Tidak terkecuali, gue.
Bener adanya kalo petualangan gue di Brisbane udah kelar di hari keempat. Hari kelima, gue balik ke Melbourne. Gue gak jalan-jalan lagi di hari kelima tersebut. Bisa dibilang, mini-series gue (normalnya) udah selesai di episode keempat, hari keempat.
Then again, di awal mini-series ini, gue menceritakan perjalanan gue ke Brisbane. Kebanyakan cerita tersebut bertempat di Melbourne, tapi gue bodo amat dan tetep menceritakan bagian tersebut.
Kalo udah kek gitu ceritanya, masa' gue gak ceritain perjalanan gue balik ke Melbourne?
Rasanya mini-series ini gak pas kalo gak punya epilog yang kuat.
Hoooo, jangan khawatir, perjalanan gue ke Melbourne gak kalah tololnya dengan perjalanan gue ke Brisbane. Mungkin dalam bentuk yang beda dari gue-naik-kereta-secara-ngasal ato gue-berusaha-menghindari-dicekal-Roz-dari-Monsters-Inc, tapi bagian inipun punya momen-momen tersendiri.
So, here we go.
The epilogue to my bizarre adventure in Brisbane.
(Way Too) Early Departure
"Naik kereta aja," saran Adri. "Lo naik dari Auchenflower ke Central Station, terus lo naik kereta express ke bandara dari sono."
"Bisa?" tanya gue.
"Bisa sih, mestinya," jawab Adri meyakinkan gue.
"Si Risyad gak bisa nganterin, emangnya?" tanya Adri.
"Gak bisa cuy, dia mau ke Ekka sama temen-temennya hari ini."
"Hooo...." ujar Adri berangguk-angguk.
Jam di Bayliss waktu itu menunjukkan pukul 10 pagi. Segenap warga rumah tersebut udah bangun dan udah sarapan. Gue sendiri waktu itu sarapan oatmeal dengan selai Nutella.
"Flight lo jam berapa, Mo?" tanya Ali.
"Jam 15:10 sih, mestinya."
"Lo mau cabut jam berapa?" tanya Adri.
Jarak dari Bayliss sampe ke bandara Brisbane adalah (kurang lebih) 18 km. Berdasarkan rute kereta yang dikasih Adri, kalo gak ada hambatan, gue bisa nyampe di airport dalam kurun waktu 49 menit. Kurang dari satu jam. Kurang dari 50 menit, bahkan.
Tapi lo tau sendirilah, kalo ceritanya udah melibatkan berangkat ke bandara.
Lo gak bisa ngambil resiko.
Gak kek bioskop, lo gak bisa telat buat yang ini. Kurang lebih satu jam ke bandara? Sayangnya, lo gak berangkat satu jam, satu setengah jam, ato bahkan dua jam sebelom jam flight lo.
I mean, lo bisa, tapi lo seriusan mau ngambil resiko ketinggalan pesawat? Resiko terbangnya pesawat lo DAN duit lo?
Who knows, mungkin perjalanan '1 jam' tersebut bisa berubah jadi, entahlah, 3 jam. Bahkan kalo lo naik subway pun. Gimana jadinya kalo ternyata ada perbaikan? Ato ada kecelakaan di rute kereta yang gue ambil? Ato, pahit sepahit-pahitnya, kereta gue yang kecelakaan?
Jadi ya itu.
"Jam 12-an, dah," jawab gue.
Emang, naik pesawat bisa bikin lo parno. Bahkan ketika lo lom nyampe pesawat-nya pun.
Jam setengah 12, gue dapet pesan LINE dari Difa. Yep, Difa si #GrumpyGal. Yang itu.
"Mo, flight lo jam berapa?"
"Jam 15:10."
"Trus lo mau berangkat jam berapa?"
Dan gue jelasin lah ke Difa, detail-detail mengenai keberangkatan gue ke bandara Brisbane. Berangkat jam 12 dari Bayliss, ke stasiun Auchenflower, naik kereta jurusan Central dari sono, terus transit naik kereta jurusan bandara.
Kenapa dia nanya gituan? Kenapa keberangkatan gue penting banget buat dia?
Ya what else, dia mau nganterin gue di Central.
Difa, Rares, dan Haniya.
Bukan nganterin SAMPE ke Central, mon maap. soalnya rencana mereka adalah ketemuan sama gue ketika gue turun di Central, nemenin gue sampe kereta ekspres bandara dateng, dan dadah-dadahan ketika gue udah naik keretanya. DI Central, bukan KE Central. Merekapun gak ikutan naik sampe ke bandara, soalnya fare kalo lo naik kereta ekspres bandara lumayan mahal. Nyampe $20, kalo gak salah. Gue ngerti sengerti-ngertinya kalo mereka nganter cuman sampe di Central doang.
Mungkin gak semua personil Babes nganter gue hari itu, tapi gue gak masalah sama sekali. Seneng malahan, soalnya ekspektasi gue dianter Babes saat itu... gak terlalu tinggi. Jangankan nganter, gue ngerasa mereka pamitan online AKA via LINE aja udah lebih dari cukup.
Rupanya, bukan cuma trio ringleaders Babes aja yang berniat nganter gue.
Gak lama setelah LINE chat dari Difa, gue dapet LINE call dari anggota Babes yang lain.
Sasa.
Topiknya gak beda jauh dengan punya Difa, tapi dengan satu perbedaan mendasar.
"Eh Mo, lo naik kereta dari Central langsung ke bandara?"
"Iya Sa, kenapa emangnya?" tanya gue.
"Lo mau nganter sampe ke bandara?" tanya gue lagi, ngasal.
"I...ya," jawab Sasa agak ragu. "Is that alright?"
Wait, what?
Sasa bukan cuman nganterin gue di Central, tapi dia bersedia nganterin gue sampe ke bandara? Naik kereta dengan fare $20? Tanpa gue minta, ajak, apalagi suruh?
WHAT?
Gue seneng lo mau nemenin gue, Sa. Seriusan, gue seneng dan gue appreciate lo bersedia mengorbankan $20 buat jadi partner keberangkatan gue. Tapi seriusan, harus gue akuin kalo gue kaget berat pas lo menawarkan diri nemenin gue sampe ke bandara.
Gue gak minta satupun temen-temen gue buat naik kereta ekspres ke bandara. Gue tau $20 bukan jumlah yang sedikit, dan gue ngerti banget kalo gak ada yang mau nemenin gue. Hell, gue sendiri juga gak bakal mau kalo ditaro di posisi temen-temen gue.
Belom lagi, Sasa bersikeras buat ikut gue ke bandara. Yep, di call yang sama dengan tadi, gue sebenernya udah menolak halus ajakan Sasa sebanyak tiga kali. Dan sebanyak tiga kali juga lah, Sasa kekeuh pingin nemenin gue. "Gak papa Mo," katanya. Sebanyak tiga kali, dengan tiga alasan berbeda yang gue udah lupa sekarang.
Jadi Sa, makasih, makasih banyak. Banget. Seriusan.
Also, saking parnonya gue, gue terus-terusan ngecek website Tiger Air, maskapai penerbangan yang gue naikin ntar. Takutnya tiba-tiba jadwal penerbangan berubah jadi jam 13:00, who knows?
Beberapa scroll kemudian, gue menemukan details milik flight gue. Di sono tertera jam berangkat (15:10), jam tiba (17:35) dan nomor penerbangan gue.
Semua nyambung, kecuali satu informasi kecil.
Di sebelah jam berangkat flight gue, ada sebuah bagian informasi estimated. Bagian estimated tersebut menunjukkan jam pula, tapi jam yang jauh lama dari jam terbang flight gue: 19:25.
Sempat tersembul di benak gue tebakan kalo flight gue delay lama banget sampe jam tujuh malem. Tapi secara bersamaan tersembul pula pikiran tandingan: masa' delay-nya sampe selama itu?
Gue pun bertanya ke Ali mengenai informasi tersebut, dan jawaban dia semacam mengonfirmasi keraguan gue.
"Ya intinya yang lo harus perhatiin yang ini," ujarnya. "Jam berangkat lo. Jam 15:10."
I mean, gak mungkinlah dia delay dari jam tiga sore sampe jam tujuh malem, kan? Bisa juga tulisan estimate di website Tiger Air tersebut salah, kan? Namanya juga estimate. Perkiraan. Dan lo tau sendiri perkiraan gak menjamin kebenaran. Gimana jadinya kalo gue memutuskan buat leyeh-leyeh sampe jam empat sore, trus tiba-tiba gue dapet kabar kalo pesawatnya udah lepas landas jam itu juga?
