Starring:
- Raditya Dika
- Soleh Solihun
- Prilly Latuconsina
- Gading Marten
- Surya Saputra
- Bayu Skak
- Titi Kamal
- Dinda Kanyadewi
- Mathias Muchus
Runtime: 1 jam 41 menit
Bang Radit rajin ye, akhir-akhir ini.
And by "akhir-akhir ini", maksud gue adalah dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, dari 2013 sampe 2016.
I mean, seriously, dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, gak kurang dari 7 film udah dirilis dengan tagline "sebuah film karya Raditya Dika". Saking banyaknya film Bang Radit yang beredar, bisa jadi 1 dari 5 film Indonesia yang rilis pada suatu tahun adalah film karya Raditya Dika.
Don't mind anekdot yang gue sebutin di atas, itu ngasal.
Anyways, gue tetep gak bisa nyangkal kalo Bang Radit adalah seorang filmmaker yang produktif tingkat parah. Mungkin aja gara-gara dia punya source material yang dia bisa adaptasi kapan aja tanpa dipusingin sama copyright, yaitu novel-novel dia. Terbukti dari 7 film tersebut, 4 di antaranya adalah adaptasi dari novel dia. Tetep aja, kalo itu diilangin, 3 film dalam kurun waktu 3 tahun adalah no small feat.
Interestingly, Hangout adalah film pertama Bang Radit yang tidak terikat pada sebuah tema sentral yang sangat kuat di film-film Bang Radit sebelumnya: cinta.
Kata gue sih, good for him.
Tengok aja Single, film non-adaptasi terakhir Bang Radit yang bertemakan cinta. Meskipun dari segi teknis sabi (soundtrack, cast, sinematografi, dan teman-temannya), dari segi story... not so much. Sori nih bang, but I gotta be honest. Mungkin salah satu kelemahan Single (menurut gue) adalah identity crisis yang menghantui satu film tersebut, di mana film itu sering kebingungan antara mau jadi film drama atau film komedi. Belom lagi drama is not exactly Bang Radit's strongest suit.
So, kata gue, ini adalah salah satu attempt bang Radit buat balik ke genre yang telah membesarkan dia, komedi. Gak pake percintaan, perjombloan, dan kaum-kaumnya.
Jalan gak?
This is the End... or is It?
Let's see here...
Sebuah film komedi buatan seorang comedian (stand-up comedian, lebih tepatnya) bercerita tentang para selebriti memerankan diri mereka sendiri, terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam nyawa mereka, yang mana mereka bertingkah kalang kabut tingkat tulen?
Sounds familiar.
Oke, mungkin gak kalang kabut tingkat tulen banget sih, tapi lumayan panik juga.
Anyways, mirip sama film apa ya...
Oh ya,
This is the End.
FYI, film tahun 2013 ini dibintangi oleh Seth Rogen, Jay Baruchel, dan James Franco, among others. Film ini mengisahkan para selebriti yang terjebak di rumah James Franco ketika hari dimana banyak orang naik ke surga (baca: kiamat), dan usaha mereka buat bertahan hidup dalam kurun waktu tersebut.
Kesamaan dengan Hangout-nya Bang Radit? Baru aja gue sebutin di atas.
Bahkan, bisa dibilang, Hangout adalah This is the End versi lokal.
Is that a bad thing?
Not really, actually.
Cerita dimulai dari Radit yang diundang ke villa pribadi misterius di sebuah pulau misterius oleh seorang yang misterius pula. Diiming-imingi hadiah 50 juta Rupiah, Radit yang sedang nunggak sana-sini (sebuah skenario yang agak, ehm, impossible, mengingat betapa lakunya film-film dia) pun menyanggupi. Gak lama kemudian, kita pun dikenalkan oleh 8 orang lain yang diundang ke pulau tersebut: Soleh Solihun, Gading-- ah sudahlah, kan udah gue sebutin semua di atas.
Sounds like fun, right?
Nongkrong bareng para selebriti lain yang notabene temen lo di sebuah pulau sepi, tenang, dan santai tanpa gangguan dari para paparazzi rese' dan kaum haters yang lebih rese' lagi?
Sayangnya, wrong.
Bagi yang udah nonton trailer film ini, pastinya udah tau apa yang salah SEBELUM lo pada nonton film ini.
Malam pertama, para seleb sedang makan bareng di villapunyanya si tersebut, cengangas-cengenges ria, ketika tiba-tiba
Mathias Muchus mengeluarkan busa dari mulutnya.
Nope, dia gak kemakan sabun busa tiup, tapi dia diracun.
Ya manusia macam apa sih yang gak panik ketika ngeliat orang di depannya mati? Lebih lagi, kalo tu orang mati kek sinetron yang beredaran di TV lokal. Lebih lebih lagi, kalo lo kenal baik, bahkan temenan sama tu orang. Lebih lebih lebih lagi, kalo tu orang Mathias Muchus.
Walhasil, para seleb terus menjalankan "liburan" mereka di pulau tersebut, karena secara teknis mereka terjebak di pulau tersebut tanpa perahu, pesawat, helikopter, atau bahkan kayak buat bawa mereka balik ke kota.
But, plot twist!
Nampaknya bukan cuman Mathias Muchus yang jadi sasaran si pembunuh berantai seleb ini, soalmya para seleb pun mulai tewas satu per satu!
Kurang lebih itulah premis dari film ini, yang sebenernya gak wajib dibaca kalo lo pada udah mantengin trailer-nya. Hell, trailer film ini mungkin udah ngasih jauh lebih banyak informasi daripada gue berusaha ngejelasin di blog gue sebanyak gak kurang dari 27 baris.
So, mulai dari mana, ya?
Sayang banget film gak terlalu memberikan banyak backstory tentang para seleb sebelum mereka ketemuan di dermaga tempat berlabuhnya perahu menuju pulau tersebut. Selain Radit, palingan tokoh yang paling dikasih sedikit unsur kedalaman adalah Soleh Solihun, kolega stand-up comedy Radit yang udah menemaninya di beberapa filmnya. Otherwise, kita gak tau apa-apa tentang seleb yang lain.
Speaking of Soleh Solihun...
Lucunya, ada sub-plot di sini.
Melibatkan, you guessed it, Soleh Solihun.
I honestly didn't see that coming, mengingat gue awalnya ngira ini film murni tentang petaka yang menimpa para seleb di sebuah pulau terpencil tanpa ada kongkalikong yang terjadi sebelum peristiwa yang menimpa para seleb di film ini. Yang mana bakal gue bahas entar.
Which, come to think about it,
itulah masalah yang sesungguhnya.
