Beuh, editing dari film satu ini bener-bener choppy dan berantakan. Kalo udah masuk adegan action, biasanya kamera film ini bisa gonta-ganti lebih dari 10 kali. Udah gitu, terkadang sudut kamera dan lighting jadi kendala tulen buat ngedapetin view yang bagus terhadap adegan tersebut. Bisa jadi, sekali satu tokoh melayangkan tinjunya, kamera langsung ganti. Atau mungkin ganti dua kali dalam satu adegan tersebut.
Begonya (lagi), di saat cerita Batman vs Superman udah amburadul, ternyata si ini lebih amburadul lagi.
Bedanya, yang ini lebih enak diliat dan gak ngebosenin. Meskipun imbasnya film ini jadi punya kualitas yang terkesan dank tingkat parah.
Terdapat lebih dari satu poin cerita yang dipertanyakan keberadaannya, kek perlakuan Amanda Waller terhadap sesama koleganya, atau kenapa Waller ngirim 8 orang semi-luar biasa buat ngatasin antagonis film ini kalo dia bisa langsung suruh, I don't know, SUPERMAN buat ngatasin dia? Atau misalnya-- ah sudahlah, Cinema Sins bisa ngasih tau lebih jelas.
That said, tokoh-tokoh dalam film punya jauh lebih banyak warna dari film tetangganya. Penampilan yang ditampilkan oleh para pemeran juga gak kalah kece, yang bisa lebih kece lagi seandainya writing film ini lebih mateng. Kita semua udah tau Margot Robbie dan Harley Quinn-nya yang lebih enak diliat dari Joker, atau Deadshot-nya Will Smith yang punya pesona khas... ya Will Smith.
All in all, mungkin rating dia gak bisa bagus, tapi gak sejelek itu juga.
Butuh waktu 2 bulan lebih buat Marvel buat ngebales. Well, mereka bisa ngebales lebih cepet, tapi save the best for the last, kan?
Doctor Strange diputar perdana pada tanggal 13 Oktober di Hong Kong.
Nah ini.
Civil War sih gue udah menduga bakal bagus, tapi Doctor Strange... gue gak punya ekspektasi yang tinggi.
Sampe akhirnya gue tonton, tentu aja.
Right off the bat gue bakal bilang film ini bener-bener ngagetin gue, in a good way.
Ini Inception... |
Mulai dari visual film yang dinominasi Academy Awards sampe action set pieces yang suguhan enak bagi mata hingga ke klimaks yang bener-bener unorthodox, film ini seakan-akan ngeluarin sesuatu yang baru ketika kita kira dia gak bakal kasih apa-apa lagi.
...ini Doctor Strange. |
Soal visual, film ini seakan terisnpirasi dari Inception. Tau kan, film yang ceritanya adalah mimpi dalam mimpi dalam mimpi? Bedanya, Doctor Strange bisa 10 kali lebih teler dari film tersebut kalo diukur dari sudut visual. Selama di bioskop gue nonton ni film, gue biasanya ngelongo sambil nggeleng-nggeleng kepala, bilang "Weh, teler ni film." Visuals tersebut nyampur secara mulus dengan action dalam film tersebut yang, kek yang tadi gue bilang, enak diliat pula.
Gak lupa adalah formula Marvel yang paling khas ada dan sangat sehat walafiat dalam film ini. Yep, humor. Meskipun disuguhkan lebih sedikit dari kebanyakan film Marvel lainnya, kekocakan yang datang dalam dosis kecil tetep bisa bikin ketawa. Ditambah lagi Benedict Cumberbatch yang anehnya, dibalik ketamvanannya, bisa ngelawak juga. Si Sherlock masih bisa menggelitik, mau itu secara sengaja maupun secara gak disengaja, terutama di klimaks film tersebut (yang akhirnya menjadi meme).
Lucunya, gue gak sebut cerita. Yep, sayang sekali, cerita Doctor Strange, meskipun dibawakan dengan baik, bukan cerita yang bener-bener bagus. Cliche, malahan. Belom lagi ditambah tokoh antagonis yang, untuk kesekian kalinya, ngebosenin. Then again, eksekusi cerita ini semacam menutupi ke-biasa-banget-an dari cerita tersebut.
Oh ya, lupa.
Rating.
90% juga.
Tentu aja gue gak bakal nyandingin rating masing-masing film sebelah-sebelahan, ntar keliatan mirisnya.
Entahlah apa para kritikus film emang bersekongkol buat ngebenci DC dan ngasih rating jelek buat film-film mereka, atau emang film mereka gak bagus-bagus amat. Batman vs Superman emang, ehm, semacam ampas, tapi Suicide Squad juga gak pantes dapet rating serendah itu.
Di sisi lain, Marvel sebagai pemenang kentara dari perang taon lalu mungkin emang keliatannya jadi bagian persekongkolan para kritikus buat ngasih nilai bagus (I mean, skornya sama persis!), atau film mereka emang bagus juga. Civil War mungkin nilanya agak ketinggian, tapi Doctor Strange... yah, leh uga.
Marvel, yang bagi mereka tahun ini mungkin sama seperti tahun-tahun sukses sebelumnya dan yang akan datang, berhasil melewati tahun ini dengan
marvelously good.
DC, yang entah kenapa belom berhasil menghasilkan film yang bagus (namun gak sejelek pendapat kritikus), tergopoh-gopoh melewati tahun 2016 dengan keadaan
deceptively bad.
...
...
...
Yah, begitulah tahun lalu.
Gue udah capek nulis.
Sekarang gue nanya,
gimana 2016 lo?
Until the next post, bungs! :D
No comments:
Post a Comment