Mendingan berangkat ngikutin jadwal asli. Better safe than sorry.
Toh kalopun delay, seenggaknya gue udah nyampe di bandara.
Setengah jam kemudian, jam 12 siang, setelah berpamitan dengan Raja dan Zaki, gue pun akhirnya berangkat. Gak sendirian, soalnya gue ditemenin Ali, Adri, dan Laras, yang menginap di rumah Bayliss.
Pas gue udah nyampe Roma Street Station (satu stasiun sebelom Central), gue dapet pesan LINE dari Praya. Yep, satu orang lagi yang mau nganterin gue.
Sesampainya gue di Central, gue-Ali-Adri-Laras langsung menuju ke platform kereta ekspres bandara tersebut. Nampaknya tu kereta lom nyampe. Dan nampaknya lagi, personil penganteran gue lom ada yang nyampe.
Lima menit kemudian, muncullah wajah-wajah familier di peron kereta ekspres tersebut.
Adalah Praya, Sasa, dan satu lagi temen gue bernama Kania yang telah mencapai platform kereta ekspres tersebut.
"Eh, lo pada ngeliat Difa-Rares-Haniya, gak?"
"Gak tuh," jawab Kania. "'Mangnya kenapa, Mo?"
'Mereka mau nganter juga soalnya," jawab gue.
Ya masa' udah bela-belain mau nganter malah ketinggalan kereta dari yang nganter?
Menurut layar informasi kedatangan peron, kereta ekspres akan tiba empat menit lagi.
Empat menit lagi, dan gak ada tanda-tanda dari ringleaders Babes.
"Sa, lo seriusan banget mau ikutan gue?" tanya gue.
"Astaga, gak papa Mo, seriusan," jawab Sasa.
Menurut Sasa, dia nemenin gue sampe ke bandara adalah bentuk kompensasi dari si Sasa-nya yang kurang banyak interaksi/ngobrol dengan gue selama gue di Brisbane. Sasa nganggep kalo dia nemenin gue berarti dia punya banyak banget kesempatan buat ngobrol dengan gue dan, you know, catch up.
Tiga menit.
"Lo kapan lagi ke Brisbane, bos?" tanya Adri lepas.
"Ya lo-nya kapan ke Melbourne, boi?" tanya gue balik.
"Ya liat dah entar," jawab Adri ringan.
Masih gue tunggu, Dri.
Dua menit.
Dua menit, dan kereta ekspres bandara pun telah tiba.
Belom ada tanda-tanda Rares-Difa-Haniya.
Satu menit.
Ah, well.
Gue berpamitan dengan kurang lebih semua orang yang gue kenal di peron tersebut. Ali-Adri-Laras lebih lama dari yang lain.
Gue dan Sasa menaiki kereta tersebut, yang saat itu gak terlalu ramai penumpang. Gak terlalu lama bagi kita berdua buat nemuin tempat duduk kosong.
Nol menit.
Kereta mulai bergerak. Semua temen gue di peron melambaikan tangan.
Tinggal Sasa lah temen Brisbane gue yang masih sama gue waktu itu.
Selebihnya?
Bye.
Gak lama setelah kereta jalan, gue dapet DM Instagram dari Rares. Isinya adalah video Rares-Difa-Haniya berpamitan ke gue. Riang gembira, meskipun kesel gara-gara mereka baru nyampe *pas* banget setelah kereta gue cabut.
"Bye Mo! Safe flight yak!"
Keren juga kalo dipikir, soalnya Sasa adalah bagian dari rombongan yang menjemput gue di bandara Brisbane ketika gue baru nyampe di sono. Yep, dia termasuk dalam mobil Risyad yang menjemput gue hari itu.
Dengan kata lain, Sasa berada di awal dan di akhir petualangan gue di Brisbane.
Awal mula dan penghujung akhir. Sasa ada di keduanya.
Dari antara temen-temen Brisbane gue, Sasa adalah salah satu orang pertama dan satu-satunya orang terakhir yang berinteraksi dengan gue.
Eh Sa, lo nyadar ini semua, gak?
Tentu saja perjalanan gue dan Sasa ke bandara gak gabut-gabut amat.
Sasa pingin ngomong sama gue (bukan ngomong-ngomong serius, bukan), dan ngomonglah kita selama perjalanan kita ke bandara. Rasanya, jarak dari Central Station ke Brisbane International Airport gak sejauh itu.
Ketika gue sampai depan gerbang menuju terminal, gue memperbolehkan Sasa buat balik.
"Oh gak papa Mo, gue nganter lo sampe ke dalem aja."
Astaga, Sa.
Gue tau Sasa hari itu mau ke Ekka bareng Kania. Gue tau, soalnya itulah salah satu topik perbincangan kita selama di kereta. Dia belom pernah ke Ekka sebelomnya, dan gue gak mau jadi penghalang dia menghadiri acara tahunan tersebut. Hence, gue memperbolehkan dia balik.
"It's okay, Mo," kata Sasa. "Gue masih ada waktu, kok."
Jalanlah kita berdua ke terminal.
Ketika kita berdua udah sampe, gue melihat papan jadwal penerbangan.
Tujuan: Melbourne.
Flight number gue.
ETA - 19:25.
19:25.
Jam 7 malam lewat 25 menit.
Itulah jam keberangkatan gue.
Flight gue jam tujuh malam, dan gue udah nyampe di bandara jam setengah dua siang.
Gue kudu nunggu enam jam.
Enam.
Jam.
Kepret.
Yang lebih tolol lagi adalah gue sebenernya udah tau kalo flight gue kena delay sampe jam tujuh malem. Yep, estimate di situs resmi Tiger Air sebenernya gak bohong. Tapi for some reason gue memutuskan buat menepis itu semua. For some reason, gue memutuskan buat bodo amat.
Enam jam delay dengan Sasa sebagai partner gue. Untung aja ada Sasa, otherwise gue bisa kena mental breakdown ngadepin ini sendirian. Terdampar di bandara ketika lo bisa ngelakuin banyak hal kek, entahlah, nongki dulu sama anak-anak Bayliss sampe jam empat sore?
Enam jam delay.
What am I supposed to do?
TED Talk With #NerdyGal
Setelah kelar tertawa terbahak-bahak atas nasib nahas gue, gue menginstruksikan Sasa buat balik meninggalkan bandara. Dia udah nganterin gue sampe ke sini, buat apa juga dia ikut-ikutan planga-plongo sampe jam tujuh malem?
"Hmmm..." gumam Sasa setelah mendengar instruksi gue.
"I think I'll stay."
Gue gak menghabiskan banyak waktu buat meyakinkan Sasa ato menolak tawarannya buat nemenin gue secara halus. After all, itu semua udah gue coba sebelomnya, dan hasilnya nihil.
Dan harus gue akuin, gue seneng gue gak sendirian dalam menghadapi delay enam jam ini. Jelas dia gak bakal nemenin gue sampe jam tujuh malem, tapi seenggaknya dia bakal nemenin gue, titik. Satu jam? Dua jam? Tiga jam? I'll take everything I can get.
I mean, idealnya adalah dia nemenin gue selama satu jam aja karena gue udah banyak ngerepotin dia. Tapi lagi-lagi, Sasa sendirilah yang bersikeras buat nemenin gue. Semua ini murni inisiatif dia. Tanpa gue ajak, tanpa gue suruh. Siapa gue menghalang-halangi niat baik dia?
Toh dia udah jauh-jauh sampe sini juga, might as well spend some time here.
After all, time wasted doing something you like is not time wasted, right?
"Di sini gak ada apa-apa Mo, kita nunggunya di departure gate aja," ujar Sasa.
"Kalo kita ke gate bukannya kita harus ngelewatin baggage check dulu ya, Sa?"
"Ya, terus?"
"Emangnya lo bisa masuk ngelewatin check-nya, Sa?" kata gue. "Jangankan satu flight sama gue, punya flight aja kagak."
"Oh, tetep dibolehin masuk kok," ujar Sasa ringan.
"Lo yakin, Sa?"
"Yakin lah, orang pas gue nemenin nyokap gue dibolehin," jawabnya mantap.
If you say so, Sa.
Dengan Sasa di belakang gue, kita pun berjalan ke bagian baggage check.