Gue sebenernya agak ngerti sih, kenapa ada that chemistry between Soleh dan Radit sejak awal film. Biar ada semacam pengembangan karakter. Character development. Lagian, mengingat dua orang ini adalah dua dari tiga seleb dengan latar belakang komedi di film ini, kalo gue jadi Bang Radit, pasti gue nyari resep buat bikin semacam chemistry kocak antara dua orang ini. Semacam alasan yang bikin dua seleb ini punya chemistry antar comic yang tentunya bisa bikin film lebih hidup di antara banyaknya seleb FTV, sinetron, dan film yang pastinya gak bisa lucu-lucuan terus.
Jelas aja, kita gak ngebahas tujuan kan, disini.
Kita ngebahas proses. Eksekusi.
Sayangnya, menurut gue, chemistry yang ada antara dua comic ini agak maksa. Atau emang maksa. Maap bang, I gotta be honest. With myself, at least.
Ini sub-plot lebih terintegrasi ke dalam cerita, lebih nyambung sama cerita dan character development yang terdapat dalam film ini dibandingan dengan film sebelumnya, jadinya gak keliatan terlalu ngejreng atau bikin para penonton agak ilfil dengan jalannya cerita. In fact, sebenernya sub-plot ini nambah kedalaman ke kedua tokoh Soleh dan Radit.
Yang gue permasalahkan adalah keberadaan sub-plot tersebut sebagai pembenaran terhadap chemistry antara Soleh dan Radit.
Maksud gue yang lain,
gak pake sub-plot emangnya gak bisa?
Daripada repot-repot masuk-masukin sub-plot ini ke dalam cerita, kata gue sih mendingan taro dua sifat yang berlawanan ke dua orang ini dari awal cerita. Radit yang sarkastis dan Soleh yang frontal, misalnya. Itu kalo mau si dua orang ini musuhan sampe akhirnya jadi baikan. Atau, bikin dua orang ini sahabatan, terus berantem, terus temenan lagi. Oke, jangan pake ide terakhir, udah dipake duluan sama This is the End.
It's not that it's bad.
It's just that there's better ways to do it.
Selebihnya, gue gak masalah dengan cara Bang Radit membawakan kisah survival kesembilan seleb di pulau terpencil tersebut. Mungkin orang bilang terkesan berantakan, atau mungkin agak kurang terstruktur, atau mungkin orang bilang pesaingnya, Cek Toko Sebelah buatan Ernest Prakasa lebih bagus dari segi cerita.
Gue gak masalah sama begituan.
Mau sering loncat-loncat pun, cerita Hangout masih cukup solid buat dinalar sama akal sehat. Mungkin ada plot hole di beberapa tempat, tapi toh mengingat ini sebuah film komedi, not everything has to make sense. Mantepnya lagi, terkadang para tokoh pun bisa jadi self-aware dan bahkan "menertawakan" ketidaknyambungan yang ada di dalam cerita.
Anyways, film ini udah separo jalan, dan para seleb pun mendapatkan kecurigaan baru.
Pembunuh seleb ini adalah salah satu dari kesembilan seleb itu!
Again, udah dikasitau di trailer-nya.
Anyways,
BOOM.
Plot twist.
Ngomongin soal plot twist, gue gak bisa ngomongin per-plot-twist-an Hangout tanpa ngomongin tentang sebuah plot twist tertentu. That one plot twist.
Yang mana, lo tanya?
Why, plot twist yang ngasitau siapa pembunuh para seleb, dong.
It's not a bad plot twist, actually.
Sayangnya, gue udah tau pelakunya dari awal.
Oke, gak awal banget, tapi gue udah punya kecurigaan dari awal-awal film, dan kecurigaan itu langsung berubah jadi ke-fix-an berkat sebuah adegan ketika para seleb baru nyampe di pulau terpencil tersebut.
Gue mesti bilang, film ini juga udah menunjukkan usaha yang bagus buat ngalihin kecurigaan terhadap satu orang ini dengan berbagai adegan plot twist lainnya-- versi simpelnya, plot twist yang pelan-pelan membangun sebuah plot twist gede, yaitu that one plot twist.
Plot twist-nya juga gak geblek-geblek amat dengan banyaknya build-up dan sedikit hint di sana-sini bagi penonton yang terlalu niat buat nyari tau siapa si pembunuh seleb ini (baca: gue). I gotta give it credit, meskipun gak ngagetin gue.
But...
Masih inget dengan gue bilang di atas-atas kalo drama bukan genre yang dikuasain sama Bang Radit?
Plot twist ini melibatkan unsur tersebut.
Untung aja drama bener-bener ngejreng cuman buat bagian plot twist ini doang, but still.
Udah gitu, keliatannya backstory benuansa melo buat plot twist ini juga terkesan terburu-buru, tanpa adanya penjelasan selama satu film kecuali pas plot twist-nya muncul doang. Sure, plot twist tersebut punya build up yang bagus, tapi secara tiba-tiba banyak banget backstory muncul dalam satu adegan plot twist tersebut. Dinarasi, pula.
Seperti yang gue bilang di atas, ini adalah satu dari sedikit unsur dramatis di film ini, dan sayangnya, gak kena. Gue, seenggaknya.
Them Stranded Ones
Siapa aja sih, yang terdampar di pulau ini?
Scroll ke atas aja, gak sesusah itu, kok.
Mirip juga dengan This is the End, para seleb yang diperankan oleh diri mereka sendiri juga punya sifat.
Mirip itu gak sama, kan?
Tru dat, soalnya penokohan di sini lebih, ehm, "gila" dibandingkan dengan penokohan This is the End yang lebih realistis. Bisa dibilang, semua tokoh di Hangout punya sebuah sifat yang mencolokmata yang bikin mereka sangat mudah diinget oleh para penonton. Beda lagi dengan film satunya yang lebih ngandelin chemistry antar tokoh dibandingkan dengan individual charm setiap tokoh yang terdapat di Hangout.
Contoh paling gampang adalah Dinda Kanyadewi dan Bayu Skak.
DInda Kanyadewi--sebagai Dinda tentunya--aktris sinetron 7 musim (seriusan, liat wiki-nya) punya sebuah sifat yang udah kentara dari 3 detik pertama penonton dikenalin sama dia: jorok. Nope, bukan mulut dia yang jorok gara-gara hobi ngelempar sumpah serapah, atau sifat dia yang "jorok" gara-gara licik kek di sinetron-nya (nebak aja nih, tapi kan antagonis sinetron biasanya gitu) tapi literally jorok.
Padahal, tampang dia jauh dari jorok, kan?
Tentu aja ini for the sake of the movie, karena kejorokan dia ini yang memberikan warna komedi tersendiri buat film ini. Itu, dan sedikit shock entertainment juga, setiap kali kejorokannya dia tunjukin dengan bangganya.
Bayu--yang nama belakangnya gue gak tau sampe adek gue kasitau--Skak adalah newcomer ke film ini. Bisa dibilang, ini mungkin film layar lebar pertama dia.
Ralat, dia udah pernah main di Marmut Merah Jambu, which kinda explained kenapa si Bayu yang relatif belom terkenal ini bisa ikut main di Hangout yang bertebaran bintang kawakan.
Anyways, mau gimanapun juga, Bayu masih terbilang noob dibandingin sama seleb lainnya. Di bidang film layar lebar, at least. Mungkin gara-gara dia adalah seleb di platform yang berbeda, yaitu YouTube. Mestinya gak jadi masalah juga, mengingat YouTube lebih dari TV *BOOM!*
Gak masalah, kan?
Sans, gak kok.
Bayu bawa hawa seger ke film ini. Di antara para seleb yang keliatannya membawa persona mereka dengan serius, Bayu keliatannya yang paling polos. Gak ada beban, gak ada halangan, gak ada hambatan dalam pembawaan sifatnya. Malahan, gue bilang Bayu adalah tokoh yang sifatnya paling natural di film ini. Yep, Bayu seakan-akan cuma memerankan dirinya si YouTuber dari Malang yang memanfaatkan terdamparnya dia buat nge-vlog.
Carefree banget lah, istilahnya.
Jadinya, humor yang dateng dari Bayu gak terkesan maksa, gara-gara genuine-nya sifat tokoh yang dia bawain. Gue gak ngeliat tokoh lain dengan nama yang gue kenal, gue udah kayak ngeliat Bayu Skak beneran di film tersebut, being himself tanpa going out of character.
A good comedy relief indeed.
Sebenernya bukan cuman Bayu yang membawa sifat asli uncut mereka ke film ini. Not saying mereka membawakannya dengan jelek atau gak sebagus Bayu, tapi dikarenakan mereka ini bukan seleb bidang lucu-lucuan kek Bayu, Radit, atau Soleh. Imbasnya, sifat mereka lebih realistis.
Bukan berarti mereka gak bisa jadi sumber lucu-lucuan juga.
Mau gitu pun, sifat mereka agak di-exaggerate meskipun gak segila Bayu dan Dinda. Mungkin mereka realistis, mungkin mereka serius, tapi mereka jelas gak bikin film ini jadi thriller beneran.
Cases in point: Titi Kamal, Gading Marten, Mathias Muchus, dan Prilly Latuconsina.
Perihal Om Mathias Muchus, nasib dia udah dikasitau sama trailer film ini. Yep, bener, dia emang yang mati pertama. Apa mungkin tokoh dia se-gabut itu, sampe-sampe trailer Hangout pun ngasitau segamblang-gamblangnya kalo dia fix tewas?
Itu, ato dia sibuk, sehingga gak banyak waktu buat shooting adegan banyak-banyak.
Mau gimanapun juga, dalam waktu dikit pun Om Muchus sukses memberikan kesan yang gak gampang ilang ke para penonton. Ke gue, at least. Dan maksud gue "gak gampang ilang" adalah gue kadang masih inget kalo dia, at one point, adalah seorang tokoh dalam film ini. Kalo gak, gue bakal kira dia gak ada di film ini sepenuhnya.
Emang dia ngapain, sih?
Om Muchus adalah tokoh yang paling senior. Paling berpengalaman. Paling tua. Gara-gara tiga sifat mendasar ini, mengikuti semua tradisi tokoh-tokoh dengan sifat serupa, peran dia adalah si bijak. Tau sendirilah, dia yang paling kalem, ngomongnya paling pelan tapi berwibawa, dan biasanya ngasih nasehat ke tokoh-tokoh lain.
That is, sampe dia kejang-kejang keluar busa.
Untungnya dia gak gabut menjelang akhir hayatnya.
TitiDJ Kamal jebolan AADC ada juga di film ini. Dan nggak, sebelum ada yang nanya, peran dia bukan sebagai si-cantik-menor-panikan-yang-takut-kotor-dan-akhirnya-jadi-beban-satu-rombongan. Nggak. Untungnya Bang Radit gak bikin dia jatoh ke cliche itu. Mau dia produk AADC juga.
Speaking of AADC, tu film nempel terus sama Titi Kamal selama film ini. Gak terus-terusan, tapi lumayan erat juga to the point Titi udah identik sama AADC menurut tokoh lain di film ini. Padahal, seinget gue di film itu Titi bukan yang ditaksir sama Nicholas Saputra, kan?
Anyways, meskipun dua film tersebut bener-bener dramatis dan mellow, Titi gak. Justru lawannya. Dari tiga cewek di film ini, sifat Titi adalah yang paling kalem. Paling collected. Paling make otak di saat seleb lain kalap setelah Om Muchus koid. Then again, dia emang tokoh cewek yang paling tua di film ini, jadi kalo dia yang paling bocah juga gak enak diliat, ya nggak sih?
Sayangnya, gara-gara personality dia yang paling tenang, dia jadi rada kekubur sama DInda yang masa' bodo dan Prilly yang centil. Keliatannya gak mencolok gara-gara dua tokoh perempuan lain lebih berwarna dan lebih memorable.
Di sisi lain, dia bukan tokoh yang datar banget dan terkadang ada momennya dia bener-bener stand out terutama saat para seleb berusaha bertahan hidup setelah sadar mereka terjebak di pulau tersebut.
A great contrary against other loud personalities.
Gading Marten bokapnya Gempita terdampar juga di pulau tersebut pas Gisel sedang nemenin Ernest Prakarsa di film komedi lain. You know the one.
Honestly, gue gak tau banyak tentang Gading Marten. Gue cuman tau kalo dia:
- Suami Gisel,
- Ayah Gempita, dan
- Anak Roy Marten.
Udah.
Guess what?
Nampaknya film juga tau tiga pernyataan itu.
Mirip juga dengan Titi Kamal, 3 pernyataan di atas nampaknya nempel terus sama si Gading ini. Bedanya, 3 fakta ini dijadiin comedic effect dibandingkan dengan hubungan AADC-Titi yang disebutin doang. Lebih tepatnya, tu 3 fakta dijadiin bahan lucu-lucuan. Kapan? Pas si Gading ************ ********* ******* *********** *********** **************. Btw, bintang tidak mewakili huruf.
Gading agak bingung perannya di sini.
Dia bukan aktor berbakat macam Surya Saputra atau Mathias Muchus, tapi dia bukan juga orang-orang lucu macam Soleh, Bayu, atau Radit. Mungkin bukan aktor murahan juga, tapi let's be honest here, bukan sekelas tu dua orang juga.
Maka dari itu, keliatannya dia lebih ke memerankan dirinya sendiri dibandingkan dengan memerankan sebuah sifat fiktif tertentu.
Mungkin gak se-koplak Bayu Skak, soalnya Bayu punya charm tersendiri yaitu logat medoknya dan gaya bopungnya yang straight outta Malang yang punya kelucuan tersendiri. Yang ada dari si Gading adalah sifat dia yang agak macho dan lebih manly dibandingkan tokoh-tokoh pria di sini. Kesannya, kalo ada yang bisa ngelawan dan ngalahin si pembunuh, ya si Gading ini.
Itulah image yang mau disuguhkan ke penonton.