Laptop gue keluarin (as per peraturan di bandara se-Australi), jaket gue lepas, dan kombo hape-dompet gue taro di nampan yang mereka sediakan.
Selama proses pemeriksaan tersebut, gue nangkep satu hal: mereka gak minta lo buat nunjukin tiket lo. Sasa bener.
Mau gitupun juga, gue sesekali melihat ke belakang gue, ngecek Sasa ditahan ato gak.
Gak ada.
Wait, gak ada?
"Nyari apaan, Mo?"
Sasa. Di samping gue, lagi mengepak barang-barang yang dia keluarin dari tas dia.
Secepet itu. Selancar itu.
"Hah," deham gue. "Gue kira lo kenapa-kenapa, Sa."
"Tenang aja Mo, gue udah pengalaman ngelewatin baggage check di sini," ujarnya santai.
Gue meluruskan tali tas gue. "Kemana kita sekarang?"
Bentar, kok gue yang nanya?
"Lo emangnya gate berapa, Mo?" tanya Sasa.
Jarak dari bagian baggage check ke gate flight gue lumayan jauh. Tapi lagi-lagi, gue gak lagi dikejer waktu sama sekali. Kecuali kalo gue butuh waktu enam jam buat jalan kaki sejauh 100 meter. Dengan kata lain, kecuali kalo gue adalah seekor keong.
Tapi tenang aja. Gue cuma butuh 5 menit.
Daerah departure gate buat flight gue masih sepi. Kosong, bahkan.
Di saat itulah gue baru sadar kalo gue belom makan siang.
"Eh, kalo mau makan di mana, Sa?"
Sasa sebagai airport tour guide dadakan gue menunjukkan letak food court. Jaraknya sekitar 15 menit dari gate gue. Bukan cuma nunjukin, Sasa sampe nganterin gue ke sono pula. Gue jadi sungkan, tapi ternyata bukan cuma gue doang yang mau ke food court buat makan.
"Sekalian Mo, gue juga belom makan siang."
Gue: McD. Lebih tepatnya, Maccers.
Sasa: sebuah-restoran-Chinese-food-yang-gue-lupa-namanya.
Setelah kita kelar makan siang (ato sore, mengingat kita baru kelar makan jam 3), kita balik lagi ke departure gate milik flight gue. Masih sepi. Ya gimana mau rame, orang flight gue masih empat jam lagi lamanya.
Dan dari situlah dimulai percakapan panjang antara gue dan Sasa. Anggep aja sesi TED Talk di antara kita berdua.
Pertama, tokoh komik kesukaan Sasa. Flash.
Seperti yang gue bilang di episode Babes kedua gue, Sasa bukan penggemar Flash biasa. Dia lebih dari sekadar penggemar Flash yang ngikutin TV series Flash punya CW. Dia lebih dari sekadar penggemar Flash versi layar, lebar ato kecil. Dia lebih dari sekadar penggemar Flash yang suka tokoh tersebut gara-gara pemerannya, Grant Gustin dan/ato Ezra Miller. Dia lebih dari sekadar penggemar Flash yang sekadar tau kalo Flash punya nama asli Barry Allen.
Dia ngikutin serial komik Flash juga. As in, BANYAK BANGET komik Flash.
Salah satu buktinya ya percakapan kita ini.
"...Iya Mo, Flash tu musuhnya kebanyakan pake kekuatan speed force juga, sama kek si Flash-nya. Zoom, Reverse Flash..."
"Kalo si Captain Cold itu? Yang lo bilang sering di-ship-in sama Flash? Dia punya speed force juga, gak?"
"Oh, kagak Mo!" katanya ketawa. "Captain Cold tu sebenernya gak punya superpowers. Dia ya orang biasa aja, tapi jago pake gadget es gitu."
"Berarti jatoh-jatohnya kek Mr. Freeze, dong?"
"Tapi Mr. Freeze kan punya superpowers, Mo."
"Oh, iya ya."
"Eh, masa' menurut gue Captain Cold itu overpowered. Buat orang yang gak punya superpowers samsek dia tu lumayan jago, lho!"
"Emangnya bisa sejago apa si Captain Cold ini?"
"Kalo di komiknya ya Mo," jelas Sasa. "Captain Cold itu tuh udah ngalahin orang-orang yang lumayan jago di DC Comics. Bahkan orang yang punya superpowers sekalipun."
"Misalnya?"
Sasa ngasih gue Johnny Quick. Johnny Quick (nama asli Jonathan Allen menurut Wiki) adalah, pada dasarnya, Flash jahat. Dia bisa lari cepet banget secepet kilat, sebuah kekuatan yang Captain Cold gak punya. Dan kalo emang Johnny Quick ini bener punya superpowers yang sama dengan Flash, berarti dia juga bisa mukul orang secepet kilat, nendang orang secepet kilat, dan, sampai taraf tertentu, memperlambat waktu. Bisa apa seorang Captain Cold ngelawan Flash jahat? Lempar dia es batu?
But nop, Captain Cold ngalahin Johnny Quick dengan cukup simpel. Bekuin kakinya, patahin tu kaki yang udah beku. Keok.
"Tapi ya Mo," lanjut Sasa, masih kesenengan. "Begitu dia ketemu Flash--"
"Yang beneran? Yang Barry Allen?"
"--yang beneran, dia kena sekali bogem langsung kalah, Mo!" ujar Sasa terkikik. "Kek, *poop* langsung kalah, gitu!"
"Berarti emang kelemahan dia secara spesifik adalah Flash, gitu?"
"Iya, masa'!" kata Sasa, ketawa. "Captain Cold tu kalo muncul emang suka steal the show, bahkan kadang-kadang agak berlebihan juga."
"Jadi bukan cuman Batman ya, tokoh DC tanpa kekuatan super yang overpowered (OP)?"
"Masa' (masa' ada banyak banget dia pake kata masa', masa'?) DC emang punya masalah kek gituan," pungkas Sasa. "Kebanyakan tokoh yang gak punya powers di DC Comics itu sebenernya agak OP."
Dengan kata lain, tokoh-tokoh yang gak punya superpowers di DC ujung-ujungnya punya superpowers juga. Case on point: Batman.
Kita semua tau Batman gak punya kekuatan super. Bener kalo dia jauh di atas manusia rata-rata, tapi gue tau di DC dia dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling kuat di DC, terkadang ngelebihin Superman. Yep, Superman, superhero terkuat sejagat.
Seorang Batman, yang sebenernya 'cuman' orang tanpa kekuatan super, pernah ngalahin seorang Superman di serial komik terbatas The Dark Knight Returns.
Like, freakin' Superman!
Bener sih waktu itu Batman pake exosuit ala-ala Iron Man dan Superman udah keburu letoy gara-gara kena tembak panah Kryptonite, tapi freakin' Superman, man!
Belom lagi, Batman di DC diketahui menguasai SEMUA jenis ilmu bela diri. SEMUA. Bagus sih berarti dia tau Pencak Silat juga, tapi SEMUA? SEMUA? Gimana caranya dia menguasai SEMUA ilmu bela diri?
Oh ya jelas dia bisa, menurut DC Comics dia tergolong punya kepintaran tingkat jenius. Jenius. As in setara Albert Einstein, Stephen Hawking, dan Leonardo Da Vinci. Seorang Bruce Wayne.
Rasanya cocok kalo lawan dia adalah seorang penjahat yang gak punya kekuatan super pula. Oh wait, dia udah punya. Si Joker. Yep, tambah satu lagi tokoh DC tanpa superpowers yang rada OP.
Intinya, apa yang Sasa bilang itu bener. Ketika seorang tokoh DC gak punya kekuatan super, di saat itulah dia bisa punya 'kekuatan super' melebihi tokoh yang punya.
"Tapi Captain Cold sebenernya gak murni supervillain sih," kata Sasa.
"Ada ceritanya dia ngebantu Wonder Woman ngelawan anggota-anggota Justice League yang jadi zombie," katanya lagi. "Sama dia ngebantu Superman ngelawan penjahat namanya Amazo."
"What?!" reaksi gue waktu itu, reaksi gue sekarang.
"Yep," tukas Sasa santai. "That happened."
"Itu masih Captain Cold yang sama?"
"Di komik sih iya."
Jadi si Cold ini gak jahat-jahat banget?"