Then again, dengan segala ke-over-the-top-an sifat para tokoh, Gading gak bikin film ini jadi tambah serius. Dia malah bikin film ini tambah kocak. Belom lagi dengan nada tinggi dan cempreng Gading kalo dia ngomong rada ngotot. Tambah lucu lagi.
Bagus atau jelek?
I'm fine with it.
Dengan sifat-sifat serius yang ada di Gading, gue udah kira dia bakal bikin film ini lebih berat ke arah thriller. Mungkin ada saatnya juga sifat dia ini bikin film ke arah thriller yang menegangkan, tapi gue seneng dengan Bang Radit yang bisa bikin sifatnya ini punya sisi lucu juga. Itu, dan 3 fakta di atas yang dijadiin bahan lelucon di film ini. Sangat meme-able, kata gue.
Keempat terakhir, Prilly Latunconsina.
Lagi-lagi-lagi, seperti dua tokoh di atasnya, Prilly pun juga punya semacam julukan yang jadi alat buat para tokoh untuk nge-refer ke dia. Dijadiin bahan lelucon pula. That is, hubungan dia sama Aliando. Penting banget, ya?
Coba, apa image Prilly di depan para penggemarnya?
Gue sendiri gak tau Prilly ini dikenal sebagai seleb tipe apa di depan para netizen dan para pengikut dunia entertainment Indonesia. Walhasil, gue pun cuman ngandelin pembawaan dia di film ini, sebagai, ehm, referensi.
Prilly di film ini...
being Prilly, I guess.
Di film ini, mengingat dia adalah tokoh termuda (lebih muda dari Bayu Skak, inget), jelas dia punya vibe kekinian, kentara banget kalo dia ngomong sama tokoh yang lebih tua, TitiDJ Kamal misalnya. Basically, dia adalah bocah di film ini.
Gue juga suka dengan Prilly di sini yang self-aware dengan masa lalunya sebagai bintang di sinteronAnak Jalanan Ganteng Ganteng Swag Serigala, sampe dia bisa jadiin masa lalunya tersebut buat jadi lelucon di film ini. Gue kira lawakan begituan gak dianggep sama subyeknya.
Not too shabby, I think.
Tinggal tiga orang lagi, nih.
Mereka ini sengaja gue taro terakhir, sebenernya.
Bukan karena gue punya prinsip semacam save the best for the last.
Ya satu adalah tokoh yang paling shocking, lebih shocking dari Dinda, dan dua lainnya adalah tokoh utama, jadinya di atas itu gak salah juga.
Oke, selain alasan di atas, mereka bertiga ini terakhir gara-gara gak kayak para tokoh di atas yang personality dan sifatnya adalah cuplikan dari personality mereka di dunia nyata, ni tiga... gue gak yakin orangnya beneran kayak gitu.
Kecuali emang bener, tapi kan gak tau juga.
That is, Surya Saputra, Raditya Dika, dan Soleh Solihun.
Mulai dari yang paling kentara dulu dah, Mas Surya.
Masih inget dengan pernyataan kalo Titi Kamal bukan tokoh cliche wanita-panikan-yang-akhirnya-jadi-beban-buat rombongan?
Gelar itu ternyata dipegang oleh Mas Surya.
Apa ini gara-gara peran dia sebagai orang homo di film Arisan, gue juga gak tau. Kalopun gara-gara itu, tokoh dia di film itu juga bukan masuk orang 'ncong juga. Dari mana ini asalnya, gue juga masih gak tau.
I guess, peran itu wajib dipegang minimal oleh satu tokoh dalam sebuah film thriller/horror, dan Mas Surya membawakan peran itu dengan, well, meyakinkan. Entah kenapa dia gak jadi tokoh yang mati paling pertama, gue gak bisa jelasin.
Gue sendiri juga geleng-geleng kepala ketika mengetahui kalo Mas Surya yang--tau sendiri sifatnya-- berperan banyak dalam unsur thriller film ini. Gimana? Well, let's just say dia gak selalu bersifat panikan.
All in all, unorthodox character.
Sisa dua lagi, dan ini enaknya gue langsung sekali-hajar-berdua aja, soalnya nampaknya plot film ini menyatakan bahwa story arc dua tokoh ini sambung-menyambung menjadi satu.
Bang Radit dan Bang Soleh.
Terlepas dari masalah sub-plot yang melibatkan dua comic ini, mereka punya sifat yang sangat mirip. Realistis, yang paling 'normal', tapi jadi sumber utama tawa dari film ini. Awalnya mungkin dua tokoh ini terlihat bertolak belakang (again, sub-plot), tapi makin sering kita liat mereka berinteraksi, baik antara satu dengan yang lain atau dengan tokoh lain, mereka sebenernya punya sifat yang sama.
Mungkin gue harus point out Bang Soleh sedikit lebih loud dan frontal dibandingkan dengan Bang Radit yang lebih kalem.
Trus, apa lagi ya?
Udah, keknya.
BOOM.
Yep, sorry to say, dua tokoh utama sebenernya gak punya banyak atribut yang menarik, yang ada mereka adalah semacam kendaraan bagi plot film ini untuk terus melaju. Lucu sih iya, tapi mereka gak punya standout trait kek tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Bahkan Titi Kamal yang terkesan datar aja mungkin punya lebih banyak karakter.
Run-of-the-mill protagonists, so to speak.
Here for Them Thrills
Mungkin yang paling mencolok dan membedakan film ini dari film-film Radit yang lainnya adalah genre yang diusung, thriller.
Lagi-lagi, genre yang mirip dengan film yang dibintangi oleh Seth-- ah, sudahlah.
Gimana jalannya?
Eh...
Hit and miss. Mostly hit.
*gue bisa denger fans berat Bang Radit menurunkan bedil yang diarahkan ke gue*
But seriously though, for a first-timer in thriller genre, film ini punya momen-momen thriller yang genuinely bikin gue berada di ujung tempat duduk gue.
Ada kurang lebih dua (mungkin lebih) adegan yang bener-bener straight outta film-film bertemakan survival kek Lost. Maap, Lost bukan film melainkan serial TV, tapi tau sendirilah maksud gue.
Uniknya, adegan-adegan menegangkan nan mencekam ini dibuat bukan oleh unsur diluar kesembilan seleb tersebut, tapi oleh interaksi antar seleb itu sendiri. Dengan kata lain, adegan tersebut bisa jadi intens gara-gara pembawaan karakter yang baik oleh para seleb.
Lucunya, ada beberapa adegan yang mestinya thriller yang malah berubah jadi bahan tawaan. Meskipun situasi bener-bener sedang mencekam atau sedang menegangkan tingkat parah, entah kenapa, reaksi para seleb terhadap situasi tersebut membuat adegan tersebut jadi terkesan lucu buat para penonton. Buat mereka mungkin gak, sih.
Personally, gue gak punya masalah dengan film yang self-aware dan gak terlalu ngotot bikin ini jadi film thriller tingkat tulen. Kalo skenario yang gue paparin tadi terjadi, biasanya bisa nyasar ke satu dari dua arah: epic win atau epic fail. Then again, kita harus inget-inget lagi Pak Sut dari fim ini adalah Bang Radit, yang resume-nya gak mengandung unsur thriller, sehingga gue gak bisa expect thriller yang bener-bener hardcore dalam film ini.
Instead, Bang Radit semacam play it safe dengan unsur-unsur komedi yang diselipkan dalam adegan-adegan yang mestinya mengundang bulu kuduk dalam film tersebut. No problem, I say.
Lagian, kalo lo mau yang bener-bener thriller, mungkin lo bisa pake sutradara kek Joko Anwar bukan Raditya Dika. Pemain kek Rio Dewanto bukan, I don't know, Bayu Skak. Dari cast-nya film ini aja, kita udah lebih ngarah ke film komedi dengan unsur thriller, bukan film thriller dengan unsur komedi.
Not bad for a novice.
(+) - Thriller yang sekalinya kena, kena bet.
- Komedi yang tetep ngundang tawa.
- Cast yang memberikan performance yang mancay.
(-) - Plot yang real predictable, bruh.
- Sub-plot yang terkesan terburu-buru dan maksa.
- Drama yang semacam disumpelin ke dalam film.
VERDICT:
[ LIT!!! /SHIT!!! ]
First attempt Bang Radit terhadap thriller berbuah manis-manis-asem dibantu dengan performa mantep dari para seleb, meskipun dari segi cerita dan eksekusi gak terlalu mulus.
Until the next post, bungs! :D
Let's see here...
Sebuah film komedi buatan seorang comedian (stand-up comedian, lebih tepatnya) bercerita tentang para selebriti memerankan diri mereka sendiri, terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam nyawa mereka, yang mana mereka bertingkah kalang kabut tingkat tulen?
Sounds familiar.
Oke, mungkin gak kalang kabut tingkat tulen banget sih, tapi lumayan panik juga.
Anyways, mirip sama film apa ya...
Oh ya,
This is the End.
FYI, film tahun 2013 ini dibintangi oleh Seth Rogen, Jay Baruchel, dan James Franco, among others. Film ini mengisahkan para selebriti yang terjebak di rumah James Franco ketika hari dimana banyak orang naik ke surga (baca: kiamat), dan usaha mereka buat bertahan hidup dalam kurun waktu tersebut.
Kesamaan dengan Hangout-nya Bang Radit? Baru aja gue sebutin di atas.
Bahkan, bisa dibilang, Hangout adalah This is the End versi lokal.
Is that a bad thing?
Not really, actually.
Cerita dimulai dari Radit yang diundang ke villa pribadi misterius di sebuah pulau misterius oleh seorang yang misterius pula. Diiming-imingi hadiah 50 juta Rupiah, Radit yang sedang nunggak sana-sini (sebuah skenario yang agak, ehm, impossible, mengingat betapa lakunya film-film dia) pun menyanggupi. Gak lama kemudian, kita pun dikenalkan oleh 8 orang lain yang diundang ke pulau tersebut: Soleh Solihun, Gading-- ah sudahlah, kan udah gue sebutin semua di atas.
Sounds like fun, right?
Nongkrong bareng para selebriti lain yang notabene temen lo di sebuah pulau sepi, tenang, dan santai tanpa gangguan dari para paparazzi rese' dan kaum haters yang lebih rese' lagi?
Sayangnya, wrong.
Bagi yang udah nonton trailer film ini, pastinya udah tau apa yang salah SEBELUM lo pada nonton film ini.
Malam pertama, para seleb sedang makan bareng di villa
Mathias Muchus mengeluarkan busa dari mulutnya.
Nope, dia gak kemakan sabun busa tiup, tapi dia diracun.
Ya manusia macam apa sih yang gak panik ketika ngeliat orang di depannya mati? Lebih lagi, kalo tu orang mati kek sinetron yang beredaran di TV lokal. Lebih lebih lagi, kalo lo kenal baik, bahkan temenan sama tu orang. Lebih lebih lebih lagi, kalo tu orang Mathias Muchus.
Walhasil, para seleb terus menjalankan "liburan" mereka di pulau tersebut, karena secara teknis mereka terjebak di pulau tersebut tanpa perahu, pesawat, helikopter, atau bahkan kayak buat bawa mereka balik ke kota.
But, plot twist!
Nampaknya bukan cuman Mathias Muchus yang jadi sasaran si pembunuh berantai seleb ini, soalmya para seleb pun mulai tewas satu per satu!
Kurang lebih itulah premis dari film ini, yang sebenernya gak wajib dibaca kalo lo pada udah mantengin trailer-nya. Hell, trailer film ini mungkin udah ngasih jauh lebih banyak informasi daripada gue berusaha ngejelasin di blog gue sebanyak gak kurang dari 27 baris.
So, mulai dari mana, ya?
Sayang banget film gak terlalu memberikan banyak backstory tentang para seleb sebelum mereka ketemuan di dermaga tempat berlabuhnya perahu menuju pulau tersebut. Selain Radit, palingan tokoh yang paling dikasih sedikit unsur kedalaman adalah Soleh Solihun, kolega stand-up comedy Radit yang udah menemaninya di beberapa filmnya. Otherwise, kita gak tau apa-apa tentang seleb yang lain.
Speaking of Soleh Solihun...
Lucunya, ada sub-plot di sini.
Melibatkan, you guessed it, Soleh Solihun.
I honestly didn't see that coming, mengingat gue awalnya ngira ini film murni tentang petaka yang menimpa para seleb di sebuah pulau terpencil tanpa ada kongkalikong yang terjadi sebelum peristiwa yang menimpa para seleb di film ini. Yang mana bakal gue bahas entar.
Which, come to think about it,
itulah masalah yang sesungguhnya.
Gue sebenernya agak ngerti sih, kenapa ada that chemistry between Soleh dan Radit sejak awal film. Biar ada semacam pengembangan karakter. Character development. Lagian, mengingat dua orang ini adalah dua dari tiga seleb dengan latar belakang komedi di film ini, kalo gue jadi Bang Radit, pasti gue nyari resep buat bikin semacam chemistry kocak antara dua orang ini. Semacam alasan yang bikin dua seleb ini punya chemistry antar comic yang tentunya bisa bikin film lebih hidup di antara banyaknya seleb FTV, sinetron, dan film yang pastinya gak bisa lucu-lucuan terus.
Jelas aja, kita gak ngebahas tujuan kan, disini.
Kita ngebahas proses. Eksekusi.
Sayangnya, menurut gue, chemistry yang ada antara dua comic ini agak maksa. Atau emang maksa. Maap bang, I gotta be honest. With myself, at least.