"Emang dia tokohnya kek gitu," jelas Sasa. "Dia tu contoh konkret prinsip 'even bad guys has standards'."
Jadi Captain Cold jatoh-jatohnya adalah seorang anti-hero. Kek Deadpool. Kek Punisher. Mungkin dia sering berantem sama tokoh baik macam Flash, mungkin dia sering berperilaku melanggar hukum, tapi sebenernya dia gak sejahat itu. Gak sejahat Joker, seenggaknya. Hoo boy, gak ada tokoh sejahat Joker.
Kedua, film Wonder Woman.
Wonder Woman adalah satu dari sedikit film DC yang gue suka. Sebagian karena Gal Gadot cocok banget sebagai Wonder Woman, sebagian karena that theme song yang bikin lo pingin lempar kursi saking kerennya, sebagian karena adegan action-nya yang mancay, dan sebagian lagi... oke, lo pada tau maksud gue.
Sasa setuju sama gue, tapi dengan alasan yang berbeda.
"Gue suka film Wonder Woman soalnya dia tu gak nyekokin penontonnya pesan-pesan tentang feminism," ujar Sasa. "Ada sih ada, tapi gak dipaksa banget, gitu loh."
Rupanya Sasa baca komik tentang Wonder Woman juga. "Wonder Woman tu sebagai seorang superhero tu punya kelemahan, termasuk pas lagi berantem," katanya.
"Di komik dia kalo berantem tu beneran kena tonjok, sama kerasnya dengan temen-temen lakinya, dan bahkan dia kalah aja pernah," jelas Sasa. "Beneran kena tonjok loh, Mo!"
"Jadi jangan lo kira mentang-mentang dia cewek berarti dia gak bisa kena bogem," tutup Sasa puas.
"Lo seneng di film itu dia gak digambarin sebagai tokoh yang gabisa disentuh gara-gara dia tokoh wanita?" tanya gue.
Sasa mengangguk.
Gue setuju dengan pendapat Sasa.
Jaman sekarang banyak cerita yang direka--kadang direka ulang--sedemikian rupa sehingga lebih melibatkan tokoh wanita. Ghostbusters 2016? Aslinya pria semua, sekarang wanita semua. Ocean's 8? Aslinya pria semua, sekarang wanita semua. Game Wolfenstein terbaru, Wolfenstein: Youngblood? Peran protagonis dari BJ Blazkowicz yang super-mega-giga macho akan digantikan oleh anak kembar ceweknya, Jessica dan Sophia.
Gue sih gak masalah dengan perubahan pelan-tapi-pasti ini. After all, film dan game lama udah ada yang mengadopsi konsep ini sehingga perubahan ini gak terasa aneh-aneh banget. Ada serial game Tomb Raider dan ada film Alien pertama. Ada serial game Metroid, dan ada film Silence of the Lambs.
Demi kesetaraan, toh?
So why not make equality truly equal?
Protagonis pria sering kena tonjok, tembak, dan tikam. Kenapa enggak buat protagonis wanita?
Kalo lo mau mendorong buat kesetaraan gender, dalam artian tokoh utama wanita dalam sebuah cerita, berarti mereka harus mengalami dan melakukan apa yang biasa dilakukan tokoh pria, toh? Biar *ehm* setara, kan?
"Gue juga suka interaksi Wonder Woman dan Steve Trevor," kata Sasa lagi. "Si Wonder Woman tuh gak nganggep Steve di bawah dia, tapi dianggep setara dengan dia."
Selain itu, Sasa juga suka satu adegan dimana Diana melabrak salah satu jendral Inggris yang menolak menurunkan bala bantuan buat tentara di garis depan perang. Harus gue akuin kalo tokoh jendral-jendral ini emang nyebelin banget, bahkan buat standar laki.
"Filmnya tu gak takut buat ngebahas masalah posisi wanita di jaman Perang Dunia I," jelas Sasa. "Tapi dia juga gak sampe bilang 'ugh, dasar pria, selalu merendahkan kita kaum perempuan bla bla bla', gitu."
"Yang ada, Diana tuh marah karena dia punya alasan bagus, misalnya pas dia marah ke si jendral yang cuma ongkang-ongkangan di kantornya sementara tentara-tentaranya berjuang setengah mati," lanjut Sasa. "Padahal kalo di budayanya Themiscira, jendral tu turun ke medan tempur dan berjuang sehidup semati bareng tentara mereka."
"Gue suka dia make argumen tersebut tanpa pake acara disambung-sambungin ke gender."
"Sampe sekarang, Wonder Woman tu my favorite female-led movie."
Gue juga, Sa. Gue juga.
Semua argumen Sasa ini berhubungan dengan satu alasan kenapa gue suka film Wonder Woman.
It's empowering.
Film itu mendorong kesetaraan gender tanpa merendahkan kaum laki. Film tersebut gak berusaha bikin semua tokoh laki selain Wonder Woman gak becus, mereka dianggap setara dengan Diana Prince si Wonder Woman. Film tersebut sukses membawakan Diana Prince sebagai protagonis wanita yang inspiratif tanpa membuat tokoh sampingan pria terkesan gak penting.
Mungkin Diana bisa bikin kacau lini pertahanan kubu Jerman sendirian, tapi bantuan yang diberikan oleh temen-temen lakinya (Steve Trevor si pilot, Sameer si aktor, Chief si Indian Blackfoot, to name some) bener-bener kerasa. Mereka gak cuman nontonin Diana bikin pertahanan Jerman kocar-kacir. Nop, mereka punya andil yang gak kalah penting pula.
Di film tersebut, Wonder Woman jadi inspirasi bagi temen-temennya, bukan jadi tokoh ultra-OP yang bikin temen-temennya jadi gak guna. Oke, dia emang OP dibandingkan dengan temen-temennya, tapi apakah temen-temennya melongo doang ngeliatin dia beraksi?
Apa yang Antiope bilang ke Diana ketika mereka berlatih?
"You are stronger than this!", bukan "Men are weaker than this!"
"A battle will never be fair!", bukan "Men will never fight fair!"
"You keep doubting yourself!", bukan "Men will always doubt you!"
Empowering. Mengangkat tanpa merendahkan.
Kita ngomong selama kurang lebih dua jam. Banyak yang kita omongin waktu itu, termasuk gue berusaha menyekoki Sasa anime Jojo's Bizarre Adventure (anime bagus, seriusan), tapi gue rasa bagian itu gak terlalu penting.
Hape Sasa berbunyi. Telpon dari Kania, nanyain kapan dia mau balik dan bergabung dengan dia buat pergi ke Ekka bareng.
"Udah Sa, lo balik aja. Toh, kita udah catch up tadi."
Sasa beranjak.
"I guess this is it, Mo," katanya
"Mau faedah ato gak juga, at least we had fun, right?"
"Bener, sih."
Kita berpelukan.
"Bye Mo," kata Sasa selagi dia pergi meninggalkan gue. "Safe flight."
"Bye Sa," kata gue. "Take care and have fun at Ekka."
Dan hilanglah Sasa dari departure gate tersebut.
Gue masih punya dua jam lagi menuju flight gue, tapi seenggaknya gue udah menghadapi empat jam tanpa dilanda kebosenan akut.
After all, kek yang tadi gue bilang,
time wasted doing something you like is not time wasted.
(Way Too) Late Arrival
Kalo semuanya tepat waktu, gue mestinya udah di Melbourne jam 17:35.
Kalo semuanya lancar, gue mestinya udah nyampe di tempat tinggal gue jam 19:01.
Kalo.
Kalo gak ada hambatan, posisi gue jam 21:40 adalah di tempat tidur gue, leyeh-leyeh lurusin kaki sambil nontonin PewDiePie di hape gue.
Kalo.
Nyatanya, jam 21:40, gue baru nyampe di bandara Melbourne.
Yep, perjalanan gue udah melenceng dua jam lebih dari rencana gue. Tadinya, gue mau cepet-cepet nyampe rumah, beres-beres, main Warframe sampe jam 12 malem, terus tidur. Sekarang, gue udah gak peduli lagi soal rencana-rencana tadi--gue cuman berharap gue bisa nyampe rumah. Titik.
Langit udah gelap ketika gue keluar dari kabin pesawat. Dingin pula. Sial.
Rute yang gue ambil buat balik ke rumah gue gak beda jauh dengan rute yang gue ambil lima hari sebelomnya. Dibalik aja, sesimpel itu. Bandara, naik SkyBus ke Southern Cross Station, naik kereta ke Box Hill Central Station, terus naik bus ke halte deket rumah gue.