Ini sub-plot lebih terintegrasi ke dalam cerita, lebih nyambung sama cerita dan character development yang terdapat dalam film ini dibandingan dengan film sebelumnya, jadinya gak keliatan terlalu ngejreng atau bikin para penonton agak ilfil dengan jalannya cerita. In fact, sebenernya sub-plot ini nambah kedalaman ke kedua tokoh Soleh dan Radit.
Yang gue permasalahkan adalah keberadaan sub-plot tersebut sebagai pembenaran terhadap chemistry antara Soleh dan Radit.
Maksud gue yang lain,
gak pake sub-plot emangnya gak bisa?
Daripada repot-repot masuk-masukin sub-plot ini ke dalam cerita, kata gue sih mendingan taro dua sifat yang berlawanan ke dua orang ini dari awal cerita. Radit yang sarkastis dan Soleh yang frontal, misalnya. Itu kalo mau si dua orang ini musuhan sampe akhirnya jadi baikan. Atau, bikin dua orang ini sahabatan, terus berantem, terus temenan lagi. Oke, jangan pake ide terakhir, udah dipake duluan sama This is the End.
It's not that it's bad.
It's just that there's better ways to do it.
Selebihnya, gue gak masalah dengan cara Bang Radit membawakan kisah survival kesembilan seleb di pulau terpencil tersebut. Mungkin orang bilang terkesan berantakan, atau mungkin agak kurang terstruktur, atau mungkin orang bilang pesaingnya, Cek Toko Sebelah buatan Ernest Prakasa lebih bagus dari segi cerita.
Gue gak masalah sama begituan.
Mau sering loncat-loncat pun, cerita Hangout masih cukup solid buat dinalar sama akal sehat. Mungkin ada plot hole di beberapa tempat, tapi toh mengingat ini sebuah film komedi, not everything has to make sense. Mantepnya lagi, terkadang para tokoh pun bisa jadi self-aware dan bahkan "menertawakan" ketidaknyambungan yang ada di dalam cerita.
Anyways, film ini udah separo jalan, dan para seleb pun mendapatkan kecurigaan baru.
Pembunuh seleb ini adalah salah satu dari kesembilan seleb itu!
Again, udah dikasitau di trailer-nya.
Anyways,
BOOM.
Plot twist.
Ngomongin soal plot twist, gue gak bisa ngomongin per-plot-twist-an Hangout tanpa ngomongin tentang sebuah plot twist tertentu. That one plot twist.
Yang mana, lo tanya?
Why, plot twist yang ngasitau siapa pembunuh para seleb, dong.
It's not a bad plot twist, actually.
Sayangnya, gue udah tau pelakunya dari awal.
Oke, gak awal banget, tapi gue udah punya kecurigaan dari awal-awal film, dan kecurigaan itu langsung berubah jadi ke-fix-an berkat sebuah adegan ketika para seleb baru nyampe di pulau terpencil tersebut.
Gue mesti bilang, film ini juga udah menunjukkan usaha yang bagus buat ngalihin kecurigaan terhadap satu orang ini dengan berbagai adegan plot twist lainnya-- versi simpelnya, plot twist yang pelan-pelan membangun sebuah plot twist gede, yaitu that one plot twist.
Plot twist-nya juga gak geblek-geblek amat dengan banyaknya build-up dan sedikit hint di sana-sini bagi penonton yang terlalu niat buat nyari tau siapa si pembunuh seleb ini (baca: gue). I gotta give it credit, meskipun gak ngagetin gue.
But...
Masih inget dengan gue bilang di atas-atas kalo drama bukan genre yang dikuasain sama Bang Radit?
Plot twist ini melibatkan unsur tersebut.
Untung aja drama bener-bener ngejreng cuman buat bagian plot twist ini doang, but still.
Udah gitu, keliatannya backstory benuansa melo buat plot twist ini juga terkesan terburu-buru, tanpa adanya penjelasan selama satu film kecuali pas plot twist-nya muncul doang. Sure, plot twist tersebut punya build up yang bagus, tapi secara tiba-tiba banyak banget backstory muncul dalam satu adegan plot twist tersebut. Dinarasi, pula.
Seperti yang gue bilang di atas, ini adalah satu dari sedikit unsur dramatis di film ini, dan sayangnya, gak kena. Gue, seenggaknya.
Them Stranded Ones
Siapa aja sih, yang terdampar di pulau ini?
Scroll ke atas aja, gak sesusah itu, kok.
Mirip juga dengan This is the End, para seleb yang diperankan oleh diri mereka sendiri juga punya sifat.
Mirip itu gak sama, kan?
Tru dat, soalnya penokohan di sini lebih, ehm, "gila" dibandingkan dengan penokohan This is the End yang lebih realistis. Bisa dibilang, semua tokoh di Hangout punya sebuah sifat yang mencolok
Contoh paling gampang adalah Dinda Kanyadewi dan Bayu Skak.
DInda Kanyadewi--sebagai Dinda tentunya--aktris sinetron 7 musim (seriusan, liat wiki-nya) punya sebuah sifat yang udah kentara dari 3 detik pertama penonton dikenalin sama dia: jorok. Nope, bukan mulut dia yang jorok gara-gara hobi ngelempar sumpah serapah, atau sifat dia yang "jorok" gara-gara licik kek di sinetron-nya (nebak aja nih, tapi kan antagonis sinetron biasanya gitu) tapi literally jorok.
Padahal, tampang dia jauh dari jorok, kan?
Tentu aja ini for the sake of the movie, karena kejorokan dia ini yang memberikan warna komedi tersendiri buat film ini. Itu, dan sedikit shock entertainment juga, setiap kali kejorokannya dia tunjukin dengan bangganya.
Bayu--yang nama belakangnya gue gak tau sampe adek gue kasitau--Skak adalah newcomer ke film ini. Bisa dibilang, ini mungkin film layar lebar pertama dia.
Ralat, dia udah pernah main di Marmut Merah Jambu, which kinda explained kenapa si Bayu yang relatif belom terkenal ini bisa ikut main di Hangout yang bertebaran bintang kawakan.
Anyways, mau gimanapun juga, Bayu masih terbilang noob dibandingin sama seleb lainnya. Di bidang film layar lebar, at least. Mungkin gara-gara dia adalah seleb di platform yang berbeda, yaitu YouTube. Mestinya gak jadi masalah juga, mengingat YouTube lebih dari TV *BOOM!*
Gak masalah, kan?
Sans, gak kok.
Bayu bawa hawa seger ke film ini. Di antara para seleb yang keliatannya membawa persona mereka dengan serius, Bayu keliatannya yang paling polos. Gak ada beban, gak ada halangan, gak ada hambatan dalam pembawaan sifatnya. Malahan, gue bilang Bayu adalah tokoh yang sifatnya paling natural di film ini. Yep, Bayu seakan-akan cuma memerankan dirinya si YouTuber dari Malang yang memanfaatkan terdamparnya dia buat nge-vlog.
Carefree banget lah, istilahnya.
Jadinya, humor yang dateng dari Bayu gak terkesan maksa, gara-gara genuine-nya sifat tokoh yang dia bawain. Gue gak ngeliat tokoh lain dengan nama yang gue kenal, gue udah kayak ngeliat Bayu Skak beneran di film tersebut, being himself tanpa going out of character.
A good comedy relief indeed.
Sebenernya bukan cuman Bayu yang membawa sifat asli uncut mereka ke film ini. Not saying mereka membawakannya dengan jelek atau gak sebagus Bayu, tapi dikarenakan mereka ini bukan seleb bidang lucu-lucuan kek Bayu, Radit, atau Soleh. Imbasnya, sifat mereka lebih realistis.
Bukan berarti mereka gak bisa jadi sumber lucu-lucuan juga.
Mau gitu pun, sifat mereka agak di-exaggerate meskipun gak segila Bayu dan Dinda. Mungkin mereka realistis, mungkin mereka serius, tapi mereka jelas gak bikin film ini jadi thriller beneran.
Cases in point: Titi Kamal, Gading Marten, Mathias Muchus, dan Prilly Latuconsina.
Perihal Om Mathias Muchus, nasib dia udah dikasitau sama trailer film ini. Yep, bener, dia emang yang mati pertama. Apa mungkin tokoh dia se-gabut itu, sampe-sampe trailer Hangout pun ngasitau segamblang-gamblangnya kalo dia fix tewas?
Itu, ato dia sibuk, sehingga gak banyak waktu buat shooting adegan banyak-banyak.
Mau gimanapun juga, dalam waktu dikit pun Om Muchus sukses memberikan kesan yang gak gampang ilang ke para penonton. Ke gue, at least. Dan maksud gue "gak gampang ilang" adalah gue kadang masih inget kalo dia, at one point, adalah seorang tokoh dalam film ini. Kalo gak, gue bakal kira dia gak ada di film ini sepenuhnya.
Emang dia ngapain, sih?
Om Muchus adalah tokoh yang paling senior. Paling berpengalaman. Paling tua. Gara-gara tiga sifat mendasar ini, mengikuti semua tradisi tokoh-tokoh dengan sifat serupa, peran dia adalah si bijak. Tau sendirilah, dia yang paling kalem, ngomongnya paling pelan tapi berwibawa, dan biasanya ngasih nasehat ke tokoh-tokoh lain.
That is, sampe dia kejang-kejang keluar busa.
Untungnya dia gak gabut menjelang akhir hayatnya.
Titi
Speaking of AADC, tu film nempel terus sama Titi Kamal selama film ini. Gak terus-terusan, tapi lumayan erat juga to the point Titi udah identik sama AADC menurut tokoh lain di film ini. Padahal, seinget gue di film itu Titi bukan yang ditaksir sama Nicholas Saputra, kan?
Anyways, meskipun dua film tersebut bener-bener dramatis dan mellow, Titi gak. Justru lawannya. Dari tiga cewek di film ini, sifat Titi adalah yang paling kalem. Paling collected. Paling make otak di saat seleb lain kalap setelah Om Muchus koid. Then again, dia emang tokoh cewek yang paling tua di film ini, jadi kalo dia yang paling bocah juga gak enak diliat, ya nggak sih?
Sayangnya, gara-gara personality dia yang paling tenang, dia jadi rada kekubur sama DInda yang masa' bodo dan Prilly yang centil. Keliatannya gak mencolok gara-gara dua tokoh perempuan lain lebih berwarna dan lebih memorable.
Di sisi lain, dia bukan tokoh yang datar banget dan terkadang ada momennya dia bener-bener stand out terutama saat para seleb berusaha bertahan hidup setelah sadar mereka terjebak di pulau tersebut.
A great contrary against other loud personalities.
Gading Marten bokapnya Gempita terdampar juga di pulau tersebut pas Gisel sedang nemenin Ernest Prakarsa di film komedi lain. You know the one.
Honestly, gue gak tau banyak tentang Gading Marten. Gue cuman tau kalo dia:
- Suami Gisel,
- Ayah Gempita, dan
- Anak Roy Marten.
Udah.
Guess what?
Nampaknya film juga tau tiga pernyataan itu.
Mirip juga dengan Titi Kamal, 3 pernyataan di atas nampaknya nempel terus sama si Gading ini. Bedanya, 3 fakta ini dijadiin comedic effect dibandingkan dengan hubungan AADC-Titi yang disebutin doang. Lebih tepatnya, tu 3 fakta dijadiin bahan lucu-lucuan. Kapan? Pas si Gading ************ ********* ******* *********** *********** **************. Btw, bintang tidak mewakili huruf.
Gading agak bingung perannya di sini.
Dia bukan aktor berbakat macam Surya Saputra atau Mathias Muchus, tapi dia bukan juga orang-orang lucu macam Soleh, Bayu, atau Radit. Mungkin bukan aktor murahan juga, tapi let's be honest here, bukan sekelas tu dua orang juga.
Maka dari itu, keliatannya dia lebih ke memerankan dirinya sendiri dibandingkan dengan memerankan sebuah sifat fiktif tertentu.
Mungkin gak se-koplak Bayu Skak, soalnya Bayu punya charm tersendiri yaitu logat medoknya dan gaya bopungnya yang straight outta Malang yang punya kelucuan tersendiri. Yang ada dari si Gading adalah sifat dia yang agak macho dan lebih manly dibandingkan tokoh-tokoh pria di sini. Kesannya, kalo ada yang bisa ngelawan dan ngalahin si pembunuh, ya si Gading ini.
Itulah image yang mau disuguhkan ke penonton.
Then again, dengan segala ke-over-the-top-an sifat para tokoh, Gading gak bikin film ini jadi tambah serius. Dia malah bikin film ini tambah kocak. Belom lagi dengan nada tinggi dan cempreng Gading kalo dia ngomong rada ngotot. Tambah lucu lagi.
Bagus atau jelek?
I'm fine with it.
Dengan sifat-sifat serius yang ada di Gading, gue udah kira dia bakal bikin film ini lebih berat ke arah thriller. Mungkin ada saatnya juga sifat dia ini bikin film ke arah thriller yang menegangkan, tapi gue seneng dengan Bang Radit yang bisa bikin sifatnya ini punya sisi lucu juga. Itu, dan 3 fakta di atas yang dijadiin bahan lelucon di film ini. Sangat meme-able, kata gue.
Keempat terakhir, Prilly Latunconsina.
Lagi-lagi-lagi, seperti dua tokoh di atasnya, Prilly pun juga punya semacam julukan yang jadi alat buat para tokoh untuk nge-refer ke dia. Dijadiin bahan lelucon pula. That is, hubungan dia sama Aliando. Penting banget, ya?
Coba, apa image Prilly di depan para penggemarnya?
Gue sendiri gak tau Prilly ini dikenal sebagai seleb tipe apa di depan para netizen dan para pengikut dunia entertainment Indonesia. Walhasil, gue pun cuman ngandelin pembawaan dia di film ini, sebagai, ehm, referensi.