Kalo semuanya berjalan normal (baca: tepat waktu), gue mestinya gak punya masalah dengan rute yang gue ambil. Sayangnya, perjalanan ini udah gak normal sejak jam setengah dua siang.
Masalahnya gak segede itu, sih. Berdasarkan logika gue, SkyBus dan kereta ke Box Hill mestinya masih ada jam 10 malem-an. Kalo misalnya gak ada, masa' orang harus banget naik Uber dari bandara ke pusat kota? Ato masa' orang yang udah bayar tiket SkyBus gak kedapetan bus gara-gara terbangnya kemaleman? Ato masa' orang yang tinggal di daerah Box Hill kalo pulang dari kota malem-malem harus banget naik Uber? Kalo doi gak ada duit gimana?
Intinya, SkyBus dan kereta, gak beresiko ilang ditelan jam malam.
Bus ke halte deket rumah gue, nih.
Menurut intel yang gue dapetin, ada rute-rute bus yang berhenti beroperasi pas larut malam. Waktu itu gue belom tau perihal rute bus yang gue ambil entar kena ato gak, tapi yang gue tau MAYORITAS rute bus berhenti beroperasi larut malam, sekitaran jam 11. Yang mana adalah perkiraan waktu gue nyampe di Box Hill Central.
Kalo emang bener udah gak ada bus ke deket rumah gue ketika gue nyampe di Box Hill, harus ngapain kah gue?
Naik Uber bukan pilihan yang ideal banget, mengingat gue jarang--banget--pake Uber pas gue di Australia. Kalo lo bisa naik kendaraan umum yang notabene harganya jauh lebih murah, buat apa pake Uber? Belom lagi, beda dengan Indonesia, gue denger Uber di sini gak terima cash. Kudu bayar pake apa gue entar?
Naik tram? Boro-boro naik tram, naik Uber aja kadang-kadang gue masih takut nyasar. Sekarang pas gue nulis ini (6/12) gue udah jauh lebih pede buat naik tram, jadi ketakutan ini kedengarannya agak konyol. Tapi inget, semua ini berlatar waktu bulan Agustus, belom tiga bulan gue di Australia, di saat gue belom kenal dengan lika-liku angkutan umum Melbourne.
Ah, sudahlah. Nyampe Southern Cross aja belom.
Pas gue keluar dari terminal kedatangan domestik, gue menyadari satu hal: ujan.
Tambah bangke lagi. Udah dingin, pake acara ujan pula. Satu-satunya cara agar keadaan ini bertambah bangke lagi adalah kenyataan bahwa tempat naik SkyBus jauh--banget--dari pintu kedatangan tempat gue berdiri.
Yang mana itu gak terjadi. Untunglah.
Gue melihat sebuah bus double decker merah ngetem rapi di depan gue. Bus yang sama dengan bus yang gue naikin lima hari yang lalu. Sebuah SkyBus.
Gue menunjukkan tiket SkyBus gue ke si petugas, dan gue diperbolehkan naik.
Lima menit kemudian, SkyBus berangkat.
Tas gue beratnya sama persis dengan ketika gue berangkat ke Brisbane: 7 kg lebih dikit. Gak gue tambah apapun, soalnya gue takut dicekal petugas macam Roz-dari-Monsters-Inc lagi di bandara Brisbane. Itu, dan percayalah, ngegembol tas seberat 7 kg kemana-mana udah berat. Gue gak perlu tambahan apa-apa lagi dalam bentuk apapun.
Southern Cross gak ada masalah. Palingan permasalahan paling gede yang gue hadapi adalah berat dari tas gue. Kek yang tadi gue bilang, tujuh kilogram lebih dikit dalam bentuk tas ransel. Ditambah dengan jarak yang harus gue tempuh dari tempat persinggahan SkyBus ke peron kereta jurusan Box Hill, kenyataan bahwa kaki gue masih bisa berdiri tegap adalah sebuah keajaiban.
Sayangnya, gue masih harus nunggu 15 menit untuk kereta jurusan Box Hill. Astaga. Makin kecil aja kemungkinan gue bisa naik bus dari Box Hill ke rumah gue.
Gak ada hambatan dalam perjalanan dari Southern Cross ke Box Hill. Tapi kek yang tadi gue bilang, bagian ini mestinya normal-normal aja, mau se-abnormal gimanapun perjalanan ini.
Bagian dari Box Hill ke rumah gue ini nih. Hoo boy, ini dia.
Gue udah pernah kasitau Box Hill Central tampangnya kek gimana lom? Lom? Oke.
Box Hill Central, terletak pas banget di atas Box Hill Station, adalah sebuah mall/shopping center. Ada food court, ada supermarket, dan ada spice market juga. Intinya, mall di atas stasiun. Secara ukuran Box Hill Central gak seberapa gede, tapi tu tempat biasanya rame banget. Gak ada ceritanya gue pernah dateng ke Box Hill Central pas lagi sepi.
Sampe hari itu.
Pas gue keluar dari stasiun, Box Hill Central kosong. Gak ada satu jiwa pun. Kecuali kita-kita yang baru keluar dari kereta, that is. Tapi selain itu, Box Hill Central kosong melompong. Ya gimana gak, gue nyampe aja udah jam 11 lebih. Anehnya, semua lampu (kecuali lampu toko) masih nyala terang-benderang.
Keringat dingin mulai merayapi tubuh gue. Gimana nasib bus gue?
Well, only one way to find out.
Sampailah gue di terminal bus Box Hill Central, *sedeket* ini dari melepas tali tas gue dari bahu gue dan mulai menyeret tu tas di lantai-lantai Box Hill Central.
Kosong.
Bahkan di halte dimana gue bisa menaiki bus yang ngambil rute gue, gak ada satu bus pun. Gak di haltenya, gak di halte sebelahnya, gak di halte belakangnya. Gak ada bus, gak ada orang.
Keringat dingin yang tadi gue bilang udah melanda tubuh gue. Nampaknya ketakutan gue jadi kenyataan.
Eh tunggu dulu, kata benak pikiran gue. Mungkin emang bus nya aja belom dateng, katanya lagi.
Tubuh gue udah nyerah, tapi otak gue belom. Dasar keras kepala.
Gue keliling mengitari terminal, ngecek-ricek semua halte dari semua rute yang ada.
Ada satu.
Beda dengan Indonesia punya, semua bus di Melbourne (lebih ke di Australia secara keseluruhan, sih) punya display elektronik mengenai jurusan mereka. Jurusan-jurusan ini dikelompokkan dalam bentuk tiga digit disertai dengan nama jurusan tersebut (biasanya nama sebuah terminal) dan detail rute yang dia ambil (lewat mana kah si bus ini?).
Waktu itu, gue mikir ada dua kemungkinan:
1) display rute si bus ternyata emang rute gue, meskipun dia ngetem di halte yang berbeda. Ini teramat sangat tidak mungkin, kemungkinan ini yang kejadian adalah 0%, soalnya bus di sini teramat sangat taat aturan. Jangankan ngetem di halte yang berbeda, mereka gak bakal ngegubris penumpang pinggir jalan yang manggil mereka kalo mereka gak manggil dari halte. But who knows, right?
2) display rute si bus bukan rute gue. Kemungkinan ini yang kejadian: 99%. Kek yang tadi gue bilang, taat. Secara gak langsung itu adalah pertanda bagus, berarti ada kemungkinan bus rute gue tersedia, cuman emang lom nyampe aja.
Trus, ada apa dengan 1% yang terakhir?
Not in service. Bus tersebut udah gak melayani penumpang. Dia udah ngejalanin shift dia buat malem itu dan si sopir mungkin lagi siap-siap buat cabut.
Mengingat kehokian gue hari itu gak terlalu tinggi, gue rasa bisa ditebak skenario yang mana yang kejadian ke gue.
Yep, yang 1%.
Di detik itulah, otak gue langsung menyerah. Di detik itulah, otak gue langsung melempar kemungkinan gue pulang naik bus jauh-jauh dari benak gue.
Gue bahkan gak nanya basa-basi sama si sopir (yang masih di dalem, main hape rasanya), yang ada gue langsung balik kanan dan balik ke tempat gue dateng tadi.
As per then, gue terdampar di Box Hill Central. Menggembel. Sampe besok paginya, seenggaknya.
Seriusan, otak gue udah mempertimbangkan opsi tersebut: pura-pura jadi gembel di Box Hill Central (padahal bukan), tidur di Box Hill sampe besok pagi, dan langsung pulang naik bus paling pertama buat rute yang gue incer. Toh gembel bukan pemandangan yang langka banget di sini, jadi orang gak bakal banyak bertanya-tanya. Ngeliatin dengan tatapan aneh sih pasti, tapi gue rasa gak ada yang bakalan legit nanyain. Kecuali kenal sama gue, that is.
Mo, lo tolol, kata otak gue.
Tolol gimana, orang lo yang ngide gituan, kata gue ke otak gue.
Gue berjalan-jalan keliling Box Hill Central yang udah mati tanpa arah yang jelas. Satu-satunya 'arah' yang gue punya adalah ke pintu keluar terdekat. Awalnya, kenapa gue ke situ pun gue gak tau.
Awalnya.
Jelas aja, otak gue secara gak sadar mengarahkan gue ke pintu keluar non-terminal-deket-jalan dari Box Hill Central jatoh-jatohnya adalah fondasi dari sebuah ide lain.
Uber.
Kek yang tadi gue bilang, Uber bukan pilihan yang paling ideal. Penghargaan tersebut jatoh ke Tram, dengan alasan paling simpel sejagat: lebih murah. Sayangnya, 'paling' ideal bukan berarti ideal beneran, karena Tram sendiri punya dua kendala: 1) gue harus jalan lebih jauh, dan kaki gue udah se-letoy fetucchini, dan 2) gue masih lom pede naik kendaraan umum, kek yang tadi gue bilang.
Uber. Mau gimana lagi?
Terakhir gue pake Uber adalah satu bulan sebelom peristiwa terdampar ini, gak lama setelah gue nyampe di Australia. 'Pake' bukan kata yang tepat bahkan, karena waktu itu yang terjadi adalah 1) gue buka Uber, 2) gue input tempat jemput dan tujuan dan teman-temannya, 3) gue klik opsi pake cash, 4) dapet pesan kalo Uber gak terima cash, dan 5) gue langsung cabut.
Dulu gue langsung cabut soalnya gue belom punya kartu debit. Yep, Uber gak punya Go-Pay. Langsung ke akun tabungan lo. Lo langsung input nomor kartu lo beserta security number-nya, gak pake acara bikin akun Uber trus ngisi saldo Uber-Pay (kalo ada) segala. Langsung aja.
Sekarang udah beda keadaannya. Gue punya kartu sekarang.
Tapi dari belakang kepala gue keluar suara dari benak gue, "Harus banget, apa?"
Desperate times, desperate measures. Now shut up.
Gue was-was ketika gue ngeluarin kartu gue. Jangankan isinya, gue ngeluarin dompet di tempat umum aja udah bisa bikin gue ketar-ketir. Mau itu tempat umum sepi sesepi-sepinya sekalipun.
7504...
Gak ada orang lewat.
9831...
Sepasang orang Korea ngelewatin gue. Keduanya sempet melirik ke arah gue, tapi gak terlalu menggubris apa yang gue lakukan. Baguslah.
0912...
Kurang empat angka lagi. C'mon.
8764.
Gue klik enter, dan Uber langsung memperbolehkan gue memesan kendaraan.
Udah? Segitu aja? Segampang itu?
[SIDE NOTE: nomor kartu yang gue taro di atasdiperankan oleh model. Yep, itu bukan nomor asli kartu debit gue. Anggep aja itu sebagai penambah efek dramatis. Hehe.]
Gimana kalo gue salah masukin nomor kartu dan ternyata malah akun tabungan orang lain yang kena tagih dari si Uber ini? Gimana kalo gue udah manggil kendaraannya, udah naik sampe ke rumah gue, dan ternyata nomor kartu yang gue taro invalid? Gimana kalo ternyata emang tu nomor kartu invalid SEBELOM gue naik? Gimana kalo--
Shut up man, lo mau pulang ato gak?
Dapet driver. Orang Hong Kong. Gak penting, gue tau.
Datenglah doi 10 menit kemudian.
Pas gue udah naik ke Uber itulah, gue menghela nafas lega. Di saat itulah gue juga baru sadar kalo kaki gue udah letoy banget. Kenyataan bahwa gue masih bisa berdiri sambil membawa tas seberat 7 kg 10 menit sebelomnya agak bikin gue kaget: mestinya gue udah tepar.
Si orang Hong Kong ini juga ramah, nanya-nanya gue kuliah di mana, jurusan apa, dan tahun ini udah tahun keberapa.
"Journalism?"
"Yeah."
"Hoo, that's great!" katanya antusias. "I want to study Journalism as well!"
Tu driver lebih tua dari gue. Umurnya gak lebih dari 40 tahun, tapi jelas dia gak tergolong sebagai mahasiswa yang lagi nyambi jadi driver Uber. Malahan, gue yakin dia punya kerjaan tetap selain jadi driver Uber.
Then again, apa salahnya bermimpi? Bukannya mimpi itu gak kenal usia?
Sayangnya, sebelom gue sempet melanjutkan percakapan tersebut, gue udah nyampe.
Bilang makasih ke si driver, pamitan, dan keluarlah gue dari mobilnya.
Sesekali gue menoleh ke belakang, ngecek apakah gue, for some reason, harus bayar dia. Who knows, siapa tau nomor kartu gue emang invalid.
Yang terjadi adalah mobilnya mundur, berbelok ke arah gue dateng tadi, dan berjalan meninggalkan gue.
Sah.
Ah, well.
Home sweet home.
Luar gue udah capek banget, tapi dalem gue seneng bukan main. Setelah ketololan demi ketololan, akhirnya gue nyampe. Setelah gue molor 4 jam lebih dari rencana gue, akhirnya gue nyampe. Setelah gue terdampar menggembel di Box Hill Central, akhirnya gue nyampe.
Demi apapun, jam waktu itu udah gak berarti apa-apa lagi buat gue. Rencana gue buat main Warframe, beres-beres, masak makan malem buat gue santap, lurusin kaki--gue udah lupain itu semuanya.
Gue sampe di tempat tinggal gue tanpa kekurangan apapun.
Itu yang penting.
Sesampainya gue di kamar gue, gue langsung menaruh tas gue dan melempar tubuh gue ke kasur gue. Masih dengan pakaian lengkap gue, minus kaos kaki dan sepatu gue. Gue emang udah secapek itu.
Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Dua setengah jam molor dari rencana awal gue.
Then again, gue udah bodo amat dengan jadwal perjalanan gue.
Yang penting gue sampe.
Itu dia.
Sampe.
Brisbane is nice.
Mungkin Brisbane gak segede, selengkap, dan semegah Melbourne, tapi it's nice.
Partly karena Brisbane mengingatkan gue dengan Malang tempat gue sekolah dulu, seperti yang gue bilang di postingan sebelomnya.
Partly juga karena gue menghabiskan waktu gue di Brisbane dengan temen-temen gue. Gue yakin, kalo bukan karena geng Bayliss dan Babes, waktu gue di Brisbane gak bakal se-mengesankan itu. Kalo gue ke sono sendirian, kecil kemungkinannya gue bakal bikin mini-series lima episode tentang petualangan gue di Brisbane.
Brisbane is nice.
But it won't be as nice without friends at your side.
Jadi, kawan-kawan gue di Brisbane, dengan ini gue mengucapkan terima kasih.
Terima kasih karena udah mau menerima gue di Brisbane.
Terima kasih karena udah mau mengajak gue merasakan Brisbane.
Terima kasih karena udah menginspirasi mini-series Brisbane gue.
Dan terpenting,
terima kasih karena udah membuat trip Brisbane gue jadi mengesankan.
Gue tunggu lo pada di Melbourne.
Until the next post, bois! :D
Kalo semuanya tepat waktu, gue mestinya udah di Melbourne jam 17:35.
Kalo semuanya lancar, gue mestinya udah nyampe di tempat tinggal gue jam 19:01.
Kalo.
Kalo gak ada hambatan, posisi gue jam 21:40 adalah di tempat tidur gue, leyeh-leyeh lurusin kaki sambil nontonin PewDiePie di hape gue.
Kalo.
Nyatanya, jam 21:40, gue baru nyampe di bandara Melbourne.