Prilly di film ini...
being Prilly, I guess.
Di film ini, mengingat dia adalah tokoh termuda (lebih muda dari Bayu Skak, inget), jelas dia punya vibe kekinian, kentara banget kalo dia ngomong sama tokoh yang lebih tua, Titi
Gue juga suka dengan Prilly di sini yang self-aware dengan masa lalunya sebagai bintang di sinteron
Not too shabby, I think.
Tinggal tiga orang lagi, nih.
Mereka ini sengaja gue taro terakhir, sebenernya.
Bukan karena gue punya prinsip semacam save the best for the last.
Ya satu adalah tokoh yang paling shocking, lebih shocking dari Dinda, dan dua lainnya adalah tokoh utama, jadinya di atas itu gak salah juga.
Oke, selain alasan di atas, mereka bertiga ini terakhir gara-gara gak kayak para tokoh di atas yang personality dan sifatnya adalah cuplikan dari personality mereka di dunia nyata, ni tiga... gue gak yakin orangnya beneran kayak gitu.
Kecuali emang bener, tapi kan gak tau juga.
That is, Surya Saputra, Raditya Dika, dan Soleh Solihun.
Mulai dari yang paling kentara dulu dah, Mas Surya.
Masih inget dengan pernyataan kalo Titi Kamal bukan tokoh cliche wanita-panikan-yang-akhirnya-jadi-beban-buat rombongan?
Gelar itu ternyata dipegang oleh Mas Surya.
Apa ini gara-gara peran dia sebagai orang homo di film Arisan, gue juga gak tau. Kalopun gara-gara itu, tokoh dia di film itu juga bukan masuk orang 'ncong juga. Dari mana ini asalnya, gue juga masih gak tau.
I guess, peran itu wajib dipegang minimal oleh satu tokoh dalam sebuah film thriller/horror, dan Mas Surya membawakan peran itu dengan, well, meyakinkan. Entah kenapa dia gak jadi tokoh yang mati paling pertama, gue gak bisa jelasin.
Gue sendiri juga geleng-geleng kepala ketika mengetahui kalo Mas Surya yang--tau sendiri sifatnya-- berperan banyak dalam unsur thriller film ini. Gimana? Well, let's just say dia gak selalu bersifat panikan.
All in all, unorthodox character.
Sisa dua lagi, dan ini enaknya gue langsung sekali-hajar-berdua aja, soalnya nampaknya plot film ini menyatakan bahwa story arc dua tokoh ini sambung-menyambung menjadi satu.
Bang Radit dan Bang Soleh.
Terlepas dari masalah sub-plot yang melibatkan dua comic ini, mereka punya sifat yang sangat mirip. Realistis, yang paling 'normal', tapi jadi sumber utama tawa dari film ini. Awalnya mungkin dua tokoh ini terlihat bertolak belakang (again, sub-plot), tapi makin sering kita liat mereka berinteraksi, baik antara satu dengan yang lain atau dengan tokoh lain, mereka sebenernya punya sifat yang sama.
Mungkin gue harus point out Bang Soleh sedikit lebih loud dan frontal dibandingkan dengan Bang Radit yang lebih kalem.
Trus, apa lagi ya?
Udah, keknya.
BOOM.
Yep, sorry to say, dua tokoh utama sebenernya gak punya banyak atribut yang menarik, yang ada mereka adalah semacam kendaraan bagi plot film ini untuk terus melaju. Lucu sih iya, tapi mereka gak punya standout trait kek tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Bahkan Titi Kamal yang terkesan datar aja mungkin punya lebih banyak karakter.
Run-of-the-mill protagonists, so to speak.
Here for Them Thrills
Mungkin yang paling mencolok dan membedakan film ini dari film-film Radit yang lainnya adalah genre yang diusung, thriller.
Lagi-lagi, genre yang mirip dengan film yang dibintangi oleh Seth-- ah, sudahlah.
Gimana jalannya?
Eh...
Hit and miss. Mostly hit.
*gue bisa denger fans berat Bang Radit menurunkan bedil yang diarahkan ke gue*
But seriously though, for a first-timer in thriller genre, film ini punya momen-momen thriller yang genuinely bikin gue berada di ujung tempat duduk gue.
Ada kurang lebih dua (mungkin lebih) adegan yang bener-bener straight outta film-film bertemakan survival kek Lost. Maap, Lost bukan film melainkan serial TV, tapi tau sendirilah maksud gue.
Uniknya, adegan-adegan menegangkan nan mencekam ini dibuat bukan oleh unsur diluar kesembilan seleb tersebut, tapi oleh interaksi antar seleb itu sendiri. Dengan kata lain, adegan tersebut bisa jadi intens gara-gara pembawaan karakter yang baik oleh para seleb.
Lucunya, ada beberapa adegan yang mestinya thriller yang malah berubah jadi bahan tawaan. Meskipun situasi bener-bener sedang mencekam atau sedang menegangkan tingkat parah, entah kenapa, reaksi para seleb terhadap situasi tersebut membuat adegan tersebut jadi terkesan lucu buat para penonton. Buat mereka mungkin gak, sih.
Personally, gue gak punya masalah dengan film yang self-aware dan gak terlalu ngotot bikin ini jadi film thriller tingkat tulen. Kalo skenario yang gue paparin tadi terjadi, biasanya bisa nyasar ke satu dari dua arah: epic win atau epic fail. Then again, kita harus inget-inget lagi Pak Sut dari fim ini adalah Bang Radit, yang resume-nya gak mengandung unsur thriller, sehingga gue gak bisa expect thriller yang bener-bener hardcore dalam film ini.
Instead, Bang Radit semacam play it safe dengan unsur-unsur komedi yang diselipkan dalam adegan-adegan yang mestinya mengundang bulu kuduk dalam film tersebut. No problem, I say.
Lagian, kalo lo mau yang bener-bener thriller, mungkin lo bisa pake sutradara kek Joko Anwar bukan Raditya Dika. Pemain kek Rio Dewanto bukan, I don't know, Bayu Skak. Dari cast-nya film ini aja, kita udah lebih ngarah ke film komedi dengan unsur thriller, bukan film thriller dengan unsur komedi.
Not bad for a novice.
(+) - Thriller yang sekalinya kena, kena bet.
- Komedi yang tetep ngundang tawa.
- Cast yang memberikan performance yang mancay.
(-) - Plot yang real predictable, bruh.
- Sub-plot yang terkesan terburu-buru dan maksa.
- Drama yang semacam disumpelin ke dalam film.
VERDICT:
[ LIT!!! /
First attempt Bang Radit terhadap thriller berbuah manis-manis-asem dibantu dengan performa mantep dari para seleb, meskipun dari segi cerita dan eksekusi gak terlalu mulus.
Until the next post, bungs! :D
No comments:
Post a Comment