Yep, perjalanan gue udah melenceng dua jam lebih dari rencana gue. Tadinya, gue mau cepet-cepet nyampe rumah, beres-beres, main Warframe sampe jam 12 malem, terus tidur. Sekarang, gue udah gak peduli lagi soal rencana-rencana tadi--gue cuman berharap gue bisa nyampe rumah. Titik.
Langit udah gelap ketika gue keluar dari kabin pesawat. Dingin pula. Sial.
Rute yang gue ambil buat balik ke rumah gue gak beda jauh dengan rute yang gue ambil lima hari sebelomnya. Dibalik aja, sesimpel itu. Bandara, naik SkyBus ke Southern Cross Station, naik kereta ke Box Hill Central Station, terus naik bus ke halte deket rumah gue.
Kalo semuanya berjalan normal (baca: tepat waktu), gue mestinya gak punya masalah dengan rute yang gue ambil. Sayangnya, perjalanan ini udah gak normal sejak jam setengah dua siang.
Masalahnya gak segede itu, sih. Berdasarkan logika gue, SkyBus dan kereta ke Box Hill mestinya masih ada jam 10 malem-an. Kalo misalnya gak ada, masa' orang harus banget naik Uber dari bandara ke pusat kota? Ato masa' orang yang udah bayar tiket SkyBus gak kedapetan bus gara-gara terbangnya kemaleman? Ato masa' orang yang tinggal di daerah Box Hill kalo pulang dari kota malem-malem harus banget naik Uber? Kalo doi gak ada duit gimana?
Intinya, SkyBus dan kereta, gak beresiko ilang ditelan jam malam.
Bus ke halte deket rumah gue, nih.
Menurut intel yang gue dapetin, ada rute-rute bus yang berhenti beroperasi pas larut malam. Waktu itu gue belom tau perihal rute bus yang gue ambil entar kena ato gak, tapi yang gue tau MAYORITAS rute bus berhenti beroperasi larut malam, sekitaran jam 11. Yang mana adalah perkiraan waktu gue nyampe di Box Hill Central.
Kalo emang bener udah gak ada bus ke deket rumah gue ketika gue nyampe di Box Hill, harus ngapain kah gue?
Naik Uber bukan pilihan yang ideal banget, mengingat gue jarang--banget--pake Uber pas gue di Australia. Kalo lo bisa naik kendaraan umum yang notabene harganya jauh lebih murah, buat apa pake Uber? Belom lagi, beda dengan Indonesia, gue denger Uber di sini gak terima cash. Kudu bayar pake apa gue entar?
Naik tram? Boro-boro naik tram, naik Uber aja kadang-kadang gue masih takut nyasar. Sekarang pas gue nulis ini (6/12) gue udah jauh lebih pede buat naik tram, jadi ketakutan ini kedengarannya agak konyol. Tapi inget, semua ini berlatar waktu bulan Agustus, belom tiga bulan gue di Australia, di saat gue belom kenal dengan lika-liku angkutan umum Melbourne.
Ah, sudahlah. Nyampe Southern Cross aja belom.
Pas gue keluar dari terminal kedatangan domestik, gue menyadari satu hal: ujan.
Tambah bangke lagi. Udah dingin, pake acara ujan pula. Satu-satunya cara agar keadaan ini bertambah bangke lagi adalah kenyataan bahwa tempat naik SkyBus jauh--banget--dari pintu kedatangan tempat gue berdiri.
Yang mana itu gak terjadi. Untunglah.
Gue melihat sebuah bus double decker merah ngetem rapi di depan gue. Bus yang sama dengan bus yang gue naikin lima hari yang lalu. Sebuah SkyBus.
Gue menunjukkan tiket SkyBus gue ke si petugas, dan gue diperbolehkan naik.
Lima menit kemudian, SkyBus berangkat.
Tas gue beratnya sama persis dengan ketika gue berangkat ke Brisbane: 7 kg lebih dikit. Gak gue tambah apapun, soalnya gue takut dicekal petugas macam Roz-dari-Monsters-Inc lagi di bandara Brisbane. Itu, dan percayalah, ngegembol tas seberat 7 kg kemana-mana udah berat. Gue gak perlu tambahan apa-apa lagi dalam bentuk apapun.
Southern Cross gak ada masalah. Palingan permasalahan paling gede yang gue hadapi adalah berat dari tas gue. Kek yang tadi gue bilang, tujuh kilogram lebih dikit dalam bentuk tas ransel. Ditambah dengan jarak yang harus gue tempuh dari tempat persinggahan SkyBus ke peron kereta jurusan Box Hill, kenyataan bahwa kaki gue masih bisa berdiri tegap adalah sebuah keajaiban.
Sayangnya, gue masih harus nunggu 15 menit untuk kereta jurusan Box Hill. Astaga. Makin kecil aja kemungkinan gue bisa naik bus dari Box Hill ke rumah gue.
Gak ada hambatan dalam perjalanan dari Southern Cross ke Box Hill. Tapi kek yang tadi gue bilang, bagian ini mestinya normal-normal aja, mau se-abnormal gimanapun perjalanan ini.
Bagian dari Box Hill ke rumah gue ini nih. Hoo boy, ini dia.
Gue udah pernah kasitau Box Hill Central tampangnya kek gimana lom? Lom? Oke.
Box Hill Central, terletak pas banget di atas Box Hill Station, adalah sebuah mall/shopping center. Ada food court, ada supermarket, dan ada spice market juga. Intinya, mall di atas stasiun. Secara ukuran Box Hill Central gak seberapa gede, tapi tu tempat biasanya rame banget. Gak ada ceritanya gue pernah dateng ke Box Hill Central pas lagi sepi.
Sampe hari itu.
Pas gue keluar dari stasiun, Box Hill Central kosong. Gak ada satu jiwa pun. Kecuali kita-kita yang baru keluar dari kereta, that is. Tapi selain itu, Box Hill Central kosong melompong. Ya gimana gak, gue nyampe aja udah jam 11 lebih. Anehnya, semua lampu (kecuali lampu toko) masih nyala terang-benderang.
Keringat dingin mulai merayapi tubuh gue. Gimana nasib bus gue?
Well, only one way to find out.
Sampailah gue di terminal bus Box Hill Central, *sedeket* ini dari melepas tali tas gue dari bahu gue dan mulai menyeret tu tas di lantai-lantai Box Hill Central.
Kosong.
Bahkan di halte dimana gue bisa menaiki bus yang ngambil rute gue, gak ada satu bus pun. Gak di haltenya, gak di halte sebelahnya, gak di halte belakangnya. Gak ada bus, gak ada orang.
Keringat dingin yang tadi gue bilang udah melanda tubuh gue. Nampaknya ketakutan gue jadi kenyataan.
Eh tunggu dulu, kata benak pikiran gue. Mungkin emang bus nya aja belom dateng, katanya lagi.
Tubuh gue udah nyerah, tapi otak gue belom. Dasar keras kepala.
Gue keliling mengitari terminal, ngecek-ricek semua halte dari semua rute yang ada.
Ada satu.
Beda dengan Indonesia punya, semua bus di Melbourne (lebih ke di Australia secara keseluruhan, sih) punya display elektronik mengenai jurusan mereka. Jurusan-jurusan ini dikelompokkan dalam bentuk tiga digit disertai dengan nama jurusan tersebut (biasanya nama sebuah terminal) dan detail rute yang dia ambil (lewat mana kah si bus ini?).
Waktu itu, gue mikir ada dua kemungkinan:
1) display rute si bus ternyata emang rute gue, meskipun dia ngetem di halte yang berbeda. Ini teramat sangat tidak mungkin, kemungkinan ini yang kejadian adalah 0%, soalnya bus di sini teramat sangat taat aturan. Jangankan ngetem di halte yang berbeda, mereka gak bakal ngegubris penumpang pinggir jalan yang manggil mereka kalo mereka gak manggil dari halte. But who knows, right?
2) display rute si bus bukan rute gue. Kemungkinan ini yang kejadian: 99%. Kek yang tadi gue bilang, taat. Secara gak langsung itu adalah pertanda bagus, berarti ada kemungkinan bus rute gue tersedia, cuman emang lom nyampe aja.
Trus, ada apa dengan 1% yang terakhir?
Not in service. Bus tersebut udah gak melayani penumpang. Dia udah ngejalanin shift dia buat malem itu dan si sopir mungkin lagi siap-siap buat cabut.
Mengingat kehokian gue hari itu gak terlalu tinggi, gue rasa bisa ditebak skenario yang mana yang kejadian ke gue.
Yep, yang 1%.
Di detik itulah, otak gue langsung menyerah. Di detik itulah, otak gue langsung melempar kemungkinan gue pulang naik bus jauh-jauh dari benak gue.
Gue bahkan gak nanya basa-basi sama si sopir (yang masih di dalem, main hape rasanya), yang ada gue langsung balik kanan dan balik ke tempat gue dateng tadi.
As per then, gue terdampar di Box Hill Central. Menggembel. Sampe besok paginya, seenggaknya.
Seriusan, otak gue udah mempertimbangkan opsi tersebut: pura-pura jadi gembel di Box Hill Central (padahal bukan), tidur di Box Hill sampe besok pagi, dan langsung pulang naik bus paling pertama buat rute yang gue incer. Toh gembel bukan pemandangan yang langka banget di sini, jadi orang gak bakal banyak bertanya-tanya. Ngeliatin dengan tatapan aneh sih pasti, tapi gue rasa gak ada yang bakalan legit nanyain. Kecuali kenal sama gue, that is.
Mo, lo tolol, kata otak gue.
Tolol gimana, orang lo yang ngide gituan, kata gue ke otak gue.
Gue berjalan-jalan keliling Box Hill Central yang udah mati tanpa arah yang jelas. Satu-satunya 'arah' yang gue punya adalah ke pintu keluar terdekat. Awalnya, kenapa gue ke situ pun gue gak tau.
Awalnya.
Jelas aja, otak gue secara gak sadar mengarahkan gue ke pintu keluar non-terminal-deket-jalan dari Box Hill Central jatoh-jatohnya adalah fondasi dari sebuah ide lain.
Uber.
Kek yang tadi gue bilang, Uber bukan pilihan yang paling ideal. Penghargaan tersebut jatoh ke Tram, dengan alasan paling simpel sejagat: lebih murah. Sayangnya, 'paling' ideal bukan berarti ideal beneran, karena Tram sendiri punya dua kendala: 1) gue harus jalan lebih jauh, dan kaki gue udah se-letoy fetucchini, dan 2) gue masih lom pede naik kendaraan umum, kek yang tadi gue bilang.
Uber. Mau gimana lagi?
Terakhir gue pake Uber adalah satu bulan sebelom peristiwa terdampar ini, gak lama setelah gue nyampe di Australia. 'Pake' bukan kata yang tepat bahkan, karena waktu itu yang terjadi adalah 1) gue buka Uber, 2) gue input tempat jemput dan tujuan dan teman-temannya, 3) gue klik opsi pake cash, 4) dapet pesan kalo Uber gak terima cash, dan 5) gue langsung cabut.
Dulu gue langsung cabut soalnya gue belom punya kartu debit. Yep, Uber gak punya Go-Pay. Langsung ke akun tabungan lo. Lo langsung input nomor kartu lo beserta security number-nya, gak pake acara bikin akun Uber trus ngisi saldo Uber-Pay (kalo ada) segala. Langsung aja.
Sekarang udah beda keadaannya. Gue punya kartu sekarang.
Tapi dari belakang kepala gue keluar suara dari benak gue, "Harus banget, apa?"
Desperate times, desperate measures. Now shut up.
Gue was-was ketika gue ngeluarin kartu gue. Jangankan isinya, gue ngeluarin dompet di tempat umum aja udah bisa bikin gue ketar-ketir. Mau itu tempat umum sepi sesepi-sepinya sekalipun.
7504...
Gak ada orang lewat.
9831...
Sepasang orang Korea ngelewatin gue. Keduanya sempet melirik ke arah gue, tapi gak terlalu menggubris apa yang gue lakukan. Baguslah.
0912...
Kurang empat angka lagi. C'mon.
8764.
Gue klik enter, dan Uber langsung memperbolehkan gue memesan kendaraan.
Udah? Segitu aja? Segampang itu?
[SIDE NOTE: nomor kartu yang gue taro di atasdiperankan oleh model. Yep, itu bukan nomor asli kartu debit gue. Anggep aja itu sebagai penambah efek dramatis. Hehe.]
Gimana kalo gue salah masukin nomor kartu dan ternyata malah akun tabungan orang lain yang kena tagih dari si Uber ini? Gimana kalo gue udah manggil kendaraannya, udah naik sampe ke rumah gue, dan ternyata nomor kartu yang gue taro invalid? Gimana kalo ternyata emang tu nomor kartu invalid SEBELOM gue naik? Gimana kalo--
Shut up man, lo mau pulang ato gak?
Dapet driver. Orang Hong Kong. Gak penting, gue tau.
Datenglah doi 10 menit kemudian.
Pas gue udah naik ke Uber itulah, gue menghela nafas lega. Di saat itulah gue juga baru sadar kalo kaki gue udah letoy banget. Kenyataan bahwa gue masih bisa berdiri sambil membawa tas seberat 7 kg 10 menit sebelomnya agak bikin gue kaget: mestinya gue udah tepar.
Si orang Hong Kong ini juga ramah, nanya-nanya gue kuliah di mana, jurusan apa, dan tahun ini udah tahun keberapa.
"Journalism?"
"Yeah."
"Hoo, that's great!" katanya antusias. "I want to study Journalism as well!"
Tu driver lebih tua dari gue. Umurnya gak lebih dari 40 tahun, tapi jelas dia gak tergolong sebagai mahasiswa yang lagi nyambi jadi driver Uber. Malahan, gue yakin dia punya kerjaan tetap selain jadi driver Uber.
Then again, apa salahnya bermimpi? Bukannya mimpi itu gak kenal usia?
Sayangnya, sebelom gue sempet melanjutkan percakapan tersebut, gue udah nyampe.
Bilang makasih ke si driver, pamitan, dan keluarlah gue dari mobilnya.
Sesekali gue menoleh ke belakang, ngecek apakah gue, for some reason, harus bayar dia. Who knows, siapa tau nomor kartu gue emang invalid.
Yang terjadi adalah mobilnya mundur, berbelok ke arah gue dateng tadi, dan berjalan meninggalkan gue.
Sah.
Ah, well.
Home sweet home.
Luar gue udah capek banget, tapi dalem gue seneng bukan main. Setelah ketololan demi ketololan, akhirnya gue nyampe. Setelah gue molor 4 jam lebih dari rencana gue, akhirnya gue nyampe. Setelah gue terdampar menggembel di Box Hill Central, akhirnya gue nyampe.
Demi apapun, jam waktu itu udah gak berarti apa-apa lagi buat gue. Rencana gue buat main Warframe, beres-beres, masak makan malem buat gue santap, lurusin kaki--gue udah lupain itu semuanya.
Gue sampe di tempat tinggal gue tanpa kekurangan apapun.
Itu yang penting.
Sesampainya gue di kamar gue, gue langsung menaruh tas gue dan melempar tubuh gue ke kasur gue. Masih dengan pakaian lengkap gue, minus kaos kaki dan sepatu gue. Gue emang udah secapek itu.
Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Dua setengah jam molor dari rencana awal gue.
Then again, gue udah bodo amat dengan jadwal perjalanan gue.
Yang penting gue sampe.
Itu dia.
Sampe.
***
Mungkin Brisbane gak segede, selengkap, dan semegah Melbourne, tapi it's nice.
Partly karena Brisbane mengingatkan gue dengan Malang tempat gue sekolah dulu, seperti yang gue bilang di postingan sebelomnya.
Partly juga karena gue menghabiskan waktu gue di Brisbane dengan temen-temen gue. Gue yakin, kalo bukan karena geng Bayliss dan Babes, waktu gue di Brisbane gak bakal se-mengesankan itu. Kalo gue ke sono sendirian, kecil kemungkinannya gue bakal bikin mini-series lima episode tentang petualangan gue di Brisbane.
Brisbane is nice.
But it won't be as nice without friends at your side.
Jadi, kawan-kawan gue di Brisbane, dengan ini gue mengucapkan terima kasih.
Terima kasih karena udah mau menerima gue di Brisbane.
Terima kasih karena udah mau mengajak gue merasakan Brisbane.
Terima kasih karena udah menginspirasi mini-series Brisbane gue.
Dan terpenting,
terima kasih karena udah membuat trip Brisbane gue jadi mengesankan.
Gue tunggu lo pada di Melbourne.
Until the next post, bois! :D
No comments:
Post a Comment